Tampilkan postingan dengan label Sains. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sains. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 Agustus 2025

Banyak-Banyakan Publikasi, Untuk Apa?

Kalau ada satu "penyakit" yang sepertinya cukup mengganggu di dunia akademia saat ini, hal itu adalah banyak-banyakan publikasi.

Belum lama ini, saya membaca berita di website salah satu universitas domestik soal mahasiswa pascasarjana yang menyelesaikan kuliah S2-S3 dalam tiga tahun (!!!) dan menerbitkan 25 publikasi ilmiah dalam tiga tahun kuliahnya tersebut. Artinya, ada delapan publikasi ilmiah di jurnal internasional dalam setahun.

Lalu, seorang rekan kemudian membagikan berita soal dokter alumni S3 Belanda yang mendapatkan penghargaan dari MURI terkait rekor publikasi terbanyak selama studi doktoral, yakni 68 publikasi ilmiah! Saya memulai riset sejak 2018, yang artinya sudah 7 tahun terlibat di dunia litbang, dan publikasi di jurnal internasional masih tidak sampai 20.

Tidak ketinggalan pula, pemenang reality show kapitalis bertopeng pendidikan ajang kompetisi intelejensia mahasiswa Musim Pertama, yang saat ini masih mahasiswa S1 di universitas lokal, sudah publikasi belasan publikasi ilmiah, dua di antaranya sebagai penulis pertama. Mayoritas di jurnal internasional terindeks Scopus pula.

Walau demikian, setelah saya cek lagi di akun Scopus dan Google Scholar masing-masing individu tersebut, mayoritas adalah... systematic literature review (SLR) dan meta-analysis. Review article, bukan original research article. Ada, memang, original research article (kecuali pemenang reality show kompetisi pendidikan), tapi tidak sebanyak itu. Mayoritas, kalau bukan semuanya, dipublikasikan ketika sedang menempuh jenjang perkuliahan, sedikit sekali di luar perkuliahan.

Dari situ, saya jadi sering terpikirkan soal hakikat publikasi ilmiah. Sebenarnya apa, sih, yang dituju dari publikasi ilmiah ini? Publikasi ilmiah itu sebenarnya untuk apa? Kenapa sekarang normanya jadi seolah-olah lulus secepat-cepatnya dan publikasi sebanyak-banyaknya? In a sense, tren ini juga saya curigai mulai muncul di lembaga riset yang harusnya menelurkan publikasi berupa original research article, bukannya banyak-banyakan publikasi SLR dan meta-analysis.

Perlu diakui bahwa publikasi ilmiah negeri ini masih sedikit. Untuk ukuran negara sebesar Indonesia, data Scimago menunjukkan bahwa jumlah dokumen terpublikasi yang terindeks lembaga pengindeks komersial sejenis Scopus dan Web of Science baru berada di peringkat 37. Setingkat di bawah Singapura dengan jumlah penduduk yang...  agak memalukan untuk membandingkan keduanya. Bahkan lebih rendah daripada entitas ilegal fasis rasis maniak genosida yang berada di peringkat 26. Ini belum bicara sitasi per dokumen dan H-Index yang paling rendah di antara 50 negara dengan dokumen terpublikasi paling banyak!

Kinda embarrassing, really...

Publikasi ilmiah memang salah satu indikator yang menunjukkan kualitas dan kemajuan riset sebuah negara. Masalahnya? Jumlah itu adalah indikator kualitas riset, bukan target riset! Publikasi ilmiah, seharusnya, bukan ajang gengsi-gengsian. Bukan ajang kompetisi kejar-kejaran banyak-banyakan, bukan! Jumlah publikasi ilmiah itu tidak lebih dari indikator, seberapa maju kualitas riset sebuah negara, bukan target yang harus dikejar!

Sepertinya ini yang disalahartikan oleh para pemangku kebijakan. Sadar bahwa publikasi ilmiah terindeks Scopus dan Web of Science masih sedikit relatif terhadap negara lain, akhirnya kuantitas digenjot habis-habisan. Tapi apakah tuntutan kenaikan kuantitas publikasi ini diimbangi dengan penambahan kuantitas anggaran? Apakah diimbangi dengan perbaikan fasilitas riset dan kenaikan gaji akademisi serta peneliti? Ya tentu saja... tidak. Justru makin ke sini makin diperketat, birokrasi dipersulit, bahkan anggaran riset turun dari Rp 26 triliun menjadi Rp 6-7 triliun. Tapi kuantitas publikasi harus diperbanyak.

Ini, logika dari mana?

Dari sini saya kira fenomena banyak-banyakan publikasi berbentuk SLR, meta-analysis, ditambah bibliometrik, mulai mencuat. Dengan krisis anggaran riset, penghematan anggaran demi proyek populis yang visi dan eksekusinya buruk, serta negara mengurangi pendanaan terhadap universitas yang makin kesini disuruh makin mandiri, sementara beban luaran makin banyak, para akademisi akhirnya mencari exit liquidity berupa menggunakan data sekunder, yang menghasilkan tiga jenis publikasi tersebut. Data sekunder, karena datanya sudah ada, dikerjakan oleh negara-negara lain yang ekosistem risetnya agak "mendingan" (karena tidak semuanya sehat juga), lalu tinggal ditelaah semua datanya dan diberi penafsiran dan kesimpulan sendiri dari kumpulan data itu. Kadang cuma membaca data saja, tidak ada analisis sendiri. Herannya masih terbit. Di jurnal terindeks Scopus pula.

Kalau sekadar exit liquidity, mungkin masih agak bisa diterima. Karena kepepet. Sementara pemberi anggaran sudah bawel menuntut luaran seperti kelelawar buah ketika melihat pepaya matang. Masalahnya, para akademisi dan peneliti tampaknya jadi ketagihan untuk terus menerus publikasi SLR, meta-analysis, dan bibliometrik. Pelatihannya muncul di mana-mana, untuk menggunakan tools bibliometrik dan SLR. Mahasiswa pascasarjana, yang harusnya disibukkan dengan original research, malah diajak banyak pihak untuk ikut nulis makalah SLR, meta-analysis, dan bibliometrik.

Mau dilihat dari manapun, fenomena ini jelas problematik. Publikasi ilmiah yang harusnya sebatas jadi indikator hasil riset, malah jadi ajang gengsi-gengsian dengan banyak-banyakan publikasi. Mana publikasinya dari hasil telaah data sekunder pula. Lalu ketika berhasil publikasi belasan hingga puluhan publikasi dalam setahun atau sepanjang masa studi, dianggap sebuah prestasi yang luar biasa.

Like, seriously?

Di mayoritas bidang, SLR dan bibliometrik itu seringkali hanya terpakai untuk bagian Latar Belakang/Introduction di manuskrip ilmiah. Meta-analysis paling berguna untuk riset bidang kesehatan, tapi bukan untuk dipublikasi sebanyak-banyaknya, melainkan ada kepentingan teknis untuk memandu original research. Mau dilihat dari manapun, tiga model publikasi itu tidak bisa dianggap sebagai primary research. Bukan riset utama, melainkan supporting research/riset pendukung. A mean, not a target.

Banyak-banyakan publikasi SLR, meta-analysis, dan bibliometrik, lalu berbangga dengan jumlah makalah yang terpublikasi itu, merasa telah berkontribusi dalam mendongkrak jumlah publikasi ilmiah negara, pada hakikatnya adalah sebuah bentuk kelucuan. Membanjiri dunia publikasi ilmiah, yang saat ini sudah tersaturasi, dengan jenis-jenis publikasi semacam itu, tidak lebih dari menghasilkan lebih banyak derau/noise dalam dunia riset, yang mulai jenuh dengan banyaknya publikasi dengan nilai tambah rendah, replikabilitas bermasalah, mitra bestari/reviewer yang lelah, dan entitas jurnal komersial yang terus menjajah.

Saat ini, dipublikasikan di jurnal terindeks Scopus bukan lagi bukti bahwa kualitas publikasinya luar biasa bagus. Oversaturasi publikasi dan mental kapitalistik penerbit jurnal komersial akhirnya menjadikan standar publikasi seringkali melonggar, dan ini sudah menjadi concern di dunia ilmiah internasional.

Akhirnya, akademisi semodel begini hanya berbangga-bangga dengan jumlah publikasi saja. Bukan kualitas publikasi, bukan peran publikasinya dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi karena jumlahnya banyak dan terindeks Scopus. Lalu ketika pola seperti ini dikritik, malah menganggap si pengkritik itu iri, dengki, hasad, tidak suka dengan prestasi orang lain, you name it.

Padahal masalahnya yang dikritik adalah fenomena banyak-banyakan publikasi yang cuma jadi derau dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di tengah dunia publikasi ilmiah yang terlalu banyak masalah. Tidak ada kaitannya dengan iri, hasad, dan sebangsanya. Hanya akademisi dan manusia berotak picik dan sempit yang berpikir seperti itu.

