Tampilkan postingan dengan label Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Islam. Tampilkan semua postingan

Selasa, 12 Agustus 2025

Peran Yang Harus Dikurang-Kurangi


Dalam kehidupan manusia posmodern, khusunya bagi seorang muslim, saya kira ada beberapa peran yang selayaknya dikurang-kurangi dan ada peran yang sebaiknya diperkuat.

Di sini saya bahas peran yang sebaiknya dikurangi dulu.

1. Polisi Adab

Now, now, tidak usah terpelatuk dulu. Mengingatkan soal adab dalam berbicara dan bersikap bukan kriteria tunggal menjadi Polisi Adab. Mengingatkan soal adab adalah bagian dari amar ma'ruf, bahkan nahi munkar. Itu bagus sekali. Lantas, masalahnya? Kalau berat sebelah. Dalam artian, sibuk bicara soal pentingnya adab dalam berbicara, tetapi tidak peduli sama sekali tentang kenapa bisa ada persoalan dalam adab tersebut.

Contohnya, ketika ada seseorang (sebut saja Hajime) yang mengkritik keras (hingga kasar) sebuah fenomena kekeliruan fatal dan kemaksiatan oleh Yoichi, kemudian (sebut saja) Kengo sibuk mengomentari adab Hajime yang agak-agak kurang. Tapi apakah Kengo berbicara soal kemaksiatan yang dilakukan oleh Yoichi? Tidak sama sekali. Semua energinya difokuskan untuk mengoreksi adab Hajime sehingga tidak ada energi tersisa untuk mengoreksi kemaksiatan Yoichi.

Itu yang namanya Polisi Adab. Sibuk dengan asap, tidak peduli dengan api. Peran seperti ini memang mudah dilakukan, tapi tidak berguna sama sekali bagi kehidupan manusia. Seharusnya dikurang-kurangi bahkan ditinggalkan.

2. Pahlawan Kesiangan

Alkisah, Shinichi dan Heiji sedang bertengkar karena Shinichi melihat bahwa Heiji sedang melanggar komitmennya sebagai seorang detektif, sementara Heiji melihat Shinichi terlalu pengecut untuk mengambil risiko dalam memecahkan kasus. Tanpa ba-bi-bu, Kogoro muncul berusaha mendamaikan keduanya dan mengatakan semua ini cuma soal perbedaan sudut pandang, tidak usah dibesar-besarkan, lebih baik fokus pada memecahkan kasus kriminal di Kota Taito.

Padahal masalahnya Heiji memang telah melakukan pelanggaran kode etik dalam penyelidikan kasus kriminal, dan Shinichi sedang berusaha menegakkan kode etik tersebut walau dikata-katai pengecut oleh Heiji. Di sini, Kogoro berperan sebagai Pahlawan Kesiangan. Dia berusaha menjadi pahlawan dengan menyelesaikan konflik, sayangnya di waktu, tempat, dan konteks yang keliru. Kogoro bahkan tidak pernah berusaha mendalami kenapa Shinichi dan Heiji bertengkar (karena keterbatasan intelektualitasnya), tapi bertingkah seolah dia menjadi pahlawan ketika berdiri di antara kedua detektif muda itu.

Peran sebagai Pahlawan Kesiangan ini selayaknya dikurang-kurangi oleh seorang muslim, karena selain tidak berguna sama sekali dalam kehidupan, posisinya juga jelas menambah keruh persoalan. Ketika dia tidak paham persoalan, lebih baik Kogoro ini diam saja dan pura-pura bodoh daripada membuka mulut dan malah kelihatan bodohnya.

3. Tukang Cebok

Ketika Heiji terbukti telah melakukan kesalahan dan melanggar kode etik penyelidikan kasus kriminal, dunia perdetektifan pun geger. Pihak-pihak dari Kepolisian Metropolitan Osaka dan semua yang berada di kubu Heiji pun menjadi gundah gulana. Pada momen itu, Kazuha muncul untuk membela tindakan-tindakan Heiji. Katanya, Heiji tahu kalau itu salah, tapi tetap dilakukan demi bisa memecahkan kasus, bahwa Heiji tidak mungkin tidak punya alasan untuk melanggar kode etik, dsb. Semua prasangka baik dilontarkan oleh Kazuha, berharap Shinichi, Ran, dan Kepolisian Metropolitan Tokyo masih mau berprasangka baik dan membenarkan tindakannya.

Apa yang dilakukan Kazuha adalah menjadi Tukang Cebok bagi kesalahan yang dilakukan oleh Heiji. Sudah jelas-jelas Heiji "bermaksiat" dengan melanggar kode etik, masih saja dibela. Semua harus dikembalikan pada niat, bahwasanya niat adalah yang paling utama. Prasangka baik harus diutamakan meski fakta yang terjadi adalah sebaliknya. Kenapa? Karena Kazuha dekat dengan Heiji, dan berada di kubu Heiji. Tidak lebih.

Bagi seorang muslim, menjadi Tukang Cebok bukan hanya tidak berguna dan menambah keruh persoalan, tetapi juga menjijikkan. Tidak beda jauh dengan pengacara yang membela pelaku tindak kriminal. Jadi sebaiknya perilaku seperti ini dihindari. Kalau memang menyadari berada di pihak yang salah, meski agak terlambat, tidak ada yang salah dengan mengakui kesalahan posisi tersebut dan mengoreksinya. Bukan malah nyebokin kesalahan orang, yang mungkin tidak tahu dan tidak peduli juga dengan dirinya.

Apakah masih ada yang lain? Mungkin ada, tapi saat ini tiga poin di atas saja dulu. Anda tidak harus setuju sepenuhnya, tapi sebaiknya direnungkan baik-baik.

