Tampilkan postingan dengan label Random. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Random. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 September 2025

Jangan Menjadi Sisyphus

Dalam mitologi Yunani, Sisyphus adalah seorang manusia fana yang semasa hidupnya mencurangi para dewa, khususnya Zeus. Sisyphus pernah memperdaya Thanatos dan mengikatnya sehingga dia bisa kembali dari kematian. Tapi karena Thanatos tidak bisa melakukan tugasnya, manusia tidak bisa mati, dan Ares menjadi jengah karenanya. Akhirnya, Ares mengintervensi dan membebaskan Thanatos dari rantai pengikatnya, lalu melemparkan Sisyphus pada Thanatos untuk dikirim ke Dunia Bawah yang dikuasai Hades.

Akibat keangkuhan Sisyphus yang merasa lebih hebat dari para dewa, Hades menghukumnya dengan menyuruh Sisyphus untuk mendorong batu besar ke puncak bukit. Namun, setiap kali Sisyphus hampir mencapai puncak bukti, batu itu menggelinding kembali ke dasar bukit, dan Sisyphus harus mendorongnya kembali ke atas. Proses ini terulang selamanya. Tidak peduli seberapa kerasnya Sisyphus berusaha, dia dikutuk tidak pernah bisa mencapai tujuannya.

Dalam literatur, mitologi Sisyphus ini digunakan sebagai alegori untuk mendeskripsikan suatu fenomena yang sulit dilakukan tapi tidak akan pernah berhasil. Dalam istilahnya Pampam dari opera sabun Tuyul dan Mbak Yul, "Gagal maning, gagal maning, Son!" Ironisnya, upaya Samson dan Pampam untuk menangkap Ucil dalam serial tersebut adalah representasi pas dari Sisyphean Effort. Capek-capek berusaha, gagal maning-gagal maning. Sudah berhasil meringkus Ucil, lepas lagi dari markas mereka.

Sisyphean Effort ini pada dasarnya banyak terjadi di dunia nyata, dan seringkali pelatuknya adalah arogansi seseorang. Dalam teknologi reaktor nuklir, misalkan, obsesi terhadap reaktor fusi nuklir bisa dianggap sebagai Sisyphean. Sudah riset lebih dari 50 tahun, tidak pernah juga berhasil untuk membangun sistem yang komersial apalagi terjangkau. Uang sudah keluar sangat besar, tapi mundur lagi mundur lagi estimasi waktu komersialisasinya. Sementara keekonomiannya masih tanda tanya besar. Kalau tidak ekonomis, tidak ada yang mau beli kecuali dengan subsidi superbesar, padahal ada opsi lain yang secara ekonomis jauh lebih logis (reaktor fisi nuklir).

Di sektor energi secara umum, upaya dekarbonisasi dengan 100% energi terbarukan juga merupakan Sisyphean Effort. Energi terbarukan dengan segala limitasi fisisnya tidak memungkinkan dekarbonisasi total, kecuali dengan mengorbankan reliabilitas sistem ketenagalistrikan, harga energi supermahal, availabilitas energi rendah, itupun kemungkinan besar masih harus bergantung pada energi fosil ATAU menyerah pada degrowth, yakni konsumsi energi dikurangi. Itupun belum tentu berhasil pada rentang waktu yang diharapkan. Usaha superbesar, hasil seadanya.

Di sektor politik, "memperbaiki demokrasi" secara teknis termasuk Sisyphean. Karena memperbaiki itu asumsinya bahwa sebuah sistem itu sejak awal bisa bekerja. Demokrasi tidak. Demokrasi tidak pernah bekerja sebagaimana mestinya sejak akarnya, karena klaim "perwakilan" itu utopis sebagaimana menyerahkan kedaulatan di tangan masyarakat itu utopis. Karenanya, klaim suara mayoritas pun utopis. Kedaulatan tidak pernah pernah berada di tangan rakyat, melainkan di tangan oligarki. "Suara mayoritas" hanya sebatas mayoritas dalam memilih antek oligarki dan tiran mana yang lebih disukai masyarakat.

Jadi, apa yang mau diperbaiki dari demokrasi? Tidak ada. Karena konsep dasarnya sendiri sudah rusak darisananya. Hanya arogansi manusia yang merasa vox populi vox dei adalah sebuah keniscayaan mutlak yang membuat Sisyphean ini terus diyakini bisa terwujud, meski keyakinan itu terus menerus menggelinding ke bawah bukit ketika dikira hampir berhasil.

Segala usaha untuk "memperbaiki demokrasi" tidak lebih dari Sisyphean Effort. Manusia-manusia yang nalarnya masih bekerja dengan baik selayaknya tidak mempersulit hidupnya yang sudah dipersulit secara sistemik dengan melakukan sesuatu yang sia-sia.

Kamis, 21 Agustus 2025

Orang Saintek Kaku?


Orang saintek dibilang pemikirannya kaku? Cuma hitam-putih, tidak bisa dinamis? Karena sains itu eksak sementara ilmu sosial fleksibel?

Saya tidak tahu dari mana kesan ini muncul, tapi pasti bukan dari orang saintek. Karena orang saintek beneran tidak akan mengatakan bahwa saintek itu eksak, dalam artian cuma ada kemungkinan biner antara benar atau salah. Kalau yang dibilang begitu orang matematika, masih masuk akal, meski tidak berlaku untuk semua keadaan juga. Tapi saintek? Ngaco.

Justru saintek banyak bermain dengan ketidakpastian. Sains bermain dengan model-model yang dianggap cukup akurat dalam merepresentasikan sebuah masalah dalam keadaan batas (boundary condition) tertentu. Model ini tidak bisa digunakan untuk keadaan di luar keadaan batasnya. Makanya sains selalu diperbarui ketika ada temuan terbaru. Mekanika Klasik Newton, misalkan, tidak bisa menjelaskan fenomena skala kuantum. Makanya diperbarui (atau lebih tepatnya, dilengkapi) dengan Mekanika Kuantum Einstein. Demikian pula, model atom Dalton diperbarui hingga model atom Bohr dan sekarang model kuantum.

Sains juga memiliki ketidakpastian. Contoh di fisika atom, probabilitas reaksi tangkapan netron di rentang energi tertentu oleh nuklida tertentu memiliki rentang ketidakpastian. Itulah mengapa evaluasi data nuklir versi ENDF, JENDL, CENDL, JEFF, seringkali beda satu sama lain. Versi terbaru pun terus memperbarui datanya agar ketidakpastian itu bisa dikurangi.

Ilmu teknik/rekayasa bermain dengan margin. Teknik jarang menggunakan angka eksak, melainkan dengan menghitung angka standar menggunakan estimasi terdekat dan menetapkan margin nilai yang bisa diterima. Kenapa? Karena fenomena sistem teknik tidak selalu bekerja eksak, seringkali terjadi osilasi dan ketidakpastian dalam fenomena fisis yang digunakan dalam sistem tekniknya.

Jadi, keliru sekali jika dikatakan bahwa orang saintek itu berpikirnya kaku dan biner. Orang saintek sudah familiar dengan ketidakpastian pada kesempatan pertama mereka belajar saintek.

Yang membedakannya dengan orang soshum adalah

1. Ada batas ketidakpastian yang bisa diterima dan tidak,

2. Ada konsensus tentang sebagian fenomena yang sudah dipastikan kebenarannya. 

Contohnya, konsensus bahwa bumi ini bulat, tidak datar. Itu tidak bisa digugat lagi, karena klaim bumi datar bertentangan dengan realitas fisis terindera. Tidak bisa digunakan klaim fleksibilitas dan opini untuk mengakui argumen bumi datar.

Contoh lain, konsensus bahwa pemanasan global bersifat antropogenik. Itu sudah tidak bisa digugat lagi karena klaim bahwa pemanasan global bersifat alami bertentangan dengan realitas terindera dan data-data yang dikumpulkan secara konsisten dan independen. Yang masih ada ketidakpastian adalah prediksi seberapa buruk dampak pemanasan global dan laju kenaikan temperatur, bukan dari eksistensi pemanasan global antropogenik itu sendiri.

Demikian pula soal isu vaksinasi MMR menyebabkan autisme, jelas tertolak dan tidak bisa diterima sebagai opini sebagaimana ilmu soshum menerima opini karena bertentangan dengan data-data ilmiah yang teruji secara konsisten dan independen.

Dari sini, jelas bahwa tuduhan bahwa orang-orang saintek itu berpikirnya kaku dan saklek, tidak dinamis, adalah omong kosong besar. Orang saintek sudah paham tentang ketidakpastian sejak awal, hanya yang membedakan adalah ketidakpastian itu memiliki limit. Tidak benar-benar bebas, karena ada hukum dasar yang masih perlu untuk dipenuhi. Kalau kesannya kaku, maka "kekakuan" itu ditujukan untuk menjaga konsistensi dengan batas yang bisa diterima dan konsensus yang sudah tidak bisa dibantah lagi, tidak ada hubungannya dengan close-mindedness!

Justru inovasi banyak bermunculan dalam bidang saintek, kadang-kadang memperbarui hingga menggeser teori lama. Sementara ilmu soshum kadang justru lebih kaku dan mandeg dengan teori-teori yang dirumuskan orang-orang tertentu tanpa mau keluar dan menggugatnya, seperti definisi textbook soal kapitalisme. Kreativitas malah lebih terlihat di bidang saintek yang dianggap "kaku," sementara yang dianggap "dinamis" malah bersikap kaku terhadap inovasi.