Publikasi semodel SLR, meta-analysis, dan bibliometrik ada pangsanya sendiri, tapi yang jelas bukan sebagai arah publikasi utama. Publikasi tersebut eksis sebagai pendukung dari tujuan utama: memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang mana, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut bergantung pada original research, yang menghasilkan publikasi berupa original research article.

Tidak ada ilmuwan/akademisi yang membangun karir dari publikasi SLR, meta-analysis, dan bibliometrik. Kalau ada, itu ilmuwan kualitas rendah yang tidak punya kontribusi apa-apa terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan mungkin tidak berguna dan tidak paham sama sekali ketika harus melakukan original research, karena bisanya cuma pakai data sekunder.

Tampaknya, Goodhart's Law dapat diberlakukan untuk fenomena ini.

"

When a measure becomes a target, it ceases to be a good measure
."

Jumlah publikasi itu fungsinya hanya sebagai ukuran, bukan target. Ketika jumlah dijadikan sebagai target, sebagai ajang gengsi, sebagai ajang hebat-hebatan, maka jumlah publikasi bukan lagi jadi alat ukur yang bagus.

Budaya bangga-banggaan dengan jumlah ini selayaknya dikurang-kurangi. Bahkan Rasulullah SAW pun pernah hampir mengalami kekalahan di Perang Hunain. Apa mentalitas kaum muslimin pada saat Perang Hunain? Berbangga dengan jumlah. Merasa tidak terkalahkan. Sampai Allah SWT menegur umat Islam dengan cara demikian, supaya tidak usah sombong dengan jumlah yang banyak.

Bagi akademisi/Peneliti sungguhan, kualitas >>> kuantitas. Tidak apa-apa hanya bisa publikasi 1-2 makalah tiap tahun. Bahkan mungkin baru bisa publikasi sekali dalam dua tahun. Utamakan kualitas, bukan kuantitas. Utamakan kebermanfaatan riset untuk dunia ilmiah, ilmu pengetahuan, atau aplikasi dunia nyata (tergantung jenis risetnya), tidak usah ngoyo dengan banyak-banyakan jumlah. Karena riset berkualitas bagus dan kuantitas banyak dalam waktu singkat itu sama utopisnya dengan berharap merkuri bisa berubah menjadi emas hanya dengan memaparinya dengan netron dari sumber AmBe, tidak ada dalam realita.

Bagi yang masih berbangga-bangga dengan jumlah publikasi, tapi hanya berbekal data sekunder dan hanya menjadi derau dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, semoga mau sadar dan mulai lebih fokus pada kualitas riset di original research.

Kamis, 24 April 2025

Dalih Dobol Ateis Bodor

Di alam sekuler, semisal di seluruh dunia pada saat ini, orang beragama maupun tidak sama-sama tidak dibatasi untuk berkontribusi dalam sains dan teknologi. Secara epistemik, tidak ada yang peduli sama sekali. Yang penting adalah,









  1. Anda punya topik riset,
  2. Anda punya anggaran dan fasilitas riset,
  3. Anda melakukan riset,
  4. Anda menerbitkan hasil risetnya untuk diseminasi.

Jadi ketika ada yang berhalusinasi bahwa "ateis di Indonesia tidak bisa berkontribusi dalam sains dan teknologi karena ateisme tidak diberikan ruang untuk berkembang," maka itu hanya karangan dobol belaka.

Entitas negara sekuler tidak mempertimbangkan aspek metafisik yang diyakini seseorang dalam pengembangan sains dan teknologi secara epistemologis. Pertimbangan lebih besar justru terletak pada aspek politik terkait visi sains dan teknologi negara, yang mana nilai-nilai yang dianut terkait visi politis itu bersifat sekuler pula—tidak terkait dengan nilai agama apapun. Plus, tentu saja, politik nasional maupun internasional dengan berbagai aktor pemegang kepentingan yang 100% tidak berpegang pada nilai-nilai agama.

Kalau secara ontologis dan aksiologis kemudian terpengaruh agama/ideologi tertentu, itu wajar. Keduanya memang tidak bebas nilai, sebagaimana para ateis juga memandang aspek ontologik dan aksologik dari sains dan teknologi itu berdasarkan ideologi ateisme yang mereka anut. Seorang teis bebas mengkritik pemahaman ateis dalam kedua aspek ini sebagaimana seorang ateis sesuka hati mengkritik teis. Tapi dari aspek epistemologis, yang notabene merupakan hal dasar yang seharusnya dilakukan sebelum beranjak pada dua aspek lainnya? Tidak ada yang melarang.

Sejak awal kemerdekaan, arah litbangjirap sains dan teknologi di Indonesia itu secara eksklusif dibangun atas pondasi nilai sekuler. Tidak dikaitkan dengan agama, tidak peduli terkait aspek ketuhanan sama sekali. Tidak pernah ada motivasi, inspirasi, apalagi pondasi membangun sains dan teknologi berdasarkan agama. Etika penelitian tidak pernah dilandaskan pada agama tertentu, melainkan JUSTRU berdasarkan nilai-nilai humanis, yang notabene lahir dari rahim sekulerisme yang tidak peduli agama.

Jadi, ketika ada ateis dobol yang mengeluh bahwa mereka tidak diberi ruang "kebebasan untuk berkembang" makanya tidak berkontribusi dalam perkembangan sains dan teknologi di Indonesia, maka ketahuilah bahwa mereka cuma ngarang bebas saja. Khayalan dobol untuk menutupi skill issue mereka, yang secara kapasitas pribadi sama sekali tidak kompeten untuk menjadi seorang saintis maupun insinyur. Bukan karena dibatasi untuk berkembang, tapi memang darisananya tidak bisa apa-apa.

Ateis model begini cuma bisa mangap lebar saja, meski isinya lebih kosong daripada void space berjarak 300 parsec. Jadi ateis pun cuma karena malas ibadah saja, emotionally-driven ignorance, bukan karena "pencerahan" or something incredible idk.

Pondasi litbangjirap sains dan teknologi darisananya sekuler, negara dijalankan berdasarkan ideologi sekulerisme, yang disalahkan agama lagi. Idiot eksponensial.

What a complete waste of oxygen.


Sabtu, 07 Desember 2024

Taksonomi Peran Kontributor ala CRediT


Bagaimana menentukan kelayakan seseorang agar namanya bisa masuk ke dalam daftar penulis publikasi ilmiah?

Perkara kontribusi ini memang cukup pelik, karena dalam satu kasus, orang merasa sudah cukup berkontribusi dalam sebuah penelitian, sehingga namanya layak dicantumkan dalam publikasi. Di sisi lain, ada yang sebenarnya tidak layak untuk dicantumkan namanya dalam publikasi, tapi tetap masuk namanya di dalam publikasi. Jadi ada ketidakadilan di sini, dan perkara ini bukan sekali dua kali terjadi.

Karena itu, butuh kriteria untuk menentukan apakah seseorang layak dimasukkan atau tidak namanya di dalam sebuah publikasi ilmiah. Kriteria seperti apa?

Salah satu yang bisa digunakan dan paling komprehensif adalah CRediT (Contributor Roles Taxonomy) author statement. Jadi ada taksonomi peran kontributor spesifik pada sebuah manuskrip ilmiah. Ada 14 peran kontributor dalam CRediT author statement, masing-masing sebagai berikut.

  1. Conceptualisation (Konseptualisasi): Seseorang membangun ide dasar dari riset yang dikerjakan secara komprehensif, memformulasikan tujuan dan target luaran dari risetnya.
  2. Data curation (Kurasi Data): Seseorang membuat metadata riset, membersihkan dan menyeleksi data, serta menyimpan data penelitian untuk keperluan awal dan penggunaan kemudian.
  3. Formal analysis (Analisis Formil): Seseorang menerapkan teknik-teknik analisis baik menggunakan ilmu statistik, matematika, komputasi, dan sebangsanya untuk menganalisis data hasil riset.
  4. Funding acquisition (Akuisisi Pendanaan): Seseorang mencari dan mendapatkan dana untuk mendukung penelitian yang berujung pada publikasi manuskrip ilmiah.
  5. Investigation (Investigasi): Seseorang melakukan proses penelitian dan investigasi objek penelitian, baik secara eksperimental maupun komputasional, atau pengumpulan data lapangan, dan yang semisal.
  6. Methodology (Metodologi): Seseorang mengembangkan atau mendesain metodologi dan atau model untuk penelitian yang dikerjakan.
  7. Project Administration (Administrasi Proyek): Seseorang mengatur dan mengkoordinasikan perencanaan serta eksekusi aktivitas penelitian.
  8. Resources (Sumber Daya): Seseorang memberikan bahan untuk penelitian, baik itu bentuknya reagen, material, pasien, sampel, hewan, instrumentasi, perangkat komputasi, buku-buku atau makalah referensi (untuk studi literatur), dan sebangsanya.
  9. Software (Perangkat Lunak): Seseorang melakukan pemrograman, pengembangan perangkat lunak, mendesain program komputer, implementasi kode komputer dan algoritma pendukung, pengujian komponen kode yang sudah ada.
  10. Supervision (Supervisi): Seseorang mengambil tanggung jawab pengawasan dan kepemimpinan untuk perencanaan dan eksekusi aktivitas riset, termasuk di dalamnya melakukan pembinaan/mentoring ke tim inti riset.
  11. Validation (Validasi): Seseorang melakukan verifikasi, baik sebagai bagian dari aktivitas risetnya atau terpisah, dari kemungkinan replikasi dan kedapatproduksi ulang (reproducibility) hasil riset yang sudah didapatkan.
  12. Visualisation (Visualisasi): Seseorang menyiapkan presentasi untuk hasil riset yang akan dipublikasikan, khususnya dari segi visualisasi data atau presentasi data.
  13. Writing – Original Draft (Penulisan – Draf Asli): Seseorang menulis draf awal dari manuskrip ilmiah hasil penelitian, termasuk dari segi penerjemahan substantif.
  14. Writing – Review and Editing (Penulisan – Telaah dan Penyuntingan): Seseorang melakukan penelaahan kritis, evaluasi dan perbaikan substansial, komentar, dan revisi terhadap draf awal manuskrip, baik sebelum proses reviu atau setelah proses reviu.

