Kamis, 02 Juli 2020

Meluruskan Ke-Sontoloyo-an Konspirasionista Mardigu WP Tentang Fukushima Daiichi

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (Peneliti Teknologi Keselamatan Reaktor Nuklir)
Sejak awal orang ini muncul, saya tidak pernah meragukan bahwa Mardigu WP layak diragukan kredibilitasnya. Terlalu banyak bermain-main dengan kata “konspirasi” dan “intelijen” ditambah bumbu-bumbu technobabble yang sudah pasti dia sendiri tidak mengerti apa maksudnya. Argumentasinya tidak memiliki landasan yang kuat, sok-sok paham geopolitik walau faktanya fundamental berpikirnya seringkali keliru.
Mardigu merilis video pada Jumat (26/6) yang membawa-bawa isu kapal selam nuklir Amerika Serikat di sekitar Laut Natuna Utara. Dengan apa Mardigu mengaitkannya? PLTN Fukushima Daiichi. Pertama saya cuma menonton dua menit dari videonya, dan saya berkesimpulan bahwa Mardigu itu entah sedang berhalusinasi atau memang delusional. Saya tonton secara lengkap, saya semakin yakin orang ini tidak benar-benar waras.
Pada dasarnya, racauan Mardigu di video itu, khususnya terkait nuklir, tidak lebih dari racauan seorang konspirasionista yang membuat para insinyur nuklir dengan kepakaran teknologi reaktor, khususnya keselamatan reaktor, akan mengerutkan kening sembari mempertanyakan kewarasannya. Tidak ada yang berbasis data, hanya omong kosong yang dikemas sok iyey seakan-akan itu adalah fakta.
Dari sekian racauan Mardigu pada video tersebut, saya rangkum jadi tiga poin utama dan satu poin tambahan.
Poin pertama, Mardigu mengatakan reaktor Fukushima sudah beroperasi kembali.

Reaksi pertama saya mendengar Mardigu mengatakan itu adalah “Orang ini idiot atau apa?” sambil mati-matian menahan diri untuk tidak melontarkan sumpah serapah atas ketololannya.
Barangsiapa yang mengatakan PLTN Fukushima Daiichi tidak mengalami kecelakaan, maka dia tidak lebih dari orang yang mentally retarded dan tidak memiliki kapasitas akal memadai untuk pergi ke toilet rumahnya tanpa menggunakan GPS. PLTN Fukushima Daiichi mengalami kecelakaan itu fakta, qath’i, laa raiba fiih. Sama riil-nya dengan eksistensi SARS-CoV-2.
Bagi orang-orang yang berkutat dengan keselamatan reaktor nuklir, termasuk saya, terjadinya kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi (bukan Daini, tentu saja orang-orang semacam Mardigu tidak tahu bahwa ada dua PLTN Fukushima, dan sudah pasti tidak tahu mana yang mengalami kecelakaan) dapat dipahami bagaimana prosesnya. Perlu basis teknis memadai untuk bisa memahami event sequence dari kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi, sesuatu yang jelas tidak dimiliki oleh konspirasionista macam Mardigu.
PLTN Fukushima Daiichi, sebagaimana mayoritas PLTN di Jepang, menggunakan teknologi reaktor boiling water reactor (BWR). Reaktor ini menggunakan siklus uap langsung, sehingga di teras (inti) reaktor terjadi pendidihan fluida, dalam hal ini air bertekanan. Uap air dialirkan langsung untuk ke turbin dan memutar generator listrik. Uap kemudian dikondensasi kembali menjadi air dan dialirkan menuju teras reaktor.
Ketika pembangunan kompleks PLTN Fukushima Daiichi, TEPCO, selaku pemilik dan operator, mengabaikan rekomendasi keselamatan untuk membangun dinding laut (seawall) setinggi 10 m. TEPCO hanya membangun setinggi 5 m. Di kemudian hari, pengabaian TEPCO ini terbukti membawa masalah.