Karena dunia posmodern problematik ini sudah terlalu bermasalah untuk menampung peran-peran tidak berguna tersebut, jadi tidak usah ditambah-tambah.

Senin, 11 Agustus 2025

Ketika Ruwaibidhah Diberi Panggung


Dari Abu Hurairah r.a.Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya akan datang kepada manusia tahun-tahun penipuan, di dalamnya orang yang berdusta dipercaya sedang orang yang jujur didustakan, orang yang berkhianat diberi amanah, sedang orang yang amanah dikhianati, dan di dalamnya juga terdapat al-ruwaibidhah.” Ditanya, “Apa itu al-ruwaibidhah wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Yaitu orang bodoh yang berbicara (memberi fatwa) dalam urusan manusia.” (HR Ahmad)

Ini bukan hadits asing. Hadits ini sering sekali dibahas khususnya dalam berbagai ceramah terkait urusan publik. Biasanya ditujukan pada entitas-entitas kepemimpinan, mulai dari yang kecil seperti lembaga riset maupun entitas yang lebih besar seperti negara. Karena hadits ini bersifat mujmal, jadi bisa diaplikasikan untuk berbagai konteks. Tidak hanya pemimpin negara saja, bahkan tanpa terikat dengan suatu entitas tertentu sekalipun.

Abad 21 baru berjalan seperempat abad, dan makin kesini para ruwaibidhah tampak semakin banyak. Siapapun bisa berbicara soal apapun tanpa koreksi dan kontrol memadai. Tom Nicholls menyebutnya sebagai The Death of Expertise. Kepakaran kini sudah mati, berganti dengan popularitas. FYP dan interaksi/engagement menjadi mata uang baru untuk menentukan benar atau salah, bisa dipercaya atau tidak. Bukan lagi kebenaran objektif, tapi persepsi subjektif. Asal dia tenar, dia bisa dipercaya sebagai orang yang kredibel. Contohnya banyak, mulai dari pedagang hoax berkedok agama, "guru" obesitas yang bicara segala hal seolah-olah dia pakar dalam semua bidang, mentalis/pesulap/penghibur tipuan mata yang alih haluan menjadi tuan rumah siniar, dokter influencer tapi STR mati, sampai dukun anonim berkedok medis.

Tipikal-tipikal orang sejenis itu layak disebut sebagai ruwaibidhah. Mengapa? Karena berbicara tanpa ilmu terkait urusan manusia luas. Berbicara soal kesehatan membawa-bawa kedok agama, tanpa memahami bagaimana fahmul waqi' dalam sebuah persoalan, tanpa memahami dalil apalagi istidlal hukum syara', tanpa memahami ilmu medis seperti apa. Semua "argumentasi" yang disampaikan berbasis pada appeal-to-emotion fallacy, cuma memantik emosi/perasaan audiens dengan tajuk-tajuk kontroversial dan premis-premis palsu, serta penggunaan dalil syara' tidak pada tempatnya. Tapi karena menggunakan emotional appeal inilah, mereka mudah menyesatkan warganet yang memang pada dasarnya jarang yang mampu berpikir kritis.

Truth is boring. Fear sells. (Hargraves, 2012)

Tidak ketinggalan pula seseorang yang punya gelar PhD di bidang teknologi pangan, tapi berbicara sangat jauh melampaui kepakarannya tersebut sampai ke topik climate change, pandemi Covid-19, dan genetically modified organism (GMO). Sudah begitu, kemampuan penalaran dalam membaca publikasi ilmiah (scientific paper, atau kita sebut saja paper) dan menganalisis datanya relatif rendah. Tapi pede sekali mengatakan ini dan itu yang KATANYA merujuk pada paper tertentu, tapi apa yang disampaikan dengan isi paper sama sekali berbeda. Alias salah menafsirkan isi paper. Mulai dari paper soal Covid sampai soal glifosat, keliru semua.



Nah, kira-kira, kalau para ruwaibidhah sejenis ini diberi panggung oleh mereka yang punya basis audiens cukup besar, apa yang akan terjadi?

Betul. PEMBODOHAN MASSAL. Bukannya mencerdaskan kehidupan bangsa, bukannya mencerdaskan pemikiran umat, malah melakukan pembodohan terhadap umat. Maka akan menjadi masalah besar, ketika sebuah komunitas Islam yang katanya mengajak "mengaji" kemudian memberi panggung kepada para ruwaibidhah sejenis ini, maka sama saja pengikut dan audiens komunitas ini disajikan panggung pembodohan! 

Ketika "guru" obesitas yang sering membahas topik secara keliru dan akurasinya rendah kemudian diberi panggung oleh forum siniar dengan basis audiens cukup besar, maka kesan yang muncul adalah "guru" obesitas ini adalah seorang yang kompeten dan bisa dipercaya oleh audiens komunitas tersebut. Khususnya bahwa para audiens tidak terbiasa dan tidak pernah dilatih berpikir kritis oleh komunitas Islami tersebut, sementara para tuan rumah siniar juga tidak pernah menganggap pernyataan-pernyataan kontroversial dan keliru "guru" obesitas sebagai hal yang patut dikoreksi, sehingga yang terjadi adalah para audiens menelan mentah-mentah sikap dan pernyataan "guru" obesitas alih-alih bersikap kritis.

Ketika PhD lompat pagar yang hobi bicara konspiratif berbekal pemahaman keliru terhadap paper yang dibacanya diberi panggung oleh forum yang sama, maka komunitas tersebut sedang mengekspos audiens mereka dengan penyesatan pemikiran yang berbahaya. Karena kepercayaan berlebih terhadap tuan rumah siniar, audiens jadi meyakini bahwa orang yang diundang ke dalam siniar tersebut adalah orang yang kompeten di bidangnya, sehingga apa yang disampaikan PhD lompat pagar itu dianggap sebagai sebuah kebenaran. Mulai dari konspirasi bahwa pandemi Covid-19 adalah rekayasa manusia, sampai kedelai GMO akan menyebabkan kanker. Hal ini diperparah bahwa tuan rumah siniar tidak ada seorang pun yang memilikii gelar doktoral dan tidak ada yang kompeten sama sekali dalam bidang sains.