Secara etis, jika seseorang memenuhi satu saja kriteria dari CRediT author statement ini, maka dia layak dicantumkan namanya dalam jajaran penulis di sebuah publikasi ilmiah. Kecuali orangnya yang menolak dicantumkan, maka itu urusan lain. Tidak menyantumkan nama seseorang yang memenuhi kriteria di atas, kecuali atas permintaan orang yang bersangkutan, adalah PELANGGARAN ETIKA PENELITIAN dan harus ada sanksi ke pihak-pihak yang paling bertanggung jawab dalam publikasi tersebut (dalam hal ini, corresponding author).

Berlaku pula kebalikannya. Jika seseorang tidak memenuhi kriteria kepenulisan di atas, tetapi tetap dicantumkan namanya, maka itu juga bentuk PELANGGARAN ETIKA PENELITIAN. Corresponding author harus dimintai pertanggung jawaban atas pelanggaran ini.

Apakah ada peluang penyalahgunaan dari CRediT author statement ini? Tentu saja ada. Contoh kasus begini: Seseorang patungan membayar Article Processing Charge (APC) untuk publikasi ilmiah di sebuah jurnal akses terbuka, lalu minta (seringkali sambal memaksa) agar namanya dicantumkan di dalam daftar penulis. Apakah itu memenuhi kriteria taksonomi?

Tentu saja… tidak.

Funding Acquisition dalam CRediT author statement itu terkait PENDANAAN RISET yang berujung pada publikasi sebuah makalah, bukan pendanaan publikasi itu sendiri. Apalagi kalau orang yang bersangkutan sama sekali tidak terlibat dalam proses risetnya dari awal sampai akhir, bahkan baca manuskripnya saja tidak pernah.

Menyantumkan nama orang itu sebagai jajaran penulis adalah PELANGGARAN ETIKA ILMIAH.

Sebaliknya, jika ada seseorang yang berkontribusi dalam pembuatan source code, input code, algoritma program, yang kemudian digunakan untuk melakukan riset dan hasilnya dipublikasi, lalu kemudian nama orang itu tidak dicantumkan dalam publikasi ilmiah, maka itu juga bentuk PELANGGARAN ETIKA ILMIAH. Karena kontribusinya dalam pemrograman (Software) sudah cukup substansial untuk memengaruhi hasil penelitian, sehingga layak dianggap memiliki peran dalam penelitian tersebut.

Jadi, untuk Anda yang mau melakukan penelitian, atau terlibat dalam tim penelitian, atau sudah berkecimpung di dunia penelitian, perhatikan baik-baik peran orang-orang yang terlibat dalam penelitian Anda. Jangan sampai Anda menyantumkan nama-nama yang tidak berkontribusi apa-apa dalam penelitian, atau sebaliknya, mengeluarkan nama-nama yang berkontribusi signifikan dalam penelitian, di dalam publikasi ilmiah Anda. Pelanggaran etika semacam itu akan mengompromikan kredibilitas Anda sebagai peneliti, kalau tidak sekarang ya dalam beberapa waktu yang akan datang.

Senin, 15 April 2024

Nalar Bodor Ateis Dobol

Dalam berbagai analisis saintifik, misal di ilmu fisika, kebenaran suatu analisis bergantung pada asumsi model yang digunakan. Contoh ketika mau analisis mekanika fluida. Ketika fluida kerja yang berlaku adalah lelehan garam pada temperatur 700 °C, maka tidak bisa mekanika fluida ini dianalisis menggunakan model fluida Newtonian. Mau tidak mau harus menggunakan model fluida non-Newtonian. Menggunakan model fluida Newtonian untuk menganalisis mekanika fluida lelehan garam hanya akan membawa hasil analisis yang salah total. Koefisien viskositas yang harusnya dinamis (dynamic viscosity) malah jadi constant viscosity. Hasilnya, analisis turbulensi aliran fluida dan transfer panas akan berantakan.


Contoh lain misalkan analisis kinetika reaktor nuklir pada molten salt reactor. Jika kalkulasi periode reaktor dihitung dengan mengasumsikan tidak ada fraksi netron kasip yang hilang dari teras reaktor akibat sirkulasi bahan bakar garam di kalang primer, maka nilai periode reaktor akan overestimasi, terlalu tinggi dibandingkan sistem riil. Dalam praktiknya akan berbahaya pada kendali reaktivitas reaktor, karena waktu respon terhadap transien akibat sisipan reaktivitas jadi keliru akibat salah hitung periode reaktor.


Dari kedua contoh ini, cukup jelas bahwa menganalisis sebuah sistem, menggunakan persamaan matematis, WAJIB dilandaskan pada asumsi yang tepat, kalau tidak mau hasilnya berantakan.


Maka, kalau ada ateis dobol yang secara semprul mengasumsikan bahwa "Agama yg men-claim bahwa semua pengetahuan di dunia sudah ada pada agamanya mengimplikasikan bahwa tidak ada pengetahuan baru di luar agamanya" dan membuat kurva matematis yang menunjukkan bahwa keberagamaan menghasilkan kemunduran sains, maka jelas tanpa keraguan sedikit pun bahwa itu adalah asumsi ngawur yang dibentuk dari kedunguan kronis, tidak berlandaskan realita, hanya asumsi delusionalnya sendiri. Maka, kurva yang dibentuk dari persamaan yang mengasumsikan hal tersebut hasilnya akan ngawur babar blas.


Ini belum membahas model persamaan matematisnya yang bisa didebat sampai kiamat.


Jadi penyembah sains bukan jaminan otaknya cerdas, lebih sering kejadian justru sebaliknya, tambah bego beyond recognition. Biasanya, penyembah sains model begini juga tidak ada kontribusi ke sains itu sendiri, alias gede mulut doang. Sementara yang beragama dan taat justru kontribusinya lebih banyak dan lebih berdampak, baik dalam ilmu alam maupun ilmu rekayasa teknik.


Ateis luar sibuk dalam pengembangan saintek tanpa sibuk merecoki masalah agama, sementara ateis di mari sibuk merecoki agama tapi tidak ada kontribusi apa-apa dalam kemajuan saintek. Yang ngawur kebijakan negara, yang disalahin agama. Mau heran tapi…

Minggu, 10 Desember 2023

Sedikit Soal Kinerja PRTRN 2023...

Pada dasarnya, saya sama sekali tidak punya kewajiban untuk melakukan rekapitulasi apalagi mengevaluasi kinerja satker. Pertama, itu bukan otoritas saya. Kedua, saya tidak dibayar untuk itu. Tusi saya penelitian, bukan kepustakaan.

Hanya saja, rekapitulasi ini cukup menyenangkan sebagai side quest ketika sedang bosan menjalankan penelitian rutin. Apalagi nunggu running MCNP selesai, yang bisa berminggu-minggu baru selesai. Untuk satu input. Khususnya karena rekapitulasi luaran para Peneliti (atau istilah baru di BRIN, Periset) PRTRN itu berguna untuk transparansi hasil kerja PRTRN terhadap para pembayar pajak.

Karena mereka tidak membayar para Periset PRTRN untuk tidak melakukan apa-apa sepanjang tahun.

Berdasarkan alasan tersebut, saya mendata setiap luaran yang dihasilkan oleh Periset PRTRN sejak 2021, dan metode rekapitulasinya terus dikembangkan sampai sekarang. Saya tidak mau bahas soal tahun-tahun lalu, saya hanya akan bicara soal hasil luaran PRTRN pada tahun 2023.

