Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto (Peneliti Teknologi Energi Nuklir)
Pandemi Covid-19 tidak menurunkan urgensitas untuk menurunkan emisi gas
rumah kaca (GRK) dari sektor energi. Sebab, penurunan konsumsi energi akibat
pandemi tidak signifikan dan tidak bertahan lama. Sebagaimana krisis ekonomi
global tahun 2008 hanya menurunkan konsumsi energi pada tahun 2009, lalu
kembali naik pada tahun 2010 hingga saat ini. Memang terjadi sedikit penurunan
lepasan emisi CO2 ke atmosfer pada tahun 2020, tetapi penurunan itu
hanya sedikit memperlambat kenaikan konsentrasi CO2.
Ketika berbicara tentang penurunan emisi GRK, moda energi yang
senantiasa diangkat selalu dalam bentuk energi terbarukan. Dalam hal ini,
energi surya (matahari) dan bayu (angin) seringkali mendapat perhatian khusus.
Seakan-akan keduanya adalah climate Messiah yang akan menyelamatkan bumi
dari bencana iklim.
Sementara, energi nuklir lebih sering dipinggirkan, dianggap tidak
relevan, bahkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pun hanya dinyatakan
sebagai “pilihan terakhir.” Artinya, nuklir hanya akan digunakan jika energi
terbarukan tidak mampu memenuhi target bauran energi.
Kondisi ini terang saja mengesankan bahwa energi nuklir dianaktirikan
dalam usaha reduksi GRK untuk mitigasi perubahan iklim, termasuk di Indonesia.
Sementara, energi terbarukan menjadi anak emas, selalu diletakkan di bawah spotlight.
Pertanyaannya, apakah dengan menganaktirikan energi nuklir akan membawa usaha
reduksi GRK kepada kesuksesan, atau malah menjadi resep paten untuk kegagalan?
Mengapa Nuklir Dianaktirikan?
Argumentasi kontra terhadap pemanfaatan energi nuklir sebenarnya
berputar-putar di isu yang sama sejak berpuluh tahun lalu. Kalau bukan
keselamatan, ya limbah radioaktif. Isu keselamatan yang paling sering dimainkan
tentu saja kecelakaan PLTN Chernobyl tahun 1986, disusul kemudian kecelakaan
PLTN Fukushima Daiichi tahun 2011. Seakan-akan, kedua kecelakaan tersebut
adalah testamen bahwa energi nuklir itu tidak selamat, unsafe, sehingga
tidak layak mengambil risiko untuk menggunakannya.
Limbah radioaktif tidak kalah seksi untuk dijadikan sebagai argumen
kontra nuklir. Termasuk setelah kejadian ditemukannya sumber radioaktif liar di
Perumahan Batan Indah, Tangerang Selatan, awal tahun 2020 lalu. Retorika yang
sering muncul adalah limbah radioaktif dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
(PLTN) berbahaya hingga puluhan ribu bahkan jutaan tahun, serta tidak ada
solusi untuk limbah-limbah tersebut.
Kedua isu tersebut, yang akhirnya menyeret isu biaya PLTN yang harus lebih
mahal dari semua moda energi lain, seolah menjadi silver bullet untuk
membuang energi nuklir dari isu energi nasional. Membicarakan bahkan mendukung
nuklir menjadi hal tabu. Ide untuk membawa nuklir dalam percaturan energi
nasional akan dibenturkan dengan isu keselamatan dan limbah secara
berulang-ulang. Kedua isu tersebut seakan menjadi doktrin relijius yang tidak
boleh dipertanyakan lagi.
Walau faktanya, kecelakaan Chernobyl hanya menyebabkan total 43 kematian
dan Fukushima Daiichi tidak menyebabkan korban jiwa. Teknologi penyimpanan
limbah radioaktif pun sudah ada dan memiliki peluang kebocoran sangat rendah
selama jutaan tahun.
Kisah Dari Jerman
Jerman mungkin menjadi rujukan utama dalam “pembuktian” bahwa energi
terbarukan dapat menggantikan energi fosil tanpa harus bergantung pada nuklir.
Program Energiewende (Transisi Energi) yang telah lama dicanangkan
pemerintah Jerman mendapat momentum pasca kecelakaan Fukushima Daiichi. Jerman
memutuskan untuk menutup semua PLTN pada tahun 2022, untuk kemudian beralih
pada energi terbarukan, yakni energi bayu dan energi surya.
Dalam pelaksanaan Energiewende, Jerman menginvestasikan USD 580
miliar hingga tahun 2025. Secara kapasitas terpasang, energi bayu dan surya
sudah melebihi batubara, gas alam, dan nuklir. Sayangnya, Jerman dipastikan
gagal memenuhi target reduksi emisi pada tahun 2020 lalu, dengan selisih margin
cukup besar.
