Tampilkan postingan dengan label Nuklir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nuklir. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 30: Mari Tingkatkan Literasi Nuklir!

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Marie Sklodowska-Curie, saintis penemu radioaktivitas, pernah berkata, “Tidak ada dalam hidup ini yang perlu ditakuti, hanya perlu dipahami. Sekarang waktunya untuk memahami lebih, sehingga kita lebih sedikit takut.”

Pernyataan ini, ketika diejawantahkan ke dunia sains dan teknologi, memiliki relevansi sangat tinggi. Mengingat, ketakutan dan penolakan terhadap produk sains dan teknologi sangat sering terjadi, kalau bukan seluruhnya, adalah karena ketidakpahaman terhadap produk saintek tersebut.

Misalnya genetically-modified organism (GMO) dan vaksin. Penolakan sebagian kalangan terhadap kedua produk tersebut lebih sering karena ketidakpahaman mereka, produk seperti apa ini? Untuk apa digunakan? Persepsi risiko manusia cenderung lebih tinggi pada sesuatu yang mereka tidak ketahui, fear of the unknown. Sama seperti kenapa orang sering takut lewat gang gelap pada malam hari, mereka takut pada sesuatu yang tidak mereka ketahui—atau mereka ketahui, tapi tidak tahu apakah di sana ada sesuatu itu atau tidak.

Ketika ketidakpahaman ini berlarut-larut tanpa tindaklanjut tepat, hasilnya adalah desas-desus yang merebak dan mudah dipelintir. Seperti isu vaksin menyebabkan autisme dan GMO membahayakan kesehatan. Walau realitanya, tidak ada bukti ilmiah yang mendukung kedua isu tersebut. Sekalinya ada “bukti” dalam bentuk artikel ilmiah, ternyata artikelnya cacad dan akhirnya ditarik dari peredaran.

Ketidakpahaman hanya bisa diobati dengan cara meningkatkan literasi. Maksud literasi di sini bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga memahami apa yang dimaksud dalam sebuah tulisan. Sehingga, penilaian terhadap sebuah produk saintek tidak lagi berlandaskan sentimen emosional, melainkan karena pemahaman yang cukup memadai terhadap produk saintek tersebut.

Dari 29 seri sebelumnya, kita sudah membahas cukup banyak (walau tidak mencakup keseluruhan) aspek terkait nuklir. Mungkin ada yang baru tahu, ada yang mendapat hal baru, ada yang merasa “oh, ternyata yang saya pahami selama ini salah!” Hal yang bisa dimaklumi, karena literasi nuklir di negeri ini masih relatif… bukan, sangat rendah.

Patut diakui bahwa informasi lurus mengenai seluk beluk teknologi nuklir masih belum cukup tersampaikan pada publik, khususnya baik terkait energi maupun radiasi nuklir. Umumnya, seperti sudah disinggung di awal-awal sekali, asosiasi pertama publik ketika mendengar nuklir adalah senjata pemusnah massal. Memori pembumihangusan kota Hiroshima dan Nagasaki dengan senjata nuklir seolah menjadi image utama teknologi nuklir. Seolah-olah nuklir itu ya bom penghancur kota.

Radiasi nuklir pun menjadi momok. Fear of the unknown memegang peran besar dalam ketakutan ini, mengingat radiasi nuklir tidak bisa dirasakan oleh panca indera. Kita tidak bisa menyentuh, melihat, membaui, mengecap, apalagi mendengar radiasi nuklir. Kita cuma bisa tahu ada radiasi nuklir atau tidak dari jejak yang ditinggalkannya, dan itu butuh detektor yang tidak semua orang punya.

Ketakutan akan silent killer, sesuatu yang tidak terlihat tetapi bisa membunuh manusia, akhirnya membuat orang takut pada radiasi nuklir. Apapun yang terkait radiasi otomatis dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya, tanpa dipikir lebih jauh.

Asosiasi ini berlanjut pada PLTN. Masih banyak yang menganggap PLTN dapat meledak, merujuk pada kecelakaan PLTN Chernobyl. Padahal, PLTN tidak bisa meledak seperti senjata nuklir, dan tingkat keselamatan PLTN sangat bergantung pada desain teknologi yang digunakan. Sementara, desain RBMK di Chernobyl tidak mungkin diizinkan untuk digunakan di negara-negara yang lebih waras daripada Soviet.

Isu miring dan hoax tentang radiasi dan PLTN pun merebak kemana-mana, semerbak bau mulut orang yang baru makan nasi goreng pete dobel. Dikiranya ketika PLTN mengalami kecelakaan, PLTN dapat “menyebarkan radiasi” kemana-mana dan membuat sebuah wilayah tidak bisa dihuni selama puluhan ribu tahun (omong kosong, tentu saja). Limbah nuklir pun ditunjuk sebagai “beban antar generasi” bahkan “masalah tanpa solusi,” hanya karena limbah tersebut memancarkan radiasi. Padahal, reaktor nuklir alam di Oklo telah menunjukkan dengan baik bagaimana mengelola limbah nuklir dengan baik dan benar.

Ketakutan akibat literasi minim akan seluk beluk nuklir mengakibatkan persepsi risiko masyarakat bergeser ke level ekstrem: PLTN dianggap entitas berbahaya. Pembicaraan tentang nuklir dianggap tabu. Diskusi-diskusi ilmiah tentang energi seakan-akan menganggap nuklir tidak pernah ada. Nuklir ditolak tanpa diberi kesempatan bersuara.

Celakanya, isu-isu miring ini dimanfaatkan oleh sebagian LSM untuk menggalang massa demi menolak PLTN. Menggunakan sentimen emosional dan propaganda sesat, beberapa LSM membentuk opini keliru di tengah masyarakat untuk menolak PLTN. Kalangan agamawan tidak ketinggalan terpengaruh, sampai muncul fatwa sesat tentang keharaman PLTN Muria.

Lebih ironis bahwa LSM-LSM anti-nuklir sendiri tidak kalah jelek literasinya tentang energi nuklir. Mereka, dengan sok iyey, menggunakan buzzword Chernobyl dan radiasi berulang kali, yang justru jadi indikasi kuat bahwa mereka tidak memahami sama sekali detail teknis PLTN. Apalagi karakteristik fisika reaktor dan sistem keselamatannya, mungkin ditanya bagaimana menghitung periode reaktor dengan bahan bakar uranium-235 ketika diberi sisipan reaktivitas $0,5 akan pusing ribuan keliling. Mereka hanya mampu melontarkan propaganda, tapi bungkam ketika ditagih naskah akademis.

PLTN merupakan kebutuhan urgen untuk menjamin keamanan energi nasional dan menurunkan emisi CO2. Namun, sulit untuk mewujudkan PLTN dalam kondisi masyarakat yang masih illiterate tentang nuklir. Meningkatkan literasi nuklir adalah harga mati agar masyarakat tidak mudah diprovokasi propaganda sesat anti-nuklir sehingga menggagalkan penerapan energi nuklir di Indonesia.

Di era keberlimpahan informasi, memang ada kesulitan tersendiri untuk meningkatkan level literasi masyarakat tentang nuklir. Ketika mencari informasi dengan mesin pencari, hasil penelusuran yang muncul lebih banyak yang tidak akurat dan cenderung menyesatkan. Sementara, platform informasi yang memberikan informasi secara lurus relatif sedikit dan cenderung tenggelam.

Hal ini diperparah dengan kualitas literasi Indonesia yang terbilang kurang baik. Dari anking PISA 2023 saja terlihat bahwa siswa Indonesia mengalami penurunan kapasitas dalam semua aspek termasuk membaca. Fenomena ini sepertinya tidak hanya menjalar di siswa sekolah saja, melainkan masyarakat secara umum. Apalagi sejak tiktok semakin populer, jadi pada malas baca karena attention span memendek sangat drastis akibat kebanyakan disuguhi video pendek dengan transisi audiovisual terlalu cepat.

Masyarakat umum tidak terbiasa membaca hal-hal berat. Bahkan sering sekali pranala web disebarkan begitu saja tanpa dibaca dulu isinya, berbekal membaca judul yang seringkali umpan klik (clickbait). Dibaca saja tidak, apalagi ditelaah.

Dalam kondisi seperti ini, salah satu strategi untuk meningkatkan literasi nuklir adalah membuat tulisan ilmiah populer. Tulisan yang dengan pondasi keilmuan kokoh tetapi dalam bahasa yang masih mudah dipahami masyarakat umum. Merakyat, tetapi tetap ilmiah.

Sayangnya, publikasi ilmiah populer pun masih minim. Demikian pula, sedikit sekali buku-buku berkualitas tentang nuklir. Sekalinya ada, tidak terdistribusi dengan baik.

Sementara itu, diseminasi iptek nuklir yang telah dilakukan selama ini lebih banyak menggunakan bahasa defensif-apologetik. Seakan-akan mengakui bahwa propaganda tersebut benar, hanya ditambah “tetapi…” Bahasa seperti ini justru disukai oleh kalangan anti-nuklir dan menjauhkan masyarakat dari literasi nuklir yang sebenarnya.

Perbaikan literasi nuklir idealnya dapat menggeser paradigma masyarakat dari sentiment-based decision menjadi fact-based decision. Literatur nuklir yang merakyat, mudah ditemukan, serta tidak defensif-apologetik menjadi kunci utama keberhasilan literasi nuklir. Dengan masyarakat memahami informasi yang benar, ketakutan mereka diharapkan juga berkurang kalau perlu hilang.

Serial 30 Serba Serbi Nuklir ini diharapkan mampu sedikit berkontribusi dalam meningkatkan literasi nuklir masyarakat. Mencoba mengubah bahasa melangit soal teknologi nuklir (susah juga, beberapa memang cukup sulit dimanusiawikan bahasanya) tanpa bersikap defensif-apologetnik. Mulai dari filosofi nuklir itu sendiri, terkait radiasi nuklir, energi nuklir, hingga limbah radioaktif. Jadi masyarakat bisa pelan-pelan diubah salah pahamnya menjadi lebih paham yang benar seperti apa.

Memang tidak mungkin serial ini mengubah 100% pemahaman masyarakat, tetapi setidaknya ada sedikit harapan bahwa kalangan literat bisa lebih bertambah dari sebelumnya. Sehingga, masyarakat bisa beralih dari pemikiran bahwa “nuklir itu berbahaya” menjadi “nuklir itu banyak manfaatnya.”

Semoga serial ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Senin, 08 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 29: Keselamatan Reaktor Nuklir, Tumit Achilles Energi Nuklir?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Dalam mitologi Yunani, Achilles dikenal sebagai pahlawan Perang Troya dan demigod (manusia setengah dewa, bukan lagunya Iwan Fals) Yunani terkuat. Kekuatan utamanya terletak pada kekebalan tubuh, yang didapatkannya ketika Achilles kecil setelah direndam oleh sang ibu, Thetis, di Sungai Styx (satu dari empat sungai di ‘akhirat’ dalam mitologi Yunani). Setelah pengalaman mengerikan direndam di sungai busuk itu, Achilles tidak mempan ditusuk, ditombak, atau serangan fisik apapun. Seluruh tubuhnya benar-benar seperti tembok baja yang jangankan ditembus, tergores saja tidak. Kecuali tumitnya.