Ketika tsunami terjadi akibat gempa Tohoku (episentrum lebih dekat ke Sendai daripada Fukushima. Baru tahu, kan?), semua unit PLTN Fukushima Daiichi sudah padam (selain dua unit yang memang sedang padam karena perawatan). Unit aktif Fukushima Daiichi sudah berhasil shutdown dengan selamat. Namun, tsunami dengan ketinggian 15 m jelas saja lebih tinggi dari dinding laut yang dibangun atas kedunguan TEPCO. Akibatnya, air lolos ke dalam kompleks PLTN dan masuk ke basement. Masalahnya apa?
TEPCO melakukan hal bodoh kedua: mesin Diesel yang berfungsi sebagai sumber daya untuk post-shutdown cooling system diletakkan di basement. Sudah barang tentu airnya merendam mesin Diesel itu dan membuatnya gagal berfungsi.
Apa akibat dari kegagalan post-shutdown cooling system? Bayangkan anda punya mobil. Baru digunakan berkendara dari Banyuwangi ke Serang. Setelah mesin dimatikan, apakah mesin langsung dingin atau ada panas tersisa? Orang waras pasti bilang ada panas sisa. Demikian pula reaktor nuklir. sekalipun sukses shutdown, masih ada sisa panas yang harus tetap dibuang. Dari mana sumber panasnya? Utamanya adalah dari peluruhan produk fisi umur pendek, sekitar 7% dari daya termal reaktor.
Sialnya, post-shutdown cooling system yang digunakan untuk mendinginkan reaktor setelah shutdown, tidak dapat berfungsi karena terendam tsunami. Tidak ada pembuangan panas sisa. Akhirnya, panas di bahan bakar terakumulasi, meningkatkan temperatur kelongsong zircaloy hingga > 900°C. Reaksi air dengan kelongsong bakar berbahan dasar zirkonium akan menghasilkan hidrogen. Ketika terakumulasi, hidrogen pun meledak, menyebabkan kerusakan. Containment building Fukushima Daiichi sampai hancur sebagian karenanya.
Karena panas yang tidak terbuang ini, terjadi partial meltdown akibat bahan bakar memanas melebihi titik lebur bahan bakar keramik oksida. Sebagian bahan bakar meleleh. Bagaimana menghentikannya? Harus didinginkan. Tapi pakai apa, padahal post-shutdown cooling system sudah ambyar? Pakai sumber energi eksternal. Sumber airnya? Pakai air laut.
Di sinilah masalahnya. Ketika teras reaktor dibanjiri dengan air laut untuk mendinginkan bahan bakar, maka reaktor nuklir selamanya tidak akan bisa digunakan lagi. Reaktor berpendingin air wajib menggunakan air bebas mineral, supaya tidak menyebabkan korosi dan sumbatan pada komponen reaktor. Sekali diisi dengan air mineral, apalagi air laut, reaktor sudah tidak bisa dioperasikan lagi.
Hal itu, selain fakta terjadinya partial meltdown pada tiga teras reaktor Fukushima Daiichi, menyebabkan PLTN Fukushima Daiichi tidak mungkin beroperasi lagi. Keempat unit PLTN Fukushima Daiichi ditutup dan akan dekomisioning. Dua unit yang tidak mengalami kerusakan (unit 5-6) pun tidak dinyalakan kembali dan turut dekomisioning.
Semua itu fakta yang bisa diverifikasi siapapun. Bahkan TEPCO bersedia mengantar keliling PLTN Fukushima Daiichi, tentunya jika memang memiliki keperluan yang bisa dilegitimasi.
Lantas, dari mana ceritanya Mardigu mengatakan bahwa PLTN Fukushima Daiichi sudah beroperasi lagi? Ngarang dari mana dia?
Dari sini saja Mardigu sudah jelas kelihatan halusinasinya. Padahal memahami bahwa PLTN Fukushima Daiichi sudah tutup itu tidak sesulit belajar rocket science. Reaktornya sudah rusak semua, bahkan bahan bakar yang meleleh belum bisa diambil sama sekali dari dalam corium.
