Senin, 11 Agustus 2025

Ketika Ruwaibidhah Diberi Panggung


Dari Abu Hurairah r.a.Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya akan datang kepada manusia tahun-tahun penipuan, di dalamnya orang yang berdusta dipercaya sedang orang yang jujur didustakan, orang yang berkhianat diberi amanah, sedang orang yang amanah dikhianati, dan di dalamnya juga terdapat al-ruwaibidhah.” Ditanya, “Apa itu al-ruwaibidhah wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Yaitu orang bodoh yang berbicara (memberi fatwa) dalam urusan manusia.” (HR Ahmad)

Ini bukan hadits asing. Hadits ini sering sekali dibahas khususnya dalam berbagai ceramah terkait urusan publik. Biasanya ditujukan pada entitas-entitas kepemimpinan, mulai dari yang kecil seperti lembaga riset maupun entitas yang lebih besar seperti negara. Karena hadits ini bersifat mujmal, jadi bisa diaplikasikan untuk berbagai konteks. Tidak hanya pemimpin negara saja, bahkan tanpa terikat dengan suatu entitas tertentu sekalipun.

Abad 21 baru berjalan seperempat abad, dan makin kesini para ruwaibidhah tampak semakin banyak. Siapapun bisa berbicara soal apapun tanpa koreksi dan kontrol memadai. Tom Nicholls menyebutnya sebagai The Death of Expertise. Kepakaran kini sudah mati, berganti dengan popularitas. FYP dan interaksi/engagement menjadi mata uang baru untuk menentukan benar atau salah, bisa dipercaya atau tidak. Bukan lagi kebenaran objektif, tapi persepsi subjektif. Asal dia tenar, dia bisa dipercaya sebagai orang yang kredibel. Contohnya banyak, mulai dari pedagang hoax berkedok agama, "guru" obesitas yang bicara segala hal seolah-olah dia pakar dalam semua bidang, mentalis/pesulap/penghibur tipuan mata yang alih haluan menjadi tuan rumah siniar, dokter influencer tapi STR mati, sampai dukun anonim berkedok medis.

Tipikal-tipikal orang sejenis itu layak disebut sebagai ruwaibidhah. Mengapa? Karena berbicara tanpa ilmu terkait urusan manusia luas. Berbicara soal kesehatan membawa-bawa kedok agama, tanpa memahami bagaimana fahmul waqi' dalam sebuah persoalan, tanpa memahami dalil apalagi istidlal hukum syara', tanpa memahami ilmu medis seperti apa. Semua "argumentasi" yang disampaikan berbasis pada appeal-to-emotion fallacy, cuma memantik emosi/perasaan audiens dengan tajuk-tajuk kontroversial dan premis-premis palsu, serta penggunaan dalil syara' tidak pada tempatnya. Tapi karena menggunakan emotional appeal inilah, mereka mudah menyesatkan warganet yang memang pada dasarnya jarang yang mampu berpikir kritis.

Truth is boring. Fear sells. (Hargraves, 2012)

Tidak ketinggalan pula seseorang yang punya gelar PhD di bidang teknologi pangan, tapi berbicara sangat jauh melampaui kepakarannya tersebut sampai ke topik climate change, pandemi Covid-19, dan genetically modified organism (GMO). Sudah begitu, kemampuan penalaran dalam membaca publikasi ilmiah (scientific paper, atau kita sebut saja paper) dan menganalisis datanya relatif rendah. Tapi pede sekali mengatakan ini dan itu yang KATANYA merujuk pada paper tertentu, tapi apa yang disampaikan dengan isi paper sama sekali berbeda. Alias salah menafsirkan isi paper. Mulai dari paper soal Covid sampai soal glifosat, keliru semua.



Nah, kira-kira, kalau para ruwaibidhah sejenis ini diberi panggung oleh mereka yang punya basis audiens cukup besar, apa yang akan terjadi?

Betul. PEMBODOHAN MASSAL. Bukannya mencerdaskan kehidupan bangsa, bukannya mencerdaskan pemikiran umat, malah melakukan pembodohan terhadap umat. Maka akan menjadi masalah besar, ketika sebuah komunitas Islam yang katanya mengajak "mengaji" kemudian memberi panggung kepada para ruwaibidhah sejenis ini, maka sama saja pengikut dan audiens komunitas ini disajikan panggung pembodohan! 

Ketika "guru" obesitas yang sering membahas topik secara keliru dan akurasinya rendah kemudian diberi panggung oleh forum siniar dengan basis audiens cukup besar, maka kesan yang muncul adalah "guru" obesitas ini adalah seorang yang kompeten dan bisa dipercaya oleh audiens komunitas tersebut. Khususnya bahwa para audiens tidak terbiasa dan tidak pernah dilatih berpikir kritis oleh komunitas Islami tersebut, sementara para tuan rumah siniar juga tidak pernah menganggap pernyataan-pernyataan kontroversial dan keliru "guru" obesitas sebagai hal yang patut dikoreksi, sehingga yang terjadi adalah para audiens menelan mentah-mentah sikap dan pernyataan "guru" obesitas alih-alih bersikap kritis.