Dikisahkan dalam Iliad bahwa Achilles menemui ajal menjelang akhir Perang Troya, ketika Paris menembakkan panah yang menancap di tumitnya. Tumit ini adalah satu-satunya bagian tubuh Achilles yang dulunya tidak terendam air busuk Styx, penambat antara dirinya dengan dunia fana. Satu-satunya titik lemah Achilles akhirnya menjadi titik fatal. Satu saja tusukan panah di tumitnya membawa Achilles pada kematian.

Istilah Tumit Achilles kemudian diadaptasi dari mitologi ini untuk mendeskripsikan kelemahan fatal dari suatu hal. Titik fatal yang dapat membawa sesuatu dalam masalah besar terlepas dari segala kekuatan di bagian lain.

Lantas, apa hubungannya dengan energi nuklir?

Ditengah ancaman perubahan iklim yang makin nyata, ditambah dengan tingkat polusi yang kian membahayakan, seruan untuk beranjak dari energi fosil semakin santer terdengar. Namun, terlepas dari fakta teknis dan historisnya, banyak negara yang enggan untuk beralih ke energi nuklir. Kenapa? Karena energi nuklir dianggap memiliki tumit Achilles: Keselamatan reaktor nuklir.

Sebagaimana kita ketahui, pasca kecelakaan PLTN Chernobyl Unit 4, ekspansi energi nuklir dunia terhambat. Amerika Serikat yang memiliki jumlah PLTN terbanyak di dunia tidak lagi membangun PLTN baru selama 30 tahun, sebelum PLTN Watts Bar 2 disambungkan ke jaringan listrik pada tahun 2016. Italia melakukan referendum untuk berhenti menggunakan energi nuklir dan menyatakan bahwa PLTN ilegal di negara tersebut. Sebelum kecelakaan PLTN Chernobyl, sejumlah 409 PLTN telah dibangun dan beroperasi. Namun, pasca kecelakaan, hanya 194 PLTN yang tersambung ke jaringan listrik selama tiga dekade yang sama.

Kondisi tidak lebih baik ketika PLTN Fukushima Daiichi mengalami kecelakaan pada tahun 2011, tidak lama setelah Jepang dihantam oleh gempa dan tsunami Tohoku. Progres pembangunan PLTN di seluruh dunia distop sementara selagi dilakukan evaluasi besar-besaran terhadap sistem keselamatannya. Jerman, yang sudah dilanda wabah gerakan anti-nuklir kronis, terpaksa menyerah pada tekanan Partai Hijau dan mendeklarasikan bahwa mereka akan phase-out energi nuklir paling lambat pada tahun 2022, walau pada akhirnya baru pada akhir 2023 PLTN terakhir di Jerman ditutup. Swiss awalnya agak tertekan dengan pengaruh Jerman, sebelum referendum kemudian memutuskan untuk tetap menggunakan energi nuklir. Belgia pun ditekan Jerman dan ‘terpaksa’ menutup PLTN pada tahun 2025, kalau tidak ada perubahan rencana. Demikian pula Spanyol, walau terdapat penentangan dari public.

Jika kedua kecelakaan tersebut dipelajari, maka sebenarnya efek ketakutan pasca kecelakaan PLTN ini bisa dikatakan mengherankan. Seolah-olah semua rekam jejak keselamatan PLTN yang luar biasa menjadi tidak ada artinya. Keselamatan reaktor nuklir seakan menjadi tumit Achilles bagi energi nuklir; terjadi kecelakaan sekali, dan akibatnya fatal untuk seluruh industri nuklir.

Bagaimana mungkin, kecelakaan PLTN Chernobyl yang hanya mungkin terjadi dalam kondisi ekstrem, jauh diluar kondisi operasional normal, dijadikan benchmark dari level keselamatan reaktor nuklir? Bagaimana mungkin, kecelakaan yang hanya mungkin menimpa reaktor tipe RBMK, yang tidak pernah ada diluar bekas negara Uni Soviet, dianggap dapat terjadi di reaktor tipe lain? Bahkan seandainya supervisor dan operator Chernobyl Unit 4 mengindahkan peringatan yang dikeluarkan oleh sistem reaktor, dengan sistem keselamatan sedemikian buruknya, kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi.

Kecelakaan PLTN Chernobyl pun “hanya” menyebabkan kematian sekitar 30 orang. Ada beragam estimasi tentang “kematian tertunda” akibat efek stokastik radiasi nuklir, entah itu 4.000 orang atau 16.000 orang, tapi tidak pernah tampak buktinya hingga sekarang dan oleh UNSCEAR dianggap angin lalu. Tapi katakanlah memang ada 16.000 kematian tambahan, itu masih jauh lebih rendah daripada 8,7 juga kematian prematur tiap tahun akibat pembakaran energi fosil di seluruh dunia.

Angka 16.000 itu sangat disputable dan dibagi 30 tahun lebih. Sementara 8,7 juta kematian prematur itu tiap tahun. Coba renungkan.

Tidak seperti PLTN Chernobyl, kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi sama sekali tidak menyebabkan korban jiwa. Walau sama-sama merupakan kecelakaan dengan INES Level 7, kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi “hanya” melepaskan material radioaktif volatil ke lingkungan, itupun dalam level yang tidak cukup tinggi untuk membahayakan penduduk setempat. Ironisnya, kecelakaan yang tidak merenggut satupun nyawa manusia ini jauh lebih dibombastisasi daripada tsunami Tohoku yang menyebabkan korban jiwa hingga 19.000 orang.

Bayangkan memfokuskan pemberitaan pada ‘kebocoran radioaktif’ yang tidak membunuh siapapun dan hampir melupakan 19.000 jiwa yang terenggut akibat tsunami dan gempa. Ini bermoral, kah?

Memang terjadi kontaminasi radioaktif di sekitar Prefektur Fukushima, tetapi tidak dalam level membahayakan manusia. Material radioaktif yang terlepas ke lautan Pasifik pun tidak lebih banyak daripada material lepasan uji ledak senjata nuklir di era Perang DIngin. Ikan dan biota laut lainnya di laut sekitar Fukushima tetap hidup dalam damai, dan tetap aman dimakan. Bahkan sekalipun seluruh air tritium di penampungan limbah cair Fukushima Daiichi dibuang sekaligus ke laut dalam satu tahun, biota laut tetap tidak akan terkontaminasi material radioaktif apapun.

Ditengah akses informasi yang jauh lebih luas dibandingkan 25 tahun sebelumnya, kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi memicu gelombang ketakutan yang tidak kalah besar dibandingkan kecelakaan PLTN Chernobyl. Tiap diskusi dan pembicaraan mengenai nuklir, sedikit-sedikit dilontarkan kata “Fukushima!” Bahkan pembicaraan tentang energi nuklir seolah menjadi tabu di berbagai forum ilmiah. Sedikit sekali pertemuan ilmiah tentang energi yang membahas nuklir.

Kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi terjadi karena kelalaian TEPCO selaku operator dalam mendesain tata letak PLTN. Dinding laut yang seharusnya setinggi 10 meter, dipangkas menjadi 5 meter. Mesin Diesel untuk pendinginan pasca-padam ditaruh di basement yang mudah terendam air. Kelalaian ini terbukti fatal, karena ketika tsunami Tohoku sukses melewati dinding laut, mesin Diesel pun terendam, dan sisanya sudah tahu sendiri.

Menilik dua faktor utama ini, sebenarnya layakkah negara-negara yang tidak memiliki risiko tsunami sebesar Jepang untuk mati-matian memperbaiki sistem keselamatan untuk mencegah skenario yang tidak akan terjadi pada mereka? Logiskah kecelakaan minus korban jiwa dan minim dampak radiasi ini menjadi alasan untuk meninggalkan energi nuklir?

Respon berlebihan industri nuklir dalam menyikapi kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi ini bisa jadi justru merupakan bumerang bagi industri itu sendiri; karena seolah mereka mengonfirmasi bahwa keselamatan reaktor nuklir memang tumit Achilles dari energi nuklir, sehingga wajib dilindungi dengan cara apapun.

Di sinilah kita seringkali bersikap tidak adil. Kecelakaan pembangkit yang level terparahnya tidak mungkin menyebabkan bencana massal yang membunuh sepertiga Eropa selayaknya Black Death sudah dianggap cukup menjadi legitimasi bahwa energi ini berbahaya, risk-over-benefit. Padahal, kalau mau dikomparasi, energi nuklir tetaplah yang paling selamat dibandingkan moda energi lain.

Dari data kematian akibat sumber energi, dan didapatkan bahwa nuklir hanya menyebabkan 0,04 kematian per TWh energi dibangkitkan. Itu angkanya juga masih pakai data WHO yang ditambah 4.000 kematian tambahan (sangat dipertanyakan). Bandingkan dengan batubara yang menyebabkan 244 kematian per TWh. Bahkan energi bayu dan surya masing-masing menyebabkan 0,15 dan 0,1 kematian per TWh, masih lebih tinggi dari nuklir! Sementara, Kharecha dan Hansen (2013), mengkalkulasi bahwa secara historis, energi nuklir sukses mencegah 1,84 juta kematian akibat polusi energi fosil selama 50 tahunan sejarah operasionalnya.

Jika dampak radiasi yang ditakutkan publik, maka faktanya hingga saat ini dampak radiasi dari kecelakaan PLTN Chernobyl tidak tampak, dan tingkat ketidakpastian statistiknya terlalu tinggi. Yang ada, hewan dan tumbuhan liar berproliferasi dengan damai di zona eksklusi Chernobyl, tanpa gangguan genetik dan bahkan serigala di sana jadi lebih resisten kanker. Sementara, para pakar radiasi dan kesehatan dunia yang kredibel tidak ada perbedaan pendapat bahwa kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi tidak akan menyebabkan dampak kesehatan pada masyarakat sekitar, apalagi dunia.

Energi nuklir menyelamatkan lebih banyak jiwa daripada merenggutnya.

Mengerikan sekali jika sebuah kecelakaan dengan dampak riil tidak begitu besar menghilangkan kepercayaan pada seluruh industri. Jika orang-orang tetap mau naik pesawat walau sudah berulang kali terjadi kecelakaan fatal dengan ratusan korban jiwa, kenapa orang tidak mau menggunakan PLTN hanya karena pernah terjadi kecelakaan yang menyebabkan korban jiwa jauh lebih sedikit?

Sesungguhnya keselamatan reaktor nuklir bukanlah tumit Achilles bagi energi nuklir. Jikalau ada, tumit Achilles itu adalah misinformasi terhadap keselamatan reaktor nuklir itu sendiri.

 

Minggu, 07 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 28: Radiasi Mamuju Membahayakan? Tidak.

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Sebagaimana kita sudah pahami bersama, radiasi nuklir seringkali menjadi momok bagi masyarakat umum. Sebagaimana fenomena di dunia sains lainnya seperti vaksin dan GMO, ketakutan terhadap radiasi pada dasarnya disebabkan pemahaman yang kurang dan edukasi yang belum sampai (ditambah propaganda kalangan kontra). Sebagai pengecualian, ketakutan terhadap radiasi nuklir diperparah dengan regulasi keselamatan nuklir yang mengasumsikan “tidak ada dosis radiasi yang selamat.” Seolah-olah kena radiasi gamma sedikit saja langsung, “Oh tidak, saya akan kena kanker 40 tahun lagi!” Padahal sehari-hari makan gorengan (yang notabene lebih karsinogenik daripada radiasi nuklir) tidak kira-kira.

Sementara, data-data riil menunjukkan bahwa klaim seperti itu keliru. Termasuk data di Mamuju, Sulawesi Barat.

