Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Kamis, 21 Agustus 2025

Orang Saintek Kaku?


Orang saintek dibilang pemikirannya kaku? Cuma hitam-putih, tidak bisa dinamis? Karena sains itu eksak sementara ilmu sosial fleksibel?

Saya tidak tahu dari mana kesan ini muncul, tapi pasti bukan dari orang saintek. Karena orang saintek beneran tidak akan mengatakan bahwa saintek itu eksak, dalam artian cuma ada kemungkinan biner antara benar atau salah. Kalau yang dibilang begitu orang matematika, masih masuk akal, meski tidak berlaku untuk semua keadaan juga. Tapi saintek? Ngaco.

Justru saintek banyak bermain dengan ketidakpastian. Sains bermain dengan model-model yang dianggap cukup akurat dalam merepresentasikan sebuah masalah dalam keadaan batas (boundary condition) tertentu. Model ini tidak bisa digunakan untuk keadaan di luar keadaan batasnya. Makanya sains selalu diperbarui ketika ada temuan terbaru. Mekanika Klasik Newton, misalkan, tidak bisa menjelaskan fenomena skala kuantum. Makanya diperbarui (atau lebih tepatnya, dilengkapi) dengan Mekanika Kuantum Einstein. Demikian pula, model atom Dalton diperbarui hingga model atom Bohr dan sekarang model kuantum.

Sains juga memiliki ketidakpastian. Contoh di fisika atom, probabilitas reaksi tangkapan netron di rentang energi tertentu oleh nuklida tertentu memiliki rentang ketidakpastian. Itulah mengapa evaluasi data nuklir versi ENDF, JENDL, CENDL, JEFF, seringkali beda satu sama lain. Versi terbaru pun terus memperbarui datanya agar ketidakpastian itu bisa dikurangi.

Ilmu teknik/rekayasa bermain dengan margin. Teknik jarang menggunakan angka eksak, melainkan dengan menghitung angka standar menggunakan estimasi terdekat dan menetapkan margin nilai yang bisa diterima. Kenapa? Karena fenomena sistem teknik tidak selalu bekerja eksak, seringkali terjadi osilasi dan ketidakpastian dalam fenomena fisis yang digunakan dalam sistem tekniknya.

Jadi, keliru sekali jika dikatakan bahwa orang saintek itu berpikirnya kaku dan biner. Orang saintek sudah familiar dengan ketidakpastian pada kesempatan pertama mereka belajar saintek.

Yang membedakannya dengan orang soshum adalah

1. Ada batas ketidakpastian yang bisa diterima dan tidak,

2. Ada konsensus tentang sebagian fenomena yang sudah dipastikan kebenarannya. 

Contohnya, konsensus bahwa bumi ini bulat, tidak datar. Itu tidak bisa digugat lagi, karena klaim bumi datar bertentangan dengan realitas fisis terindera. Tidak bisa digunakan klaim fleksibilitas dan opini untuk mengakui argumen bumi datar.

Contoh lain, konsensus bahwa pemanasan global bersifat antropogenik. Itu sudah tidak bisa digugat lagi karena klaim bahwa pemanasan global bersifat alami bertentangan dengan realitas terindera dan data-data yang dikumpulkan secara konsisten dan independen. Yang masih ada ketidakpastian adalah prediksi seberapa buruk dampak pemanasan global dan laju kenaikan temperatur, bukan dari eksistensi pemanasan global antropogenik itu sendiri.

Demikian pula soal isu vaksinasi MMR menyebabkan autisme, jelas tertolak dan tidak bisa diterima sebagai opini sebagaimana ilmu soshum menerima opini karena bertentangan dengan data-data ilmiah yang teruji secara konsisten dan independen.

Dari sini, jelas bahwa tuduhan bahwa orang-orang saintek itu berpikirnya kaku dan saklek, tidak dinamis, adalah omong kosong besar. Orang saintek sudah paham tentang ketidakpastian sejak awal, hanya yang membedakan adalah ketidakpastian itu memiliki limit. Tidak benar-benar bebas, karena ada hukum dasar yang masih perlu untuk dipenuhi. Kalau kesannya kaku, maka "kekakuan" itu ditujukan untuk menjaga konsistensi dengan batas yang bisa diterima dan konsensus yang sudah tidak bisa dibantah lagi, tidak ada hubungannya dengan close-mindedness!