Kedua, klaim bahwa tidak ada kebocoran radioaktif di Fukushima. Bagi seluruh insinyur nuklir, atau minimal orang waras, klaim ini benar-benar membuat mereka bertakon-takon akan kewarasan Mardigu. Apakah tidak cukup semua data yang ada dari lembaga res—
Apa katanya? Manufaktur data?
(facepalm)
Sepertinya perlu dijelaskan sedikit soal alur logikanya, supaya nalar sehat publik tetap bisa dijaga.
Karena terjadi partial meltdown, otomatis sebagian produk fisi lolos dari bahan bakar. Tidak semua, tentu saja, utamanya ada tiga isotop yang lolos; I-131, Cs-134, dan Cs-137. Ketiga isotop ini bersifat volatil, mudah menyublim. I-131 terlepas ke udara bebas ketika containment building hancur akibat ledakan hidogen. Beruntung, angin waktu itu bertiup ke arah Samudera Pasifik. Sehingga, penduduk Jepang aman dari ancaman I-131, yang pernah menyebabkan 4000 kanker tiroid pada even Kecelakaan Chernobyl. Sementara, Cs-134 dan Cs-137 terlarut bersama buangan air pendingin ke laut Fukushima. Semua itu mudah sekali terdeteksi dengan peralatan nuklir yang super sensitif. Bahkan kenaikan 1 Bq, yang tidak ada artinya bagi kesehatan manusia, dapat terdeteksi.
Faktanya, lepasan radioaktif ke lingkungan itu ada, walau dampaknya memang minimal. Karena (1) I-131 tertiup ke Samudera Pasifik alih-alih ke daratan Jepang, dan (2) Cs-134 dan Cs-137 yang terlepas ke laut terlalu rendah untuk dapat menyebabkan perubahan signifikan terhadap kadar radioaktivitas laut, yang notabene sudah radioaktif sejak awal.
Lantas, bagaimana mungkin pelepasan radioaktif itu tidak terjadi, padahal tingkat keparahan kecelakaan pasti meniscayakan adanya lepasan radioaktif ke lingkungan? Bagaimana mungkin reaktor yang sudah jebol bangunannya tidak melepaskan I-131 yang jelas-jelas sifat kimianya volatil? Bagaimana mungkin air pendingin dari laut tidak melarutkan Cs-134 dan Cs-137 yang meleleh pada temperatur 28,5°C? Kemungkinan bahwa tidak terjadi lepasan radioaktif itu tidak bisa dinalar akal sehat.
Maka, klaim tidak ada lepasan radioaktif ke lingkungan tidak lebih dari klaim sontoloyo yang tidak berbasis fakta. Tidak penting apakah dia mengatakan bahwa ‘tidak ada kebocoran radioaktif di Fukushima itu fakta,’ karena fakta yang sebenarnya, yang bisa diverifikasi siapapun yang punya otak, lepasan radioaktif itu terjadi. Koar-koar soal manufaktur data pada hakikatnya sedang melecehkan para insinyur nuklir, saintis radiasi, dan secara praktis seluruh ilmuwan dan insinyur yang terlibat dalam manajemen pasca-kecelakan Fukushima Daiichi. Sekaligus tuduhan berat terhadap kredibilitas para ilmuwan dan insinyur, yang bisa berimbas pada tuduhan balik berupa pencemaran nama baik.
Ketiga, Mardigu membuat spekulasi bahwa kapal selam nuklir Rusia meledakkan senjata nuklir di dekat patahan dekat Fukushima. Khususnya dikaitkan bahwa ilmuwan Jepang dianggap sudah paham karakteristik lempeng dan patahan di sekitar Jepang, jadi mustahil gempa ini tidak bisa terdeteksi.