Ketika PhD lompat pagar yang hobi bicara konspiratif berbekal pemahaman keliru terhadap paper yang dibacanya diberi panggung oleh forum yang sama, maka komunitas tersebut sedang mengekspos audiens mereka dengan penyesatan pemikiran yang berbahaya. Karena kepercayaan berlebih terhadap tuan rumah siniar, audiens jadi meyakini bahwa orang yang diundang ke dalam siniar tersebut adalah orang yang kompeten di bidangnya, sehingga apa yang disampaikan PhD lompat pagar itu dianggap sebagai sebuah kebenaran. Mulai dari konspirasi bahwa pandemi Covid-19 adalah rekayasa manusia, sampai kedelai GMO akan menyebabkan kanker. Hal ini diperparah bahwa tuan rumah siniar tidak ada seorang pun yang memilikii gelar doktoral dan tidak ada yang kompeten sama sekali dalam bidang sains.

Ketika orang-orang sosialis diberi panggung oleh forum yang sama, tanpa ada usaha untuk membongkar pemikiran kufur sosialisme, audiens yang tidak pernah dilatih berpikir kritis jadi mudah sekali tergoyangkan pemahamannya dan jadi tertarik untuk mempelajari karya-karya orang sosialis tersebut. Bukan untuk dibantah, tetapi dijadikan sebagai referensi!

Kenapa sampai komunitas Islami tersebut memberi panggung terhadap para ruwaibidhah? Apa mereka tidak pernah sadar tentang reaksi publik yang cenderung negatif terhadap beberapa pihak, dan kekeliruan pemikiran di pihak lain?

Sepertinya alasannya tidak jauh dari memancing interaksi. Karena sekali lagi, FYP dan engagement adalah cara untuk menjadi terkenal di era posmodern. Engagement adalah berhala yang mesti disembah demi memiliki nama. Akhirnya semua dampak susulan dari interaksi tersebut tidak diperhitungkan sama sekali, meskipun itu adalah dampak negatif. Para ruwaibidhah, yang seharusnya di-delegitimasi posisiya, malah diberi kesan positif dan dikembalikan kepercayaannya oleh audiens, semata-mata karena diundang oleh komunitas Islami yang dianggap memiliki kesan positif.

Penyesatan pemikiran massal tersebut juga menyulitkan kalangan intelektual sungguhan dan orang-orang yang lurus pemikirannya untuk menyadarkan masyarakat dari kekeliruan pemikiran para ruwaibidhah ini. Para saintis sudah mati-matian berusaha menjelaskan fenomena riil terkait pandemi Covid-19, eh malah disesatkan lagi oleh komunitas Islami yang mengundang ruwaibidhah. Jadi menambah pekerjaan lagi. Sama, ketika para guru dan akademisi sungguhan sedang mengkritik kesalahan berpikir "guru" obesitas, komunitas ini malah membuat ruwaibidhah satu ini tambah menggelembung namanya (juga kepalanya).

Dengan kata lain, siniar komunitas Islami ini membantu menyebarkan kebodohan, kesesatan, dan fitnah, serta mempersulit hidup para intelektual sungguhan dalam mencerdaskan pemikiran umat Islam!

"Mengaji" apa yang sesungguhnya mereka ingin tunjukkan dengan praktik pemberhalaan engagement ini?

Apa mereka tidak bisa mengundang orang-orang yang kompeten dan lurus saja alih-alih sekumpulan ruwaibidhah? Apa karena saking buruknya isi komunitas mereka, sehingga mereka hanya mengenal dan menganggap penting ruwaibidhah asal punya nama dan bisa mengundang audiens-interaksi?

Praktik yang dilakukan komunitas Islami seperti ini tidak ada manfaatnya sama sekali. Alih-alih menjadi pahala jariyah, apa yang mereka lakukan ini bisa menjadi dosa jariyah.

“Siapa yang mengajak kepada kesesatan, dia mendapatkan dosa, seperti dosa orang yang mengikutinya, tidak dikurangi sedikitpun.” (HR Muslim)

Sayang sekali bahwa pengurus komunitas Islami ini terkenal bebal, besar kepala, dan anti-kritik. Mereka menggunakan kacamata kuda dalam melakukan aktivitasnya dan tidak mengenal kekeliruan dalam apa yang mereka lakukan. Yang mereka tahu hanyalah bahwa semua pengkritiknya adalah hasad, dengki, benci, iri. Tidak beda jauh dengan “musuh” yang didengungkan sebagian anggotanya. Ironis bahwa mereka menjadi persis sebagaimana apa yang mereka musuhi. Seperti zionis yang begitu membenci Nazi, tapi akhirnya mereka bertingkah seperti Nazi Jerman.


Kalau sudah begini, tinggal tunggu kejatuhannya cepat atau lambat. Pada titik itu, apakah audiens mereka masih akan sedemikian loyal pada mereka? Ketika loyalitas tertinggi seorang muslim yang harusnya disandarkan pada Allah dan Rasul-Nya, kini dialihkan pada pengkultusan individu dan kelompok?

0 komentar:

Posting Komentar