Justru inovasi banyak bermunculan dalam bidang saintek, kadang-kadang memperbarui hingga menggeser teori lama. Sementara ilmu soshum kadang justru lebih kaku dan mandeg dengan teori-teori yang dirumuskan orang-orang tertentu tanpa mau keluar dan menggugatnya, seperti definisi textbook soal kapitalisme. Kreativitas malah lebih terlihat di bidang saintek yang dianggap "kaku," sementara yang dianggap "dinamis" malah bersikap kaku terhadap inovasi.

Minggu, 17 Agustus 2025

Banyak-Banyakan Publikasi, Untuk Apa?

Kalau ada satu "penyakit" yang sepertinya cukup mengganggu di dunia akademia saat ini, hal itu adalah banyak-banyakan publikasi.

Belum lama ini, saya membaca berita di website salah satu universitas domestik soal mahasiswa pascasarjana yang menyelesaikan kuliah S2-S3 dalam tiga tahun (!!!) dan menerbitkan 25 publikasi ilmiah dalam tiga tahun kuliahnya tersebut. Artinya, ada delapan publikasi ilmiah di jurnal internasional dalam setahun.

Lalu, seorang rekan kemudian membagikan berita soal dokter alumni S3 Belanda yang mendapatkan penghargaan dari MURI terkait rekor publikasi terbanyak selama studi doktoral, yakni 68 publikasi ilmiah! Saya memulai riset sejak 2018, yang artinya sudah 7 tahun terlibat di dunia litbang, dan publikasi di jurnal internasional masih tidak sampai 20.

Tidak ketinggalan pula, pemenang reality show kapitalis bertopeng pendidikan ajang kompetisi intelejensia mahasiswa Musim Pertama, yang saat ini masih mahasiswa S1 di universitas lokal, sudah publikasi belasan publikasi ilmiah, dua di antaranya sebagai penulis pertama. Mayoritas di jurnal internasional terindeks Scopus pula.

Walau demikian, setelah saya cek lagi di akun Scopus dan Google Scholar masing-masing individu tersebut, mayoritas adalah... systematic literature review (SLR) dan meta-analysis. Review article, bukan original research article. Ada, memang, original research article (kecuali pemenang reality show kompetisi pendidikan), tapi tidak sebanyak itu. Mayoritas, kalau bukan semuanya, dipublikasikan ketika sedang menempuh jenjang perkuliahan, sedikit sekali di luar perkuliahan.

Dari situ, saya jadi sering terpikirkan soal hakikat publikasi ilmiah. Sebenarnya apa, sih, yang dituju dari publikasi ilmiah ini? Publikasi ilmiah itu sebenarnya untuk apa? Kenapa sekarang normanya jadi seolah-olah lulus secepat-cepatnya dan publikasi sebanyak-banyaknya? In a sense, tren ini juga saya curigai mulai muncul di lembaga riset yang harusnya menelurkan publikasi berupa original research article, bukannya banyak-banyakan publikasi SLR dan meta-analysis.

Perlu diakui bahwa publikasi ilmiah negeri ini masih sedikit. Untuk ukuran negara sebesar Indonesia, data Scimago menunjukkan bahwa jumlah dokumen terpublikasi yang terindeks lembaga pengindeks komersial sejenis Scopus dan Web of Science baru berada di peringkat 37. Setingkat di bawah Singapura dengan jumlah penduduk yang...  agak memalukan untuk membandingkan keduanya. Bahkan lebih rendah daripada entitas ilegal fasis rasis maniak genosida yang berada di peringkat 26. Ini belum bicara sitasi per dokumen dan H-Index yang paling rendah di antara 50 negara dengan dokumen terpublikasi paling banyak!

Kinda embarrassing, really...

Publikasi ilmiah memang salah satu indikator yang menunjukkan kualitas dan kemajuan riset sebuah negara. Masalahnya? Jumlah itu adalah indikator kualitas riset, bukan target riset! Publikasi ilmiah, seharusnya, bukan ajang gengsi-gengsian. Bukan ajang kompetisi kejar-kejaran banyak-banyakan, bukan! Jumlah publikasi ilmiah itu tidak lebih dari indikator, seberapa maju kualitas riset sebuah negara, bukan target yang harus dikejar!