Ketika orang-orang sosialis diberi panggung oleh forum yang sama, tanpa ada usaha untuk membongkar pemikiran kufur sosialisme, audiens yang tidak pernah dilatih berpikir kritis jadi mudah sekali tergoyangkan pemahamannya dan jadi tertarik untuk mempelajari karya-karya orang sosialis tersebut. Bukan untuk dibantah, tetapi dijadikan sebagai referensi!

Kenapa sampai komunitas Islami tersebut memberi panggung terhadap para ruwaibidhah? Apa mereka tidak pernah sadar tentang reaksi publik yang cenderung negatif terhadap beberapa pihak, dan kekeliruan pemikiran di pihak lain?

Sepertinya alasannya tidak jauh dari memancing interaksi. Karena sekali lagi, FYP dan engagement adalah cara untuk menjadi terkenal di era posmodern. Engagement adalah berhala yang mesti disembah demi memiliki nama. Akhirnya semua dampak susulan dari interaksi tersebut tidak diperhitungkan sama sekali, meskipun itu adalah dampak negatif. Para ruwaibidhah, yang seharusnya di-delegitimasi posisiya, malah diberi kesan positif dan dikembalikan kepercayaannya oleh audiens, semata-mata karena diundang oleh komunitas Islami yang dianggap memiliki kesan positif.

Penyesatan pemikiran massal tersebut juga menyulitkan kalangan intelektual sungguhan dan orang-orang yang lurus pemikirannya untuk menyadarkan masyarakat dari kekeliruan pemikiran para ruwaibidhah ini. Para saintis sudah mati-matian berusaha menjelaskan fenomena riil terkait pandemi Covid-19, eh malah disesatkan lagi oleh komunitas Islami yang mengundang ruwaibidhah. Jadi menambah pekerjaan lagi. Sama, ketika para guru dan akademisi sungguhan sedang mengkritik kesalahan berpikir "guru" obesitas, komunitas ini malah membuat ruwaibidhah satu ini tambah menggelembung namanya (juga kepalanya).

Dengan kata lain, siniar komunitas Islami ini membantu menyebarkan kebodohan, kesesatan, dan fitnah, serta mempersulit hidup para intelektual sungguhan dalam mencerdaskan pemikiran umat Islam!

"Mengaji" apa yang sesungguhnya mereka ingin tunjukkan dengan praktik pemberhalaan engagement ini?

Apa mereka tidak bisa mengundang orang-orang yang kompeten dan lurus saja alih-alih sekumpulan ruwaibidhah? Apa karena saking buruknya isi komunitas mereka, sehingga mereka hanya mengenal dan menganggap penting ruwaibidhah asal punya nama dan bisa mengundang audiens-interaksi?

Praktik yang dilakukan komunitas Islami seperti ini tidak ada manfaatnya sama sekali. Alih-alih menjadi pahala jariyah, apa yang mereka lakukan ini bisa menjadi dosa jariyah.

“Siapa yang mengajak kepada kesesatan, dia mendapatkan dosa, seperti dosa orang yang mengikutinya, tidak dikurangi sedikitpun.” (HR Muslim)

Sayang sekali bahwa pengurus komunitas Islami ini terkenal bebal, besar kepala, dan anti-kritik. Mereka menggunakan kacamata kuda dalam melakukan aktivitasnya dan tidak mengenal kekeliruan dalam apa yang mereka lakukan. Yang mereka tahu hanyalah bahwa semua pengkritiknya adalah hasad, dengki, benci, iri. Tidak beda jauh dengan “musuh” yang didengungkan sebagian anggotanya. Ironis bahwa mereka menjadi persis sebagaimana apa yang mereka musuhi. Seperti zionis yang begitu membenci Nazi, tapi akhirnya mereka bertingkah seperti Nazi Jerman.


Kalau sudah begini, tinggal tunggu kejatuhannya cepat atau lambat. Pada titik itu, apakah audiens mereka masih akan sedemikian loyal pada mereka? Ketika loyalitas tertinggi seorang muslim yang harusnya disandarkan pada Allah dan Rasul-Nya, kini dialihkan pada pengkultusan individu dan kelompok?

Sabtu, 02 Maret 2024

Hukum Asal Perkataan Mereka Adalah Bohong Sampai Terbukti Benar

Dalam ushul fiqh, ada kaidah syar'iyyah yang bunyinya kurang lebih begini,

"Hukum asal suatu perbuatan adalah terikat pada hukum syara'."

"Hukum asal suatu benda adalah mubah sampai ada dalil yang mengharamkannya."

Kedua kaidah ini berbicara terkait hukum asal dari benda dan perbuatan. Tidak ada yang lebih mendasar daripada ini, karena kehidupan manusia memang berkisar pada dua hal tersebut: Benda dan perbuatan. Terkait benda, maka hukum asalnya adalah mubah atau halal. Semua benda pada dasarnya halal, kecuali yang Allah nyatakan keharamannya. Misalkan darah, khamr, bangkai, babi, anjing, hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, dsb. Benda-benda yang diharamkan ini tidak terlampau banyak, jauh lebih banyak yang halal. Makanya kecuali bisa dibuktikan bahwa benda tertentu itu mengandung bahan yang diharamkan, hukumnya adalah halal.

Bukan sebaliknya, haram (minimal syubhat) sampai ada sertifikat halal MUI. Itu kaidah ngawur bin sesat yang tidak pernah dikenal dalam khazanah pemikiran Islam.