(n.b.: sebenarnya luaran PRTRN saya rekap juga di website lama BATAN, tapi karena sekarang webnya sudah tidak bisa dibuka di jaringan luar BRIN dan website untuk ORTN masih tidak jelas nasibnya gimana, jadi saya tidak bisa banyak melakukan apa-apa secara resmi)

Per 10 Desember 2023, distribusi hasil luarannya kira-kira seperti ini:



Hal pertama yang mesti diperhatikan adalah luaran karya tulis ilmiah (KTI) para Periset PRTRN mengalami pergeseran, dengan mayoritas KTI dipublikasikan di platform internasional, baik jurnal maupun prosiding. Well, kalau prosiding sebenarnya itu sisa-sisa data dari tahun-tahun sebelumnya yang notabene sangat agak lambat terbit akibat proses di prosidingnya super lambat, but still, let's appreciate that.

Memang, proses peer review di prosiding cenderung lebih longgar ketimbang jurnal, jadi sebenarnya tidak terlalu ada korelasi antara medium publikasi dengan kualitas artikel. Tapi mari tidak menjadi hakim untuk masalah itu dulu dan lebih mengapresiasi bahwa medium internasional lebih banyak dipilih. Walau tentunya tidak bisa untuk pemenuhan KKM, yang per tahun ini sepertinya cukup jadi momok.

Satu hal yang cukup menggembirakan adalah publikasi di wadah jurnal internasional lebih mendapat banyak porsi ketimbang di medium lain. Total ada 35 publikasi yang satu atau lebih penulisnya berafiliasi pada PRTRN, yang mana 33 di antaranya terindeks Scopus. Dua lagi terhitung internasional, karena penerbitnya internasional, tetapi tidak terindeks Scopus. Ini, sih, lebih ke arah penyelenggara prosidingnya yang inkompeten dan payah kurang cermat dalam menentukan jurnal mana yang bisa dituju untuk menerbitkan KTI terpilih dari prosiding tersebut. Jadi ya sudahlah.

(p.s.: bukan berarti Scopus itu sangat-sangat-sangat penting or something, tapi sepertinya orang sini masih kesulitan mencari standar reputasi jurnal selain merujuk pada Scopus atau WoS, jadi biarkan saja dulu)

Tentu saja tidak semua publikasi tersebut ditulis oleh Periset PRTRN sebagai penulis pertama. Sebagian (tepatnya 13) di antaranya memiliki penulis pertama dari luar PRTRN, dan orang sini bertindak sebagai kolaborator/co-author/whatever.

Ya ya ya, memang di Juknis Peneliti itu tidak lagi bicara soal penulis pertama atau bukan, melainkan kontributor utama dan anggota. Tapi mari jujur saja, yang namanya publikasi ilmiah itu mayoritas dikerjakan penulis pertama. Jadi sebaiknya kita apresiasi lebih, lah.

Walau demikian, tetap saja jumlah publikasi ilmiah internasional yang terbit tahun 2023 ini lebhi banyak daripada tahun-tahun sebelumnya. Bahkan angka 22 KTI jurnal internasional yang afiliasi penulis pertamanya PRTRN itu sebuah rekor. Apakah karena sadar tuntutan KKM? Sepertinya tidak, karena banyak juga yang belum tercantum namanya di publikasi internasional minimal bereputasi menengah. Apa yang sedang mereka pikirkan? Tidak tahu, and basically none of my business.

Kembali ke laptop. Intinya, publikasi KTI di wadah internasional sudah lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya, walau tentu belum terlampau memuaskan dan kurang merefleksikan jumlah SDM Periset senior yang harusnya bisa publikasi di jurnal internasional. Tapi setidaknya, ada peningkatan.

Jurnal nasional kali ini agak kurang laku, karena jurnal nasional hanya bisa menjadi syarat pemenuhan KKM untuk Ahli Muda dan Ahli Pertama. Sementara, kedua pejabat fungsional itu tidak terlalu banyak dibandingkan Ahli Madya dan Utama. Well, mungkin sebenarnya lebih besar jumlahnya, tapi sejujurnya saya tidak mau ambil pusing.

Yang menarik adalah banyaknya publikasi di jurnal tidak terakreditasi nasional. Standar di juknis peneliti, yang kemudian diadopsi BRIN, mengatakan bahwa jurnal terakreditasi nasional (singkat saja jadi Jurnal Nasional/JN) itu minimal SINTA-2. Jadi SINTA-3 ke bawah tidak dianggap jurnal terakreditasi nasional, melainkan jurnal tidak terakreditasi. Bingung? Bukan saya yang nentukan, ini di aturannya dikategorikan begitu entah untuk alasan apa.

Yang jelas, jurnal tidak terakreditasi ini mayoritas disumbangkan oleh penulis pertama mahasiswa. Jadi ada mahasiswa riset di PRTRN, hasilnya ditulis jadi makalah ilmiah, lalu dipublikasikan di jurnal. Tapi level SINTA jurnal tersebut di bawah SINTA-2. Jadinya tidak terkategori jurnal nasional dan tidak bisa diklaim sebagai pemenuhan KKM Level 2. Agak disayangkan, tapi ya... bukan urusan saya. Toh mau publikasi di mana, kan, suka-suka yang nulis (atau yang supervisi, atau yang mendanai).

Secara total, per 10 Desember, ada 96 jumlah luaran, termasuk paten dikabulkan (2 paten) dan didaftarkan (3 paten). Sebagai catatan, PRTRN punya SDM Periset 126 orang. Apakah luaran tersebut banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya? Ya. Apakah banyak terhadap jumlah SDM Periset? Well... Bukan bagian saya untuk menghakimi masalah ini.

Terkait publikasi internasional, jelas kualitasnya tidak setara. Ada yang namanya kuartil, baik versi Scopus maupun Scimago. Biasanya saya pakai Scimago, dan distribusinya kira-kira seperti ini.


Hampir setengahnya terbit di jurnal Q1. Lumayan, walau tidak semuanya ditulis oleh penulis pertama PRTRN. Sementara, Q2-Q4 mencakup sedikit lebih besar dari setengah. Lumayan oke, lah, ya.

Pertanyaan berikutnya, di PRTRN jumlah Kelompok Riset alias Kelris-nya bejibun. Jumlah anggotanya beda-beda, kadang bedanya jomplang banget. Tiap Kelris berapa yang dihasilkan luarannya?


...distribusi ini mengingatkan saya pada suatu simbol yang ingin sekali saya tunjukkan di depan seorang zionis yahudi.

Anyway, kelihatannya yang menghasilkan luaran lebih banyak daripada anggotanya cuma sedikit, yakni Kelris 6 (1,91 per orang), Kelris 11 (1,23 per orang), dan Kelris 5 serta 7 (1 per orang). Lainnya kurang dari itu. Normalnya, ini berarti ada masalah produktivitas pada Kelris lain. Tapi ya namanya riset, kan, belum tentu tiap orang harus ada luarannya. Sebenarnya, sih, tidak masalah luaran sedikit asal kualitasnya baik dan dampaknya besar. Is it the case here, though?

Yang jelas, luaran PRTRN tahun 2023 ini lumayan ada perbaikan dari tahun lalu. Sepertinya memang harus ada ancaman semacam KKM untuk bisa lebih produktif. Apakah sudah baik sekali? Penilaian akhir tentu bukan saya, tapi kalau boleh berpendapat... ya... anggap saja masih suboptimal dan perlu peningkatan serta pemerataan performa.

Dan kolaborasi. Kali ini kolaborasi beneran, bukan 95% riset dikerjain seorang dan yang lain praktis hampir cuma numpang nama. Ini yang kelihatannya paling sulit, dan saya tidak tahu apa bisa diselesaikan dengan cepat atau tidak.

Tapi apapun itu, tentu saja itu bukan urusan saya, hahahahaha.

Jadi, ini postingan macam apa? Bukan apa-apa, sekadar luapan menjelang hari Senin saja, hahahaha.

Till the next update.

Andika



Sabtu, 15 Mei 2021

Tentang “Revolusi Energi” a la Pak DI

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (Mahasiswa S2 Teknik Fisika UGM)

Ketika melihat Pak Dahlan Iskan (DI) merilis tulisan soal revolusi energi, saya kira saya akan menemukan perspektif baru yang unik or something. Selesai baca, saya cuma bisa menghela napas setelah menemukan idenya sangat pragmatis.

Yah, Pak DI kan pengusaha. Di Indonesia, yang notabene ekonomi bergerak atas dasar jual-beli komoditas alih-alih berbasis ilmu pengetahuan, tidak aneh kalau pengusaha besar sekalipun bersikap super pragmatis dan miskin visi. Meski dalihnya untuk masa depan yang lebih baik, saya tidak melihat argumennya secara keseluruhan sebagai argumen yang visioner.

Ehm. TL;DR, jadi intinya, Pak DI menginginkan Indonesia menggunakan batubara habis-habisan sampai habis, sembari menunggu harga baterai cukup murah untuk beralih pada energi surya. Kira-kira begitu. Apakah ide ini visioner atau kontroversial?