Sepertinya ini yang disalahartikan oleh para pemangku kebijakan. Sadar bahwa publikasi ilmiah terindeks Scopus dan Web of Science masih sedikit relatif terhadap negara lain, akhirnya kuantitas digenjot habis-habisan. Tapi apakah tuntutan kenaikan kuantitas publikasi ini diimbangi dengan penambahan kuantitas anggaran? Apakah diimbangi dengan perbaikan fasilitas riset dan kenaikan gaji akademisi serta peneliti? Ya tentu saja... tidak. Justru makin ke sini makin diperketat, birokrasi dipersulit, bahkan anggaran riset turun dari Rp 26 triliun menjadi Rp 6-7 triliun. Tapi kuantitas publikasi harus diperbanyak.

Ini, logika dari mana?

Dari sini saya kira fenomena banyak-banyakan publikasi berbentuk SLR, meta-analysis, ditambah bibliometrik, mulai mencuat. Dengan krisis anggaran riset, penghematan anggaran demi proyek populis yang visi dan eksekusinya buruk, serta negara mengurangi pendanaan terhadap universitas yang makin kesini disuruh makin mandiri, sementara beban luaran makin banyak, para akademisi akhirnya mencari exit liquidity berupa menggunakan data sekunder, yang menghasilkan tiga jenis publikasi tersebut. Data sekunder, karena datanya sudah ada, dikerjakan oleh negara-negara lain yang ekosistem risetnya agak "mendingan" (karena tidak semuanya sehat juga), lalu tinggal ditelaah semua datanya dan diberi penafsiran dan kesimpulan sendiri dari kumpulan data itu. Kadang cuma membaca data saja, tidak ada analisis sendiri. Herannya masih terbit. Di jurnal terindeks Scopus pula.

Kalau sekadar exit liquidity, mungkin masih agak bisa diterima. Karena kepepet. Sementara pemberi anggaran sudah bawel menuntut luaran seperti kelelawar buah ketika melihat pepaya matang. Masalahnya, para akademisi dan peneliti tampaknya jadi ketagihan untuk terus menerus publikasi SLR, meta-analysis, dan bibliometrik. Pelatihannya muncul di mana-mana, untuk menggunakan tools bibliometrik dan SLR. Mahasiswa pascasarjana, yang harusnya disibukkan dengan original research, malah diajak banyak pihak untuk ikut nulis makalah SLR, meta-analysis, dan bibliometrik.

Mau dilihat dari manapun, fenomena ini jelas problematik. Publikasi ilmiah yang harusnya sebatas jadi indikator hasil riset, malah jadi ajang gengsi-gengsian dengan banyak-banyakan publikasi. Mana publikasinya dari hasil telaah data sekunder pula. Lalu ketika berhasil publikasi belasan hingga puluhan publikasi dalam setahun atau sepanjang masa studi, dianggap sebuah prestasi yang luar biasa.

Like, seriously?

Di mayoritas bidang, SLR dan bibliometrik itu seringkali hanya terpakai untuk bagian Latar Belakang/Introduction di manuskrip ilmiah. Meta-analysis paling berguna untuk riset bidang kesehatan, tapi bukan untuk dipublikasi sebanyak-banyaknya, melainkan ada kepentingan teknis untuk memandu original research. Mau dilihat dari manapun, tiga model publikasi itu tidak bisa dianggap sebagai primary research. Bukan riset utama, melainkan supporting research/riset pendukung. A mean, not a target.

Banyak-banyakan publikasi SLR, meta-analysis, dan bibliometrik, lalu berbangga dengan jumlah makalah yang terpublikasi itu, merasa telah berkontribusi dalam mendongkrak jumlah publikasi ilmiah negara, pada hakikatnya adalah sebuah bentuk kelucuan. Membanjiri dunia publikasi ilmiah, yang saat ini sudah tersaturasi, dengan jenis-jenis publikasi semacam itu, tidak lebih dari menghasilkan lebih banyak derau/noise dalam dunia riset, yang mulai jenuh dengan banyaknya publikasi dengan nilai tambah rendah, replikabilitas bermasalah, mitra bestari/reviewer yang lelah, dan entitas jurnal komersial yang terus menjajah.