Btw, "bukti" di sini tidak perlu harus secara saintifik sekali, lho, ya. Pakai rasio pun bisa. Contoh, Anda lagi di Korea Selatan. Terus lihat ada daging sapi. Apa perlu dibuktikan secara saintifik bahwa itu haram? Ya enggaklah, ngaco. Pakai itu rasio! Sudah dikasih akal buat mikir kok lagaknya segala harus saintifik.

Sementara perbuatan adalah hal yang sama sekali berbeda. Perbuatan tidak ada yang bersifat netral, semua pasti ada nilai tertentu. Maka, perbuatan tidak bisa jatuh ke aspek halal-haram, melainkan ahkamul khamsah (wajib, mandub, mubah, makruh, haram). Dan nilai perbuatan tersebut masuk hukum yang mana, itu tergantung pada hukum syara' terkait perbuatannya. Makanya hukum asal dari perbuatan itu terikat pada hukum syara', bukan semua perbuatan itu mubah sampai ada larangannya. Ngawur itu.

Jadi, pada dasarnya selalu ada hukum asal dari sesuatu, entah benda maupun perbuatan. Tidak ada yang kosong dari hukum asal, bahkan sekalipun kita membawanya dalam konteks yang lebih luas.

Misalnya, "hukum asal pernyataan entitas ilegal penjajah israel adalah bohong." Nah, itu sudah jadi hukum dasar yang menjadi landasan berpikir seseorang. Bahwa, semua yang disampaikan oleh entitas penjajah ilegal itu, dalam kondisi apapun, adalah bohong. Mengingat, dari zaman Nabi Ya'kub masih hidup sekalipun, mereka adalah bangsa culas, pembohong, penipu, pengkhianat. Apalagi sekarang. Tidak ada kondisi pengecualian dalam kaidah ini, karena mereka sudah pasti membual, berbohong, untuk menjustifikasi eksistensi menjijikkan mereka dan genosida yang mereka lakukan.

Berdasarkan kaidah ini, maka semua pemberitaan yang bersumber dari entitas penjajah ilegal itu, adalah bohong, penipuan, propaganda. Titik. Selesai.

Ada juga yang mengajukan kaidah seperti, "hukum asal penyataan petinggi adalah bohong sampai terbukti bahwa mereka jujur." Jadi dalam konteks ini, para petinggi (entah itu lembaga, perusahaan, sekolah, univesitas, whatever) itu hanya bualan belaka, sampai terbukti bahwa pernyataan itu benar adanya dan terwujud di instansi mereka. Biasanya, hal ini bersumber dari ketidakpercayaan mereka pada petinggi-petinggi instansi tersebut, dan ketidakpercayaan muncul dari inkonsistensi antara ucapan dan perbuatan para petinggi. Jadi yang dibicarakan apa, yang dijanjikan apa, yang terjadi apa. Yang dijanjikan di awal pekerjaan administratif akan lebih ringan, realitanya malah jadi tambah berat.

Berdasarkan kaidah ini, omongan para petinggi hanya bisa dipercaya jika cuap-cuapnya sudah terbukti. Baru omongannya dianggap benar. Kalau tidak... ya kembali ke kaidah asal.

Kedua contoh kaidah ini kesamaannya apa? Keduanya bersumber dari distrust. Ketidakpercayaan pada subjek kaidah. Dalam konteks keorganisasian, entah organisasi apapun itu, distrust biasanya akan merapuhkan loyalitas bawahan terhadap atasan. Sebabnya? Banyak, tapi utamanya ya tadi: Inkonsisten, pembual, bahkan sering menetapkan kebijakan-kebijakan tidak menyenangkan bahkan merugikan. Kalau sudah begini, bagaimana bisa berekspektasi bahwa bawahan akan percaya pada janji-janji atasan?

Jadi semisal IDF merilis video bahwa warga Palestina mati bergelimpangan karena rebutan makanan, maka berdasarkan kaidah di atas, IDF itu berbohong. Karena realitanya memang kera-kera bau bangkai itulah yang menembaki warga Palestina yang kelaparan setelah mereka bom berbulan-bulan. Siapapun yang percaya narasi entitas penjajah ilegal israel, maka sesungguhnya dia punya IQ di bawah nol.

Juga misalkan ada petinggi instansi yang cuap-cuap soal keberhasilan kinerjanya atau target-target perubahan ke depannya, maka berdasarkan kaidah kedua, penganutnya akan menganggap petinggi itu cuma membual saja, sampai terbukti bahwa apa yang dia lakukan itu terwujud.

Ringkasnya, selalu ada hukum asal untuk sesuatu, bahkan dalam konteks luas. Termasuk kaidah terkait bohong, bahwa sebagian pihak ketika berbicara memang mulutnya penuh belepotan dengan membual dan berbohong. Yang model begini, apalagi dalam contoh kedua, akan sulit untuk menjadi instansi yang berjalan dengan baik. Karena model hubungan antara atasan dan bawahannya adalah berbasis distrust, bukan trust.

Till the next update,

Andika 

Senin, 12 April 2021

Tauhid Dari Fisika Atom

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto

Ketika para fisikawan berusaha memodelkan atom itu seperti apa, maka sebenarnya tidak ada yang pernah tahu benda seperti apa atom itu. Mereka hanya mengira-ngira, atom itu bentuknya macam apa, sih? Karena itu, pada masanya, model atom tidak pernah sama. Selalu berkembang.