Selasa, 12 Agustus 2025

Peran Yang Harus Dikurang-Kurangi


Dalam kehidupan manusia posmodern, khusunya bagi seorang muslim, saya kira ada beberapa peran yang selayaknya dikurang-kurangi dan ada peran yang sebaiknya diperkuat.

Di sini saya bahas peran yang sebaiknya dikurangi dulu.

1. Polisi Adab

Now, now, tidak usah terpelatuk dulu. Mengingatkan soal adab dalam berbicara dan bersikap bukan kriteria tunggal menjadi Polisi Adab. Mengingatkan soal adab adalah bagian dari amar ma'ruf, bahkan nahi munkar. Itu bagus sekali. Lantas, masalahnya? Kalau berat sebelah. Dalam artian, sibuk bicara soal pentingnya adab dalam berbicara, tetapi tidak peduli sama sekali tentang kenapa bisa ada persoalan dalam adab tersebut.

Contohnya, ketika ada seseorang (sebut saja Hajime) yang mengkritik keras (hingga kasar) sebuah fenomena kekeliruan fatal dan kemaksiatan oleh Yoichi, kemudian (sebut saja) Kengo sibuk mengomentari adab Hajime yang agak-agak kurang. Tapi apakah Kengo berbicara soal kemaksiatan yang dilakukan oleh Yoichi? Tidak sama sekali. Semua energinya difokuskan untuk mengoreksi adab Hajime sehingga tidak ada energi tersisa untuk mengoreksi kemaksiatan Yoichi.

Itu yang namanya Polisi Adab. Sibuk dengan asap, tidak peduli dengan api. Peran seperti ini memang mudah dilakukan, tapi tidak berguna sama sekali bagi kehidupan manusia. Seharusnya dikurang-kurangi bahkan ditinggalkan.

2. Pahlawan Kesiangan

Alkisah, Shinichi dan Heiji sedang bertengkar karena Shinichi melihat bahwa Heiji sedang melanggar komitmennya sebagai seorang detektif, sementara Heiji melihat Shinichi terlalu pengecut untuk mengambil risiko dalam memecahkan kasus. Tanpa ba-bi-bu, Kogoro muncul berusaha mendamaikan keduanya dan mengatakan semua ini cuma soal perbedaan sudut pandang, tidak usah dibesar-besarkan, lebih baik fokus pada memecahkan kasus kriminal di Kota Taito.

Padahal masalahnya Heiji memang telah melakukan pelanggaran kode etik dalam penyelidikan kasus kriminal, dan Shinichi sedang berusaha menegakkan kode etik tersebut walau dikata-katai pengecut oleh Heiji. Di sini, Kogoro berperan sebagai Pahlawan Kesiangan. Dia berusaha menjadi pahlawan dengan menyelesaikan konflik, sayangnya di waktu, tempat, dan konteks yang keliru. Kogoro bahkan tidak pernah berusaha mendalami kenapa Shinichi dan Heiji bertengkar (karena keterbatasan intelektualitasnya), tapi bertingkah seolah dia menjadi pahlawan ketika berdiri di antara kedua detektif muda itu.

Peran sebagai Pahlawan Kesiangan ini selayaknya dikurang-kurangi oleh seorang muslim, karena selain tidak berguna sama sekali dalam kehidupan, posisinya juga jelas menambah keruh persoalan. Ketika dia tidak paham persoalan, lebih baik Kogoro ini diam saja dan pura-pura bodoh daripada membuka mulut dan malah kelihatan bodohnya.

3. Tukang Cebok

Ketika Heiji terbukti telah melakukan kesalahan dan melanggar kode etik penyelidikan kasus kriminal, dunia perdetektifan pun geger. Pihak-pihak dari Kepolisian Metropolitan Osaka dan semua yang berada di kubu Heiji pun menjadi gundah gulana. Pada momen itu, Kazuha muncul untuk membela tindakan-tindakan Heiji. Katanya, Heiji tahu kalau itu salah, tapi tetap dilakukan demi bisa memecahkan kasus, bahwa Heiji tidak mungkin tidak punya alasan untuk melanggar kode etik, dsb. Semua prasangka baik dilontarkan oleh Kazuha, berharap Shinichi, Ran, dan Kepolisian Metropolitan Tokyo masih mau berprasangka baik dan membenarkan tindakannya.

Apa yang dilakukan Kazuha adalah menjadi Tukang Cebok bagi kesalahan yang dilakukan oleh Heiji. Sudah jelas-jelas Heiji "bermaksiat" dengan melanggar kode etik, masih saja dibela. Semua harus dikembalikan pada niat, bahwasanya niat adalah yang paling utama. Prasangka baik harus diutamakan meski fakta yang terjadi adalah sebaliknya. Kenapa? Karena Kazuha dekat dengan Heiji, dan berada di kubu Heiji. Tidak lebih.

Bagi seorang muslim, menjadi Tukang Cebok bukan hanya tidak berguna dan menambah keruh persoalan, tetapi juga menjijikkan. Tidak beda jauh dengan pengacara yang membela pelaku tindak kriminal. Jadi sebaiknya perilaku seperti ini dihindari. Kalau memang menyadari berada di pihak yang salah, meski agak terlambat, tidak ada yang salah dengan mengakui kesalahan posisi tersebut dan mengoreksinya. Bukan malah nyebokin kesalahan orang, yang mungkin tidak tahu dan tidak peduli juga dengan dirinya.

Apakah masih ada yang lain? Mungkin ada, tapi saat ini tiga poin di atas saja dulu. Anda tidak harus setuju sepenuhnya, tapi sebaiknya direnungkan baik-baik.

Karena dunia posmodern problematik ini sudah terlalu bermasalah untuk menampung peran-peran tidak berguna tersebut, jadi tidak usah ditambah-tambah.

Senin, 11 Agustus 2025

Ketika Ruwaibidhah Diberi Panggung


Dari Abu Hurairah r.a.Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya akan datang kepada manusia tahun-tahun penipuan, di dalamnya orang yang berdusta dipercaya sedang orang yang jujur didustakan, orang yang berkhianat diberi amanah, sedang orang yang amanah dikhianati, dan di dalamnya juga terdapat al-ruwaibidhah.” Ditanya, “Apa itu al-ruwaibidhah wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Yaitu orang bodoh yang berbicara (memberi fatwa) dalam urusan manusia.” (HR Ahmad)

Ini bukan hadits asing. Hadits ini sering sekali dibahas khususnya dalam berbagai ceramah terkait urusan publik. Biasanya ditujukan pada entitas-entitas kepemimpinan, mulai dari yang kecil seperti lembaga riset maupun entitas yang lebih besar seperti negara. Karena hadits ini bersifat mujmal, jadi bisa diaplikasikan untuk berbagai konteks. Tidak hanya pemimpin negara saja, bahkan tanpa terikat dengan suatu entitas tertentu sekalipun.

Abad 21 baru berjalan seperempat abad, dan makin kesini para ruwaibidhah tampak semakin banyak. Siapapun bisa berbicara soal apapun tanpa koreksi dan kontrol memadai. Tom Nicholls menyebutnya sebagai The Death of Expertise. Kepakaran kini sudah mati, berganti dengan popularitas. FYP dan interaksi/engagement menjadi mata uang baru untuk menentukan benar atau salah, bisa dipercaya atau tidak. Bukan lagi kebenaran objektif, tapi persepsi subjektif. Asal dia tenar, dia bisa dipercaya sebagai orang yang kredibel. Contohnya banyak, mulai dari pedagang hoax berkedok agama, "guru" obesitas yang bicara segala hal seolah-olah dia pakar dalam semua bidang, mentalis/pesulap/penghibur tipuan mata yang alih haluan menjadi tuan rumah siniar, dokter influencer tapi STR mati, sampai dukun anonim berkedok medis.

Tipikal-tipikal orang sejenis itu layak disebut sebagai ruwaibidhah. Mengapa? Karena berbicara tanpa ilmu terkait urusan manusia luas. Berbicara soal kesehatan membawa-bawa kedok agama, tanpa memahami bagaimana fahmul waqi' dalam sebuah persoalan, tanpa memahami dalil apalagi istidlal hukum syara', tanpa memahami ilmu medis seperti apa. Semua "argumentasi" yang disampaikan berbasis pada appeal-to-emotion fallacy, cuma memantik emosi/perasaan audiens dengan tajuk-tajuk kontroversial dan premis-premis palsu, serta penggunaan dalil syara' tidak pada tempatnya. Tapi karena menggunakan emotional appeal inilah, mereka mudah menyesatkan warganet yang memang pada dasarnya jarang yang mampu berpikir kritis.

Truth is boring. Fear sells. (Hargraves, 2012)

Tidak ketinggalan pula seseorang yang punya gelar PhD di bidang teknologi pangan, tapi berbicara sangat jauh melampaui kepakarannya tersebut sampai ke topik climate change, pandemi Covid-19, dan genetically modified organism (GMO). Sudah begitu, kemampuan penalaran dalam membaca publikasi ilmiah (scientific paper, atau kita sebut saja paper) dan menganalisis datanya relatif rendah. Tapi pede sekali mengatakan ini dan itu yang KATANYA merujuk pada paper tertentu, tapi apa yang disampaikan dengan isi paper sama sekali berbeda. Alias salah menafsirkan isi paper. Mulai dari paper soal Covid sampai soal glifosat, keliru semua.