Bukti lain kesontoloyoan Mardigu yang sangat fakir basis pemahaan saintifik. Pertama dan paling utama, senjata nuklir tidak bisa menyebabkan tsunami. Amerika Serikat dan Rusia berulang kali melakukan ujicoba senjata nuklir bawah laut pada era Perang Dingin. Apa pernah terjadi tsunami?
Tidak, tuh.
Karakter tsunami adalah gelombangnya semakin tinggi ketika semakin mendekati daratan. Sementara, di tengah laut dalam, gelombang tsunami sangat kecil bahkan sulit diketahui. Bagaimana dengan ledakan senjata nuklir? Bagaimana bentuk ledakannya?
Seperti jamur.
Decades Ago, the U.S. Military Set Off a Nuke Underwater, And It ...
Gelombang air paling dahsyat dekat lokasi ledakan dan makin jauh makin lemah. Sementara tsunami kebalikannya. Karakteristik ini membuat ledakan senjata nuklir bawah laut tidak bisa dan tidak akan mungkin pernah bisa menyebabkan tsunami. Ini prinsip Fisika yang tidak perlu koar-koar soal data apalagi intelijen.
Lagipula, seismogram pasti bisa mendeteksi ledakan yang disebabkan senjata nuklir. Bahkan yang dimiliki BMKG di Indonesia sekalipun. Seismogram itu juga yang berhasil mendeteksi ujicoba senjata nuklir Korea Utara. Pertanyaannya, kalau benar ada ledakan senjata nuklir di lempeng gempa Tohoku, bagaimana mungkin tidak ada seismogram di seluruh dunia yang mendeteksinya?
Itulah kenapa spekulasi Mardigu soal ini tidak lebih dari spekulasi sontoloyo yang, sudah tidak didukung data, bertentangan dengan hukum Fisika pula.
Sebagai bonus, di akhir video, Mardigu meracau soal energi baterai. Ini ngaco. Karena dalam sektor energi, baterai tidak pernah dikenal sebagai sumber energi. Baterai hanyalah moda penyimpanan energi. Baterai hanya mengandung energi jika dicas, energi awalnya sama sekali tidak diperhitungkan. Dicas dari mana? Sumber energi lain! Bisa nuklir, batubara, gas alam, whatever. Yang jelas, baterai tidak bisa menghasilkan energi dalam artian sebagaimana sumber energi lain seperti nuklir.
Pernyataan soal “energi baterai” tidak lebih dari technobabble yang menunjukkan bahwa Mardigu tidak paham sama sekali akan apa yang dikatakannya. Artinya, kapasitas Mardigu dalam berbicara masalah produk teknologi, tidak hanya nuklir tapi juga teknologi lain, tidak lebih kredibel dari orang yang sedang mengigau dalam tidur.
Kesimpulannya, Mardigu super ngawur, ngaco, dungu, sontoloyo dalam argumentasinya di video tersebut. Mardigu berulang kali meracau soal data dan nalar, tapi racauannya tidak ada satupun yang berbasis data dan menggunakan nalar. Bahkan memahami ilmu Fisika saja gagal total, sampai ngawurnya mengawang-awang nyasar ke galaksi tetangga. Tidak lebih dari argumen konspirasionista dengan kredibilitas rendah. Sama ilmiah dan sama bernalarnya dengan aliran hoax pseudosains bumi datar.
Apakah sebenarnya Mardigu meracau tidak jelas supaya makin terkenal? Tidak tahu. Apakah dengan saya merespon ini Mardigu jadi tambah terkenal? Tidak tahu dan tidak peduli. Saya hanya berkewajiban untuk mendekonstruksi cacat nalar Mardigu supaya tidak ada orang yang tersesat dengan halusinasinya. Sudah cukup dengan berbagai spesies Covidiot yang menghambat mitigasi pandemi Covid-19. Tidak perlu menambah rusak akal masyarakat dengan mendengarkan racauan Mardigu. []

0 komentar:

Posting Komentar