John Dalton pada awalnya hanya menyatakan bahwa segala materi itu tersusun dari atom. Tiap atom dari elemen/unsur yang sama memiliki ukuran, berat, dan sifat lain yang sama. Selain itu, atom tidak bisa dipecah-pecah lagi menjadi lebih kecil. Namun, teori Dalton ini dikoreksi oleh Joseph John Thomson, yang menemukan elektron, partikel lebih kecil dari atom, ketika bekerja dengan sinar katoda. Model atom Dalton pun berkembang menjadi model atom puding plum, dengan tambahan elektron.
Ernest Rutherford kemudian menemukan kelemahan dari model atom Thomson, berdasarkan pengamatan terhadap radiasi alfa yang dipancarkan radium. Rutherford kemudian mengusulkan model atom dengan muatan positif konsentrik di inti (nucleus) atom alih-alih terdistribusi merata di dalam volume atom. Namun, model ini juga belum cukup menjelaskan atom dengan baik, Niels Bohr membuat model baru bahwa elektron mengelilingi inti atom pada orbit tertentu dengan momentum sudut dan energi tetap, dan jaraknya dari inti atom proporsional dengan tingkat energinya.
Teori atom pun kemudian terus berkembang ketika Rutherford dan murid-muridnya menemukan partikel subatomik yang kemudian disebut proton, disusul kemudian James Chadwick menemukan neutron. Demikian seterusnya sampai model atom dikembangkan sampai didapatkan model atom seperti saat ini, dengan adanya quark sebagai penyusun elemen hadron (proton dan neutron) serta gluon sebagai pengikat quark.
Sudah sempurna? Mungkin tidak. Tapi dalam berbagai hal cukup untuk menjelaskan fenomena-fenomena fisika terkait atom.
Pertanyaannya, apakah para ilmuwan itu pernah mengamati atom dan partikel subatomik secara langsung?
Tentu saja tidak. Karena bahkan Dalton sendiri menyatakan bahwa atom itu invisible, tidak terlihat.
Para fisikawan dan kimiawan pada masa itu mengembangkan teori atom berdasarkan fenomena ikutan yang mereka amati. Bahasa sederhananya, mengamati ‘jejak’ dari perilaku atom. Walau tidak bisa melihatnya, mereka percaya atom itu ada. Model atom modern berhasil ditemukan tanpa ada satupun manusia melihat atom, apalagi partikel subatomik. Tapi model itu berhasil menjelaskan bagaimana fenomena-fenomena fisika pada atom dan inti atom terjadi.
Tidak perlu benar-benar melihat sesuatu secara fisik untuk mengetahui sesuatu itu ada. Dari ‘jejak’ yang ditinggalkannya pun dapat dipahami bahwa ada sesuatu yang menciptakan ‘jejak’ tersebut. Termasuk eksistensi Tuhan.
Sebagian orang menolak eksistensi Tuhan karena mereka tidak bisa menginderanya. Dianggap tidak masuk akal, imajinasi manusia belaka, sebatas usaha manusia untuk menjelaskan fenomena yang tidak bisa dipahaminya. Hal terakhir, menurut mereka, tidak lagi relevan karena sekarang sudah ada sains. Tidak perlu Tuhan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di alam semesta, cukup dengan sains saja. Karena sains bisa diindera, Tuhan tidak.
Padahal, adanya Tuhan bisa dipahami dari apa yang telah Dia ciptakan; manusia, alam semesta, kehidupan. Sederhananya, tidak mungkin manusia, alam semesta, dan kehidupan muncul dengan sendirinya, atau menciptakan dirinya sendiri. Pasti ada sesuatu yang menciptakan. Tidak perlu sains untuk memahami hal seperti ini, cukup rasio.
Sebagaimana perilaku pantulan pantulan radiasi alfa lebih dari 90° merupakan tanda adanya konsentrasi partikel bermuatan positif pada inti atom, dan ionisasi materi dari tembakan radiasi merupakan tanda adanya partikel bermuatan netral, maka adanya manusia, alam semesta, dan kehidupan sendiri sudah menjadi tanda adanya Pencipta. Mengatakan bahwa alam semesta tidak bermula, atau bermula dengan sendirinya, merupakan bentuk pemerkosaan akal sehat, karena tidak ada dari keduanya yang bisa diterima akal.
Sesederhana itu memahami adanya Tuhan. Tidak perlu sains. Karena sains tidak didesain untuk menjawab siapa yang menciptakan alam semesta, manusia, dan kehidupan. Sains sejak awal dikembangkan sebagai model untuk memprediksi bagaimana alam semesta, manusia, dan kehidupan bekerja. Itu saja, tidak lebih.
Menggunakan sains sebagai penghakiman apakah Tuhan itu ada atau tidak merupakan pelanggaran terhadap prinsip saintifik itu sendiri.
Tuhan Pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan, Allah SWT, memang tidak bisa diindera. Allah sendiri tidak sama dengan ciptaanNya. Berada pada dimensi yang berbeda dengan ciptaanNya, tidak terikat pada apa yang diciptakanNya. Sebagaimana firmanNya.
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (QS Asy Syura’: 11)
Lagipula, kalau Tuhan memiliki kesamaan dengan ciptaanNya, maka entitas itu tidak layak disebut Tuhan.
Walau tidak bisa diindera oleh manusia, akal manusia mampu menjangkau bahwa Allah itu ada, dan Allah lah yang menciptakan semua yang ada di alam semesta ini. Kalau mengakui keberadaan atom sebagai konstituen dari materi saja bisa, bahkan partikel subatomik semacam quark dan hadron dipercaya ada walau tidak bisa diindera, dan eksistensinya hanya dipahami melalui pengukuran dan pemodelan, kenapa ketidakbisaan manusia untuk mengindera Allah secara fisik dijadikan alasan untuk menolak eksistensiNya? Padahal ada banyak sekali hal terindera untuk direnungi yang menjadi indikasi bahwa semua itu ada yang menciptakan?
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (QS Al Ghasyiyah: 17-20)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS Ali Imran: 190)

Sabtu, 25 Januari 2020

Islam Selaras atau Bertentangan Dengan Sains?


Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto

Kadang ada pertanyaan, "Apakah Islam bertentangan atau selaras dengan sains?"

Mungkin ada yang berpikir di kedua kubu. Yang agak-agak sok oPeN mInDeD mungkin akan melihat fenomena sains modern banyak yang bertentangan dengan sains. Sementara, yang lebih konservatif akan mengatakan bahwa Islam selaras saja dengan sains.

Kedua kubu ini keliru, walau kubu oPeN mInDeD tingkat kekeliruannya lebih tinggi.

Sebenarnya, bagaimana mungkin Islam dikatakan bertentangan atau selaras dengan sains, sementara sumber utama hukum Islam, Al Qur'an dan as sunnah, tidak secara khusus membahas sains dan tidak ditujukan sebagai kitab panduan sains?

Al Qur'an diturunkan sebagai huda wal furqan. Petunjuk bagi umat manusia dan pembeda antara yang haq dan bathil. Sementara sains merupakan pengamatan akan fenomena fisik yang ada pada manusia, alam semesta, dan kehidupan. Sains sudah ada jauh sebelum Al Qur'an diturunkan kepada Rasulullah Muhammad ﷺ, dan Al Qur'an sama sekali tidak ditujukan untuk menjelaskan fenomena sains.

Al Qur'an sebatas memberi inspirasi bagi manusia untuk memahami sesama manusia, alam semesta, dan kehidupan. Mengamati fenomena-fenomena di sekitar manusia agar menyadari kebesaran Allah dan sangat tidak berartinya manusia. Pengamatan ini juga supaya manusia dapat memanfaatkan fenomena alam dengan baik untuk keperluan hidup manusia, entah sebatas pemanfaatan apa adanya ataupun melalui rekayasa.

Masalah terakhir sudah diindikasikan oleh Rasulullah SAW dalam kasus penyerbukan kurma di Madinah. Beliau bersabda, "Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian." Kaitannya adalah dengan masalah sains dan teknologi, yang mana hal tersebut diserahkan pada akal dan pengetahuan manusia.

Al Qur'an juga memberi panduan tentang halal-haram terkait benda serta ahkamul khamsah terkait perbuatan, yang kemudian harus diaplikasikan dalam praktik saintifik. Dengan begini, perkembangan sains di tangan seorang muslim dapat berlangsung tidak sekadar baik, tetapi juga benar.

Dengan demikian, pada hakikatnya, Islam menyerahkan masalah sains pada manusia, Allah menyuruh manusia menggunakan akalnya untuk berpikir. Dari berpikir dan mengamati inilah manusia bisa menemukan dan memahami fenomena fisik tersebut, entah dalam taraf pasti (qath'i) atau dugaan kuat (ghalabatudzh dzhann). Islam juga memberi aturan tentang ahkamul khamsah sebagai panduan bagi manusia dalam proses pengamatan fenomena alam tersebut.

Karena alasan tersebut, tidak bisa dikatakan bahwa Islam selaras atau tidak selaras dengan fenomena sains tertentu. Karena Islam sudah menyerahkannya pada manusia. Jikalau kemudian ada fenomena fisik yang ternyata bersesuaian dengan ayat-ayat Al Qur'an, maka itu semata-mata merupakan bukti kebesaran Allah.

Namun, pada dasarnya, kita tidak perlu merujuk pada Al Qur'an untuk membahas fenomena sains. Jadi, lucu kalau ada yang harus merujuk pada Al Qur'an dan tafsirnya untuk mengetahui bumi ini bulat atau datar, apakah bumi berputar atau statis, apakah matahari mengitari bumi atau bumi mengitari matahari, dan lain-lain. Semua itu sama sekali tidak dipelrukan, karena masalah bentuk bumi, rotasi bumi, serta revolusi bumi, semua adalah fenomena fisik yang dapat diamati oleh indera manusia. Fenomena fisik ini merupakan fenomena fisik statis, kondisinya tetap dari masa ke masa. Pengamatan terhadap contoh-contoh tadi adalah pengamatan yang dapat mencapai derajat qath'i, laa raiba fiih. Sama qath'i-nya dengan kita dapat memahami bahwa panas dari matahari merupakan hasil fusi nuklir bukan pembakaran hidrokarbon.

Islam selalu sesuai dengan realitas, karena Al Qur'an berasal dari sumber yang mustahil salah. Namun, Islam tidak bisa dikatakan bertentangan atau selaras dengan sains, karena Islam tidak mengurusi fenomena sains. Jika kebetulan ada dugaan saintifik yang selaras dengan ayat Al Qur'an, maka kita pandang hal tersebut sebagai bukti ke Maha Kuasa an Allah. Namun, dalam hal ini harus berhati-hati, karena kalau orang yang tidak memahami relasi Islam-sains dengan benar, akan cenderung otak atik gatuk. Menghubung-hubungkan yang tidak ada hubungannya. []

Selasa, 14 Agustus 2018

Time Wasting Ala CInta-cintaan Remaja


Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto

Ada seorang teman yang nulis kalimat ini, kemungkinan hasil dari tontonannya di YouTube:

“Nasi kita buang sebutir dibilang mubadzir, lah umur dibuang-buang begitu aja tanpa nglakuin hal bermanfaat nggak kita bilang mubadzir *facepalm*” (Maulidina, 2015)

Itu kurang lebih merangkum kebiasaan anak muda soal kehidupan cintanya. Youth love in a nutshell.