Nah, kira-kira, kalau para ruwaibidhah sejenis ini diberi panggung oleh mereka yang punya basis audiens cukup besar, apa yang akan terjadi?

Betul. PEMBODOHAN MASSAL. Bukannya mencerdaskan kehidupan bangsa, bukannya mencerdaskan pemikiran umat, malah melakukan pembodohan terhadap umat. Maka akan menjadi masalah besar, ketika sebuah komunitas Islam yang katanya mengajak "mengaji" kemudian memberi panggung kepada para ruwaibidhah sejenis ini, maka sama saja pengikut dan audiens komunitas ini disajikan panggung pembodohan! 

Ketika "guru" obesitas yang sering membahas topik secara keliru dan akurasinya rendah kemudian diberi panggung oleh forum siniar dengan basis audiens cukup besar, maka kesan yang muncul adalah "guru" obesitas ini adalah seorang yang kompeten dan bisa dipercaya oleh audiens komunitas tersebut. Khususnya bahwa para audiens tidak terbiasa dan tidak pernah dilatih berpikir kritis oleh komunitas Islami tersebut, sementara para tuan rumah siniar juga tidak pernah menganggap pernyataan-pernyataan kontroversial dan keliru "guru" obesitas sebagai hal yang patut dikoreksi, sehingga yang terjadi adalah para audiens menelan mentah-mentah sikap dan pernyataan "guru" obesitas alih-alih bersikap kritis.

Ketika PhD lompat pagar yang hobi bicara konspiratif berbekal pemahaman keliru terhadap paper yang dibacanya diberi panggung oleh forum yang sama, maka komunitas tersebut sedang mengekspos audiens mereka dengan penyesatan pemikiran yang berbahaya. Karena kepercayaan berlebih terhadap tuan rumah siniar, audiens jadi meyakini bahwa orang yang diundang ke dalam siniar tersebut adalah orang yang kompeten di bidangnya, sehingga apa yang disampaikan PhD lompat pagar itu dianggap sebagai sebuah kebenaran. Mulai dari konspirasi bahwa pandemi Covid-19 adalah rekayasa manusia, sampai kedelai GMO akan menyebabkan kanker. Hal ini diperparah bahwa tuan rumah siniar tidak ada seorang pun yang memilikii gelar doktoral dan tidak ada yang kompeten sama sekali dalam bidang sains.

Ketika orang-orang sosialis diberi panggung oleh forum yang sama, tanpa ada usaha untuk membongkar pemikiran kufur sosialisme, audiens yang tidak pernah dilatih berpikir kritis jadi mudah sekali tergoyangkan pemahamannya dan jadi tertarik untuk mempelajari karya-karya orang sosialis tersebut. Bukan untuk dibantah, tetapi dijadikan sebagai referensi!

Kenapa sampai komunitas Islami tersebut memberi panggung terhadap para ruwaibidhah? Apa mereka tidak pernah sadar tentang reaksi publik yang cenderung negatif terhadap beberapa pihak, dan kekeliruan pemikiran di pihak lain?

Sepertinya alasannya tidak jauh dari memancing interaksi. Karena sekali lagi, FYP dan engagement adalah cara untuk menjadi terkenal di era posmodern. Engagement adalah berhala yang mesti disembah demi memiliki nama. Akhirnya semua dampak susulan dari interaksi tersebut tidak diperhitungkan sama sekali, meskipun itu adalah dampak negatif. Para ruwaibidhah, yang seharusnya di-delegitimasi posisiya, malah diberi kesan positif dan dikembalikan kepercayaannya oleh audiens, semata-mata karena diundang oleh komunitas Islami yang dianggap memiliki kesan positif.

Penyesatan pemikiran massal tersebut juga menyulitkan kalangan intelektual sungguhan dan orang-orang yang lurus pemikirannya untuk menyadarkan masyarakat dari kekeliruan pemikiran para ruwaibidhah ini. Para saintis sudah mati-matian berusaha menjelaskan fenomena riil terkait pandemi Covid-19, eh malah disesatkan lagi oleh komunitas Islami yang mengundang ruwaibidhah. Jadi menambah pekerjaan lagi. Sama, ketika para guru dan akademisi sungguhan sedang mengkritik kesalahan berpikir "guru" obesitas, komunitas ini malah membuat ruwaibidhah satu ini tambah menggelembung namanya (juga kepalanya).

Dengan kata lain, siniar komunitas Islami ini membantu menyebarkan kebodohan, kesesatan, dan fitnah, serta mempersulit hidup para intelektual sungguhan dalam mencerdaskan pemikiran umat Islam!

"Mengaji" apa yang sesungguhnya mereka ingin tunjukkan dengan praktik pemberhalaan engagement ini?

Apa mereka tidak bisa mengundang orang-orang yang kompeten dan lurus saja alih-alih sekumpulan ruwaibidhah? Apa karena saking buruknya isi komunitas mereka, sehingga mereka hanya mengenal dan menganggap penting ruwaibidhah asal punya nama dan bisa mengundang audiens-interaksi?

Praktik yang dilakukan komunitas Islami seperti ini tidak ada manfaatnya sama sekali. Alih-alih menjadi pahala jariyah, apa yang mereka lakukan ini bisa menjadi dosa jariyah.

“Siapa yang mengajak kepada kesesatan, dia mendapatkan dosa, seperti dosa orang yang mengikutinya, tidak dikurangi sedikitpun.” (HR Muslim)

Sayang sekali bahwa pengurus komunitas Islami ini terkenal bebal, besar kepala, dan anti-kritik. Mereka menggunakan kacamata kuda dalam melakukan aktivitasnya dan tidak mengenal kekeliruan dalam apa yang mereka lakukan. Yang mereka tahu hanyalah bahwa semua pengkritiknya adalah hasad, dengki, benci, iri. Tidak beda jauh dengan “musuh” yang didengungkan sebagian anggotanya. Ironis bahwa mereka menjadi persis sebagaimana apa yang mereka musuhi. Seperti zionis yang begitu membenci Nazi, tapi akhirnya mereka bertingkah seperti Nazi Jerman.


Kalau sudah begini, tinggal tunggu kejatuhannya cepat atau lambat. Pada titik itu, apakah audiens mereka masih akan sedemikian loyal pada mereka? Ketika loyalitas tertinggi seorang muslim yang harusnya disandarkan pada Allah dan Rasul-Nya, kini dialihkan pada pengkultusan individu dan kelompok?

Kamis, 24 April 2025

Dalih Dobol Ateis Bodor

Di alam sekuler, semisal di seluruh dunia pada saat ini, orang beragama maupun tidak sama-sama tidak dibatasi untuk berkontribusi dalam sains dan teknologi. Secara epistemik, tidak ada yang peduli sama sekali. Yang penting adalah,









  1. Anda punya topik riset,
  2. Anda punya anggaran dan fasilitas riset,
  3. Anda melakukan riset,
  4. Anda menerbitkan hasil risetnya untuk diseminasi.

Jadi ketika ada yang berhalusinasi bahwa "ateis di Indonesia tidak bisa berkontribusi dalam sains dan teknologi karena ateisme tidak diberikan ruang untuk berkembang," maka itu hanya karangan dobol belaka.

Entitas negara sekuler tidak mempertimbangkan aspek metafisik yang diyakini seseorang dalam pengembangan sains dan teknologi secara epistemologis. Pertimbangan lebih besar justru terletak pada aspek politik terkait visi sains dan teknologi negara, yang mana nilai-nilai yang dianut terkait visi politis itu bersifat sekuler pula—tidak terkait dengan nilai agama apapun. Plus, tentu saja, politik nasional maupun internasional dengan berbagai aktor pemegang kepentingan yang 100% tidak berpegang pada nilai-nilai agama.

Kalau secara ontologis dan aksiologis kemudian terpengaruh agama/ideologi tertentu, itu wajar. Keduanya memang tidak bebas nilai, sebagaimana para ateis juga memandang aspek ontologik dan aksologik dari sains dan teknologi itu berdasarkan ideologi ateisme yang mereka anut. Seorang teis bebas mengkritik pemahaman ateis dalam kedua aspek ini sebagaimana seorang ateis sesuka hati mengkritik teis. Tapi dari aspek epistemologis, yang notabene merupakan hal dasar yang seharusnya dilakukan sebelum beranjak pada dua aspek lainnya? Tidak ada yang melarang.

Sejak awal kemerdekaan, arah litbangjirap sains dan teknologi di Indonesia itu secara eksklusif dibangun atas pondasi nilai sekuler. Tidak dikaitkan dengan agama, tidak peduli terkait aspek ketuhanan sama sekali. Tidak pernah ada motivasi, inspirasi, apalagi pondasi membangun sains dan teknologi berdasarkan agama. Etika penelitian tidak pernah dilandaskan pada agama tertentu, melainkan JUSTRU berdasarkan nilai-nilai humanis, yang notabene lahir dari rahim sekulerisme yang tidak peduli agama.