Saat ini, dipublikasikan di jurnal terindeks Scopus bukan lagi bukti bahwa kualitas publikasinya luar biasa bagus. Oversaturasi publikasi dan mental kapitalistik penerbit jurnal komersial akhirnya menjadikan standar publikasi seringkali melonggar, dan ini sudah menjadi concern di dunia ilmiah internasional.

Akhirnya, akademisi semodel begini hanya berbangga-bangga dengan jumlah publikasi saja. Bukan kualitas publikasi, bukan peran publikasinya dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi karena jumlahnya banyak dan terindeks Scopus. Lalu ketika pola seperti ini dikritik, malah menganggap si pengkritik itu iri, dengki, hasad, tidak suka dengan prestasi orang lain, you name it.

Padahal masalahnya yang dikritik adalah fenomena banyak-banyakan publikasi yang cuma jadi derau dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di tengah dunia publikasi ilmiah yang terlalu banyak masalah. Tidak ada kaitannya dengan iri, hasad, dan sebangsanya. Hanya akademisi dan manusia berotak picik dan sempit yang berpikir seperti itu.

Publikasi semodel SLR, meta-analysis, dan bibliometrik ada pangsanya sendiri, tapi yang jelas bukan sebagai arah publikasi utama. Publikasi tersebut eksis sebagai pendukung dari tujuan utama: memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang mana, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut bergantung pada original research, yang menghasilkan publikasi berupa original research article.

Tidak ada ilmuwan/akademisi yang membangun karir dari publikasi SLR, meta-analysis, dan bibliometrik. Kalau ada, itu ilmuwan kualitas rendah yang tidak punya kontribusi apa-apa terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan mungkin tidak berguna dan tidak paham sama sekali ketika harus melakukan original research, karena bisanya cuma pakai data sekunder.

Tampaknya, Goodhart's Law dapat diberlakukan untuk fenomena ini.

"

When a measure becomes a target, it ceases to be a good measure
."

Jumlah publikasi itu fungsinya hanya sebagai ukuran, bukan target. Ketika jumlah dijadikan sebagai target, sebagai ajang gengsi, sebagai ajang hebat-hebatan, maka jumlah publikasi bukan lagi jadi alat ukur yang bagus.

Budaya bangga-banggaan dengan jumlah ini selayaknya dikurang-kurangi. Bahkan Rasulullah SAW pun pernah hampir mengalami kekalahan di Perang Hunain. Apa mentalitas kaum muslimin pada saat Perang Hunain? Berbangga dengan jumlah. Merasa tidak terkalahkan. Sampai Allah SWT menegur umat Islam dengan cara demikian, supaya tidak usah sombong dengan jumlah yang banyak.

Bagi akademisi/Peneliti sungguhan, kualitas >>> kuantitas. Tidak apa-apa hanya bisa publikasi 1-2 makalah tiap tahun. Bahkan mungkin baru bisa publikasi sekali dalam dua tahun. Utamakan kualitas, bukan kuantitas. Utamakan kebermanfaatan riset untuk dunia ilmiah, ilmu pengetahuan, atau aplikasi dunia nyata (tergantung jenis risetnya), tidak usah ngoyo dengan banyak-banyakan jumlah. Karena riset berkualitas bagus dan kuantitas banyak dalam waktu singkat itu sama utopisnya dengan berharap merkuri bisa berubah menjadi emas hanya dengan memaparinya dengan netron dari sumber AmBe, tidak ada dalam realita.

Bagi yang masih berbangga-bangga dengan jumlah publikasi, tapi hanya berbekal data sekunder dan hanya menjadi derau dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, semoga mau sadar dan mulai lebih fokus pada kualitas riset di original research.

Sabtu, 14 September 2024

Komentar (Kritik, Whatever) Tentang Systematic Literature Review

Jadi, saya secara random penasaran dengan salah satu peserta Clash of Champions yang sudah punya belasan publikasi internasional terindeks Scopus padahal masih mahasiswa S1. Waktu lihat akun google scholar-nya, per 30 Juli 2024, sitasinya sudah 157 (saya cuma 64), dan tahun 2024 publikasi 13 artikel (saya cuma 10, dan ini tahun paling produktif saya). Di akun Scopus, terdata ada 15 dokumen dan disitasi 86 kali.