Well, argumen senada sebenarnya sudah saya dengar dari Pak Tumiran tahun 2018 lalu, waktu itu beliau masih di Dewan Energi Nasional. Meski waktu itu, Pak Tumiran lebih menekankan pada fakta bahwa Indonesia butuh energi. Baru setelah kebutuhan energi terpenuhi sesuai target, emisi pelan-pelan diturunkan.

Jadi, ini bukan argumen baru buat saya.

Tentu saja, Indonesia tidak akan berhenti menggunakan batubara dalam waktu dekat. Bahkan dalam Perpres No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), batubara masih diekspektasikan memenuhi 25% kebutuhan energi nasional pada 2050, dengan luaran energi sebesar 255,9 MTOE. Sebagai catatan, proyeksi RUEN tahun 2025, batubara menyediakan energi sebesar 119,8 MTOE.

Antara tahun 2025 sampai 2050, pemanfaatan batubara naik lebih dari 2x lipat.

Outlook energi BPPT malah lebih pesimis daripada RUEN. Bauran batubara malah naik terus. Dengan skenario kenaikan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sekalipun, batubara diekspektasikan masih menyuplai 33,6% energi final pada 2050.

Kalau tahu begini, maka apa sebenarnya hal baru yang disampaikan Pak DI? Ada ide itu atau tidak, toh konsumsi batubara memang diekspektasikan akan naik terus sampai 2050. Plus, tahun 2050 itu masih kira-kira 29 tahun dari sekarang. Bukan 15 tahun lagi.

Kenapa kok susah sekali meninggalkan batubara? Selain masalah oligarki di atas sana yang tidak perlu kita bahas lagi, secara teknis memang patut diakui cukup sulit. Batubara tersedia dalam jumlah cukup besar dan harganya cukup murah. Teknologi pembangkitnya pun tidak terlampau rumit. Bahkan fly ash dan bottom ash yang dihasilkan pun masih diincar industri. Bagaimana tidak menggiurkan?

Tentu ini semua kalau kita mengabaikan dampak lingkungan yang disebabkannya, mulai dari emisi gas rumah kaca (GRK) sampai polutan mikro (SOX, NOX, PM2.5 dan PM10) yang dihasilkannya.

Ah, tapi negeri kita memang tidak terkenal begitu peduli soal lingkungan. So what?

Apakah kita bisa membuat batubara lebih ramah lingkungan? Well, batubara itu bahan organik. Pembakarannya akan melepaskan GRK dan polutan lain yang terkandung di dalamnya. Nothing you can do about that. Sistem scrubber bisa menyaring banyak polutan, tapi tidak semua. Sistem CO2 capture tidak pernah komersial sampai sekarang untuk alasan yang cukup jelas: It’s simply bloody, utterly, completely useless.

Cara terbaik untuk membuat batubara ramah lingkungan adalah dengan melakukan gasifikasi dan pencairan batubara. Mengonversi batubara menjadi gas sintetik atau bahan bakar cair. Itupun masih menyisakan isu lingkungan dari segi emisi GRK yang masih cukup tinggi. Secara biaya pun investasi yang dibutuhkan tinggi sekali. Sekalipun semua ini teratas, ketika gas sintetik atau batubara tercairkan dibakar, tetap ada emisi CO2 dan mungkin pengotor yang terlepas ke atmosfer.

Dengan kata lain, “cara terbaik” inipun masih tanda tanya.

Hadapi saja, murah dan ramah lingkungan itu tidak bisa dan mustahil bisa berada dalam satu kalimat pada batubara. Kalau mau murah, lingkungan dikorbankan. Kalau mau ramah lingkungan, siap-siap dengan harga mahal. Sesederhana itu.

Tapi ini hanya sebentar. Mundur sedikit untuk ancang-ancang melompat ke depan nan jauh. Nanti bisa menggungguli negara maju untuk go green.”

Mundur sedikit seperti apa?

Mempertanyakan validitas pernyataan ini sebenarnya sederhana saja. Tengok Jerman dengan megaproyek Energiewende-nya. Menghapus energi nuklir sepenuhnya pada 2022, dan bergantung sepenuhnya pada energi terbarukan, alias panel surya dan turbin angin. Kalau menggunakan nalar “mundur sedikit” ini, maka Jerman sudah melakukannya sejak 2009.

Apa hasilnya?

Walau penetrasi panel surya dan turbin angin sudah cukup tinggi (dengan biaya super mahal, tentu saja), emisi karbon Jerman masih relatif tinggi. Hanya tertolong dengan fakta bahwa mereka terkoneksi dengan jaringan listrik Uni Eropa, yang artinya mereka bisa impor listrik dari Prancis, Swedia, dan Swiss, yang mana ketiganya memiliki jaringan listrik super bersih sebagai hasil dari memanfaatkan energi nuklir.

Kalau tidak ada jaringan listrik Eropa, emisi listrik Jerman masih akan sangat tinggi. Karena mereka tidak punya tempat untuk membuang energi terbarukan ketika produksi terlalu tinggi. Itu membuat mereka entah melakukan curtailing, yang akan sangat boros anggaran, atau bergantung pada pembangkit fosil yang mudah ramp-up macam gas atau batubara termodifikasi, yang membuat emisi jauh lebih sulit dikendalikan. Jadi buah simalakama akhirnya.

Tentu saja, Jerman tidak perlu “mundur sedikit” seperti Indonesia karena konsumsi energi mereka sudah jauh lebih tinggi. Modalnya sudah sangat memadai untuk merevolusi sistem energi mereka. Ekonomi sangat kokoh, industri kuat, konsumsi energi tinggi, kurang apa coba?

Eh, menurunkan emisi sesuai target tahun 2020 saja gagal. Emisi listrik masih 6x lebih tinggi dari Prancis, yang tidak pernah mengeluarkan uang sepeser pun untuk proyek sejenis Energiewende.

Ide bahwa sebuah negara bisa menopang sistem energinya hanya dengan energi terbarukan dan baterai saja sesungguhnya tidak lebih dari pipedream yang tidak didukung hukum fisika bahkan learning curve dalam dunia engineering industri. Baterai tidak pernah cukup padat energi untuk bisa diintegrasikan dalam jaringan listrik. Overbuild yang diperlukan pada panel surya untuk menanggulangi round-trip-efficiency baterai dan fluktuasi musiman bisa sangat besar dan sama sekali tidak ekonomis.

Memikirkan berbagai skenario kebutuhan overbuild dan kapasitas energy storage untuk panel surya saja sudah bikin pusing.

Harga baterai serta panel surya memang terus turun, tapi tidak mungkin sampai mendekati gratis. The economics doesn’t work that way. Satu-satunya alasan kenapa harga panel surya dan baterai terus turun adalah karena produksi skala besar, bukan kemajuan teknologi secara signifikan.

Lagipula, kalau memang teknologi baterai bisa cukup maju sampai layak diintegrasikan dalam jaringan listrik skala besar, maka energi bersih yang paling terbantu dengan itu bukanlah energi surya atau bayu. Tapi energi nuklir dan panas bumi. Energi bersih yang bersifat base load, bukan variable load.

Suplai listrik nasional sudah bisa dipenuhi tanpa masalah besar dengan pembangkit base load. Kenapa pula harus membuatnya bermasalah dengan bergantung pada pembangkit variable load macam energi surya? If it ain’t broken, don’t fix it.

Seandainya saja energi surya dan baterai diganti dengan energi nuklir dan molten salt thermal storage, mungkin argumen Pak DI lebih bisa dimaklumi.

Untuk menjadi negara maju, Indonesia memang butuh energi dalam jumlah besar. Tapi beralih pada panel surya plus baterai justru mengkhianati tujuan tersebut. Sudah maju, kok mau mundur lagi?

Terakhir, soal kompor listrik untuk rumah tangga. Well, sebenarnya antara mau pakai kompor listrik atau kompor gas, ada kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tapi kalau kita bicara dari segi energy cost dan polusi, maka sebenarnya agak lucu kalau mau beralih ke kompor listrik.

Saya pernah coba kalkulasi cepat soal perbandingan biaya energi dan emisi CO2 dari kompor listrik dan gas (LPG dan gas bumi). Hasilnya begini,

Kompor listrik (induction stove, efisiensi 84%, tarif listrik Rp 1444,7/kWh)

-          Biaya kalor: Rp. 1719,88/kWh

-          Emisi CO2: 964,28 g CO2 eq/kWh

Kompor gas LPG (efisiensi 40%, harga gas 3 kg Rp 23000)

-          Biaya kalor: Rp. 1391/kWh

-          Emisi CO2: 546 g CO2 eq/kWh

Kompor gas bumi (efisiensi 40%, harga gas bumi Rp 2618/m3)

-          Biaya kalor: Rp. 636,8/kWh

-          Emisi CO2: 499 g CO2 eq/kWh

Tertangkap maksudnya?

