Kamis, 10 Agustus 2017

Mobil Elektrik Untuk Mengurangi Emisi?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T.
Sepertinya beberapa kali postingan bung Ricky Elson berseliweran di beranda. Kebanyakan soal kebijakan mobil listrik yang (bisa ditebak) absurd. Saya sih tidak banyak berharap bahwa penguasa negeri ini mau benar-benar peduli dengan karya lokal, mengingat Pak Warsito saja "ditendang" keluar. Tapi soal mobil listriknya sendiri menarik.
Dari dulu saya tidak pernah begitu antusias dengan mobil listrik. Antusiasme yang terbatas itu utamanya karena listrik di negeri ini masih dibangkitkan pakai energi fosil, utamanya batubara. Saya pikir, apa gunanya pakai mobil listrik kalau listriknya masih dari batubara? Belum lagi soal those pesky bulky batteries, yang performanya dari dulu begitu-begitu saja.
Lalu saya baca buku Sustainable Energy - Without the Hot Air dan baru teringat untuk menggunakan angka-angka riil alih-ali retorika seperti di atas.
Kalau soal emisi gas buang dari mobilnya, okelah, mobil listrik tidak mengeluarkan asap mengandung CO2 dan polutan berbahaya lain. Sebagai gantinya, polutan dihasilkan di pembangkit listriknya. Dari sini kesannya impas, barangkali, ya? Tapi apa memang begitu atau saya yang underestimate?
Coba kita bandingkan antara mobil listrik dan mobil biasa. Mobil listrik yang jadi contoh, biar keren sedikit, adalah Tesla Model S. Mobil ini menggunakan listrik sebesar 21 kWh per 100 km. Artinya, tiap km menggunakan 0,21 kWh.
Listrik Indonesia utamanya berbasis batubara dan gas alam. Menggunakan standar IPCC, kira-kira diperkirakan bahwa listrik Indonesia memiliki tapak karbon 700 g CO2 eq/kWh. Dari sini, berarti emisi CO2 dari mobil listrik sebesar (0,21*700) = 147 g CO2 eq/km. Hampir seperempat kg CO2 ekivalen tiap km yang ditempuh.
Kita berandai-andai, nih. Kalau misalnya listrik Indonesia rendah karbon, jadinya bagaimana? Tidak usah jauh-jauh, kalau emisinya 100 g CO2 eq/kWh saja. Maka emisi mobil listriknya jadi (0,21*100) = 21 g CO2/kWh. Lumayan sekali.
Lantas bagaimana dengan mobil biasa? Untuk pemakaian dalam kota, tipikal mobil sekarang mengonsumsi 1 liter bensin untuk 9-12 km. Di sini ambil asumsi paling longgar saja, 1 liter untuk 12 km. Emisi CO2 dari bensin sebesar 2,5 kg CO2/liter. Maka, emisi dari mobil biasa sebesar ([1/12]*2,5*1000) = 208,3 g CO2 eq/km.
Ternyata emisi mobil listrik masih lebih rendah daripada mobil biasa, bahkan dalam skenario emisi tinggi! Tidak terlalu beda jauh, tapi jelas lebih rendah.
Kalau dipikir-pikir, agak bisa dipahami kenapa. Mesin elektrik lebih efisien daripada mesin internal fuel combustion. Sehingga, walau emisi listrik lebih tinggi, tapi energi yang termanfaatkan juga lebih banyak. Dampaknya, emisi mobil listrik secara riil pun lebih rendah.
Lalu bagaimana dengan energy cost-nya?
Pemilik mobil listrik pastinya bukan kalangan menengah ke bawah. Jadi listriknya mesti dapat dari listrik non-subsidi, seharga Rp 1.467,28/kWh. Maka, energy cost per km mobil listrik sebesar (1.467,28*0,21) = Rp 308,1/km. Untuk mobil biasa, supaya adil, pakai harga BBM non-subdisi/Pertamax, seharga Rp 8.050/liter. Maka, energy cost mobil biasa sebesar (8.050*[1/12]) = Rp 670,8/km.
Energy cost mobil listrik hanya setengah mobil biasa.
Dari dua aspek ini, tampak bahwa mobil listrik benar lebih unggul dari mobil biasa. Jadi, asumsi saya terhadap performa mobil listrik yang underestimate.
Nah, kalau ketersediaan suplai lithium untuk baterai sudah teratasi, pengelolaan limbah baterai sudah direncanakan dengan baik, swasta sudah disingkirkan dari sektor pembangkitan listrik nasional, dekarbonisasi listrik sudah berjalan dengan baik, lalu desain lokal bisa lebih dihargai, maka mobil listrik bisa jadi opsi menarik...

0 komentar:

Posting Komentar