(kalau tidak percaya, cek akun Scopus saya di sini dan akun Scopus mahasiswa tsb di sini. Per 14 September 2024, pasti sudah berubah dari yang disebutkan di atas)

Walau begitu, cuma ada dua publikasinya yang ditulis sebagai first author, sisanya sebagai co-author. Ketika dicek, kedua artikel tersebut bentuknya... Systematic Literature Review (SLR).


Baiklah, ternyata bukan cuma dua itu. Literally semua artikel ilmiahnya berbentuk SLR.

Oke. Memang saya gak percaya mahasiswa S1 bisa menghasilkan original research sebelum magang/KP atau skripsi. SLR sendiri gak terlampau mudah. Masalahnya, SLR itu cocoknya:
  1. Sebagai exit liquidity kalau kepepet, misalkan karena tuntutan KKM (orang BRIN familiar dengan ini), atau permintaan dari pemberi dana hibah penelitian, atau
  2. Telaah sungguhan untuk mencari tahu permasalahan pada suatu bidang yang kemudian menjadi landasan untuk riset berikutnya.
Bukan buat dikerjakan terus-terusan demi publikasi terindeks Scopus.

Kenapa?

Karena artinya risetnya demi publikasi, bukan demi pengembangan iptek itu sendiri. Apalagi dikerjakan mahasiswa S1 yang belum tentu akan menggunakan hasil SLR itu untuk kelanjutan risetnya.

Tentu saja bisa publikasi di jurnal internasional untuk level mahasiswa S1 itu suatu hal yang luar biasa. Menulis makalah ilmiah itu susah, bahkan yang sudah pengalaman meneliti puluhan tahun saja seringkali cara nulis artikelnya jelek sekali (percayalah, saya copyeditor di jurnal SINTA 2 dan Scopus Q4, sudah paham saya kelakuan mereka).

Yang jadi concern saya adalah model publikasinya yang banyak berbentuk SLR. Kondisi seperti ini adalah indikator kuat ada problema kronis di dunia akademik negeri ini, yang ditanamkan ke para mahasiswa, bukan demi kepentingan mereka.

Lantas untuk kepentingan siapa? Tentu saja para "akademisi" yang membutuhkan publikasi ilmiah internasional terindeks Scopus untuk menambah portofolio mereka, atau untuk akreditasi jurusan, atau hal-hal non-esensial lain dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua berlandaskan metrik-metrik kuantitatif yang gak selalu representatif terhadap kualitas pengembangan ilmu pengetahuan di sebuah institusi pendidikan/riset. Jumlah publikasi, lah. Sitasi, lah. Kuartil Scimago, lah. Akhirnya, SLR yang minim modal jadi jalan pintas dan cepat untuk meningkatkan metrik-metrik ambivalen sedemikian itu.

Apakah ilmu pengetahuan berkembang dengan adanya SLR? Bisa iya, bisa tidak. Tergantung tujuannya. Karena pada dasarnya, SLR itu alat dukung untuk menarik kesimpulan terkait studi yang telah masif dilakukan, yang kemudian memiliki implikasi kebijakan, atau untuk mencari celah penelitian, yang dapat diambil untuk arah riset berikutnya.

Untuk beberapa bidang, SLR itu bahkan cuma masuk ke introduction dari makalah bertipe original research. Di beberapa jurnal terkemuka, review article, mencakup di dalamnya SLR dan meta-analysis, dibatasi. Tetap saja original research yang didorong untuk dipublikasikan.

Lagipula, apa ada Peneliti sungguhan yang karirnya dibangun dari SLR? Kecintaan terhadap dunia riset, atau kepakaran dalam dunia riset (semisal gak cinta tapi butuh kerjaannya untuk hidup) dibangun dari original research. Bukan dengan portofolio puluhan SLR. Itupun bukan penulis pertama, yang biasanya mengerjakan > 70% isi artikel. Kecuali memang mau jadi Analis Kebijakan atau sebangsanya, masih agak masuk akal meski gak sepenuhnya. Tapi jadi akademisi sungguhan? Big No.

Gak ada karir akademik yang dibangun dari analisis data sekunder.