Jadi, ketika ada ateis dobol yang mengeluh bahwa mereka tidak diberi ruang "kebebasan untuk berkembang" makanya tidak berkontribusi dalam perkembangan sains dan teknologi di Indonesia, maka ketahuilah bahwa mereka cuma ngarang bebas saja. Khayalan dobol untuk menutupi skill issue mereka, yang secara kapasitas pribadi sama sekali tidak kompeten untuk menjadi seorang saintis maupun insinyur. Bukan karena dibatasi untuk berkembang, tapi memang darisananya tidak bisa apa-apa.

Ateis model begini cuma bisa mangap lebar saja, meski isinya lebih kosong daripada void space berjarak 300 parsec. Jadi ateis pun cuma karena malas ibadah saja, emotionally-driven ignorance, bukan karena "pencerahan" or something incredible idk.

Pondasi litbangjirap sains dan teknologi darisananya sekuler, negara dijalankan berdasarkan ideologi sekulerisme, yang disalahkan agama lagi. Idiot eksponensial.

What a complete waste of oxygen.


Jumat, 20 Desember 2024

Tahan Kritik ala Peneliti

Kalau ada satu karakter yang harus dimiliki oleh seorang Peneliti, itu adalah tahan kritik.

Peneliti, selain tugas utamanya melakukan penelitian dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, punya kewajiban untuk mendiseminasikan hasil penelitiannya pada komunitas ilmiah dan publik. Diseminasi ini, utamanya, berbentuk karya tulis ilmiah yang dipublikasikan di jurnal ilmiah.

Melakukan penelitian itu susah, makan waktu banyak, anggaran juga bisa habis dalam jumlah besar. Dataset yang didapatkan belum tentu bagus, harus di-refine dulu sampai dapat yang cukup meyakinkan. Validitas harus diuji. Data harus diolah dalam bentuk grafik dan tabel, kemudian diinterpretasi, apa hasil yang didapatkan dari penelitian ini.

Setelah melalui semua itu, para Peneliti harus menulis hasil penemuannya dalam sebuah manuskrip ilmiah. Apakah bisa ditayangkan begitu saja? Bisa, tapi apa nilainya? Apakah ada yang menganggap temuan itu sebagai sesuatu yang penting, atau lebih penting lagi, valid? Tidak. Maka Peneliti harus mengajukan manuskrip ilmiahnya ke sebuah jurnal ilmiah. Editor jurnal tersebut akan mengirim manuskrip tersebut ke dua atau lebih reviewer, juga Peneliti dan seringkali pakar di bidangnya, yang kemudian akan mengevaluasi merit dari manuskrip si Peneliti.

Apakah kemudian manuskrip itu langsung akan dapat pujian dan diterima oleh para reviewer? Belum tentu.

Seringkali, para reviewer memberikan banyak catatan, kritikan, masukan, mulai dari yang biasa saja sampai yang pedas bukan main. Rekomendasinya jarang sekali yang diterima begitu saja. Biasanya wajib direvisi berdasarkan catatan yang diberikan, dan bisa jadi belasan hingga puluhan poin. Lebih buruk lagi, manuskripnya bisa saja ditolak di kesempatan pertama.

Bayangkan. Sudah lama-lama riset, ngumpulkan data, diskusi dengan rekan, banyak waktu dan anggaran yang terbuang, lalu ditulis dalam manuskrip yang menyusunnya juga tidak mudah, lalu kemudian menerima banyak kritik bahkan manuskripnya ditolak oleh kolega Peneliti yang tidak tahu siapa identitasnya dan tidak langsung terjun melakukan riset tersebut. Apa tidak sakit hati?

Pada proses inilah karakter seorang Peneliti diuji. Apakah dia bakalan ngambekan, marah-marah tidak jelas, kecewa, sakit hati, marah para reviewer yang dianggap banyak ngomong padahal tidak pernah melakukan riset yang mereka lakukan, atau mendengarkan komentar reviewer dan memperbaiki manuskrip sesuai masukan?

Sistem peer-review (tinjauan sejawat) dalam publikasi ilmiah merupakan konsekuensi dari memastikan agar hasil riset yang dipublikasikan di jurnal itu adalah hasil riset yang berkualitas. Bukan abal-abal. Bukan riset berkualitas rendah yang tidak ada nilainya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Juga bukan riset yang memiliki interpretasi data apalagi dataset yang keliru, sehingga berpotensi menyesatkan dunia ilmiah. Tidak selalu berjalan sempurna; kadang-kadang reviewer bisa keliru juga dalam memberikan komentar. Di situlah sistem rebuttal, yang diizinkan dalam dunia reviu manuskrip ilmiah, bisa diaplikasikan.

Tapi kalau komentar reviewer benar, tidak peduli sepedas apapun komentarnya, hingga mungkin mengatakan sejenis, "The authors don't seem to understand what they are writing," para Peneliti penyusun manuskrip tidak punya alasan untuk tidak mengikuti saran dari reviewer untuk memperbaiki manuskripnya.

Karena biar bagaimanapun, seseorang butuh orang lain untuk mengevaluasi karyanya. Kalau dilihat pakai kacamata sendiri, sudah jelas Peneliti merasa manuskripnya sudah bagus, data yang ditulis sudah oke. Cacatnya baru kelihatan ketika ada reviewer yang mengoreksi.

Itu proses yang lumrah dan alamiah dalam dunia litbang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Mengutip kalimat the ultimate legend, "Kita tidak bisa mengontrol perkataan orang, tapi kita bisa mengontrol respon kita terhadap perkataan orang." maka demikian pula yang terjadi di dunia ilmiah. Seorang Peneliti tidak bisa mengontrol reviewer memberi komentar semacam apa, tapi Peneliti bisa mengontrol responnya terhadap komentar reviewer. Apakah bakalan nurut, meski sambil kesal, atau bakalan ngambek dan menarik/withdraw manuskrip dari jurnal untuk disubmit ke jurnal lain, di mana dia bisa jadi mengalami fenomena yang sama?

Kalau pilihan kedua yang diambil, niscaya dia tidak akan berkembang sebagai Peneliti. Dia akan berkutat dalam ilusi kebesarannya sendiri, seolah-olah dia selalu benar dan reviewer itu salah dan tidak seharusnya memberi respon yang tidak disukainya. Dalam kondisi ini, dia akan terlempar keluar dari posisinya sebagai Peneliti, karena tidak ada karya yang bisa diterbitkannya.

Komentar reviewer memang seringkali pahit, tapi dengan begitu, kualitas manuskrip ilmiah yang diterbitkan di jurnal bisa dijaga. Sehingga, artikel yang terbit itu sungguh-sungguh memang mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan artikel jelek bahkan menyesatkan akibat dataset maupun interpretasi yang keliru.

Demikian karakter tahan kritik yang harus dimiliki oleh Peneliti.

Minggu, 20 Oktober 2024

Just Starting a New Chapter... Kind of

 (This post is unusually written in English, just because)

Well it's been a while since the last time I remember that I've got a blog. Although it's by no means because I'm too lazy to write... er... I admit I was lazy, but hey, preparing to move to a new country and settling down isn't an simple task! Because unlike some business trip, I'll stay here for quite a long time. At the very least, until I graduated.

So, yeah, I'm pursuing my doctoral degree in Japan. For exact, at Institute of Science Tokyo, previously known as Tokyo Institute of Technology. I didn't know that Tokyo Tech was going to be merged with TMDU back then, when I was considering this university as my preferred destination. But notwithstanding, that matters less to me (except for the less cool logo).

How is it so far?

I've only been here for around three weeks, so there's nothing I can conclude just yet. Although, there are obviously some differences (and culture shocks, if it can be considered as a shock). But first and foremost is the communication issue. Sure, I've learnt some Japanese during my high school. But that was 14 years ago. I also watched some anime. But it's been several years since the last time I actually watch one full episode of it. So, saying that my Nihongo (Japanese language) is quite rusty is a bit of an understatement.

I literally cannot read anything.

Not even I cannot read anything, I cannot even form a simple sentence in Nihongo either. Sure, I know a few bits and words in Nihongo, but forming it into a complete sentence? That's a different wave of hell. I can recall some awkward situations where I need to ask something but neither of me nor the Nihonjin (Japanese people) I'm speaking with was unable to understand each other completely. Especially when the Nihonjin speaks to me in Nihongo, more often than not, I'm utterly perplexed.

Luckily, it's Tokyo. So, some texts are still written in English (although sometimes the choice of words baffles me), as well as instructions in some machines. Fortunately again, google translate can help translating through camera image, so at least I know what stuff to buy, where to go, et cetera. And I don't always have to talk to the cashier when buying stuff, unless being questioned. Just saying arigatou gozaimasu (-mashita? What's the difference?) afterwards and we're all good. In our own awkwardness, no less.

Nonetheless, I'm not burdening myself to understand Nihongo up to a N3 level in a hurry. Rome wasn't built in a day. A little improvement over time should do the job... ish.

What about the lab?

I won't lie, I didn't expect to join Nakase Laboratory when considering Tokyo Tech. However, after knowing that the lab is researching (or intend to research) about Molten Salt Reactor (the chloride one, no less) and nuclear fuel cycle, I didn't think too much before asking to join. Alhamdulillah, Nakase-sensei was keen for me to join and now I became the part of the lab to perform those aforementioned research. The fact that there's another Indonesian in the lab helped me a lot to settle in Tokyo and understanding what to do here. Kind of.

