Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya akan datang kepada manusia tahun-tahun penipuan, di dalamnya orang yang berdusta dipercaya sedang orang yang jujur didustakan, orang yang berkhianat diberi amanah, sedang orang yang amanah dikhianati, dan di dalamnya juga terdapat al-ruwaibidhah.” Ditanya, “Apa itu al-ruwaibidhah wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Yaitu orang bodoh yang berbicara (memberi fatwa) dalam urusan manusia.” (HR Ahmad)
Ini bukan hadits
asing. Hadits ini sering sekali dibahas khususnya dalam berbagai ceramah
terkait urusan publik. Biasanya ditujukan pada entitas-entitas kepemimpinan,
mulai dari yang kecil seperti lembaga riset maupun entitas yang lebih besar
seperti negara. Karena hadits ini bersifat mujmal, jadi bisa
diaplikasikan untuk berbagai konteks. Tidak hanya pemimpin negara saja, bahkan
tanpa terikat dengan suatu entitas tertentu sekalipun.
Abad 21 baru berjalan
seperempat abad, dan makin kesini para ruwaibidhah tampak
semakin banyak. Siapapun bisa berbicara soal apapun tanpa koreksi dan kontrol
memadai. Tom Nicholls menyebutnya sebagai The Death of Expertise.
Kepakaran kini sudah mati, berganti dengan popularitas. FYP dan interaksi/engagement menjadi
mata uang baru untuk menentukan benar atau salah, bisa dipercaya atau tidak.
Bukan lagi kebenaran objektif, tapi persepsi subjektif. Asal dia tenar, dia
bisa dipercaya sebagai orang yang kredibel. Contohnya banyak, mulai dari
pedagang hoax berkedok agama, "guru" obesitas yang bicara segala hal
seolah-olah dia pakar dalam semua bidang, mentalis/pesulap/penghibur tipuan
mata yang alih haluan menjadi tuan rumah siniar, dokter influencer tapi
STR mati, sampai dukun anonim berkedok medis.
Tipikal-tipikal orang
sejenis itu layak disebut sebagai ruwaibidhah. Mengapa? Karena
berbicara tanpa ilmu terkait urusan manusia luas. Berbicara soal kesehatan
membawa-bawa kedok agama, tanpa memahami bagaimana fahmul waqi' dalam
sebuah persoalan, tanpa memahami dalil apalagi istidlal hukum
syara', tanpa memahami ilmu medis seperti apa. Semua "argumentasi"
yang disampaikan berbasis pada appeal-to-emotion fallacy, cuma
memantik emosi/perasaan audiens dengan tajuk-tajuk kontroversial dan
premis-premis palsu, serta penggunaan dalil syara' tidak pada tempatnya. Tapi
karena menggunakan emotional appeal inilah, mereka mudah
menyesatkan warganet yang memang pada dasarnya jarang yang mampu berpikir
kritis.
Truth is boring. Fear sells. (Hargraves, 2012)
Tidak ketinggalan pula
seseorang yang punya gelar PhD di bidang teknologi pangan, tapi berbicara
sangat jauh melampaui kepakarannya tersebut sampai ke topik climate
change, pandemi Covid-19, dan genetically modified
organism (GMO). Sudah begitu, kemampuan penalaran dalam membaca
publikasi ilmiah (scientific paper, atau kita sebut saja paper)
dan menganalisis datanya relatif rendah. Tapi pede sekali mengatakan ini dan
itu yang KATANYA merujuk pada paper tertentu,
tapi apa yang disampaikan dengan isi paper sama sekali
berbeda. Alias salah menafsirkan isi paper. Mulai dari paper soal
Covid sampai soal glifosat, keliru semua.
Nah, kira-kira, kalau para ruwaibidhah sejenis ini diberi
panggung oleh mereka yang punya basis audiens cukup besar, apa yang akan
terjadi?
Betul. PEMBODOHAN
MASSAL. Bukannya mencerdaskan kehidupan bangsa, bukannya mencerdaskan
pemikiran umat, malah melakukan pembodohan terhadap umat. Maka akan menjadi
masalah besar, ketika sebuah komunitas Islam yang katanya mengajak
"mengaji" kemudian memberi panggung kepada para ruwaibidhah sejenis
ini, maka sama saja pengikut dan audiens komunitas ini disajikan panggung
pembodohan!
Ketika
"guru" obesitas yang sering membahas topik secara keliru dan
akurasinya rendah kemudian diberi panggung oleh forum siniar dengan basis
audiens cukup besar, maka kesan yang muncul adalah "guru" obesitas
ini adalah seorang yang kompeten dan bisa dipercaya oleh audiens komunitas
tersebut. Khususnya bahwa para audiens tidak terbiasa dan tidak pernah dilatih
berpikir kritis oleh komunitas Islami tersebut, sementara para tuan rumah
siniar juga tidak pernah menganggap pernyataan-pernyataan kontroversial dan
keliru "guru" obesitas sebagai hal yang patut dikoreksi, sehingga
yang terjadi adalah para audiens menelan mentah-mentah sikap dan pernyataan
"guru" obesitas alih-alih bersikap kritis.