Kenapa Mamuju? Ada apa?

Selain Bangka Belitung, yang punya pabrik timah dan produk sampingannya adalah pasir monasit yang mengandung uranium dan thorium, Mamuju merupakan daerah yang memiliki radiasi latar tinggi. Kenapa? Ya karena tanahnya mengandung uranium dan thorium juga. Artinya, penduduk Mamuju menerima dosis radiasi tahunan lebih tinggi dibandingkan sebagian besar daerah lain di Indonesia. Kalau misalkan klaim “tidak ada dosis radiasi yang selamat” itu benar, maka harusnya penduduk Mamuju lebih banyak mengalami mutasi genetik akibat radiasi, kan?

Sebagai perspektif, penduduk dunia rata-rata menerima dosis radiasi 2,4 mSv/tahun dari berbagai jenis sumber paparan. Sementara, di Mamuju, dosis radiasi yang diterima mencapai rata-rata 6,15 mSv/tahun, bahkan tertinggi hingga 18,62 mSv/tahun. Sebagai komparasi, penduduk sekitar Belarusia, Ukraina, dan Rusia yang terdampak jatuhan radioaktif dari kecelakaan Chernobyl menerima dosis tambahan kurang dari 2,5 mSv dalam waktu 19 tahun pasca kecelakaan. Jadi, manusia Mamuju hidup dengan dosis radiasi lebih tinggi daripada manusia Chernobyl.

Apa implikasinya? Kalau mau bicara risiko, maka penduduk Mamuju lebih berisiko terkena dampak negatif radiasi dibandingkan penduduk negara sekitar Chernobyl. Namun, apa benar begitu?

Berbagai penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari BATAN menunjukkan bahwa radiasi latar di Mamuju tidak secara signifikan memengaruhi kualitas hidup masyarakat. Misalkan pada penelitian Alatas (2012). Penelitian tersebut menganalisis respon sitogenik pada penduduk Mamuju, khususnya aberasi kromosom yang merupakan indikasi kerusakan DNA oleh paparan radiasi pengion.

Sampel darah dari 30 orang penduduk Desa Botteng, Mamuju, dianalisis untuk dicek kerusakan pada kromosomnya. Hasilnya, tidak ditemukan adanya aberasi kromosom pada penduduk yang dicek darahnya. Padahal, dosis radiasi setempat mencapai 6,51 mSv/tahun. Jauh lebih tinggi daripada rerata dosis radiasi alam yang diterima penduduk dunia dan lebih tinggi pula dari nilai batas dosis (NBD) eksternal yang ditetapkan oleh Bapeten bagi masyarakat umum.

Penelitian berikutnya pada tahun 2016 di desa yang sama menggunakan indeks binukleus untuk menganalisis abnormalitas pada limfosit darah penduduk. Hasilnya, nilai indeks binukleus penduduk Desa Botteng relatif sama dengan nilai pada daerah kontrol (23,58 ± 9,60 untuk Desa Botteng dan 23,47 ± 6,24 untuk kontrol). Namun, para peneliti mengakui bahwa sampel yang diambil terlalu sedikit, hanya 13 sampel untuk Desa Botteng maupun kontrol, sehingga perlu dievaluasi lagi.

Tahun berikutnya, dipublikasikan penelitian tentang penggunaan γ-H2AX sebagai biomarker untuk double strand break (DSB) pada DNA. DSB merupakan indikator kerusakan DNA lain akibat paparan radiasi pengion. Pengujian pada sampel darah 45 sukarelawan yang tinggal di berbagai desa di Mamuju (37 subjek uji, 8 kontrol) menunjukkan bahwa foci γ-H2AX pada subjek sedikit lebih tinggi daripada kontrol, yang mengindikasikan frekuensi DSB DNA lebih tinggi. Namun, secara statistik, perbedaan itu tidak signifikan. Sehingga, bisa dikatakan relatif tidak ada perbedaan berarti antara subjek penelitian dan kontrol.

Penelitian lain dilakukan menggunakan parameter analisis indeks mitosis dan indeks pembelahan nuklir (maksudnya inti atom dalam sel, bukan reaksi fisi nuklir). Indeks ini terkait dengan proliferasi limfosit pada darah. Penelitian ini dilakukan di Desa Takandeang dan melibatkan 60 sampel (35 uji, 25 kontrol). Hasilnya, indeks mitosis rata-rata penduduk Desa Takandeang, baik manual maupun otomatis, serta indeks pembelahan nuklir, menunjukkan perbedaan statistik yang tidak signifikan. Dengan demikian, paparan radiasi lebih tinggi tidak memberikan dampak yang cukup berarti pada penduduk Desa Takandeang.

Penelitian terbaru yang terbit pada tahun 2020 menggunakan parameter analisis yang sama tetapi mengambil sampel dari tempat berbeda, yakni Desa Salletto dan Ahu, Mamuju. Sebanyak 43 sampel darah dari penduduk kedua desa tersebut dibandingkan dengan kelompok kontrol sebanyak 31 sampel. Hasilnya mirip dengan penelitian Ramadhani (2017), bahwa walaupun terdapat perbedaan indeks, tetapi tidak cukup signifikan secara statistik. Paparan radiasi latar lebih tinggi tidak terbukti menyebabkan masalah pada genetika penduduk Mamuju.

Terkejut? Tidak usah.

Manusia memang memiliki mekanisme perbaikan biologis. Selama threshold perbaikan biologis tersebut tidak terlampaui, tubuh manusia masih bisa memulihkan diri. Maka, tidak logis jika dikatakan “tidak ada dosis radiasi yang selamat,” sekalipun itu untuk kepentingan proteksi radiasi. Mengklaim bahwa “tidak ada dosis radiasi yang selamat” sama sekali tidak membantu meningkatkan perlindungan terhadap potensi bahaya radiasi dalam dosis tinggi. Justru, klaim itu menyebabkan persepsi dan ketakutan keliru di tengah masyarakat. Publik jadi menganggap bahwa radiasi itu pasti selalu berbahaya, padahal tidak.

Mamuju, Ramsar, Kerala, Guarapari, dan berbagai daerah lain di planet bumi menjadi bukti sahih bahwa radiasi latar dosis tinggi tidak membahayakan masyarakat. Yang membahayakan adalah mitos-mitos bahwa radiasi nuklir itu membahayakan dalam dosis apapun. Mitos itulah yang sangat menghambat pemanfaatan energi nuklir, karena orang sudah takut duluan dan akhirnya menuntut standar keselamatan yang tidak kira-kira. Padahal masih banyak hal yang mungkin memperpendek umur manusia ketimbang radiasi nuklir, seperti menghirup udara Jabodetabek tanpa masker. Tidak sekalian saja regulasi kebersihan udara diatur super ketat?

Sabtu, 06 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 27: Radiasi Nuklir vs Rokok, Lebih Bahaya Mana?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Tidak lama sebelum pandemi Covid-19 menghantam dunia, membuat berbagai negara lockdown dan menghentikan banyak sekali aktivitas kehidupan manusia, di Perumahan Batan Indah, Serpong, Tangerang Selatan, ditemukan material radioaktif “nyasar” di sebuah petak tanah di depan Blok J. Entah sejak kapan material radioaktif itu ada di sana dan bagaimana persisnya bisa nyasar, yang jelas muncul histeria nasional soal bahaya radiasi dari material radioaktif itu. LSM Neo-Malthusian berkedok lingkungan pun sampai menyerang sistem pengelolaan limbah radioaktif Indonesia, walau argumennya ngawur semua dan lebih gampang dibantah daripada membantah delusi kaum bumi datar.

Walau banyak yang khawatir terkait kontaminasi dan bahayanya kemana-mana—keduanya tidak terbukti—kelihatannya warga agak-agak belum bisa membandingkan antara risiko satu dengan risiko lain. Memang, sih, radiasi bisa berbahaya kalau tidak ditangani dengan baik. Tapi ada juga satu hal yang dikonsumsi banyak orang dan mereka tidak peduli soal bahayanya: rokok.

Radiasi nuklir yang nyasar di Batan Indah itu bentuknya radiasi gamma, bersumber dari caesium-137. Orang takutnya karena daya tembus dan daya jangkaunya tinggi, meski kemampuannya menendang elektron dari orbitnya paling rendah. Walau begitu, kalau terpapar terlalu banyak, risiko kanker sampai kematian bisa mengincar.

Radiasi gamma memang dapat menyebabkan dampak negatif pada tubuh manusia. Namun, dampak tersebut baru tampak pada dosis radiasi tinggi. Sebagaimana dianalisis oleh Allison (2009), terdapat threshold dari dosis radiasi serentak, yakni sebesar 100 mSv. Artinya, jika dalam satu waktu singkat, dalam orde menit atau jam, seseorang terpapar radiasi nuklir dengan dosis 100 mSv, maka akan terjadi kenaikan potensi kanker yang mungkin (bold, italic, underline) baru tampak beberapa puluh tahun ke depan. Itupun kalau kankernya benar-benar muncul. Atau orangnya masih hidup.

Dosis radiasi serentak minimal yang dapat menyebabkan kematian adalah sekitar 4.000 mSv. Terpapar radiasi dalam jumlah sebesar ini, kematian dapat terjadi dalam beberapa minggu, jika tidak ditangani sebagaimana mestinya. Kalau 10.000 mSv? Jangan lupa talqin dulu.

Bagaimana dengan dosis radiasi yang diterima dalam rentang waktu tertentu? Allison (2009) mengungkapkan angka 100 mSv/bulan menjadi batas konservatif dari paparan radiasi jangka panjang. Angka ini jauh lebih tinggi dari ketentuan regulasi nuklir, misalkan 20 mSv/tahun untuk pekerja radiasi dan 1 mSv/tahun untuk masyarakat umum. Angka dalam regulasi ini sama sekali tidak berarti bahwa ketika manusia menerima dosis radiasi lebih tinggi dari batasan, lalu pasti terkena dampak kesehatan. Sama sekali tidak bermakna seperti itu. Batasan itu dibuat hanya sebagai pembatas untuk tidak perlu bermain-main dengan sumber radiasi kalau tidak perlu.

Berdasarkan informasi dari BATAN per 18 Februari 2020, tingkat paparan radiasi dari material radioaktif nyasar itu hanya tinggal 7 µSv/jam. Angka ini kurang dari sepersepuluh ribu dosis yang dapat menyebabkan kenaikan potensi kanker. Kalau dikonversi ke tahun, angkanya jadi 61 mSv/tahun. Angka ini lebih tinggi daripada batasan regulasi nuklir, tetapi masih jauh lebih rendah daripada limit yang disebutkan tadi.

Kalau sekarang, sih, sudah selesai dekontaminasi. Jadi mau tidur di atas petak tanah itu selama setahun penuh juga tidak akan kena dampak radiasinya. Paling dipertanyakan kewarasannya oleh orang-orang yang lewat.

Beberapa pihak mungkin mengatakan bahwa “tidak ada dosis radiasi yang selamat.” Artinya, serendah apapun radiasi nuklir, akan ada potensi menyebabkan kanker. Namun, argumentasi ini tidak beralasan, tidak memiliki justifikasi secara ilmiah. Pasalnya, argumentasi ini dilandaskan pada model linear no-threshold (LNT), yang tidak pernah terbukti dan dipenuhi kecacatan historis, teoretis, maupun faktual.