I haven't yet to explore Science Tokyo (as it's called by now) too much, but probably in the next few weeks I'd allocate time for sightseeing to understand the campus map better. After all, I've got 36 months here, at the very least. The journey is still long, no need to rush. Unless you're a certain minister in a particular country that enrolled in a certain university, then the case might be quite a bit different. With less integr--

Anyway, the members of Nakase Laboratory conducted a welcome ceremony to welcome me and my colleague from BRIN (and BATAN) to their lab. Nothing formal, just a dinner in an Indonesian cafe in Shinjuku. I'd say that the food is quite authentic (the sauce in Sate Ayam was too sweet and runny, though). There are some notable differences, obviously, but I digress.

(I'm pretty sure we took some photos there, but sensei hasn't uploaded it anywhere yet)

Long story short, it's a new chapter for me, at a new university in a new country where I cannot read anything without google translate and cannot speak full sentence yet. It will be a challenge, like pretty much everything in my life, but I'll embrace it will full arms open (and wishing it doesn't strike at me like an oversized grizzly bear). I wish I could do well for my study and contribute to the laboratory.

And I hope I can invite my family before the winter starts and the air is freezing.

Kamis, 19 September 2024

Seberapa Mahal Biaya Pendidikan Tinggi di Indonesia?


Orang bilang kuliah di luar negeri itu mahal. Ya memang mahal, cuma kalau dibandingkan di dalam negeri, lebih mahal mana?

Coba kita bandingkan.





Gambar di bawah adalah tuition fee (SPP) di Tokyo Institute of Technology. Per tahun JPY 635.400. Gaji minimum warga Tokyo itu JPY 1.113 per jam, atau sekitar JPY 2,3 juta per tahun. Maka, kalau dikonversi per bulan, tuition fee di Tokyo Tech mencapai 27.45% dari pendapatan bulanannya.


Cukup besar, kan, ya? Hampir sepertiga penghasilan habis buat tuition fee?

Itu gaji minimum. Padahal gaji rerata pekerja di Tokyo bisa mencapai JPY 400-500 ribu per bulan. Katakanlah JPY 500 ribu, maka beban tuition fee turun jadi 10,59% dari gaji bulanan.

Sebagai perbandingan, cek UKT Universitas Indonesia di bawah. UKT 6 di Universitas Indonesia mencapai Rp. 7,5 juta per semester. UMR Jakarta sebesar Rp. 5.067.381, sehingga per bulan beban UKT ke gaji sebesar 24,67%.


Bebannya sedikit lebih rendah daripada dibayar pakai gaji minimum di Tokyo. Tapi tetap saja lumayan tinggi.

Bagaimana kalau gaji warga Jakarta itu ternyata Rp. 10 juta per bulan? Kalau begitu, mustahil dapat UKT 6, bisa dapatnya 11. Jadinya Rp. 20 juta per semester. Itu bebannya ke gaji bulanan mencapai 33,33%! Kalaupun gajinya Rp. 15 juta per bulan, bebannya tetap tinggi, mencapai 22,22%.

Padahal ranking Tokyo Tech itu nomor #84 dunia berdasarkan QS World University Ranking, sementara UI nomor #206.

Jadi, apakah pendidikan tinggi di Indonesia itu mahal? Tergantung, dibandingkan negara mana dulu? Kalau dibandingkan Jepang, rasanya jawabannya sudah jelas... lebih mahal. Kalau dibandingkan Inggris Raya?

Sebaiknya jangan terlalu gegabah.

Tuition fee setahun untuk satu orang di kampus-kampus Inggris Raya bisa membiayai 10 orang kuliah di Jepang selama setahun.

Sabtu, 14 September 2024

Komentar (Kritik, Whatever) Tentang Systematic Literature Review

Jadi, saya secara random penasaran dengan salah satu peserta Clash of Champions yang sudah punya belasan publikasi internasional terindeks Scopus padahal masih mahasiswa S1. Waktu lihat akun google scholar-nya, per 30 Juli 2024, sitasinya sudah 157 (saya cuma 64), dan tahun 2024 publikasi 13 artikel (saya cuma 10, dan ini tahun paling produktif saya). Di akun Scopus, terdata ada 15 dokumen dan disitasi 86 kali.

(kalau tidak percaya, cek akun Scopus saya di sini dan akun Scopus mahasiswa tsb di sini. Per 14 September 2024, pasti sudah berubah dari yang disebutkan di atas)

Walau begitu, cuma ada dua publikasinya yang ditulis sebagai first author, sisanya sebagai co-author. Ketika dicek, kedua artikel tersebut bentuknya... Systematic Literature Review (SLR).


Baiklah, ternyata bukan cuma dua itu. Literally semua artikel ilmiahnya berbentuk SLR.

Oke. Memang saya gak percaya mahasiswa S1 bisa menghasilkan original research sebelum magang/KP atau skripsi. SLR sendiri gak terlampau mudah. Masalahnya, SLR itu cocoknya:
  1. Sebagai exit liquidity kalau kepepet, misalkan karena tuntutan KKM (orang BRIN familiar dengan ini), atau permintaan dari pemberi dana hibah penelitian, atau
  2. Telaah sungguhan untuk mencari tahu permasalahan pada suatu bidang yang kemudian menjadi landasan untuk riset berikutnya.
Bukan buat dikerjakan terus-terusan demi publikasi terindeks Scopus.

Kenapa?

Karena artinya risetnya demi publikasi, bukan demi pengembangan iptek itu sendiri. Apalagi dikerjakan mahasiswa S1 yang belum tentu akan menggunakan hasil SLR itu untuk kelanjutan risetnya.

Tentu saja bisa publikasi di jurnal internasional untuk level mahasiswa S1 itu suatu hal yang luar biasa. Menulis makalah ilmiah itu susah, bahkan yang sudah pengalaman meneliti puluhan tahun saja seringkali cara nulis artikelnya jelek sekali (percayalah, saya copyeditor di jurnal SINTA 2 dan Scopus Q4, sudah paham saya kelakuan mereka).

Yang jadi concern saya adalah model publikasinya yang banyak berbentuk SLR. Kondisi seperti ini adalah indikator kuat ada problema kronis di dunia akademik negeri ini, yang ditanamkan ke para mahasiswa, bukan demi kepentingan mereka.

Lantas untuk kepentingan siapa? Tentu saja para "akademisi" yang membutuhkan publikasi ilmiah internasional terindeks Scopus untuk menambah portofolio mereka, atau untuk akreditasi jurusan, atau hal-hal non-esensial lain dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua berlandaskan metrik-metrik kuantitatif yang gak selalu representatif terhadap kualitas pengembangan ilmu pengetahuan di sebuah institusi pendidikan/riset. Jumlah publikasi, lah. Sitasi, lah. Kuartil Scimago, lah. Akhirnya, SLR yang minim modal jadi jalan pintas dan cepat untuk meningkatkan metrik-metrik ambivalen sedemikian itu.

Apakah ilmu pengetahuan berkembang dengan adanya SLR? Bisa iya, bisa tidak. Tergantung tujuannya. Karena pada dasarnya, SLR itu alat dukung untuk menarik kesimpulan terkait studi yang telah masif dilakukan, yang kemudian memiliki implikasi kebijakan, atau untuk mencari celah penelitian, yang dapat diambil untuk arah riset berikutnya.

Untuk beberapa bidang, SLR itu bahkan cuma masuk ke introduction dari makalah bertipe original research. Di beberapa jurnal terkemuka, review article, mencakup di dalamnya SLR dan meta-analysis, dibatasi. Tetap saja original research yang didorong untuk dipublikasikan.

Lagipula, apa ada Peneliti sungguhan yang karirnya dibangun dari SLR? Kecintaan terhadap dunia riset, atau kepakaran dalam dunia riset (semisal gak cinta tapi butuh kerjaannya untuk hidup) dibangun dari original research. Bukan dengan portofolio puluhan SLR. Itupun bukan penulis pertama, yang biasanya mengerjakan > 70% isi artikel. Kecuali memang mau jadi Analis Kebijakan atau sebangsanya, masih agak masuk akal meski gak sepenuhnya. Tapi jadi akademisi sungguhan? Big No.

Gak ada karir akademik yang dibangun dari analisis data sekunder.

SLR selalu merupakan riset "sampingan," sementara yang utama selalu original research. Kalau pertumbuhan publikasi SLR makin menjamur, tanda-tanda gelembung akan segera pecah. Budaya akademik menjelang ambruk. Karena para akademisi yang seharusnya membangun budaya ilmiah dan akademik yang sehat dengan mendorong original research dengan berfokus pada proses dan dampak, malah berbondong-bondong mengejar publikasi SLR demi metrik-metrik fana yang tidak ada kaitannya dengan pembangunan sektor ilmiah.

N.b.: Tentu saja, akan ada akademisi yang meradang dan protes akibat kritikan saya ini. Biasanya, mereka adalah akademisi problematik yang dengan sengaja memelihara kebusukan ini untuk kepentingan pribadi mereka.