Memang, pada tahun 2019, emisi GRK Jerman berkurang hingga 6,5%
dibandingkan 2018, tetapi konsumsi listriknya sendiri juga turun 4,8%.
Sehingga, penurunan emisi GRK bukan karena ekpansi energi terbarukan, melainkan
karena berkurangnya pembangkitan dan konsumsi listrik.
Selain itu, Jerman masih sangat tergantung pada batubara. Padahal, mayoritas
batubara Jerman adalah lignite yang merupakan jenis batubara paling
kotor. Lebih aneh lagi, Jerman baru berhenti menggunakan batubara tahun 2040.
Nuklir, yang merupakan energi bersih, ditutup jauh lebih cepat daripada
batubara. Sulit dinalar.
Untuk lebih menabur garam pada luka, tarif listrik Jerman adalah yang
paling mahal di Uni Eropa. Denmark, yang juga bergantung pada energi
terbarukan, memiliki tarif listrik termahal kedua. Terlepas dari klaim bahwa
energi terbarukan semakin lama semakin murah, dua negara yang paling jor-joran
dengan energi terbarukan nyatanya memiliki tarif listrik sangat tinggi.
Resep Kegagalan
Indonesia tidak dikaruniai angin dengan kecepatan tinggi. Energi bayu
tidak potensial untuk diterapkan secara besar-besaran. PLTB Sidrap pun underperforming.
Maka, harapan terbesar energi terbarukan di Indonesia dijatuhkan pada energi
surya.
Kendala terbesar energi surya adalah ketergantungan pada belas kasih
cuaca dan siklus siang malam. Kondisi mendung dan hujan akan menurunkan
produksi listrik secara drastis, sementara pada malam hari mustahil memproduksi
listrik. Baterai mungkin dapat membantu dalam skala kecil, tetapi tidak cukup
dalam skala besar.
Jika baterai bisa menjadi jauh lebih murah di masa depan, maka yang
paling terbantu dengan baterai skala besar adalah pembangkit termal seperti
batubara dan nuklir, bukan energi terbarukan. Hal ini mengasumsikan bahwa
cadangan material kunci untuk produksi baterai, seperti kobalt, litium, dan
nikel, cukup untuk memproduksi baterai sebagai penyimpanan energi skala besar. Mengingat,
berbagai jenis perangkat elektronik dan mobil listrik juga membutuhkan baterai.
Klaim bahwa energi terbarukan itu murah pun misleading, karena
tidak mempertimbangkan total cost yang seharusnya memasukkan sistem
penyimpanan energi dan upgrade jaringan listrik. Jika total cost dimasukkan
dalam kalkulasi biaya pokok produksi (BPP) listrik, maka BPP energi terbarukan
akan lebih mahal daripada batubara dan nuklir.
Kemudian, limbah panel surya dan baterai akan menimbulkan masalah baru,
karena volumenya yang sangat besar dan berbahaya bukan hanya puluhan ribu
tahun, tetapi selamanya. Tidak seperti energi nuklir, tidak ada metode yang
sudah established untuk mengelola limbah panel surya dan baterai.
Jika nuklir tetap dijadikan sebagai opsi terakhir dalam kebijakan energi
nasional, maka yang kemungkinan akan terjadi dalam usaha reduksi GRK adalah investasi
yang inefisien, suplai listrik yang lebih bermasalah dan tarif listrik yang
membengkak. Reduksi emisi GRK pun belum tentu akan tercapai. Hal ini
sebagaimana disimpulkan dalam penelitian Hong et al (2014), skenario transisi
energi tanpa nuklir akan jauh lebih mahal dan menghasilkan jauh lebih banyak
emisi GRK.
Prancis, yang dengan 70% listriknya berasal dari nuklir, menjadi salah
satu negara dengan emisi GRK paling rendah di Uni Eropa. Tarif listriknya pun
lebih rendah ± 40% dibandingkan Jerman. Prancis hanya berpikir tentang ketahanan
energi ketika beralih ke nuklir pada tahun 1970-an, tetapi tanpa sadar menjadi
contoh sahih bagaimana menjaga emisi GRK tetap rendah tanpa harus mengorbankan
keandalan sistem energi dan tarif listrik.
Pada akhirnya, menjadikan nuklir sebagai pilihan terakhir dan berharap
hanya pada energi terbarukan akan menjadi resep kegagalan dalam usaha
menurunkan emisi GRK nasional. Cukuplah Jerman menjadi korban resep gagal tersebut
dalam bentuk Energiewende. Indonesia tidak perlu menirunya.
0 komentar:
Posting Komentar