Lagipula, penduduk di Kerala, India, hidup dengan radiasi latar hingga mencapai 70 mSv/tahun dan tidak ada kenaikan insidensi kanker. Malah, kasus insidensi kanker di Kerala hanya sepertiga dari kasus Australia. Kalau klaim “tidak ada dosis radiasi yang selamat” itu benar, harusnya penduduk Kerala sudah banyak menderita kanker. Namun faktanya tidak demikian. Demikian juga di Mamuju.

Singkatnya, sangat sulit bagi manusia untuk terkena dampak kesehatan dari radiasi nuklir. Mengingat, dampak radiasi nuklir dosis rendah bisa dikatakan tidak ada, sementara untuk mendapatkan paparan radiasi dosis tinggi sangat sulit untuk ditemukan kondisinya. Risiko seseorang terkena masalah kesehatan akibat radiasi nuklir itu sangat rendah, termasuk dalam kasus Perumahan Batan Indah.

Daripada radiasi nuklir, seseorang lebih mungkin terkena kanker karena merokok. Sementara jumlah kematian karena efek radiasi dosis tinggi hanya sekitar 30 orang, itupun dari kecelakaan PLTN Chernobyl, merokok menyebabkan setidaknya 5 juta kematian tiap tahun dan dapat naik hingga 8 juta orang tiap tahunnya pada 2030. Rata-rata, perokok meninggal 10 tahun lebih awal daripada bukan perokok.

Dampak kesehatan utama dari rokok adalah kanker paru, dan berbagai penelitian telah membuktikan bahwa merokok menyebabkan kanker paru. Apakah semua perokok dapat terkena kanker paru-paru? Tidak juga, tetapi kenaikan risikonya tinggi. Penelitian di Eropa menunjukkan bahwa perokok memiliki risiko terkena kanker paru berkisar 6,6-15,7%. Sementara, di Kanada, risikonya bisa mencapai 17,2%.

Kecil?

Coba bandingkan dengan bukan perokok yang risiko kanker parunya hanya 0,2-0,6%. Itu berapa puluh kali lipat kenaikan risikonya?

Bahkan, risiko kanker dapat naik ketika faktor radon dimasukkan dalam pertimbangan. Radon merupakan gas radioaktif yang merupakan hasil peluruhan dari uranium. Radon berada di alam dan dapat terakumulasi di rumah-rumah, terhirup oleh manusia. Walau tidak menyebabkan risiko kanker signifikan pada bukan perokok, kandungan radon sebesar 100 ppm meningkatkan risiko kanker pada perokok hingga 2%. Artinya, perokok lebih sensitif terhadap paparan radiasi dari radon, dan imbasnya lebih mungkin terkena kanker paru.

Untuk lebih menabur garam pada luka, rokok juga mengandung substansi radioaktif, dalam bentuk polonium-210. Sebagaimana radon, polonium-210 juga merupakan hasil peluruhan dari uranium. Merokok dua pak sehari selama setahun memberi dosis setara dengan 300 kali paparan sinar-X di dada. Sehingga, merokok sama saja dengan memasukkan bahan radioaktif dengan sukarela ke paru-paru.

Dari sini, dapat dilihat bahwa bahaya yang disebabkan oleh merokok jauh lebih nyata dan mematikan daripada radiasi nuklir. Sementara penggunaan material radioaktif diatur dengan ketat oleh regulasi, rokok beredar bebas tanpa aturan khusus, bahkan anak kecil pun bisa mengonsumsinya.

Rokok merupakan ancaman kesehatan yang jauh lebih besar terhadap kesehatan manusia daripada radiasi nuklir, tapi diregulasi jauh lebih longgar. Why? Apakah karena peraturan yang ada tidak berbasis pembuktian ilmiah untuk hal-hal seperti ini?

Ringkasnya jangan sampai keliru dalam menilai risiko. Seseorang lebih mungkin mati karena merokok daripada karena radiasi nuklir. Tidak perlu takut terhadap radiasi kalau asap rokok masih ditelan bulat-bulat tanpa ragu, karena radiasi jauh lebih tidak mematikan ketimbang karsinogen di dalam asap rokok.

Jumat, 05 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 26: Apa Indonesia Menggunakan Radiasi Nuklir?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Sebelumnya, kita sudah tahu bahwa Indonesia saat ini tidak (baca: belum) menggunakan energi nuklir, untuk alasan tertentu yang sebagian orang mungkin sudah sama-sama tahu. Walau demikian, riset terkait energi nuklir masih terus berjalan dan peluang negara ini untuk masuk ke era nuklir semakin lama semakin besar. Khususnya setelah retorika soal NZE semakin menggema.

Selain sektor energi, nuklir juga dipakai untuk sektor non-energi, wabil khusus dalam aspek radiasi. Kalau energi belum digunakan, bagaimana dengan non-energi? Apa sudah digunakan?

Fakta bahwa Indonesia memiliki tiga reaktor riset cukup menunjukkan bahwa aplikasi nuklir untuk sektor non-energi sudah dilakukan di negeri ini. Sebelum kemana-mana, mari berkenalan dulu dengan ketiga reaktor nuklir yang ada di Indonesia.

Reaktor nuklir yang pertama dibangun di Indonesia adalah TRIGA Mark II yang berlokasi di Tamansari, Bandung, persis di sebelah kampus ITB. Reaktor nuklir ini mulai beroperasi pada tahun 1965, setahun sebelum Supersemar yang keberadaan naskah aslinya masih jadi misteri. Sebagaimana namanya, reaktor riset ini menggunakan tipe TRIGA, yang didesain oleh General Atomic. Reaktor nuklir ini awalnya beroperasi dengan daya 250 kW, tetapi kemudian dua kali dinaikkan dayanya; pertama menjadi 1 MW pada tahun 1971, dan kedua menjadi 2 MW pada tahun 2000.

Reaktor TRIGA Bandung utamanya digunakan untuk penelitian yang memanfaatkan radiasi, pelatihan, pendidikan, dan produksi radioisotop. Hanya saja, belakangan waktu operasinya tidak bisa terlalu panjang, karena stok bahan bakar yang menipis dan produsen bahan bakarnya sudah tidak produksi lagi. Hingga tahun 2020, ada wacana untuk mengganti teras reaktor TRIGA dari bahan bakar tipe pelet menjadi tipe pelat, tapi hingga sekarang belum ada kelanjutannya.

Reaktor nuklir kedua yang dibangun adalah Kartini (singkatan dari Karya Teknisi Indonesia) di Babarsari, Yogyakarta. Posisinya saat ini tepat di sebelah kampus Politeknik Nuklir (dulu Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir BATAN). Reaktor ini juga menggunakan tipe TRIGA, dengan daya lebih kecil, yakni 100 kW. Reaktor Kartini digunakan utamanya untuk pendidikan dan penelitian. Mahasiswa Teknik Nuklir UGM melaksanakan praktikum Fisika Reaktor Nuklir di Reaktor Kartini. Selain praktikum mahasiswa domestik, Reaktor Kartini juga digunakan untuk pembelajaran reaktor melalui internet, atau internet reactor laboratory (IRL) yang dikembangkan semasa BATAN. Tujuannya agar mahasiswa dari kampus nun jauh di sana bisa ikut belajar terkait reaktor nuklir melalui fasilitas ini.

Salah satu penelitian yang sedianya akan diterapkan di Reaktor Kartini adalah penerapan metode BNCT untuk terapi kanker, yang mana Reaktor Kartini akan menyediakan sumber netronnya. Di sisi lain, pernah pula dikembangkan konsep subcritical assembly for molybdenum production (SAMOP), yakni perangkat subkritis yang memanfaatkan netron dari Reaktor Kartini untuk produksi radioisotop molybdenum-99. Kedua pengembangan teknologi tersebut saat ini belum jelas kelanjutannya pasca peleburan BATAN ke BRIN.

Reaktor nuklir ketiga yang dibangun di Indonesia adalah Reaktor Serba Guna – G. A. Siwabessy (RSG-GAS). Reaktor ini merupakan reaktor riset terbesar di Asia Tenggara, dengan daya 30 MW. Lokasinya terletak di Kawasan Nuklir Serpong, Tangerang Selatan. Berbeda dengan TRIGA Bandung dan Kartini, RSG-GAS menggunakan tipe MTR, yang utamanya ditujukan untuk fasilitas uji ketahanan material nuklir terhadap radiasi. Kemampuan ini krusial karena Kawasan Nuklir Serpong aslinya memang ditujukan sebagai laboratorium pendukung teknologi PLTN, yang berarti uji material nuklir untuk PLTN juga seharusnya dilakukan di sini. Mengingat daya reaktor yang besar, RSG-GAS bisa digunakan untuk produksi radioisotop dan radiofarmaka, serta aplikasi radiasi lain menggunakan neutron beam.

RSG-GAS ini unik karena menggunakan bahan bakar tipe pelat alih-alih pelet. Bahan bakar ini dikembangkan dan diproduksi sendiri oleh BATAN, lalu kemudian melalui BUMN PT Inuki. RSG-GAS merupakan salah satu reaktor riset pertama dan beralih dari uranium pengayaan tinggi ke uranium pengayaan rendah.

Mengingat fluks netron yang sangat tinggi, RSG-GAS sering digunakan untuk produksi radioisotop molybdenum-99, dengan iradiasi target uranium di dalam teras reaktor. Selain itu, RSG-GAS juga dapat digunakan untuk iradiasi iridium-192, yodium-131, dan barangkali kobalt-60. Yang terakhir ini belum pernah dicoba, tapi secara teoretis memungkinkan. Iridium-192 banyak digunakan di industri untuk uji tak merusak dan deteksi cacat pada struktur bangunan, sementara yodium-131 digunakan untuk terapi kanker gondok. RSG-GAS juga pernah digunakan untuk iradiasi batu topaz. Batuan topaz, ketika ditambang, warnanya masih bening. Namun, setelah diiradiasi di dalam reaktor nuklir, warnanya berubah menjadi biru tua.

Semua itu merupakan produk nuklir non-energi berbasis reaktor. Yang tidak berbasis reaktor ada, tidak?

Ada, salah satunya adalah iradiator gamma. Di Tangerang Selatan, BATAN membangun Iradiator Gamma Merah Putih (IGMP) di Kawasan Puspiptek. Iradiator gamma ini digunakan untuk iradiasi berbagai produk hasil pertanian, olahan makanan, hingga sterilisasi alat kesehatan. Sumber radiasinya adalah kobalt-60, yang notabene memiliki energi gamma tinggi (1,15 MeV), sehingga cukup powerful untuk membasmi 99,99999% kuman dan virus berbahaya

Untuk terapi kanker, selain molybdenum-99 dan yodium-131, BATAN juga mengembangkan radiofarmaka samarium-153 EDTMP lexidronam, yang fungsinya untuk pereda nyeri akibat kanker yang menjalar ke tulang. Daripada pakai morfin, harus disuntik tiap berapa jam sekali, pakai saja samarium-153. Sekali suntik, 30-40 hari bebas rasa sakit. Dosis radiasi rendah dan tidak memicu kanker baru.

Apakah ada pemanfaatan di sektor pertanian? Ada, dalam bentuk varietas bibit unggul. BATAN dulu melakukan pemuliaan tanaman pada padi, kedelai, dan sorgum. Padi nuklir memiliki berbagai keunggulan dari segi tahan hama wereng coklat, umur panen lebih pendek, volume produksi lebih banyak, dan tekstur nasi lebih pulen.