Kamis, 22 Agustus 2024

Draco Dormiens Nunquam Titillandus

Well, well, well, sudah berapa lama enggak pembaruan blog lagi?

Yah, baiklah, memang ada banyak pekerjaan blablabla yang menyita cukup banyak waktu dan energi. Jadi enggak sempat buat pembaruan blog. Begitu, kan, dalihnya?

I'm not ashamed to admit it. I'm simply too lazy to maintain writing in blog consistently.

Omong-omong, dengan isu yang terjadi baru-baru ini, yang saking buruknya sampai memanggil kaum introvert macam Raditya Dika dan Duta SO7 untuk ikut bersuara, saya jadi teringat slogan dari Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry, alias Sekolah Sihir Hogwarts, dari serial Harry Potter.

Draco dormiens nunquam titillandus.

Kalau terjemah dari novel terbitan Gramedia, "Jangan mengganggu naga yang sedang tidur." Atau kalau diterjemahkan secara ahrfia, "Jangan menggelitiki naga yang sedang tidur."

Agaknya, hal yang agak-agak mirip sedang terjadi.

Para penyihir dari Kementerian Sihir tampak sukses menyihir naga-naga yang berkeliaran di sekitarnya untuk tidur. Entah mantera dari Departemen Misteri mana yang mereka gunakan, yang jelas naga-naga ini berhasil dibuat tertidur selama 10 tahun. Bahkan ketika digelitiki oleh para penyihir, dipukuli, diambil bulu-bulu hidung dan ekornya untuk dijual dan membangun gedung Kementerian Sihir yang baru, pindah dari London ke pulau Hebrides di utara Skotlandia, para naga itu masih saja tidur.

Hingga pada suatu saat, Menteri Sihir memutuskan untuk mengganggu para naga tidur itu lebih parah lagi. Mereka tidak diberi suplai makan agar tetap hidup, dicabuti lebih banyak lagi bulu-bulu ekor dan sayapnya, dipukuli tanpa henti untuk bersenang-senang, menghantamnya dengan mantra Stupefy bahkan Crucio, yang jelas-jelas terlarang.

Apa yang terjadi selanjutnya?

Naga yang semula tertidur itu lama-lama akan terbangun. Mungkin masih setengah sadar, tetapi cukup untuk menyadari bahwa dia diganggu. Naga tidak suka diganggu, jadi dia mengamuk, menyemburkan api kemana-mana, berusaha memanggang hidup-hidup pegawai Kementerian Sihir yang menghantamkan mantra-mantra berbahaya padanya.

Saat ini naga itu masih setengah sadar, dan sudah cukup berbahaya bagi Kementerian Sihir.

Kira-kira apa yang akan terjadi semisal naga itu sudah bangun sepenuhnya?

Butuh setidaknya setengah lusin penyihir kekuatan tinggi untuk melumpuhkan seekor naga, dalam kondisi tidak mengamuk habis-habisan. Butuh lebih dari itu untuk melumpuhkan naga yang mengamuk dalam kondisi bangun sepenuhnya. Apalagi kalau naganya banyak.

Apa Kementerian Sihir bisa menangani semuanya? Sepertinya sulit sekali. Kemungkinan mereka akan jadi makan siang naga-naga kelaparan dan kesakitan itu. Bukan tidak mungkin itu akan terjadi.

Jadi, motto Sekolah Sihir Hogwarts itu sangat praktikal. Jangan mengusik naga yang sedang tidur, kecuali siap menanggung akibatnya. Minimal dipanggang hidup-hidup oleh Ekor-berduri Hungaria.

Tapi kejadian tadi meninggalkan satu isu: Apa yang akan dilakukan naga-naga itu ketika mereka sukses menghancurkan Kementerian Sihir? Apakah kehidupan masyarakat sihir mendadak jadi lebih baik?

Tampaknya, selama Kementerian Sihir itu sendiri masih berdiri, walau berganti Menteri Sihir berulang kali, masalah yang sama akan terjadi selama mekanisme yang bekerja di dalamnya masih seperti itu.

Mengingat ini hanya dongeng pengantar tidur belaka, seharusnya, sih, tidak ada yang perlu dipikirkan. Kementerian Sihir itu cuma cerita fiksi saja, kan?

...kan?

Minggu, 23 Juni 2024

The Curse of High Performer: Requirement of a Doppler Broadening in a Research Centre

Hampir lupa punya blog untuk dikelola.

Saking banyaknya urusan bulan-bulan kemarin, banyak sekali kerjaan, kurangnya waktu, dan banyaknya tekanan dari pihak-pihak inkompeten yang disuruh ngurusi riset, ternyata berpengaruh juga terhadap cepatnya seseorang mengalami burnout. Sampai gak ingat untuk rutin ngisi blog mingguan. Sudah diusir dari laboratorium, diusir dari tempat kerja, diusir juga dari rumah dinas. What a bunch of incompetent bas--

Anyway,

Karena sedang hilang orientasi, saya jadi suka mindless scrolling di berbagai website. Nah, suatu ketika, saya lihat postingan di linkedin soal apa yang harus dilakukan di tempat kerja. Salah satunya terkait "work the bare minimum" atau sejenis itu. Kenapa? Karena kalau terlalu produktif, "apresiasi" yang diberikan adalah diberi lebih banyak pekerjaan, bukan dibebani lebih sedikit pekerjaan. Itu yang saya simpulkan sebagai "the curse of high performer." Kutukan pegawai berkinerja tinggi.

Ketika kerjaan selesai lebih cepat, diberi tambahan kerjaan. Ketika target terlampaui, dikasih target lebih tinggi. Ketika bisa membantu dalam satu hal, disuruh bantuin dalam hal lain. Dan sebagainya. Ah, jadi ingat teman kantor yang dipanggil oleh berbagai kelompok riset berbeda untuk mengerjakan hal-hal teknis-administratif terkait penerbitan karya tulis ilmiah (KTI) karena yang sudah senior pada inkompeten dan terlalu malas untuk belajar submit KTI sendiri. Termasuk ngurusi kerjaan remeh-temeh macam jemput tamu LN dari hotel ke tempat seminar. Sampai-sampai kerjaan risetnya tahun itu jadi gak tersentuh.

Apa-apaan.

Mengingat masalah high performer ini, jadi ingat target luaran satker. Karena saya yang handle urusan rekap luaran ilmiah satker, saya merhatikan pola yang terbentuk dari segi jumlah dan nilai luaran tersebut. Yang di bawah ini untuk tahun 2023.

Kelihatan kalau perbedaan antara peringkat 1 dan peringkat 15 saja sudah 98 poin. Sangat jauh. Padahal yang peringkat 15 juga bukan tipikal Peneliti gak produktif, tapi selisihnya sudah banyak sekali. Artinya, selisih kuantitas luarannya juga jauh berbeda.

Sementara, yang di bawah ini sampai bulan Juni 2024.

Tahun ini lebih gila lagi. Sampai bulan Mei saja, selisih antara peringkat 1 dan peringkat 15 sudah 129 poin. Akhir tahun mungkin tidak akan sebesar ini selisihnya, tapi tetap saja...

Itu juga belum memperhitungkan selisih dengan peringkat terbawah dan yang sampai bulan ini gak ada luaran sama sekali. Setidaknya masih ada  27 orang yang luarannya tahun ini masih kosong. Yah, memang baru tengah tahun, sih... Masih cukup waktu, semisal memang NIAT menghasilkan luaran ilmiah sebagai pertanggung jawaban terhadap fungsionalnya dan pembayar gajinya. Tapi semisal mau tetap jadi deadwood beban APBN, ya mbuhlah, mumet.

Setidaknya, pola di atas menunjukkan adanya jurang performa yang sangat besar antara satu SDM Iptek dengan SDM Iptek lain. Mungkin sebagian akan bilang, "Ya kan riset gak cukup setahun!" bla bla bla. Ya, kalau bicara di aspek pertanian atau peternakan, masih masuk akal. Tapi satker ini mayoritas main di komputasi, cuma tiga Kelris saja yang main di alat eksperimen. Kalau masih susah juga menghasilkan luaran, hopeless sekali Anda ini...

Anyway,

Jurang performa ini menunjukkan ada yang memang high performing, ada yang low performing. Ada yang overwhelming, ada yang underwhelming. Sialnya, yang high performing (biasanya karena publikasi KTI banyak) seringkali dibebani sebagai exit liquidity, alias jadi sekoci penyelamat untuk membebaskan para deadwood dari beban KKM yang dianggap terlalu berat. Jadi antara kepakaran dan publikasi KTI yang dihasilkan gak nyambung.

Pada akhirnya, ketimpangan produktivitas ini mengisyaratkan bahwa kinerja satker ditopang oleh minoritas pegawai. Sebagian kecil pegawai memanggul beban lebih besar dan kontribusi lebih banyak dalam memenuhi target luaran satker.

Contoh, per saat ini, ada 30 jurnal internasional yang penulis pertamanya orang sini. Kalau 15 peringkat teratas gak berkontribusi, maka sisanya tinggal 12 jurnal internasional. Hilang 3/5. Kalau 5 teratas gak mau kontribusi, sisanya tinggal 20. Hilang 1/3. Jadi, 5 dari 122 orang memanggul 1/3 luaran KTI di jurnal internasional.