Kalau dibandingkan dengan LPG non-subsidi, sih, memang kompor listrik lebih murah. Tapi, kan, masyarakat selama ini banyak yang menikmati LPG subsidi. Artinya, entah subsidi dihilangkan atau konversi ke kompor listrik, tetap saja mereka harus membayar lebih mahal untuk energi yang diperoleh.

Kan listrik bisa dibuat lebih murah kalau batubara dipakai semua? Well, ini mesti ada perhitungan yang cukup detail. Kalau tidak ada hitung-hitungan, saya tidak menganggap klaim itu layak dipertimbangkan.

Lagipula, tukang gorengan, tukang bakso, tukang nasi goreng dll tidak bisa menggunakan kompor listrik untuk masak. Mana enak makan nasi goreng abang-abang yang dimasak menggunakan kompor listrik. Memikirkannya saja sudah bikin tidak nyaman.

Cina sekalipun tidak ngoyo pakai kompor listrik. Amerika Serikat, yang notabene super boros energi, juga tidak memaksakan diri semua atau mayoritas harus pakai kompor listrik. Karena masalah masak itu masalah selera.

Kalau listrik tidak selalu cocok dan lebih mahal (serta polutif) sementara LPG bikin kacau ekonomi negara, lantas harus pakai apa?

Coba cek lagi ke atas. Apa opsi ketiga yang saya tulis?

Gas alam. Metana. Kadang disebut gas bumi.

Biaya kalor dan emisi CO2 gas alam paling rendah dibandingkan kompor listrik dan LPG. Bukankah ini yang seharusnya lebih didorong? Menggunakan gas alam alih-alih kompor listrik?

Memang gas alam tidak sepraktis LPG untuk penyimpanannya. Butuh bejana tekan untuk mengompres gas alam sehingga bisa ditransportasikan ke mana-mana. Biaya tabungnya sudah pasti lebih mahal. Ini bisa diakali dengan menggunakan sistem kontrak pembelian gas dari tabung berbasis volume. Jadi tabung gas alam terkompres (compressed natural gas/CNG) diantar ke pengguna untuk digunakan seperti tabung gas LPG. Tapi karena tabung CNG pasti jauh lebih besar dan berat, isinya juga jauh lebih banyak (20-50 kg per tabung), pembayarannya tinggal dihitung dari seberapa banyak gas yang dikonsumsi. Kalau sebulan cuma terpakai 10 kg, ya bayar 10 kg saja.

Alternatif lain adalah jaringan gas alam, sebagaimana sudah digunakan di sebagian daerah dan sangat banyak digunakan di Amerika Serikat. Pipa gas dipasang ke rumah-rumah, sehingga gas bisa dialirkan kapan saja tanpa harus takut kehabisan gas ketika masak Indomie tengah malam. Mungkin tidak semua daerah bisa pakai sistem ini, makanya sistem CNG masih tetap diperlukan. Tapi ketika lokasi memungkinkan, harusnya jaringan gas alam digencarkan.

Menggunakan gas alam jauh lebih bijak secara ekonomi dan lingkungan ketimbang kompor listrik. Plus tidak mengorbankan teknik memasak dan rasa makanan.

Lalu, apa kesimpulan dari tulisan sepanjang ini?

Saya serahkan ke pembaca saja. Apakah setelah membaca argumentasi ini, tulisan soal revolusi energi ala Pak DI itu memang benar revolusioner atau justru salah arah dan tidak realistis. Karena beda antara pemikiran seorang pengusaha dengan seorang ilmuwan. Ketika pengusaha seringkali terlalu optimis terhadap sesuatu yang dianggap sebagai breakthrough, terobosan, para ilmuwan cenderung bersikap lebih hati-hati terkait sikap optimis maupun pesimis.

Biasanya.

Kamis, 20 Februari 2020

Kritik Terhadap Argumentasi Halu Greenpeace Indonesia Tentang Limbah Nuklir dan PLTN


Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (Peneliti Teknologi Keselamatan Reaktor)`

Terdeteksinya paparan radiasi di atas dosis normal di Perumahan Batan Indah, Setu, Tangerang Selatan, beberapa waktu yang lalu, memancing histeria konyol di berbagai lapisan masyarakat. Sebagian memang karena tidak paham tentang aspek-aspek kenukliran termasuk radiasi, dan yang seperti ini patut dimaklumi dan diberi pemahaman. Namun, masalah lebih besar adalah dari kalangan anti-nuklir. Khususnya LSM lingkungan eco-fascist seperti Greenpeace.

Sebagai LSM eco-fascist yang terkenal akan sifat pseudosaintifiknya di seluruh dunia, Greenpeace tidak ketinggalan pasti akan turut mengomentari penemuan radioaktivitas asing di Perumahan Batan Indah. Benar saja, postingan Instagram Greenpeace Indonesia memuat tulisan yang ujung-ujungnya mengkriminalisasi limbah nuklir dan menolak PLTN [1]. Tidak ada yang baru dari “argumentasi” mereka, hanya halusinasi-halusinasi usang yang diulang-ulang seperti radio rusak. Namun, halusinasi Greenpeace harus dihentikan, kalau tidak mau masyarakat terus dibodoh-bodohi oleh LSM eco-fascist pseudosaintifik ini.

Berikut adalah “argumentasi,” kalau bukan halusinasi, Greenpeace dan kritikan terhadapnya.

//Ditemukannya radiasi nuklir oleh Bapeten di sebuah tanah kosong di dalam kawasan Perumahan Batan Indah, Serpong, Tangerang Selatan, dan serpihan radioaktif dengan kandungan Caesium 137 atau Cs-137, membuktikan bahwa penanganan limbah radioaktif di Indonesia dilakukan secara serampangan, tidak dilakukan dengan semestinya sesuai aturan yang ada, dan sangat membahayakan masyarakat//

Pengelolaan limbah radioaktif di Indonesia semua dilakukan oleh Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) BATAN. Semua instansi yang menggunakan sumber radioaktif, entah BATAN sendiri, Bapeten, PT Inuki, hingga berbagai industri dan rumah sakit, ketika sudah selesai menggunakannya, semua wajib dilimbahkan ke PTLR. Praktik ini telah berlangsung puluhan tahun dengan sebagaimana mestinya. Mayoritas, kalau bukan semua, dilaksanakan sesuai dengan regulasi perundang-undangan yang berlaku [2].

UU No. 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran, Pasal 23 Ayat 1 menyebutkan, “Pengelolaan limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.” [2] Siapa Badan Pelaksana yang dimaksud dalam UU ini? BATAN, melalui salah satu pusatnya yakni PTLR. Pengelolaan limbah radioaktif telah diatur melalui UU, yang merupakan ketetapan hukum tertinggi ketiga dalam konstitusi Indonesia.

Masih di UU yang sama, Pasal 24 ayat (1) mengatakan, “Penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang wajib mengumpulkan, mengelompokan; atau mengolah dan menyimpan sementara limbah tersebut sebelum diserahkan kepada Badan Pelaksana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.” [2] Artinya, yang berkewajiban menyerahkan adalah penghasil limbah. BATAN hanya bertugas menerima dan mengelola.

Dasar hukum pengelolaan limbah radioaktif sudah jelas. BATAN telah melakukan tugasnya dengan konsekuen. Tidak ada industri yang pengawasannya lebih ketat daripada industri nuklir; terdapat pengawas pada tingkat nasional (Bapeten) maupun internasional (IAEA). Kemungkinan penyelewengan dalam proses pengelolaan limbah radioaktif, dengan demikian, diminimalisir sampai pada taraf nyaris tidak ada.

Maka, jika ada satu kejadian ditemukannya material radioaktif yang tidak berada di tempat yang seharusnya, lalu kemudian dikatakan pengelolaannya sebagai serampangan, tidak semestinya, tidak sesuai aturan, dan sangat membahayakan masyarakat, pernyataan seperti itu tidak kurang dari penyesatan publikkebohongan yang nyata, dan kebodohan yang tidak terperi.