Cinta-cintaan remaja itu biasanya time wasting. Buang-buang waktu. Kalau di sepakbola, time wasting ini dilakukan oleh tim yang menang di akhir-akhir pertandingan buat mengulur-ngulur waktu. Tujuannya, biar lawan nggak bisa merebut bola dan memastikan kemenangan. Tapi, konteks ini nggak nyambung kalau diaplikasikan ke cinta-cintaan remaja, jadi abaikan saja.

Buang-buang waktu anak muda dalam hal cinta-cintaan bau kentut adalah karena dua hal: 1. Mereka menghabiskan waktu buat sesuatu yang salah, dan 2. Karena sesuatu itu salah, maka jadi nggak penting buat dilakukan. Keduanya beda, tapi sama-sama nggak berguna dalam suatu segi.

Yang pertama, menghabiskan waktu buat sesuatu yang salah. Coba, kalau anak muda misalnya terjebak dalam paradigma ngawur soal cinta? Bahwa kalau misalnya cinta itu harus dibuktikan lewat pacaran? Kalau cinta maka harus pacaran? Maka dia akan melakukan segala usaha buat memacari sang Pujaan hati… Apa kabarmu? Kuharap, kau baik-baik sajaaa~

Ehem. Oke, itu lirik lagu zaman kapan tahu. Purbakala, mungkin, aku nggak mau repot-repot nyari tahu. Tapi itu merangkum kerjaan Para Pencari Pacar ini. Mikirin sang pujaan hati sampai lupa makan, lupa tidur, lupa nyuci piring, sampai lupa jadwal kuliah. Yang pasti terjadi adalah lupa Tuhan. Lupa Allah. Karena dalam pandangan Para Pencari Pacar, apalagi yang level ekstrem, mengetahui apakah pujaan hatinya udah makan atau belum adalah lebih penting ketimbang mengetahui udah berapa ratus kali shalat wajib yang dia tinggalin dan berapa ratus larangan Allah yang dia langgar. Jadi jangankan sadar dosa, keberadaan dosanya aja masa bodoh, nggak mau tahu, peduli setan. Siapa elu? Emang elu penting, ya? Nggak bakal jauh dari sana.

Belum lagi kalau udah pacaran. Apa ada orang yang pacaran tapi nggak pernah komunikasi? Nggak pernah ngajak jalan bareng? Makan bareng? Dan segala macam tetek bengek pacaran yang aku nggak paham satu persatu kenapa para aktivis pacaran ini kepikiran buat melakukannya? Impossibru! Nggak mungkin. Sehari komunikasi itu minimal bisa sejam dua jam, secara akumulatif. Sehari nggak ada SMS atau pesan LINE dari pacar, rasanya kayak ditinggalin Bang Toyib tiga kali puasa tiga kali lebaran. Ngambek, bad mood, curhat sana-sini. Sekalinya komunikasi, hal-hal remeh temeh super nggak penting sedikitpun macam tadi pagi udah BAB atau belum aja diomongin. Bloody hell…

Kalau ditambah sama kegiatan jalan-jalan di luar rumah, wasting time-nya bisa makin gila dan parah. Ke kebun binatang, ke Ancol, ke Parangtritis, ke kuburan Cina, ke tempat makan Amigos (baca: agak minggir got sedikit), kemanapun. Sebentar? LOL keep dreaming. Bisa berjam-jam bahkan sampai semalaman! Kadang sampai harus nginep di kediaman salah satunya, yang hampir selalu berujung pada Kejadian Paling Tidak Diharapkan Nomor Satu Dalam Pacaran Tapi Dengan Bodohnya Selalu Saja Dilakukan. If you know what I mean.

Senang? Pasti senang. Kata siapa yang begituan nggak menyenangkan? Yoi, ma bro. Berguna? Not. A. Single. Chance. Sama sekali nggak. Kenapa? Lha wong yang mereka lakuin nggak ada yang bener. Pacaran adalah Pelanggaran Nomor Satu dari Statuta Interaksi Antara Pria dan Wanita, yang memiliki konsekuensi dosa dari Sang Pencipta. Sang Pencipta, Allah SWT, menentukan bahwa tindakan pacaran itu melanggar larangannya. Tindakan salah. Ya wajar kalau kena dosa. Lantas, apa implikasinya? Artinya memang pacaran itu time wasting. Buang-buang waktu, melakukan sesuatu yang salah.

Kedua, karena sesuatu itu salah, jadi nggak penting buat dilakukan. Manusia dikasih pilihan itu buat diuji, dia bakalan mikir pake otaknya buat milih yang bener apa yang salah? Nggak, Sang Pencipta nggak pernah maksa kita buat milih. Kita bebas milih. Tapi kita juga yang nanggung konsekuensinya, entah milih yang bener atau salah. Itu udah ada di area yang kita kuasai. Nggak bisa lari dari tanggungjawab.

Sesuatu yang bener belum tentu penting buat dilakukan. Ngasih sedekah itu bener, tapi kalau sedekahnya ke orang berduit? Ya nggak penting. Tapi kalau sesuatu yang salah, apa penting buat dilakukan? Penting. Tapi buat ditinggalkan. Dilakukan? Jawabannya jelas banget, sama sekali nggak penting. Menggunakan sisa waktu hidup di dunia buat melakukan sesuatu yang nggak penting, apa bukan wasting time itu namanya? Senang sih senang, bisa berleha-leha bareng pacar atau gebetan, kencan mulai dari KFC sampai kamar kos, makan bareng sambil suap-suapan es krim yang tanpa sengaja tercampur potongan kecoak, ngobrol mesra, de el el. Siapa yang nggak akan melayang ke langit ketujuh? Sayangnya, nggak ada gunanya.