Timpang.

Saya jadi ingat efek pelebaran Doppler dalam fisika reaktor nuklir. 


Dalam reaksi fisi berantai di reaktor nuklir, tampang lintang tangkapan netron bahan fisil di zona resonansi akan mengalami efek pelebaran Doppler ketika bahan bakar mengalami pemanasan. Biasanya, tampang lintang tangkapan dan fisi memiliki puncak-puncak yang sangat lancip (lihat garis hitam), ada yang tinggi sekali dan ada yang rendah. Sementara, ketika terjadi pelebaran Doppler (garis merah putus-putus), luas area di bawah garis melebar, di mana puncak tampang lintang menurun dan lembah tampang lintang naik. Ketimpangan antara puncak tampang lintang dengan lembah tampang lintang berkurang. Pada kondisi ini, bahan bakar akan mengeluarkan umpan balik reaktivitas negatif; laju reaksi fisi dan tangkapan berkurang, sehingga reaktivitas bahan bakar seiring dengan kenaikan temperatur reaktor. Hal ini yang menjamin keselamatan reaktor nuklir, membuat temperatur bahan bakar menjadi self-regulated.

Efek pelebaran Doppler ini, setelah saya pikir-pikir, tampaknya penting dalam keberlanjutan kinerja suatu Pusat Riset. Menjamin kestabilan, Jadi gak ada kelompok minoritas yang harus jadi pemikul kinerja mayoritas dari Pusat Riset. Karena kalau misalkan kelompok minoritas tersebut mendadak hilang (karena tugas belajar atau pensiun, misalkan), yang lain akan kelabakan untuk menutupi lubang yang ditinggalkan mereka. Apalagi kalau target Pusat Riset semakin banyak, akibat Kutukan Kinerja Tinggi. Mau bagaimana memenuhinya?

Dari sini, saya berpikir bahwa mentalitas bahwa "yang produktif harus dibebani kerja lebih banyak" itu mesti dibasmi. Dihilangkan sama sekali, jangan sampai ada sisanya. Kalau sudah produktif di satu hal, jangan dikasih beban kerja lagi. Berdayakan lah yang gak produktif, yang gak jelas kerjanya apa selain ngabisin APBN secara sia-sia. Beri tuntutan kinerja lebih tinggi pada yang selama ini gak produktif dan kurangi beban kinerja bagi yang selama ini produktif. Supaya apa? Supaya ketimpangan berkurang, dan kinerja Pusat Riset bisa dijaga kestabilannya. Sehingga, ketika misalkan kelompok minoritas tulang punggung kemudian ada yang pergi tugas belajar atau dimutasi atau pensiun, yang lain masih cukup berkinerja untuk bisa membantu menutupi kekosongan tersebut.

Tapi bagaimana kalau yang selama ini gak produktif kemudian gak mau ketika dituntut luaran lebih?

Beri ancaman sanksi saja. Kasih kinerja jelek, gitu. Supaya tunkin turun 30-50%.

(Semisal dalam sebuah skenario mustahil saya jadi Kepala Pusat, selain kasih kinerja jelek, saya juga akan lempar Surat Peringatan 1. Tapi untuk alasan itu pula, rasanya mustahil saya jadi Kepala Pusat)

Ringkasnya?

Pertama, para high performer ini harusnya dikurang-kurangi bebannya. Jangan dikasih tanggung jawab terlalu banyak mentang-mentang produktif/berguna, apalagi jadi exit liquidity.

Kedua, kurangi ketimpangan performa antar pegawai agar kinerja Pusat Riset lebih stabil dan selamat dari kondisi "kecelakaan."

Apakah hal ini bisa terwujud? Gak tahu, Kepala Pusat saja bukan. Gak pegang kebijakan. Tapi secara teoretis, saya akan memegang prinsip ini kuat-kuat. Bahwa Pusat Riset perlu menerapkan efek Doppler untuk menjaga kestabilan performa dalam jangka panjang.

Sudah, itu saja pembaruan kali ini. Berikutnya kembali ke omnishambolic reality ketika tuntutan kinerja luar biadab tapi dukungan super minim.

Senin, 15 April 2024

Nalar Bodor Ateis Dobol

Dalam berbagai analisis saintifik, misal di ilmu fisika, kebenaran suatu analisis bergantung pada asumsi model yang digunakan. Contoh ketika mau analisis mekanika fluida. Ketika fluida kerja yang berlaku adalah lelehan garam pada temperatur 700 °C, maka tidak bisa mekanika fluida ini dianalisis menggunakan model fluida Newtonian. Mau tidak mau harus menggunakan model fluida non-Newtonian. Menggunakan model fluida Newtonian untuk menganalisis mekanika fluida lelehan garam hanya akan membawa hasil analisis yang salah total. Koefisien viskositas yang harusnya dinamis (dynamic viscosity) malah jadi constant viscosity. Hasilnya, analisis turbulensi aliran fluida dan transfer panas akan berantakan.


Contoh lain misalkan analisis kinetika reaktor nuklir pada molten salt reactor. Jika kalkulasi periode reaktor dihitung dengan mengasumsikan tidak ada fraksi netron kasip yang hilang dari teras reaktor akibat sirkulasi bahan bakar garam di kalang primer, maka nilai periode reaktor akan overestimasi, terlalu tinggi dibandingkan sistem riil. Dalam praktiknya akan berbahaya pada kendali reaktivitas reaktor, karena waktu respon terhadap transien akibat sisipan reaktivitas jadi keliru akibat salah hitung periode reaktor.


Dari kedua contoh ini, cukup jelas bahwa menganalisis sebuah sistem, menggunakan persamaan matematis, WAJIB dilandaskan pada asumsi yang tepat, kalau tidak mau hasilnya berantakan.


Maka, kalau ada ateis dobol yang secara semprul mengasumsikan bahwa "Agama yg men-claim bahwa semua pengetahuan di dunia sudah ada pada agamanya mengimplikasikan bahwa tidak ada pengetahuan baru di luar agamanya" dan membuat kurva matematis yang menunjukkan bahwa keberagamaan menghasilkan kemunduran sains, maka jelas tanpa keraguan sedikit pun bahwa itu adalah asumsi ngawur yang dibentuk dari kedunguan kronis, tidak berlandaskan realita, hanya asumsi delusionalnya sendiri. Maka, kurva yang dibentuk dari persamaan yang mengasumsikan hal tersebut hasilnya akan ngawur babar blas.


Ini belum membahas model persamaan matematisnya yang bisa didebat sampai kiamat.


Jadi penyembah sains bukan jaminan otaknya cerdas, lebih sering kejadian justru sebaliknya, tambah bego beyond recognition. Biasanya, penyembah sains model begini juga tidak ada kontribusi ke sains itu sendiri, alias gede mulut doang. Sementara yang beragama dan taat justru kontribusinya lebih banyak dan lebih berdampak, baik dalam ilmu alam maupun ilmu rekayasa teknik.


Ateis luar sibuk dalam pengembangan saintek tanpa sibuk merecoki masalah agama, sementara ateis di mari sibuk merecoki agama tapi tidak ada kontribusi apa-apa dalam kemajuan saintek. Yang ngawur kebijakan negara, yang disalahin agama. Mau heran tapi…

Sabtu, 02 Maret 2024

Hukum Asal Perkataan Mereka Adalah Bohong Sampai Terbukti Benar

Dalam ushul fiqh, ada kaidah syar'iyyah yang bunyinya kurang lebih begini,

"Hukum asal suatu perbuatan adalah terikat pada hukum syara'."

"Hukum asal suatu benda adalah mubah sampai ada dalil yang mengharamkannya."

Kedua kaidah ini berbicara terkait hukum asal dari benda dan perbuatan. Tidak ada yang lebih mendasar daripada ini, karena kehidupan manusia memang berkisar pada dua hal tersebut: Benda dan perbuatan. Terkait benda, maka hukum asalnya adalah mubah atau halal. Semua benda pada dasarnya halal, kecuali yang Allah nyatakan keharamannya. Misalkan darah, khamr, bangkai, babi, anjing, hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, dsb. Benda-benda yang diharamkan ini tidak terlampau banyak, jauh lebih banyak yang halal. Makanya kecuali bisa dibuktikan bahwa benda tertentu itu mengandung bahan yang diharamkan, hukumnya adalah halal.

Bukan sebaliknya, haram (minimal syubhat) sampai ada sertifikat halal MUI. Itu kaidah ngawur bin sesat yang tidak pernah dikenal dalam khazanah pemikiran Islam.

Btw, "bukti" di sini tidak perlu harus secara saintifik sekali, lho, ya. Pakai rasio pun bisa. Contoh, Anda lagi di Korea Selatan. Terus lihat ada daging sapi. Apa perlu dibuktikan secara saintifik bahwa itu haram? Ya enggaklah, ngaco. Pakai itu rasio! Sudah dikasih akal buat mikir kok lagaknya segala harus saintifik.

Sementara perbuatan adalah hal yang sama sekali berbeda. Perbuatan tidak ada yang bersifat netral, semua pasti ada nilai tertentu. Maka, perbuatan tidak bisa jatuh ke aspek halal-haram, melainkan ahkamul khamsah (wajib, mandub, mubah, makruh, haram). Dan nilai perbuatan tersebut masuk hukum yang mana, itu tergantung pada hukum syara' terkait perbuatannya. Makanya hukum asal dari perbuatan itu terikat pada hukum syara', bukan semua perbuatan itu mubah sampai ada larangannya. Ngawur itu.