Jelas saja bahwa kejadian di Batan Indah merupakan sebuah keteledoran. Namun, jika kejadian itu dijadikan justifikasi untuk mengatakan bahwa pengelolaan limbah radioaktif di Indonesia dilaksanakan secara serampangan dan tidak sesuai aturan, sembari mengabaikan sekian banyak limbah lain yang dikelola dengan baik oleh PTLR, maka sesungguhnya Greenpeace sedang berhalusinasi. Sebuah halusinasi yang culas, jahat, menyesatkan, dan berlawanan dengan amanat UUD untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

//Harus dilakukan investigasi menyeluruh bagaimana limbah radioaktif tersebut bisa sampai di tengah-tengah perumahan padat penduduk. Selain harus diteliti sejauh apa cemaran radiasi tersebut pada tanah dan tanaman yang ada di lokasi, Cs-137 bersifat mudah teroksidasi dan larut dalam air. Juga apabila Cs-137 berbentuk serbuk, ia akan juga dengan mudah terhirup oleh masyarakat//

BATAN telah melakukan dekontaminasi terhadap petak tanah berukuran 10×10 m (100 m2) di samping lapangan voli depan Blok J. Lokasi tersebut adalah lokasi yang tidak ditinggali manusia, bahkan aktivitas manusia pun tidak. Per 18 Februari 2020, tingkat radioaktivitas tanah terkontaminasi telah turun hingga 90%, menjadi 7 µSv/jam [3]. Padahal, per 15 Februari 2020, paparan radiasi masih sebesar 98,9 µSv/jam [4]. Artinya, sebagian besar kontaminan sudah berhasil dikeruk pada petak tanah yang kecil tersebut. Apa implikasinya? Kawasan yang terkontaminasi sangat sempit. Bahan kontaminan tidak bermigrasi terlalu jauh.

Cs-137 memang bersifat volatil, mudah mencair dan menguap. Namun, mengingat sempitnya daerah terkontaminasi di Batan Indah, bisa dipastikan bahwa migrasi sumber radioaktif tidak jauh. Apalagi tidak terdeteksi adanya radioaktivitas tambahan di sumber air penduduk sekitar [5]. Fakta yang entah kenapa diabaikan oleh Greenpeace.

Jika migrasi bahan tidak jauh, kemungkinan terserap oleh vegetasi di sekitarnya juga rendah. Lagipula, tidak ada juga yang mengonsumsi vegetasi di sekitar petak terkontaminasi. Hal tersebut tidak sulit dipahami jika paham yang namanya risk assessment. Namun, Greenpeace sepertinya tidak peduli soal risk assessment. Mereka hanya peduli bagaimana memberi image buruk pada nuklir.

Cs-137 tidak dijual dalam bentuk serbuk. Biasanya dalam bentuk encapsulated bahkan double-encapsulated. Tidak ada relevansinya dengan kasus penemuan di Batan Indah. Entah apa maksudya Greenpeace mengangkat hal ini, kalau bukan dengan tujuan menakut-nakuti publik akan bahaya yang tidak ada.

//Saat ini tidak ada solusi yang kredibel untuk pembuangan limbah nuklir jangka panjang yang aman. Amerika selama ini menempatkan pembuangan limbah nuklirnya di Carlsbad, New Mexico dengan kedalaman 655 m dibawah permukaan, dan mengajukan Yucca Mountain sebagai tempat penyimpanan berikutnya tetapi mendapatkan begitu banyak tentangan. Tidak hanya reaktor nuklir yang harus benar-benar aman dari kesalahan teknis dan manusia, juga bencana alam; tetapi penyimpanan limbah nuklir juga selalu meninggalkan jejak ketakutan tersendiri//

Para nuclear engineer sudah tahu bagaimana membuang limbah radioaktif dengan selamat. Mereka tahu bagaimana membuat kontainer limbah yang memadai dan lokasi repositori yang cukup baik. Limbah radioaktif dari PLTN, jika ini yang dimaksud, dikonversi menjadi gelas borosilikat yang kemudian dimasukkan dalam kontainer yang terdiri dari berlapis-lapis bahan, mulai dari logam hingga beton. Kemudian, limbah ini disimpan dalam repositori abadi [6].

Setidaknya ada tujuh lapis pertahanan pada repositori abadi limbah PLTN, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Bernard L. Cohen [7]. Pertama, ketiadaan air pada lokasi repositori limbah, sehingga korosi bisa dicegah. Kedua, batuan yang tidak larut oleh air. Ketiga, material penyegel tambahan berupa tanah liat, yang telah terbukti mencegah migrasi produk fisi. Keempat, material casing kontainer limbah yang tahan korosi.

Kelima, limbah radioaktif dalam bentuk gelas borosilikat tidak larut oleh air. Keenam, migrasi air tanah dalam menuju permukaan tanah membutuhkan waktu yang sangat lama. Ketujuh, filtrasi dari bebatuan untuk memerangkap limbah yang somehow lolos dari level-level berikutnya.

Cohen juga mengungkapkan rendahnya probabilitas kebocoran kontainer limbah radioaktif dalam menyebabkan korban jiwa. Disebutkan bahwa kematian yang mungkin diakibatkan oleh kebocoran limbah radioaktif adalah 0,0014 kematian dalam 13 juta tahun pertama setelah pembuangan limbah dan 0,0018 kematian dalam jangka waktu tak terhingga [7]. Ini adalah bahasa statistik. Dalam bahasa awam, secara praktis repositori abadi limbah radioaktif tidak dapat menyebabkan kematian akibat kebocoran limbah.

Reaktor nuklir alam di Oklo, secara praktis menjadi bukti sahih efektivitas pengungkungan limbah radioaktif. Sekitar dua milyar tahun lalu, ketika kadar isotop fisil U-235 masih berkisar 3% (saat ini 0,7% karena peluruhan alami), terbentuk reaktor nuklir alami di daerah yang saat ini merupakan bagian dari negara Gabon, Afrika. Kandungan uranium di Oklo ditemukan lebih rendah daripada yang seharusnya, serta ditemukan adanya produk fisi serta elemen transuranik di dekatnya.

Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar produk fisi penting dan seluruh elemen transuranik tidak bermigrasi terlalu jauh dari lokasi reaksi fisi terjadi [8,9]. Hal ini luar biasa mengesankan, karena selama dua milyar tahun, pergeseran produk fisi dan transuranik tidak signifikan. Dengan teknologi kontainer abad 21, pengungkungan limbah radioaktif secara praktis lebih kuat dan tidak menjadi persoalan. Khususnya ketika produk fisi sudah lenyap dalam 300 tahun dan elemen transuranik yang tersisa tidak bisa larut oleh air.

Ini belum termasuk insinerasi elemen transuranik di reaktor maju, entah reaktor thorium maupun reaktor cepat. Kedua jenis reaktor tersebut dapat ‘menghabisi’ transuranik penyumbang radiotoksisitas limbah radioaktif sembari menghasilkan energi yang bersih, murah, selamat, andal, dan berkelanjutan [10-15].

Pengelolaan ini jauh lebih baik daripada, katakanlah, pengelolaan limbah panel surya dan turbin angin. Limbah panel surya 300x lebih beracun daripada limbah radioaktif karena kontaminasi kadmium, antimoni, dan timbal [16]. Panel surya sulit didaur ulang, dan diperkirakan pada tahun 2050jumlah limbah panel surya dapat mencapai 78 juta ton [17]. Tanpa ada rencana jelas bagaimana mendaur ulangnya.

Pengelolaan limbah turbin angin tidak lebih mudah, mengingat bahan fiberglass yang digunakan sebagai bahan kincir angin tidak bisa didaur ulang dan akan menimbulkan masalah di masa depan [18]. Diperkirakan bahwa pada tahun 2050, limbah bilah turbin angin akan mencapai 43 juta ton [19]. Lagi-lagi tanpa ada solusi bagaimana menanganinya, selain ditumpuk begitu saja sembari mengotori lingkungan.

Dibandingkan limbah panel surya dan turbin angin, yang notabene merupakan dua moda pembangkit yang begitu dipuja-puja Greenpeace, pengelolaan limbah nuklir jauh lebih canggih, terstruktur, memiliki rencana yang jelas, dan sebagian langkah telah dilaksanakan dengan sukses.

Masalah pengelolaan limbah radioaktif tidak pernah menjadi masalah teknis. Semua masalah yang ada merupakan masalah politis, yang mana sebagian disumbangkan oleh LSM eco-fascist seperti Greenpeace.

//Nuklir bukanlah pilihan energi masa depan Indonesia. PLTN adalah investasi berbahaya dan juga sangat mahal. Mengacu pada data Lazard 2019, biaya modal pembangunan PLTN adalah yang tertinggi saat ini dimana secara maksimal dapat menyentuh angka $12.250/kW. Sedangkan energi terbarukan, baik itu angin dan surya telah mencapai grid parity (harga yang sama dengan pembangkit konvensional pemasok sistem grid) di banyak negara di dunia//

Paragraf ini merupakan bukti nyata cherry-picking yang dilakukan oleh Greenpeace. Mereka hanya mengutip satu angka yang merupakan anomali bahkan dalam industri nuklir sendiri. Meski memang Greenpeace mengatakan “dapat menyentuh angka,” ketidakjujuran dalam menyampaikan sisi lain dari rentang tersebut menunjukkan bahwa mereka bermain kotor.

PLTN Hinkley Point C (HPC) di Somerset, Inggris Raya, merupakan PLTN termahal di dunia. Nyatanya, overnight cost HPC ‘hanya’ USD 9.070/kW [20]. Angka ini memang tinggi, tetapi tidak sampai USD 12.200 sebagaimana disebutkan dalam laporan Lazard [21]. Sementara, PLTN Vogtle yang kemungkinan menjadi basis angka tertinggi di laporan Lazard, merupakan anomali yang khas hanya terjadi di Amerika Serikat dan desain AP1000 [22].