Tentu saja banyak industri pengguna jasa iradiasi nuklir lain di Indonesia, dan digunakan baik sadar maupun tidak. Di Rumah Sakit, penggunaan radiasi nuklir sudah cukup luas, biasanya untuk pencitraan organ dalam tubuh, diagnosis penyakit, dan tentu saja terapi kanker. Yang belum terlalu luas dan perlu dioptimalkan mungkin dari aspek produksi radioisotop, radiofarmaka, serta pemuliaan tanaman melalui iradiasi benih.

Ringkasnya, untuk sektor non-energi, khususnya radiasi, teknologi nuklir sudah banyak dimanfaatkan di Indonesia, walau masih bisa untuk dioptimalkan lebih jauh. Tiga reaktor nuklir riset di Indonesia bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan mulai dari pendidikan hingga produksi radioisotop dan uji material nuklir. Supaya manfaat dari teknologi nuklir non-energi ini bisa dinikmati lebih luas, perlu dukungan besar dari pemerintah untuk mengoptimalkan riset, pemanfaatan teknologi, hingga distribusi hasil produksi teknologinya agar lebih banyak orang bisa menikmati hasilnya. Saat ini tidak semua orang bisa makan nasi dari beras nuklir, kan?

Kamis, 04 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 25: Apa Indonesia Punya PLTN?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Energi nuklir sudah terbukti memiliki banyak kegunaan. Potensi energinya yang mahadahsyat bisa digunakan untuk membangkitkan energi secara efisien, murah, selamat, andal, dan berkelanjutan. Selain listrik, bisa juga digunakan untuk keperluan proses termal baik temperatur tinggi maupun rendah, walau untuk temperatur tinggi harus menunggu Reaktor Generasi IV dulu. Selain energi, radiasi nuklir juga bermanfaat untuk berbagai macam keperluan di bidang medis, industri, pertanian, dan lainnya.

Dengan segala kemanfaatannya ini, apakah Indonesia memiliki program nuklir? Baik di sektor energi maupun non-energi?

Untuk sektor energi, sayang sekali, Indonesia belum memanfaatkannya. Mayoritas pembangkitan energi di Indonesia masih menggunakan energi fosil, khususnya batubara dan gas alam. Pemilihan batubara agak bisa dipahami karena cadangan batubara Indonesia cukup besar. Sayangnya, batubara melepaskan emisi CO2 dan polutan lain dalam jumlah besar ke udara, yang mana CO2 adalah penyebab pemanasan global dan perubahan iklim, sementara polutan lain menghasilkan polusi udara ambien yang menyebabkan berbagai penyakit kardiovaskuler.

Ide untuk menggunakan PLTN di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama, setidaknya tahun 1970-an. Namun, program itu tidak pernah terealisasi hingga akhir masa Orde Baru. Pada tahun 1990-an, wacana pembangunan PLTN diajukan di Semenanjung Muria, yang mana lokasi tapaknya sudah dipelajari dan dinyatakan layak. Indonesia kemudian dihantam krisis moneter 1998, mengacaukan semua rencana. Sekitar tahun 2007-an, rencana pembangunan PLTN Muria dimunculkan lagi, sebelum kemudian penentangan warga sekitar yang dikompori oleh LSM anti-nuklir dan dibekingi fatwa sesat “PLTN Muria Haram” kembali membatalkan rencana ini untuk kesekian kalinya.

Apakah mayoritas orang Indonesia anti-PLTN? Tidak juga. Survei yang dilakukan oleh BATAN pada tahun 2016 menunjukkan bahwa 77,53% masyarakat mendukung PLTN. Bahkan di Kalimantan Barat, penerimaan pemangku kepentingan (stakeholder) terhadap PLTN mencapai 93,67%. Jadi, sebenarnya hanya sedikit masyarakat yang tidak mau ada PLTN. Hanya saja, untuk alasan tertentu, pemerintah tidak pernah kelihatan serius mendukung program PLTN.

Bukan berarti pengembangan konsep PLTN tidak pernah ada di Indonesia. BATAN pernah mengembangkan desain konsep Reaktor Berpendingin Gas tipe VHTR, dengan daya 200 MWt dan temperatur luaran 950 °C. Pada tahun 2014-2019, BATAN mengembangkan program Reaktor Daya Eksperimental (RDE), yang juga berbasis Reaktor Berpendingin Gas, HTGR, dengan daya 10 MWt dan temperatur luaran 700 °C. Reaktor ini tujuannya untuk non-komersial, semata untuk menunjukkan bahwa SDM Indonesia mampu mendesain reaktor daya nuklir sendiri. Memang RDE basisnya diambil dari HTR-10 yang sudah beroperasi di Cina, tetapi ada beberapa modifikasi yang dilakukan untuk optimasi desain.

Program RDE dilanjutkan dalam bentuk Pembangkit Listrik dan Uap untuk Industri (PeLUIt), awalnya dengan daya 150 MWt, lalu untuk purwarupa, dipilih daya kecil 40 MWt. Desain awal yang masih mengadopsi HTR-10 kemudian dikembangkan lagi untuk dioptimalkan desainnya dan ditingkatkan keekonomiannya, dengan mengubah geometri teras reaktor dan menggunakan daur bahan bakar once through then out (OTTO).

Prodi Teknik Nuklir di Universitas Gadjah Mada (UGM) juga terlibat dalam riset teknologi PLTN, meski tidak seintens di BATAN. Desain yang dikembangkan pertama kali adalah MSR, dengan nama Passive Compact Molten Salt Reactor (PCMSR), yang merupakan Reaktor Berpendingin Garam dengan temperatur luaran mencapai 1200 °C pada desain awal, yang kemudian diturunkan menjadi 900 °C pada desain lanjutannya. Selain untuk produksi listrik dan kalor temperatur tinggi, PCMSR juga bisa digunakan untuk produksi radioisotop medis. Selain PCMSR, baru-baru ini dikembangkan juga Gama Microreactor, yang merupakan konsep desain PLTN Mikro dengan daya 13 MWt/5 MWe. Reaktor ini berbasis pada Reaktor Berpendingin Logam, dengan bahan bakar berbentuk serbuk dan sistem transfer panas menggunakan pipa kalor (heat pipe).

Di beberapa universitas lain, riset tentang reaktor daya nuklir juga dilakukan, tetapi tidak secara khusus mengembangkan desain tertentu.

Sejak munculnya isu Net Zero Emission, wacana penggunaan energi nuklir di Indonesia semakin menguat, setelah sebelumnya dipinggirkan seperti remah-remah rengginang di dalam kaleng Khong Guan pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017. Wacana utama yang berdengung adalah penggunaan SMR untuk daerah-daerah luar Jawa, seperti Kalimantan Barat. Calon tapak PLTN di Pantai Gosong, Bengkayang, Kalimantan Barat, sedang diuji kelayakannya. Perusahaan PLTN SMR dari Amerika Serikat, NuScale, sedang menjajak upaya kerjasama pengkajian kelayakan pembangunan unit VOYAGR desain NuScale di Kalimantan Barat. Desain reaktor NuScale, yang berbasis PWR, sudah terlisensi di US NRC, regulator nuklir Amerika Serikat.

Perusahaan rintisan lain, ThorCon Power, mengajukan sesuatu yang lebih ambisius: membangun industri PLTN di Indonesia, bukan hanya PLTN. Jadi dalam jangka panjang, pembangunan PLTN mayoritas dilakukan di dalam negeri. ThorCon menawarkan TMSR-500, yang berbasis pada teknologi MSR, dengan daya 500 MWe. Tapi karena MSR belum ada yang komersial, mereka mengajukan dulu pembangunan non-fission test bed untuk menguji aspek keselamatan reaktornya tanpa reaksi fisi nuklir, baru berlanjut ke unit purwarupa dan kemudian unit komersial. PLTN TMSR-500 sedianya akan dibangun di atas kapal tongkang, yang secara praktis menjadikannya sebagai PLTN terapung. ThorCon menargetkan tahun 2032 PLTN TMSR-500 mereka sudah bisa beroperasi di Indonesia. Target ini belum tentu mustahil, walau patut diakui sangat ambisius.

Tidak cukup sampai di sana, wacana PLTN Mikro pun mulai menggeliat. Ultra Safe Nuclear Corporation (USNC), perusahaan rintisan lain, mengajukan kerjasama riset dan potensi penerapan PLTN Mikro di Indonesia, dengan tujuan utama untuk de-Diesel-isasi. Menghapuskan PLTD dari bumi Indonesia dan menggantinya dengan PLTN Mikro. Micro Modular Reactor (MMR) yang ditawarkan USNC menerapkan teknologi HTGR, dengan tipe bahan bakar prismatik dengan daya antara 5-15 MWe, dengan temperatur luaran 630 °C dan mampu beroperasi hingga 20 tahun tanpa mengganti bahan bakar. MMR tidak perlu air untuk pendinginan reaktor, jadi sepertinya ditaruh di tengah hutan pun tidak masalah.

Untuk PLTN besar, malah belum ada tanda-tandanya. Dulu, BATAN sempat ada MoU dengan Korean Hydro and Nuclear Power (KHNP) untuk studi pembangunan dua unit PLTN OPR-1000 di Indonesia, tapi MoU itu tidak berlanjut. Rusia berulang kali menawarkan teknologi VVER mereka ke Indonesia, tetapi respon pemerintah masih sedingin salju di Siberia. Sementara, vendor lain belum ada pendekatan khusus ke sini.

Jadi, Indonesia memang belum menggunakan energi nuklir hingga saat ini. BATAN (sekarang dilebur ke BRIN) dan Teknik Nuklir UGM masih mengembangkan desain PLTN yang sekiranya cocok untuk diaplikasikan di Indonesia. Perjalanan masih panjang, dan butuh dukungan politik dan anggaran yang memadai dari negara agar pengembangan desain ini bisa benar-benar diwujudkan. Karena kalau ditinjau, potensi penerapannya cukup tinggi. Semoga saja dalam waktu dekat ada ketegasan dukungan supaya negeri ini bisa segera menggunakan energi nuklir.

Kalau sektor energi nuklir masih belum diterapkan di Indonesia, lantas bagaimana dengan sektor non-energi?

Rabu, 03 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 24: Apakah PLTN Bisa Dipasang di Wahana Transportasi?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Secara praktis, 99% PLTN dibangun di atas tanah. Statik, tidak bergerak. Sama seperti pembangkit termal lainnya. Ada juga yang dipasang di atas kapal, untuk keperluan yang lebih mobile. PLTN terapung akan sangat berguna untuk wilayah-wilayah yang membutuhkan listrik bersih dan andal, tetapi kesulitan untuk mendapatkan lokasi tapak pembangunan PLTN, yang perizinannya saja bisa makan bertahun-tahun dengan kondisi regulasi saat ini.

Mengingat betapa dahsyatnya lepasan energi nuklir, dan betapa sedikitnya bahan bakar yang dibutuhkan untuk menghasilkan energi begitu besar, mungkin sebagian orang akan berpikir, bagaimana kalau energi nuklir tidak cuma untuk dipakai di PLTN? Apakah bisa dipakai di mobil? Pesawat terbang? Kereta api? Wahana luar angkasa? Roket? Kan, luar biasa, tuh, kalau bisa dipakai untuk berbagai hal?

Ya, kedengarannya menyenangkan sekali. Sayangnya, realita tidak selalu sesuai harapan.

Apakah PLTN bisa dipasang di mobil? Jawaban singkatnya, tidak bisa.