Jadi, pada dasarnya selalu ada hukum asal dari sesuatu, entah benda maupun perbuatan. Tidak ada yang kosong dari hukum asal, bahkan sekalipun kita membawanya dalam konteks yang lebih luas.

Misalnya, "hukum asal pernyataan entitas ilegal penjajah israel adalah bohong." Nah, itu sudah jadi hukum dasar yang menjadi landasan berpikir seseorang. Bahwa, semua yang disampaikan oleh entitas penjajah ilegal itu, dalam kondisi apapun, adalah bohong. Mengingat, dari zaman Nabi Ya'kub masih hidup sekalipun, mereka adalah bangsa culas, pembohong, penipu, pengkhianat. Apalagi sekarang. Tidak ada kondisi pengecualian dalam kaidah ini, karena mereka sudah pasti membual, berbohong, untuk menjustifikasi eksistensi menjijikkan mereka dan genosida yang mereka lakukan.

Berdasarkan kaidah ini, maka semua pemberitaan yang bersumber dari entitas penjajah ilegal itu, adalah bohong, penipuan, propaganda. Titik. Selesai.

Ada juga yang mengajukan kaidah seperti, "hukum asal penyataan petinggi adalah bohong sampai terbukti bahwa mereka jujur." Jadi dalam konteks ini, para petinggi (entah itu lembaga, perusahaan, sekolah, univesitas, whatever) itu hanya bualan belaka, sampai terbukti bahwa pernyataan itu benar adanya dan terwujud di instansi mereka. Biasanya, hal ini bersumber dari ketidakpercayaan mereka pada petinggi-petinggi instansi tersebut, dan ketidakpercayaan muncul dari inkonsistensi antara ucapan dan perbuatan para petinggi. Jadi yang dibicarakan apa, yang dijanjikan apa, yang terjadi apa. Yang dijanjikan di awal pekerjaan administratif akan lebih ringan, realitanya malah jadi tambah berat.

Berdasarkan kaidah ini, omongan para petinggi hanya bisa dipercaya jika cuap-cuapnya sudah terbukti. Baru omongannya dianggap benar. Kalau tidak... ya kembali ke kaidah asal.

Kedua contoh kaidah ini kesamaannya apa? Keduanya bersumber dari distrust. Ketidakpercayaan pada subjek kaidah. Dalam konteks keorganisasian, entah organisasi apapun itu, distrust biasanya akan merapuhkan loyalitas bawahan terhadap atasan. Sebabnya? Banyak, tapi utamanya ya tadi: Inkonsisten, pembual, bahkan sering menetapkan kebijakan-kebijakan tidak menyenangkan bahkan merugikan. Kalau sudah begini, bagaimana bisa berekspektasi bahwa bawahan akan percaya pada janji-janji atasan?

Jadi semisal IDF merilis video bahwa warga Palestina mati bergelimpangan karena rebutan makanan, maka berdasarkan kaidah di atas, IDF itu berbohong. Karena realitanya memang kera-kera bau bangkai itulah yang menembaki warga Palestina yang kelaparan setelah mereka bom berbulan-bulan. Siapapun yang percaya narasi entitas penjajah ilegal israel, maka sesungguhnya dia punya IQ di bawah nol.

Juga misalkan ada petinggi instansi yang cuap-cuap soal keberhasilan kinerjanya atau target-target perubahan ke depannya, maka berdasarkan kaidah kedua, penganutnya akan menganggap petinggi itu cuma membual saja, sampai terbukti bahwa apa yang dia lakukan itu terwujud.

Ringkasnya, selalu ada hukum asal untuk sesuatu, bahkan dalam konteks luas. Termasuk kaidah terkait bohong, bahwa sebagian pihak ketika berbicara memang mulutnya penuh belepotan dengan membual dan berbohong. Yang model begini, apalagi dalam contoh kedua, akan sulit untuk menjadi instansi yang berjalan dengan baik. Karena model hubungan antara atasan dan bawahannya adalah berbasis distrust, bukan trust.

Till the next update,

Andika 

Senin, 26 Februari 2024

Ini Bukan Tentang Pengemudi Bus...

Pengemudi yang baik itu tahu kapan waktunya menginjak gas, kapan menginjak rem, kapan lurus terus, kapan belok.

Kalau hobinya nginjak gas terus, padahal di depannya ada jurang, ya sudah tahulah akhirnya seperti apa.

Bahkan yang kena 'masalah' bukan cuma dirinya sendiri, tapi juga penumpangnya.

Makanya mesti jadi penumpang yang cerdas, dan mau memperingatkan pengemudi supaya tidak nginjak pedal gas terus, seolah-olah jalannya cuma lurus.

Padahal jalannya berbatu, kelak-kelok, dikelilingi rawa dan muskeg, dan ujungnya jurang.

Kalau penumpang yang punya IQ < 78, jalan begini pun tetap saja mendukung pengemudi untuk "oke gas terus!" dan penumpang yang cerdas malah dirundung habis-habisan dan dilaporkan ke kernet.

Tapi ini bukan tentang pengemudi bus.

Sabtu, 24 Februari 2024

(In)konsisten(si)

Seperti bisa ditebak, saya tidak bisa konsisten mengisi blog ini.

Terakhir saya cek, postingan sebelum ini tertanggal 28 Januari 2024. Sekarang 24 Februari 2024. Hampir sebulan sudah saya tidak mengisi blog. Alasannya sederhana, repetitif, dan tidak ada kreatif-kreatifnya: Malas. Tidak ada mood. Sudah, itu saja.

Bukan berarti tidak ada ide yang bisa ditulis. Kalau saya buka editor blog, meski sebelumnya tidak ada yang dipikirkan, pasti ada saja yang bisa dikeluarkan untuk ditulis. Seperti postingan ini. Pertama buka tidak ada ide sama sekali mau nulis apa, tapi akhirnya toh jadi juga.

Konsisten itu memang perkara yang sederhana di tulisan tapi susah di eksekusi. Kenapa? Tidak tahu, saya tidak bisa menjawab untuk orang lain. Kalau untuk saya pribadi, sih, terkait inkonsistensi dalam mengisi blog, alasannya jelas, sebagaimana tertulis di paragraf 2.

Masih untung inkonsistensi ini dalam perkara yang tidak ada efeknya ke orang lain. Masalahnya adalah kalau sikap inkonsisten ini ngaruh ke urusan banyak orang, atau ngaruh ke opini publik terkait seseorang atau sesuatu.

Misalkan masalah akhir tahun lalu, terkait isu Rohingya. Banyak yang berpura-pura mendukung Palestina, tetapi malah antipati terhadap Rohingya. Padahal nasib mereka sama. Mentang-mentang Rohingya tidak good-looking, sampai sebegitunya...

Kalau kemanusiaan saja pilih-pilih, apalagi yang lebih tinggi dari kemanusiaan. Busuk, kali, ya.

Lalu inkonsistensi terkait sikap politik. Well, saya tidak tertarik dengan politik praktis, politik partisan, dan ribut-ribut di atas terkait perebutan jabatan, perebutan kekuasaan bla bla bla berkedok kontestasi demokrasi. Cuma kalau saya perhatikan, ya lucu saja. Antara kontestasi lima tahun lalu dengan sekarang, ada yang sikapnya berubah. Tapi begitu ada omon-omon di balik layar, eh kembali lagi ke mode default. Ada yang dulunya begitu mendukung, eh sekarang menentang dan menuduh yang didukungnya itu pengkhianat (buset, lima tahun lalu diingetin kemana aja?). Ada yang menuduh lawan politiknya cawe-cawe, eh luluh juga ketika anaknya dijadikan Menteri.

Duh.

Termasuk ada juga yang dulunya di SMA taat syariat, rajin ibadah, beberapa tahun setelah lulus kerudungnya dilepas. Ada yang alumni pesantren, lulus malah jadi pabalatak kelakuannya. Ada yang dulunya pro-nuklir, setelah dipecat dari instansi (mungkin karena kesalahannya sendiri juga), berubah jadi anti-nuklir. Dari yang awalnya taat, di kemudian hari malah murtad. Dan sebagainya.

Ada juga yang awalnya bikin aturan boleh kerja di mana saja, tapi kemudian cuma boleh di dalam wilayah negara, lalu berubah lagi harus ada hari masuk kerja di kantor. Alasannya karena peraturan itu dinamis, tapi namanya 'dinamis' itu beda tipis dengan inkonsisten dan plin plan. Kedengaran cuma fancy word saja.

Konsistensi itu mahal, memang. Tidak semua mampu melalui ujian konsistensi di jalur yang benar.

Semoga kita bukan bagian dari manusia-manusia inkonsisten semacam itu. Inkonsisten yang bikin kacau hidup orang dan memengaruhi opini banyak orang. Tetap teguh di jalan yang benar, jalan yang sahih, jalan yang diridhai, meski itu kadang membawa tekanan ke diri kita sendiri. Walau berat, ingatlah bahwa kita akan dibangkitkan di akhirat.

Till the next update.

Andika