Ketika PhD lompat
pagar yang hobi bicara konspiratif berbekal pemahaman keliru terhadap paper yang
dibacanya diberi panggung oleh forum yang sama, maka komunitas tersebut sedang
mengekspos audiens mereka dengan penyesatan pemikiran yang berbahaya. Karena
kepercayaan berlebih terhadap tuan rumah siniar, audiens jadi meyakini bahwa
orang yang diundang ke dalam siniar tersebut adalah orang yang kompeten di
bidangnya, sehingga apa yang disampaikan PhD lompat pagar itu dianggap sebagai
sebuah kebenaran. Mulai dari konspirasi bahwa pandemi Covid-19 adalah rekayasa
manusia, sampai kedelai GMO akan menyebabkan kanker. Hal ini
diperparah bahwa tuan rumah siniar tidak ada seorang pun yang memilikii gelar
doktoral dan tidak ada yang kompeten sama sekali dalam bidang sains.
Ketika orang-orang
sosialis diberi panggung oleh forum yang sama, tanpa ada usaha untuk membongkar
pemikiran kufur sosialisme, audiens yang tidak pernah dilatih berpikir kritis
jadi mudah sekali tergoyangkan pemahamannya dan jadi tertarik untuk mempelajari
karya-karya orang sosialis tersebut. Bukan untuk dibantah, tetapi dijadikan
sebagai referensi!
Kenapa sampai
komunitas Islami tersebut memberi panggung terhadap para ruwaibidhah?
Apa mereka tidak pernah sadar tentang reaksi publik yang cenderung negatif
terhadap beberapa pihak, dan kekeliruan pemikiran di pihak lain?
Sepertinya alasannya
tidak jauh dari memancing interaksi. Karena sekali lagi, FYP dan engagement adalah
cara untuk menjadi terkenal di era posmodern. Engagement adalah
berhala yang mesti disembah demi memiliki nama. Akhirnya semua dampak susulan
dari interaksi tersebut tidak diperhitungkan sama sekali, meskipun itu adalah
dampak negatif. Para ruwaibidhah, yang seharusnya
di-delegitimasi posisiya, malah diberi kesan positif dan dikembalikan
kepercayaannya oleh audiens, semata-mata karena diundang oleh komunitas Islami
yang dianggap memiliki kesan positif.
Penyesatan pemikiran
massal tersebut juga menyulitkan kalangan intelektual sungguhan dan orang-orang
yang lurus pemikirannya untuk menyadarkan masyarakat dari kekeliruan pemikiran
para ruwaibidhah ini. Para saintis sudah mati-matian berusaha
menjelaskan fenomena riil terkait pandemi Covid-19, eh malah disesatkan lagi
oleh komunitas Islami yang mengundang ruwaibidhah. Jadi menambah
pekerjaan lagi. Sama, ketika para guru dan akademisi sungguhan sedang
mengkritik kesalahan berpikir "guru" obesitas, komunitas ini malah
membuat ruwaibidhah satu ini tambah menggelembung namanya
(juga kepalanya).
Dengan kata lain,
siniar komunitas Islami ini membantu menyebarkan kebodohan, kesesatan,
dan fitnah, serta mempersulit hidup para intelektual sungguhan dalam
mencerdaskan pemikiran umat Islam!
"Mengaji"
apa yang sesungguhnya mereka ingin tunjukkan dengan praktik pemberhalaan engagement ini?
Apa mereka tidak bisa mengundang orang-orang yang kompeten dan lurus saja alih-alih sekumpulan ruwaibidhah? Apa karena saking buruknya isi komunitas mereka, sehingga mereka hanya mengenal dan menganggap penting ruwaibidhah asal punya nama dan bisa mengundang audiens-interaksi?
Praktik yang dilakukan komunitas Islami seperti
ini tidak ada manfaatnya sama sekali. Alih-alih menjadi pahala jariyah, apa yang
mereka lakukan ini bisa menjadi dosa jariyah.
“Siapa yang mengajak kepada kesesatan,
dia mendapatkan dosa, seperti dosa orang yang mengikutinya, tidak dikurangi
sedikitpun.” (HR Muslim)
Sayang sekali bahwa pengurus komunitas
Islami ini terkenal bebal, besar kepala, dan anti-kritik. Mereka menggunakan
kacamata kuda dalam melakukan aktivitasnya dan tidak mengenal kekeliruan dalam
apa yang mereka lakukan. Yang mereka tahu hanyalah bahwa semua pengkritiknya
adalah hasad, dengki, benci, iri. Tidak beda jauh dengan “musuh” yang didengungkan
sebagian anggotanya. Ironis bahwa mereka menjadi persis sebagaimana apa yang
mereka musuhi. Seperti zionis yang begitu membenci Nazi, tapi akhirnya mereka
bertingkah seperti Nazi Jerman.
Kalau sudah begini, tinggal tunggu kejatuhannya cepat atau lambat. Pada titik itu, apakah audiens mereka masih akan sedemikian loyal pada mereka? Ketika loyalitas tertinggi seorang muslim yang harusnya disandarkan pada Allah dan Rasul-Nya, kini dialihkan pada pengkultusan individu dan kelompok?
0 komentar:
Posting Komentar