Greenpeace sama sekali mengabaikan bahwa vendor PLTN lain tidak mengalami hal serupa. KEPCO sukses membangun PLTN Shin Kori unit 3 dan 4 dengan overnight cost USD 2.400/kW [23]. Mengapa bisa rendah? Karena standardisasi desain dan pengalaman pembangunan [24], sehingga KEPCO dapat mereduksi biaya konstruksi dengan baik.

Lagipula, menggunakan overnight cost belaka merupakan penyesatan argumen. Greenpeace sama sekali mengabaikan faktor kapasitas yang menentukan berapa besar harga listrik yang dihasilkan [25]. PLTN mampu mencapai faktor kapasitas 90%, sementara PLTS dan PLTB bisa mencapai 20% di Indonesia saja sudah beruntung. Butuh 4-5x kapasitas terpasang PLTS dan PLTB untuk bisa menyamai luaran listrik dari PLTN.

Greenpeace pun mengabaikan sama sekali akan berapa banyak listrik yang sebenarnya dapat dihasilkan selama usia pakainya. PLTN memiliki usia pakai standar selama 60 tahun, bisa diperpanjang hingga 100 tahun. Sementara, PLTS dan PLTB hanya bisa beroperasi maksimal 30 tahun sebelum harus diganti, itupun kalau tidak rusak duluan. Sehingga, butuh 2-3x pembangunan PLTS dan PLTB untuk menyamai usia pakai PLTN.

Total, PLTS dan PLTB butuh biaya 6-8x dari biaya aslinya untuk bisa menyamai luaran listrik PLTN. Artinya, PLTS dan PLTB tidak semurah yang diklaim Greenpeace. Khususnya bahwa angka tersebut mengabaikan sama sekali energy storage dan grid upgrade yang sangat diperlukan untuk bisa menampung energi bayu dan surya. Artinya, banyak additional cost yang tidak diungkapkan sama sekali dengan Greenpeace. Apakah ini merupakan bentuk kebodohan terhadap ilmu fisika dan rekayasa teknik ataukah memang tujuannya menyesatkan opini publik?

Mengingat mahalnya PLTN merupakan fenomena unik di dunia Barat dan tidak muncul di Asia, tidak ada alasan untuk menganggap fenomena tersebut akan terjadi di Indonesia, jika Indonesia memutuskan untuk go nuclear. Kedatangan PLTN Generasi IV pada dekade 2020-an akan memangkas biaya PLTN lebih rendah dan memastikan halusinasi Greenpeace tidak akan terwujud.

//Sudah seharusnya pemerintah Indonesia mulai berpikir jernih dengan fokus berinvestasi pada energi terbarukan yang lebih aman, murah, bersih, dan bukan PLTU Batubara apalagi PLTN.//

Jika Indonesia ingin menjadi negara industri yang maju, salah satu hal yang wajib dipastikan adalah suplai energi yang murah, melimpah, dan andal. Energi terbarukan tidak bisa memenuhi satupun dari kriteria ini. Ketika full-cost diterapkan, energi terbarukan akan menjadi mahal. Tanpa adanya energy storage dan grid upgrade yang mahal, energi terbarukan tidak bisa menghasilkan listrik yang melimpah dan andal. Apa hal seperti ini yang mau ditawarkan pada Indonesia?

Hanya nuklir yang dapat memenuhi kriteria murah, melimpah, dan andal. Ditambah lagi nuklir itu selamat, bersih, dan berkelanjutan. Untuk memenuhi salah satu syarat sebagai negara maju, Indonesia mau tidak mau harus memanfaatkan energi nuklir semaksimal mungkin. Utopia energi terbarukan hanya halusinasi kalangan eco-fascist yang tidak realistis dalam dunia abad 21.

Referensi:
  1. Greenpeace Indonesia. DIakses dari https://www.instagram.com/p/B8u4qmoBgPi/?igshid=16xoq97szaeen
  2. Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran
  3.  Paparan Radiasi di Perum Batan Indah Tangsel Turun hingga 90%. Diakses dari https://megapolitan.okezone.com/read/2020/02/18/338/2170242/paparan-radiasi-di-perum-batan-indah-tangsel-turun-hingga-90
  4. BATAN Lakukan Clean Up Daerah Terpapar Radiasi. Diakses dari http://batan.go.id/index.php/id/publikasi-2/pressreleases/6267-batan-lakukan-clean-up-daerah-terpapar-radiasi
  5. Bapeten: Radiasi Nuklir di Serpong Tidak Cemari Air Tanah. Diakses dari https://koran.tempo.co/read/metro/450191/bapeten-radiasi-nuklir-di-serpong-tidak-cemari-air-tanah
  6. R Andika Putra Dwijayanto. Bagaimana Mengelola Limbah Radioaktif PLTN? Diakses dari https://warstek.com/2018/04/10/limbahpltn/
  7. R Andika Putra Dwijayanto. Menguak Mitos Bahaya Limbah Radioaktif. Diakses dari https://warstek.com/2018/01/30/mitoslimbah/
  8. Francois Gauthier-Lafaye. “2 billion year old natural analogs or nuclear waste disposal: the natural nuclear fission reactors in Gabon (Africa),” Applied Physics, vol. 3, pp. 839-849, 2002.
  9. R. Hagemann and E. Roth. “Relevance of the Studies of the OKLO Natural Nuclear Reactors to the Storage of Radioactive Wastes,” Radiochimica Acta, vol. 25, pp. 241-247, 1978.
  10. C. Yu et al., “Minor actinide incineration and Th-U breeding in a small FLiNaK Molten Salt Fast Reactor,” Ann. Nucl. Energy, vol. 99, pp. 335–344, 2017.
  11. T. Takeda, “Minor actinides transmutation performance in a fast reactor,” Ann. Nucl. Energy, vol. 95, pp. 48–53, Sep. 2016.
  12. S. Şahin, Ş. Yalçin, K. Yildiz, H. M. Şahin, A. Acir, and N. Şahin, “CANDU reactor as minor actinide/thorium burner with uniform power density in the fuel bundle,” Ann. Nucl. Energy, vol. 35, no. 4, pp. 690–703, 2008.
  13. B. A. Lindley, F. Franceschini, and G. T. Parks, “The closed thorium–transuranic fuel cycle in reduced-moderation PWRs and BWRs,” Ann. Nucl. Energy, vol. 63, pp. 241–254, 2014.
  14. K. Insulander and V. Fhager, “Comparison of Thorium-Plutonium fuel and MOX fuel for PWRs,” in Proceedings of Global 2009, 2009, p. 9449.
  15. H. N. Tran, Y. Kato, P. H. Liem, V. K. Hoang, and S. M. T. Hoang, “Minor Actinide Transmutation in Supercritical-CO2-Cooled and Sodium-Cooled Fast Reactors with Low Burnup Reactivity Swings,” Nucl. Technol., vol. 205, no. 11, pp. 1460–1473, Nov. 2019.
  16. Jemin Desai and Mark Nelson. Are we headed for solar waste crisis? Diakses dari http://environmentalprogress.org/big-news/2017/6/21/are-we-headed-for-a-solar-waste-crisis
  17. Michael Shellenberger. If Solar Panels Are So Clean, Why Do They Produce So Much Toxic Waste? Diakses dari https://www.forbes.com/sites/michaelshellenberger/2018/05/23/if-solar-panels-are-so-clean-why-do-they-produce-so-much-toxic-waste/#5fd65602121c
  18. Unfurling The Waste Problem Caused By Wind Energy. Diakses dari https://www.npr.org/2019/09/10/759376113/unfurling-the-waste-problem-caused-by-wind-energy
  19. P. Liu and C. Y. Barlow, “Wind turbine blade waste in 2050,” Waste Management, vol. 62, pp. 229-240, 2017.
  20. Hinkley Point C cost rises by nearly 15%. Diakses dari https://world-nuclear-news.org/Articles/Hinkley-Point-C-cost-rises-by-nearly-15
  21. Lazard’s Levelized Cost of Energy Analysis—version 13.0
  22. Vogtle Electric Generating Plant. Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Vogtle_Electric_Generating_Plant
  23. R Andika Putra Dwijayanto. Bagaimana Jika Investasi Energi Terbarukan Dialihkan Ke Energi Nuklir? Diakses dari https://warstek.com/2019/09/07/investasi/
  24. M. Berthelemy and L. E. Rangel, ”Nuclear reactors’ construction costs: The role of lead-time, standardization and technological progress,” Energy Policy, vol. 82, pp. 118-130, 2015.
  25. R Andika Putra Dwijayanto. Meluruskan Salah Kaprah Tentang Membaca Kapasitas Terpasang dalam Membangun Pembangkit Listrik. Diakses dari https://warstek.com/2018/05/19/pembangkitlistrik/