Jawaban agak panjang, sistem PLTN itu pembangkit termal, bukan sejenis internal combustion engine (ICE). Tidak ada bahan bakar yang direaksikan dengan udara untuk kemudian menghasilkan panas dan menggerakkan mesin. Jadi uranium tidak bisa digunakan untuk menggantikan bensin/solar.

Kalau taruh reaktor nuklir kecil di dalam kap mesin bisa, tidak? Jawabannya juga tidak. Sistem reaktor nuklir terlalu rumit untuk ditaruh di kap mesin Avanza, apalagi Sigra. Plus, butuh perisai radiasi cukup tebal dan berat untuk melindungi pengguna dari bombardir radiasi gamma yang bisa membuat sopir dan penumpang bertemu malaikat Izrail sebelum sempat berjalan dari rumah di Cibinong sampai ke Tol Jagorawi. Untuk segala tujuan praktis, perisai radiasi ini (plus sistem reaktornya) akan membuat mobil jadi super berat dan super besar. Dengan ukuran mobil sekarang saja jalanan sudah macet dan bikin orang-orang tua di jalan. Apalagi kalau diperbesar lagi mobilnya.

Plus, reaktor nuklir tidak bisa diurus oleh bengkel pinggir jalan. Kalau misal ada masalah dalam sistem konversi energinya, tidak semua orang boleh diizinkan untuk membongkar kap mesin dan mengecek isinya. Apalagi mamang bengkel yang cuma tahu nuklir itu dari bakso nuklir. Coba bongkar-bongkar seenaknya, tanpa prosedur keselamatan yang baik, itu material radioaktif akan tersebar kemana-mana dan bikin kekacauan nasional.

Menaruh reaktor nuklir di dalam mobil adalah ide buruk dan tidak seharusnya dipertimbangkan sama sekali. Apalagi motor. Don’t even think about it.

Paling memungkinkan adalah mobil (dan tentu saja sepeda motor) tetap menggunakan sistem ICE, tetapi bahan bakarnya diganti jadi bensin/solar sintetis zero emission yang diproduksi menggunakan energi nuklir. Alternatifnya adalah mobil hydrogen fuel cell (HFC) yang mana hidrogennya diproduksi menggunakan reaktor nuklir temperatur tinggi. Bisa juga mobil listrik, yang mana listriknya disuplai dari PLTN.

Kalau tidak bisa di mobil, apakah bisa untuk pesawat terbang? Kan, dimensinya lebih besar?

Tidak semudah itu, Ferguso.

Pesawat terbang memiliki limitasi dari segi beban maksimum yang mampu diangkat agar bisa tinggal landas. Masalahnya, lagi-lagi, adalah dari segi perisai radiasi dan konversi energi. Mesin turbojet langsung membakar avtur untuk menggerakkan mesin. Reaktor nuklir harus mengonversi energi agar panas yang dihasilkan bisa digunakan untuk menggerakkan mesin jet, kemungkinan menggunakan turbin gas. Pesawat badan lebar yang biasa dipakai untuk penerbangan jarak jauh membutuhkan sekitar 130-220 MW energi untuk bisa lepas landas, dibagi menjadi empat reaktor, berarti butuh daya kira-kira 32,5-55 MW per reaktor. Dimensi reaktor, perisai radiasi, dan sistem konversi energi yang dibutuhkan cukup… besar. Ditambah lagi soal dimensi pesawat, aerodinamika, material, kesetimbangan berat, ribet.

Jangan lupa, kalau terjadi kecelakaan pesawat yang membuatnya sampai jatuh dan hancur, dekontaminasi area yang terpapar bahan bakar nuklir akan sangat menyulitkan. Bahkan korban jiwa dari kecelakaanya bisa jadi terlupakan, karena semua orang akan fokus pada kontaminasi radioaktifnya. What a disgrace.

Amerika Serikat pernah membuat program aircraft reactor experiment (ARE), yang sedianya akan digunakan di pesawat supersonik untuk keperluan militer. Sudah pernah diuji dan reaktornya, sih, oke. Meski ada masalah lumayan di aspek korosi. Hanya saja, setelah dipertimbangkan terus, ide ini dihentikan pengembangannya, dan ARE dikembangkan jadi MSR.

Jadi, tidak, sebaiknya pesawat terbang tidak usah pakai reaktor nuklir. Bukan tidak mungkin sama sekali, tapi risikonya lebih tinggi daripada manfaatnya. Kalau mau pakai nuklir, pakai saja avtur sintetis yang diproduksi dari energi nuklir. Lebih masuk akal.

Kereta api? Sama saja. Bukannya tidak pernah ada ide untuk itu, menggerakkan lokomotif menggunakan kereta api sudah pernah diajukan di AS, Soviet, Jerman, dan Inggris sejak 1950-an. Tetapi, masalah perisai radiasi, kekhawatiran akan keselamatan, dan lainnya membuat tidak ada program lokomotif kereta bertenaga nuklir yang terealisasikan. Belum lagi beban ke rel, batas kecepatan, dan sebagainya.

Tapi, dibandingkan ide menaruh reaktor nuklir di mobil dan pesawat terbang, lokomotif bertenaga nuklir masih agak lebih masuk akal. Apakah akan terwujud sebelum dunia ini kiamat? Tidak tahu. Tidak jelas juga apakah ide ini masih akan relevan dalam beberapa puluh tahun ke depan, ketika kereta cepat tenaga listrik dan levitasi magnet sudah lebih efisien dalam memindahkan manusia dari satu stasiun ke stasiun lain.

Untuk wahana luar angkasa, maka sampai saat ini sudah banyak menggunakan energi nuklir, walau dalam bentuk RTG. Jadi ada isotop bernama plutonium-238, karakternya melepaskan panas dari peluruhan alfa. Panas ini dikonversi menggunakan generator termoelektrik menjadi listrik, yang cukup untuk menggerakkan wahana di Mars selama beberapa kilometer tanpa peduli siang atau malam. Bisa juga untuk mendayai probe yang dikirim ke ruang angkasa nun jauh di sana. Foto-foto planet dan objek langit jauh dikirim menggunakan sinyal yang mana listrik untuk menghasilkan sinyalnya bersumber dari RTG bertenaga nuklir.

Cuma, memang tidak banyak keperluan luar angkasa ini.

Kesimpulannya, agak sulit untuk mengharapkan energi nuklir bisa digunakan langsung di wahana lain seperti mobil, sepeda motor, pesawat terbang, dan kereta. Kalau secara tidak langsung, peluangnya sangat besar. Karakteristik unik energi nuklir agak menyulitkan untuk membuatnya bisa dipakai langsung di berbagai wahana transportasi. Setiap moda pembangkitan energi ada plus minusnya, dan minusnya energi nuklir ada di sini.

Setidaknya, kekurangan ini masih bisa dikompensasi dengan satu dan lain jalan, yakni dengan proses termal temperatur tinggi untuk sintetis bahan bakar. Jadi masih bisa berperan walau tidak secara langsung.

Selasa, 02 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 23: Apa Itu PLTN Terapung?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.

Sejauh ini, kita memahami PLTN itu dibangun di atas tanah. Lahan sekitar 1 km2 dikosongkan, lalu dibangun PLTN di atasnya. Dibuat zonasi untuk mencegah ada ancaman keselamatan maupun keamanan terhadap PLTN. Tidak ada yang boleh masuk ke dalam PLTN kecuali dengan izin. Dengan kata lain, business as usual, tidak ada bedanya dengan instalasi pembangkit listrik lain.

Di sisi lain, beberapa negara seperti Indonesia agak rawan gempa bumi. Meski tidak berarti PLTN tidak bisa dibangun, karena itu adalah masalah struktur bangunan, tetapi kadang isu ini agak menyulitkan untuk mencari lokasi tapak yang pas. Selain itu, kontur negara kepulauan juga kadang agak menyulitkan untuk membangun PLTN di pulau-pulau kecil.

Dalam kondisi seperti ini, apakah PLTN bisa dibangun di atas kapal? Supaya tidak perlu repot-repot membangunnya di atas lahan tanah ketika kondisi tidak memungkinkan?

Menariknya, Reaktor Berpendingin Air tipe PWR itu pada awalnya memang didesain untuk dibangun di atas kapal. Tepatnya untuk propulsi kapal selam. Lalu faktanya, saat ini sudah banyak PLTN yang dipasang di atas berbagai jenis kapal, khususnya kapal selam dan kapal induk.

Militer Amerika Serikat dan Prancis memiliki kapal induk bertenaga nuklir. Kapal induk seperti ini bisa dioperasikan selama 30-an tahun tanpa perlu mengisi ulang bahan bakar dan memiliki jangkauan di laut practically unlimited, terbatas hanya dari cadangan makanan. Demikian pula kapal selam nuklir, yang dimiliki oleh AS, Prancis, Rusia, Cina, hingga India.

Rusia memiliki sederetan kapal pemecah es untuk membuka jalur laut di Samudera Arktik, agar kapal pembawa batubara dan migas bisa lewat jalur utara bumi. Kapal pemecah es ini merupakan kapal bertenaga nuklir yang digunakan untuk keperluan sipil, yang menunjukkan bahwa PLTN bisa dipasang di atas kapal. Instalasi ini kita sebut sebagai PLTN terapung.

Ada beberapa jenis PLTN terapung, tapi di sini kita hanya akan membahas soal offshore nuclear power plant (ONPP). Jadi PLTN ini dipasang komplit semuanya di atas kapal, mulai dari reaktor nuklir hingga sistem konversi energinya. Unit reaktornya bisa 1, 2, 4, terserah desainernya. Listrik yang dibangkitkan dari PLTN ini bisa digunakan untuk menggerakkan kapal dari tempat pembangunan ke tempat tujuan, lalu setelah sampai, diparkir di dermaga (atau beberapa km dari garis pantai, tergantung maunya seperti apa) dan mengalirkan listrik ke jaringan listrik di lokasi tujuan.

Ada beberapa keunggulan dari penggunaan PLTN terapung untuk wilayah kepulauan. Pertama, karena dipasang di atas kapal, maka kendala-kendala tentang pembebasan lahan praktis tidak ada. Cuma butuh sambungan ke jaringan listrik saja. Isu patahan tektonik yang menjadi perhatian dalam pembangunan PLTN pun secara otomatis lenyap. Gempa tidak lagi menjadi persoalan.

Kedua, PLTN terapung bisa menjangkau kawasan-kawasan kepulauan kecil dan wilayah yang sulit dijangkau melalui darat seperti beberapa kawasan di Papua. Karena PLTN terapung sudah dibangun dan terpasang di kapal sejak sebelum pemberangkatan, tidak ada pembangunan yang perlu dilakukan di kepulauan kecil dan wilayah yang sulit terjangkau tersebut selain fasilitas sambungan jaringan listrik. Jauh lebih memudahkan daripada harus membangun pembangkit di lokasi.

Tidak hanya itu, kebutuhan bahan bakar nuklir sedikit dan siklus operasinya panjang, sekitar 24-36 bulan. Jadi, bahan bakar untuk 10-20 tahun operasi dapat dimuat di dalam kapal. Atau, untuk alasan keamanan, baru dikirim ke lokasi menjelang akhir siklus bahan bakarnya. Sehingga, suplai bahan bakar sama sekali bukan masalah bagi PLTN terapung, tidak seperti PLTU atau PLTG.