SLR selalu merupakan riset "sampingan," sementara yang utama selalu original research. Kalau pertumbuhan publikasi SLR makin menjamur, tanda-tanda gelembung akan segera pecah. Budaya akademik menjelang ambruk. Karena para akademisi yang seharusnya membangun budaya ilmiah dan akademik yang sehat dengan mendorong original research dengan berfokus pada proses dan dampak, malah berbondong-bondong mengejar publikasi SLR demi metrik-metrik fana yang tidak ada kaitannya dengan pembangunan sektor ilmiah.

N.b.: Tentu saja, akan ada akademisi yang meradang dan protes akibat kritikan saya ini. Biasanya, mereka adalah akademisi problematik yang dengan sengaja memelihara kebusukan ini untuk kepentingan pribadi mereka.

Minggu, 07 Januari 2024

Penghargaan Yang Layak?

Minggu pertama tahun 2024, tidak banyak yang dikerjakan. Kecepatan aktivitas tidak secepat biasanya. Entahlah, barangkali karena sudah enggan terlalu sibuk kerja karena toh tidak ada apresiasi yang layak dengan sistem Angka Kredit yang baru. Mungkin malas karena terlalu banyak ekspektasi ke golongan muda sementara yang sudah tua dibiarkan saja tidak banyak bekerja. Mungkin menyesuaikan dengan grade tunjangan kinerja juga yang tidak cukup tinggi untuk diekspektasikan menghasilkan luaran mahadahsyat.

Toh pada akhirnya, risetnya juga jalan sendiri, karena tidak ada rekan yang bisa diajak kolaborasi serius. Sudah pada sibuk dengan urusan masing-masing, dan tidak ada lagi yang paham molten salt reactor (MSR) di sini selain saya dan satu kolega lagi--yang notabene cukup sibuk kemana-mana karena dipercaya dalam banyak hal.

Setidaknya, dengan bapaknya kemana-mana, PRTRN tidak akan bengong ketika ditanyai soal MSR. It'll be Goddamn embarrassing if that were the case.

Bicara soal penghargaan, ketika terpikir soal sistem baru yang memanjakan pegawai malas dan merugikan pegawai produktif ini, saya jadi terpikir soal kalangan yang jauh sekali dari menerima penghargaan yang layak.

Guru. Dosen. Tenaga kesehatan.

Seriously, alumni sarjana pendidikan itu melimpah tiap tahunnya. Tapi kenapa tahun 2024 diprediksi akan terjadi krisis guru? Kekurangan guru?

Ya karena alumni sarjana pendidikan ini tidak mau jadi guru.

Kenapa tidak mau jadi guru?

Karena penghargaannya tidak layak.

Bagaimana mau dikatakan layak, gaji guru honorer (dalam 90% kesempatan) tidak ada Rp 1 jt per bulan. Kadang dirapel 3 bulan sekali. Beban kerja tinggi. Tuntutan sealaihim gambreng. Lalu ketika mengharapkan gaji lebih layak, dirujak oleh netijen kurang asupan otak yang mengatakan bahwa "guru itu memang mengabdi!" "kalau mau kaya jangan jadi guru!"

Gee, I wonder who'll teach their children. ChatGPT?

Memang orang-orang dengan nalar bermasalah itu selalu susah melihat orang lain senang dan senang melihat orang lain susah. Apa hidup mereka susah juga, makanya tidak senang orang lain hidup senang dan mau semua orang sesusah dirinya? Dragging people down to their level? Atau seperti postingan saya sebelumnya, memang punya mental penindas?

Tugas berat bagi masyarakat dan negara untuk membasmi kerusakan berpikir dan cacat mental semodel ini. Rasa-rasanya agak-agak mulai mendarah daging di sebagian kalangan.

Kembali ke topik. Ketika guru dibayar cuma segitu, dan orang-orang tahu, apakah kira-kira para SDM berkualitas tinggi akan mau jadi guru?

Ya enggaklah.

Mereka akan memilih jurusan kuliah lain yang lebih menjanjikan. Sementara yang masuk pendidikan cuma yang sisa-sisa saja. Dari sisa-sisa itu, yang relatif lebih unggul akan enggan berkarir di sektor pendidikan, dan memilih sektor lain.

Akhirnya, siapa yang jadi guru beneran?

Sisa-sisa dari sisa-sisa. Sisaception.

Kalau SDM semodel itu yang menjadi guru, apa bisa diekspektasikan anak murid yang diajarnya jadi berkualitas? No offence, tapi perbedaan kualitas SDM itu nyata, dan realitanya ada saja guru yang tidak kompeten menjadi guru, sekalipun alumnus jurusan pendidikan.

Bahkan guru PNS pun tidak terlalu membaik sekali nasibnya. Ada sertifikasi guru, gaji juga bisa naik tiap dua tahun (walau kecil sekali kenaikannya). Tapi syarat-syaratnya susah. Lama. Dan dapatnya juga tidak terlalu besar. Oh iya, tidak ada tunjangan kinerja juga.

Guru PNS yang sudah dapat sertifikasi guru, kira-kira sudah bekerja lima tahunan lebih, kemungkinan besar total take home pay mereka masih di bawah Peneliti Ahli Pertama golongan III.a yang baru dilantik fungsional.

(Well, saya malas hitung-hitungan totalnya, tapi dugaan saya tidak berubah--THP total masih lebih kecil)

Ada diskrepansi lumayan besar di sini.

Bayangkan saja, guru yang harus berurusan dengan manusia, beban kerja seabreg, tuntutan segede gaban, kalau dia honorer, digaji palingan Rp. 300-500 rb per bulan.

Sementara itu, ada fungsional teknis Ahli Utama dengan THP sampai Rp. 25-30 jt per bulan, sehari-hari tidak mau kerja, tidak mau riset, tidak mau berkarya, tidak mau berinovasi, maunya cuma sekadar numpang nama di publikasi orang supaya KKM dan HKM terpenuhi.

Mental sampah, sesampah hasil risetnya yang tidak pernah ada gunanya.

Kalau jadi guru wajib mengabdi? Mengabdi itu urusan pribadi masing-masing orang. Itu urusan Allah untuk menilainya. Bukan tugas manusia untuk menyuruh-nyuruh orang lain untuk mengabdi. Yang menjadi taklif, perintah, kewajiban yang ditetapkan Allah pada manusia, khususnya pemberi kerja, adalah menunaikan hak-hak pekerja. Apa hak-hak itu? Salah satunya adalah gaji yang layak. Bukan gaji yang besaran bulanannya setara dengan uang jajan R*f*t**r selama 20 menit.

(kalau ada pembela perbudakan berkedok pengabdian yang bawa-bawa fiqh soal 'ijarah, yuk ribut sini)

Jadi guru tidak boleh kaya? Para guru biasanya tidak meminta kaya. Mereka hanya ingin minimal bisa hidup layak. Bukan hidup blangsak karena gaji seuprit. Bagaimana mau menarik SDM berkualitas untuk jadi guru kalau gajinya sama sekali tidak berkualitas? Mau pendidikan membaik atau tambah rusak, sih? Kok sekadar layak saja masih pada koar-koar "kalau mau kaya jangan jadi guru!" Anda ini punya masalah apa dengan guru, sampai jahat sekali ocehannya?

Hal yang sama dengan dosen, walau pendetailannya agak lebih kompleks. But I'm not keen to write anything further about it at this point

Salah satu aspek kunci dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045 adalah dengan meningkatkan kualtas SDM. Peningkatan kualitas SDM tidak bisa dicapai kalau gurunya tidak berkualitas. Sementara, guru yang berkualitas tidak mau menjadi guru ketika gajinya cuma seuprit. Yang jadi guru adalah SDM yang agak kurang kualitasnya. Efeknya, murid-murid sekolah tidak mendapatkan sesuatu yang layak seperti dilakukan di sekolah tertentu. Kualitas intelektual warga Indonesia pun berkurang. Bukannya jadi Indonesia Emas 2045, bisa jadi malah Indonesia Cemas 2045.

Para pemberi kerja guru sebaiknya perhatikan masalah ini baik-baik. Kalau memang mau kualitas SDM negeri ini membaik, Anda tahu siapa yang harusnya mendapat penghargaan yang layak. Bukannya dianggap beban APBN atau beban anggaran yayasan.

Minimal hargai kehidupan para guru dulu. Tidak usah fafifuwasweswos soal pahala, karena itu bukan tugas Anda. Tugas Anda adalah memberi penggajian yang layak.

Sekian pembaruan minggu ini.

Till the next update.

Andika