Ketiga, PLTN terapung umumnya memiliki daya kecil, antara 40-120 MWe. Itu cukup untuk daerah-daerah kepulauan yang notabene kebutuhan listriknya tidak sebanyak di Jawa. Membangun PLTN darat dengan daya lebih dari 250 MWe jelas sebuah pemborosan yang tidak perlu, jadi PLTN terapung memiliki skala rentang daya lebih pas.

Keempat, lebih selamat dari tsunami. Sifat gelombang tsunami adalah baru mulai meninggi ketika mencapai air dangkal, tapi di air yang lebih dalam nyaris tidak terasa. Karena panjang gelombang tsunami di permukaan laut dalam sangat panjang, amplitudonya jadi kecil. Sehingga, PLTN terapung yang doknya berada di permukaan laut dalam tidak akan terpengaruh oleh gelombang tsunami.

Secara teoretis, eksistensi PLTN terapung ada kemungkinan bisa membantu dalam peringatan dini tsunami. Sistem instrumentasi pendeteksi dini tsunami bisa dipasang di PLTN terapung. Karena tidak ada masyarakat yang bisa begitu saja naik ke atas kapal pengangkut PLTN ini, vandalisme dan pencurian terhadap komponen sistem peringatan dini tsunami bisa dikatakan tidak akan terjadi. Tapi ini butuh konfirmasi dari pakar di bidangnya.

Kelima, PLTN terapung bisa digunakan untuk desalinasi air laut. Hal ini penting untuk wilayah-wilayah yang sering kekurangan air bersih, misalkan di daerah Nusa Tenggara. Selain membangkitkan listrik, panas buangan dari PLTN terapung bisa digunakan untuk desalinasi air laut, menghasilkan air bersih yang layak digunakan untuk keperluan sehari-hari masyarakat.

Ke depannya, selain desalinasi air laut, PLTN terapung berpotensi juga memproduksi bahan bakar sintetis. Jadi, PLTN terapung digunakan untuk hidrolisis air dan memisahkan CO2 dari air laut. Hidrogen dan CO2 yang dihasilkan kemudian disintetis untuk menghasilkan bahan bakar mirip bensin untuk keperluan transportasi. Keunggulan dari bahan bakar sintetis ini adalah netral emisi CO2 dan tidak ada kontamintasi pengotor.

Keenam, level keselamatan tinggi. Kontras dengan asumsi sebagian orang ketika pertama mendengar PLTN terapung, tingkat keselamatannya tidak berkurang, malah mungkin lebih baik. Setidaknya, dari segi termohidrolik. Karena posisinya berada di atas permukaan laut, PLTN terapung memiliki akses pendingin yang secara praktis tidak terbatas. Air laut menjadi heat sink alami bagi reaktor nuklirnya. Ketika misalnya terjadi overheating, pendinginan reaktor dapat dilakukan tanpa harus khawatir kekurangan suplai pendingin eksternal seperti di Fukushima Daiichi.

Bagaimana kalau terjadi sebuah skenario tidak diinginkan yang menyebabkan kapalnya tenggelam? Bahan bakar nuklir akan tetap tersegel di dalam reaktor. Lalu, air laut secara otomatis akan mendinginkan reaktor sehingga pelelehan bahan bakar dapat dicegah (kecuali Reaktor Berpedingin Garam, maka bahan bakarnya akan memadat, yang juga berita bagus). Ketiadaan pelelehan menyebabkan pelepasan radioaktivitas akan sangat minim, kalau bukan tidak ada. Air laut tidak akan terkontaminasi material radioaktif dari reaktor nuklir yang tenggelam.

Rusia dan Cina tengah mengembangkan PLTN terapung tipe ONPP. Akademik Lomonosov, kapal bertenaga nuklir desain Rusia, adalah PLTN terapung pertama di dunia. Saat ini, Akademik Lomonosov telah beroperasi di Pevek, Rusia. Akademik Lomonosov memiliki dua unit PLTN tipe PWR berdaya total 70 MWe, dengan fungsi lain untuk menyediakan pemanasan ruang dan desalinasi air laut.

Namanya teknologi, pasti ada saja kekurangannya. Karena tidak ada perimeter seperti di PLTN darat, sistem proteksi fisik PLTN terapung harus lebih diperhatikan. Masalah proteksi fisik sebaiknya juga dikoordinasikan dengan militer, kalau di Indonesia dengan TNI AL. Perawatan pun mengharuskan si kapal dibawa kembali ke pabrikannya, walau memang jadwal perawatannya tidak sering. Masalah keselamatan radiasi juga mesti disosialisasikan dengan baik pada nelayan-nelayan yang melaut di sekitar sana, jika ada. Tujuannya supaya resistensi masyarakat sekitar terhadap PLTN terapung bisa diminimalisir dan tidak mudah diprovokasi oleh kalangan anti-nuklir, jadi tidak mudah ditipu oleh LSM anti-nuklir seolah-olah PLTN terapung membuat ikan-ikan jadi radioaktif or something.

Ringkasnya, PLTN memang bisa dipasang di atas PLTN dan bisa untuk keperluan komersial. Sudah ada pengalaman puluhan tahun dari kapal militer dan sipil yang menggunakan energi nuklir. Bahkan belakangan ini wacana untuk menggunakan energi nuklir untuk menggerakkan kapal kargo mulai banyak bermunculan, sebagai pengganti mesin Diesel yang kotor dan polutif. Jadi, potensi energi nuklir untuk diterapkan di kapal sebagai PLTN terapung, baik untuk listrik maupun propulsi kapal, sangat terbuka lebar. Kapan bisa diterapkan? Tidak tahu, tergantung regulasi internasional yang seringkali rewel secara tidak perlu. 

Senin, 01 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 22: Apakah Limbah Nuklir Ribuan Tahun Bisa Dilenyapkan?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Limbah radioaktif dari PLTN, sebagaimana namanya, bersifat radioaktif. Jadi limbahnya memancarkan radiasi dan kadar radiasinya berkurang seiring berjalannya waktu. Yang beda-beda mungkin berapa lama limbah ini memancarkan radiasi yang, seperti disinggung sebelumnya, seringkali membuat orang jiper duluan terhadap limbah radioaktif. Seolah-olah bahaya radiasi lebih berbahaya daripada bahaya kimiawi.

Berita baiknya, volume limbah radioaktif itu kecil sekali. Kalau warga Indonesia menggunakan listrik seumur hidupnya dari energi nuklir, maka volume limbah yang dihasilkan cuma setara segelas teh bandulan. Sedikit sekali. Tidak susah mencari tempat untuk mengubur limbah sekecil itu.

Tapi, kan, tetap saja limbah radioaktif itu umur paruhnya panjang sekali? Bisa ribuan bahkan jutaan tahun! Apa tidak bisa dilenyapkan saja?

Pertanyaan bagus. Interestingly… hal itu bisa dilakukan.

Kembali sedikit ke prinsip reaksi nuklir. Ada tiga reaksi yang paling berpengaruh dalam mengubah sebuah kondisi atom, yakni reaksi fisi, transmutasi, dan peluruhan. Reaksi fisi paling mudah terjadi pada atom-atom yang mudah belah, misalkan uranium-233, uranium-235, plutonium-239, dan plutonium-241. Transmutasi bisa terjadi pada practically semua atom, tetapi peluang terjadinya transmutasi ini yang beda-beda, tergantung seberapa kemaruk atom tersebut terhadap netron. Peluruhan terjadi pada atom bersifat radioaktif, melepaskan elektron dan atau radiasi alfa untuk mengurangi jumlah massa dan atomnya sehingga berubah menjadi atom stabil.

Pada limbah radioaktif, kalau limbah itu tidak diapa-apakan, reaksi paling dominan adalah reaksi peluruhan, yang waktunya bergantung pada umur paruhnya. Kadang-kadang ada yang mengalami reaksi fisi spontan (walau tidak uhuy), tapi sedikit sekali yang bisa mengalaminya. Kalau bergantung saja pada reaksi peluruhan, tentu akan makan waktu lama agar limbah PLTN ini berubah ke kondisi stabil.

Reaksi fisi pun tidak selalu bisa dilakukan, karena elemen transuranik rerata tidak bisa mengalami reaksi fisi. Dua isotop plutonium bisa, tapi plutonium bisa dipakai lagi di reaktor nuklir, dan itu tidak menyelesaikan isu di unsur-unsur lain.

Berarti kemungkinannya tinggal reaksi transmutasi. Reaksi inilah yang bisa kita manfaatkan untuk melenyapkan limbah PLTN, khususnya aktinida minor. Caranya seperti apa? Ada beberapa kemungkinan, kita bahas dua secara umum.

Opsi pertama adalah menggunakan reaktor eksisting, baik reaktor daya nuklir maupun reaktor riset. Kalau menggunakan reaktor riset, maka target berupa aktinida minor dimasukkan ke dalam slot kosong di dalam teras reaktor, dan diiradiasi sebagaimana mengiradiasi target uranium. Studi yang dilakukan oleh Setiawan (2020) menunjukkan bahwa isotop americium-241 yang dihasilkan oleh 4 unit PLTN tipe PWR 1000 MWe tiap tahun bisa dilenyapkan dengan menggunakan reaktor riset berdaya 30 MWe. Studi lain oleh Dwijayanto (2021) menunjukkan bahwa selama dua tahun iradiasi di reaktor riset berdaya sama, 1 kg aktinida minor berhasil dilenyapkan. Tidak terlalu banyak, tapi lumayan, lah.

Pakai reaktor daya nuklir lebih bagus lagi, karena daya reaktornya puluhan kali lebih besar. Kalau dilenyapkan di Reaktor Berpendingin Air, opsinya adalah dengan melapisi bahan bakar dengan coating berupa aktinida minor. Sifatnya jadi seperti racun dapat-bakar. Netron bakalan disedot duluan oleh coating aktinida minor ini sampai habis, baru setelah itu bahan bakarnya bisa menyerap netron. Dengan begini, aktinida minornya sudah tereliminasi duluan. Prinsip yang sama bisa diterpakan di Reaktor Berpendingin Logam. Opsi lainnya, aktinida minor tidak dipisahkan dari plutonium, tapi disatukan dan dibakar di dalam reaktor nuklir bersama thorium. Karena atom thorium lebih ringan, seperti dijelaskan di Bagian 13, butuh jalan sangat panjang supaya bisa produksi aktinida minor. Imbasnya, aktinida minor bisa dieliminasi tanpa adanya pembentukan aktinida minor baru. Kalau dicampur uranium-238, aktinida minor bukannya berkurang malah nambah. Jadi memang harus pakai thorium.

Di Reaktor Berpendingin Garam, aktinida minor bisa langsung dilarutkan ke dalam garam cair dan dibiarkan saja sampai lenyap semuanya setelah dibombardir netron. Syaratnya? Pakai thorium sebagai bahan bakarnya. Studi oleh Ashraf (2020) menunjukkan bahwa transmutasi aktinida minor selama 40 tahun di MSR termal dan cepat dapat mengeliminasi 41% dan 88% aktinida minor dari kondisi awal. Artinya, MSR berbahan bakar thorium sangat potensial untuk melenyapkan aktinida minor.

Opsi kedua adalah menggunakan sistem khusus yang ditujukan untuk melenyapkan aktinida minor. Teknologi yang diajukan adalah accelerator-driven system (ADS). Sistem ADS ini meningkatkan kecepatan partikel subatomik, biasanya proton, memberinya energi cukup untuk berinteraksi dengan inti atom aktinida minor. Proton ditembakkan oleh ADS untuk kemudian ditangkap oleh aktinida minor, mentransmutasikannya menjadi atom berbeda. Kemungkinan lain adalah proton ditembakkan ke target spalasi, biasanya tungsten, yang kemudian dari tungsten itu akan dihasilkan netron yang bisa digunakan untuk transmutasi aktinida minor. ADS ini belum ada yang komersial untuk tujuan melenyapkan aktinida minor, dan biayanya mahal.

Pada dasarnya, aktinida minor tidak perlu-perlu amat dilenyapkan karena volumenya rendah dan cuma berbahaya kalau terhirup atau tertelan, yang mana kedua kondisi ini sulit sekali terjadi. Tapi kalau semisal kondisi politik agak-agak rewel dan mengharuskan aktinida minor untuk dieliminasi sebagian besarnya, ya sudah basmi saja pakai transmutasi. Sebisa mungkin pakai Generasi IV, supaya tuntas sama sekali.

Minggu, 31 Maret 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 21: Limbah Nuklir Harus Dikubur Ribuan Tahun?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.

Limbah nuklir, dalam 97% kasus, tidak lebih berbahaya daripada limbah rumah tangga dan limbah industri lain, sehingga bisa dikelola sebagaimana biasa tanpa perlu perlakuan berlebih. Tinggal 3% kasus, yang termanifestasi dalam bentuk bahan bakar bekas PLTN, yang mungkin membuat sebagian orang kalangkabut. Bahan bakar bekas ini yang kemudian dianggap sebagai limbah nuklir paling berbahaya dan harus diawasi serta diberitakan ramai-ramai tanpa henti seolah-olah ini masalah yang begitu besar. Sampai-sampai muncul klaim bahwa limbah nuklir itu harus dikubur selama ribuan hingga jutaan tahun baru bisa aman.

Apa iya seperti itu?

Di satu sisi, pernyataan mungkin ini ada benarnya. Mungkin. Bold, italic, underscore di kata mungkin. Yang jadi perhatian, seringkali kalangan yang mempersoalkan masalah ini menganggap bahwa limbah industri lain tidak berbahaya. Yang menghasilkan limbah berbahaya selama puluhan ribu tahun bukan cuma nuklir. Semua industri menghasilkan limbah dengan intensitas serupa, bahkan bisa lebih buruk lagi. Pencemaran Minamata, sebagai contoh, sumbernya dari limbah merkuri dari industri kimia dan sudah menyebabkan korban jiwa. Limbah PLTN, di sisi lain, tidak pernah membunuh seorang pun manusia hingga saat ini, dan kemungkinan besar hingga jutaan tahun ke depan.

Kenapa mungkin ada benarnya? Karena ada komponen di dalam bahan bakar bekas yang butuh waktu ribuan hingga jutaan tahun hingga radioaktivitasnya turun setara dengan radioaktivitas alam. Apa kalau radioaktivitas lebih tinggi daripada radioaktivitas alam itu jadi berbahaya? Tidak juga, karena radioaktivitas alam sendiri berbeda-beda antar satu daerah dengan daerah lain. Jadi kenapa harus dibiarkan meluruh selama itu? Bingung?

Supaya tidak tambah pusing, coba kita breakdown dulu komponen bahan bakar bekas PLTN.

Tiap tahun, PLTN tipe PWR dengan daya 1000 MWe menghasilkan setidaknya 30 ton bahan bakar bekas. Dari 30 ton ini, 95% adalah uranium-238 yang radioaktivitasnya sama dengan radioaktivitas uranium-238 yang ada di alam. Artinya, 28,5 ton bukan masalah radiasi. Bisa disimpan dulu atau diolah untuk dipakai di PLTN Generasi IV. Sisa 1,5 ton.

Kemudian, 1% adalah uranium-235 yang tidak sempat mengalami reaksi fisi. Artinya sekitar 300 kg uranium-235. Ada sedikit pengotor berupa uranium-236, tapi tidak mengubah radioaktivitas secara signifikan. Masih bisa dipakai lagi di Reaktor Generasi IV. Sisa 1,2 ton.

Berikutnya, 3% adalah produk fisi. Ini adalah hasil pembelahan atom-atom uranium-235, dan sebagian kecil plutonium-239 dari hasil transmutasi uranium-238. Artinya sekitar 900 kg. Produk fisi bermacam-macam umur paruhnya, tapi jarang sekali yang berumur sangat panjang. Caesium-137 adalah produk fisi berjumlah signifikan yang punya umur paruh paling panjang, yakni 30 tahun. Prinsipnya, radioaktivitas bisa dinyatakan menghilang ketika sudah lewat 10 kali umur paruh. Dari sini, caesium-137 secara praktis sudah berubah semua menjadi atom stabil setelah 300 tahun. Menyimpan produk fisi ini selama 300 tahun bukan perkara sulit, sudah banyak struktur geologis dan bangunan yang bisa bertahan jauh lebih lama daripada itu. Sisa 300 kg.

Komponen terakhir yang seringkali dipersoalkan itu elemen transuranik. Elemen ini merupakan elemen-elemen berat dengan nomor massa lebih tinggi dari nomor massa uranium. Umumnya, elemen transuranik yang terdapat pada bahan bakar nuklir bekas adalah neptunium, plutonium, americium, dan curium. Dari keempat elemen ini, plutonium adalah yang paling banyak, sekitar 90%. Plutonium sering dituduh butuh dikubur jutaan tahun, tapi kalau negaranya punya akal sehat, plutonium ini tidak akan dikubur begitu saja. Plutonium bisa dipakai di reaktor nuklir, baik Generasi II hingga Generasi IV, untuk menghasilkan energi. Sayang sekali kalau dibuang-buang. Jadi plutonium ini bukan masalah besar. Sisa 30 kg.

Dari isotop-isotop lain, yang kita sebut aktinida minor, neptunium jumlahnya sekitar 40%. Kegunaan utamanya adalah untuk bahan baku produksi plutonium-238, yang bisa dipakai untuk radioisotope thermoelectric generator (RTG). Benda itu umumnya digunakan untuk misi luar angkasa, seperti ke Mars atau Saturnus. Bahkan misi luar tata surya, ketika sinar matahari tidak cukup untuk menyalakan perangkat elektronik. Namun, kalau tidak punya proyek luar angkasa, neptunium ini tidak terlampau berguna.

Americium terdiri dari isotop americium-241 dan americium-243. Yang terakhir tidak berguna, sementara yang pertama bisa digunakan untuk berbagai keperluan radioisotop seperti pengganti plutonium-238 untuk RTG dan untuk alarm kebakaran. Tidak banyak opsi penggunaannya.

Curium, di sisi lain, adalah yang paling tidak berguna. Tidak ada manfaatnya secara biologi, kimia, termal, atau apapun. Curium biasanya hanya 2% dari elemen aktinida minor, atau 600 gram.

Anggap saja aktinida minor tidak ada gunanya semua, tidak mau dimanfaatkan ulang. Maka tiap tahunnya, limbah umur panjang yang dihasilkan hanya 30 kg. Volumenya seberapa besar? Kalau dibentuk jadi kotak, ukurannya sekitar 13,6 × 13,6 × 13,6 cm.

Kecil? Memang. Cuma segini limbah PLTN yang katanya harus dikubur selama jutaan tahun. Kalau misalkan Indonesia punya 100 PLTN, dan beroperasi selama 100 tahun, maka akan dihasilkan 10 ribu kubus aktinida minor, yang kalau ditumpuk di Lapangan Tenis Senayan masih sisa ruangan banyak sekali.

Apa iya limbah sebegitu sedikitnya akan membahayakan?

Lagipula, ada ketigau berita bagus dari limbah yang katanya harus disimpan jutaan tahun ini.

Pertama, seluruh elemen transuranik itu pemancar radiasi alfa. Sebagaimana kita ketahui, radiasi alfa hanya berbahaya kalau tertelan atau terhirup. Itu juga bahayanya tidak langsung kelihatan. Sementara, ketika limbah ini dikubur, tidak ada jalan manusia bisa menghirup atau menelannya. Kecuali dengan sengaja mendatangi repositori limbah, membongkarnya, dan menelannya. Yang mana, hanya orang gangguan jiwa yang akan repot-repot melakukannya. Jadi, secara praktis, tidak ada jalur untuk radiasi alfa itu agar masuk ke tubuh manusia, kecuali melalui kebocoran perlahan dalam rentang waktu jutaan tahun. Cohen (1991) mengkalkulasi bahwa, kalau limbah PLTN di AS disimpan semua di Gunung Yucca, Nevada, maka dalam 13 juta tahun, hanya dapat terjadi 0,0014 kematian.

Angka macam apa ini? Apa itu yang dikatakan sebagai bahaya antar generasi?

Kedua, umur paruh panjang itu berkorelasi dengan rendahnya radioaktivitas. Semakin pendek umur paruh, semakin tinggi radioaktivitasnya, dan sebaliknya. Kenapa? Karena prinsip fisikanya begitu. Persamaan aktivitas terhadap umur paruh dapat dinyatakan sebagai berikut.

I = I0.exp(-λ.t)

Dengan λ adalah ln 2/umur paruh. Karena korelasi eksponensial negatif, dengan umur paruh sebagai penyebut, maka semakin panjang umur paruh, faktor pengali I0 semakin kecil, sehingga radioaktivitas I pada waktu t jadi lebih besar daripada jika umur paruhnya pendek. Radioaktivitas lebih besar menunjukkan perubahan radioaktivitas terhadap waktu lebih kecil, yang berarti aktivitas peluruhannya lebih rendah. Semakin rendah radioaktivitas, semakin rendah pula ancaman radiasinya. Jadi, tidak serta merta umur paruh panjang lantas bisa dikatakan berbahaya.

Ketiga, umur paruh panjang itu berarti pada suatu saat semua bahan radioaktif itu akan menjadi stabil dan tidak berbahaya. Tidak lagi beracun dan mengancam lingkungan serta manusia. Beda dengan, katakanlah, arsenik dan merkuri yang dilepaskan dari industri kimia, kadmium yang bocor dari instalasi panel surya, yang semuanya akan tetap beracun sampai kiamat dan matahari menelan bumi. Jadi, mana yang sesungguhnya lebih bahaya?

Ada baiknya melihat ‘reaktor nuklir alam’ yang ada di Oklo, Gabon. Sekitar 2 milyar tahun yang lalu, ketika tidak ada organisme multiseluler di permukaan bumi, kompleks batu pasir di daerah yang kini bernama Oklo mengandung cukup bijih uranium dan air untuk melakukan reaksi fisi nuklir berantai secara alami. Waktu itu, kadar uranium-235 di bumi mencapai 3%. Reaksi fisi itu terjadi selama 500 ribu tahun sebelum akhirnya berhenti. Ditemukan lebih dari 6 ton material radioaktif berupa produk fisi dan plutonium di 16 situs reaktor alam, tersentralisasi, dan hanya ‘bergeser’ tidak lebih dari 10 meter dari lokasi awalnya.

Kalau alam sudah menunjukkan dengan sukses bahwa elemen transuranik bisa dijaga tetap stabil dalam struktur geologis selama miliaran tahun, apa yang membuat orang-orang berpikir bahwa produk fisi dan elemen transuranik yang butuh dikubur ‘hanya’ ribuan tahun tidak bisa diisolasi dengan semestinya?