“Demi waktu, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.” (QS Al-Ashr: 1-2)

Secara filosofis, usia manusia itu nggak bertambah. Justru berkurang. Sejak sebelum manusia lahir, Allah SWT udah menentukan kapan manusia itu mati. Dan nggak ada manusia yang tahu kapan batas usianya habis. Normalnya, fakta ini harusnya bakalan memicu manusia buat berusaha menggunakan sisa waktunya yang tiap detik terus berkurang demi menyelesaikan ujian dunia dengan baik. Ya, dunia ini ujian. Hasilnya cuma dua alternatif: surga atau neraka. Sayang kalau waktu yang terbatas ini cuma digunakan buat wasting time. Buang-buang waktu, ditambahi dosa pula. Padahal tahu kapan bakalan mati aja nggak.

Imam Hasan Al-Bashri pernah mengibaratkan bahwa manusia itu cuma kumpulan hari. Dengan berlalunya suatu hari, maka hilang pula sebagian dari manusia itu. Lalu, apa kira-kira yang bakalan terjadi kalau sebagian dari diri kita hilang meninggalkan tumpukan dosa akibat membuang-buang waktu untuk hal yang salah dan nggak penting? Happy endingImpossibru.

Sayang banget kalau masa muda cuma dipakai buat senang-senang yang rata-rata salah dan menyesatkan, apalagi urusan cinta-cintaan. Senangnya sesaat, sakitnya tuh di sini bisa selamanya.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Diantara baiknya keislaman seseorang adalah ketika ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.” (HR Ahmad)

Imam asy-Syafi’i r.h. mengatakan, “Aku pernah bersama dengan orang-orang sufi. Aku tidaklah mendapatkan pelajaran darinya selain dua hal. Pertama, dia mengatakan bahwa waktu bagaikan pedang. Jika kamu tidak memotongnya, maka dia akan memotongmu. Kedua, jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan tersibukkan dengan hal yang sia-sia.

Apalagi buat anak muda. Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah kedua kaki seorang hamba tergelincir ke dalam neraka sampai ditanya tentang empat hal: tentang umurnya bagaimana dia habiskan, tentang masa mudanya bagaimana dilewati…” (HR Thabrani)

See?

Kehidupan percintaan remaja mainstream itu tipikalnya selalu buang-buang waktu dan numpukin dosa. Bersenang-senang, berleha-leha buat sesuatu yang nggak ada gunanya. Apakah layak buat dilakukan? Jawabannya tentu bisa disimpulkan sendiri.

Kamis, 02 Agustus 2018

Sesat Pikir Syubhat

Kalau ada sesuatu (benda/makanan/obat/etc) yang diduga belum jelas asal usul bahannya, apa langsung bisa dicap bahwa itu syubhat?

Pertanyaan saya: Syubhat itu menurut siapa? Orang awam?

Kalau orang awam menghakimi sesuatu sebagai syubhat, padahal dia sama sekali tidak ada usaha untuk mencari tahu kebenarannya, mohon maaf, itu tindakan BODOH. Kalau memang ragu akan sesuatu, yang seharusnya dilakukan adalah BERTANYA PADA YANG TAHU. Siapa yang tahu? Pakar!

Ragu soal kehalalan vaksin? Tanya pada dokter yang memiliki kepakaran di bidang terkait! Bukannya karena belum memiliki sertifikat halal lantas langsung dicap syubhat apalagi haram. Itu dungu beyond recognition. Karena sertifikat halal bukan penentu kehalalan, tapi komponen di dalam vaksin itu sendiri. Yang tahu soal komponen vaksin siapa? Pakar kesehatan! Bukan tukang herbal, bukan sarjana hukum, bukan orang awam!

Kehancuran umat terjadi ketika urusan tidak idiserahkan pada orang-orang yang kompeten. Demikian pula, kehancuran berpikir umat Islam tidak akan pernah bisa diperbaiki selama umat tidak menyerahkan masalah-masalah kepakaran pada pakarnya. Urusan vaksin tidak dipercayakan pada pakar kesehatan. Urusan kelistrikan tidak dipercayakan pada pakar energi. Urusan iklim tidak dipercayakan pada climate scientist. Ya wassalam.

Kalau tidak percaya pada pakar, lantas percaya pada siapa? Pada penghakiman diri sendiri? Lha, memang situ punya kompetensi apa soal fakta yang dihukumi itu? Situ dokter? Imunolog? Farmasis? Belajar metode ilmiah saja tidak pernah. Tahu cara kerja pengobatan preventif saja tidak. Eh, malah sok-sokan ngoceh sana sini "ini syubhat! itu syubhat!"

Tidak percaya pakar tapi lebih percaya penghakiman diri sendiri yang awam, apa namanya kalau bukan dungu?

"Tapi kata ustadz ini belum ada sertifikat halalnya, jadi harus dihentikan!"

Mohon maaf, ustadz itu punya kepakaran apa soal sesuatu yang dihukumi tersebut? Beliau dokter? Farmasis? Bukan? Lantas, beliau tahu apa soal status benda (baca: vaksin) yang dipersoalkan itu?

Seseorang boleh jadi sampai taraf mujtahid. Punya ilmu alat yang lengkap. Pisau bedah hukum syara'-nya lengkap. Tapi kalau beliau tidak paham fakta, percuma saja status mujtahidnya itu. Produk hukumnya pasti salah. Maka, mujtahid sekalipun harus menggali fakta dari mereka yang kompeten, bahkan sekalipun pakar itu adalah orang kafir!

Syubhat buat orang awam belum tentu syubhat buat pakar. Maka, alih-alih seenak jidat mengatakan ini itu sebagai syubhat, sebaiknya TANYA PADA PAKAR. Berusaha semaksimal mungkin untuk mengetahui faktanya seperti apa, cek dan ricek dari berbagai sumber kredibel. Kalau sedikit-sedikit harus bergantung pada fatwa MUI, buang saja otak di kepala situ. Percuma dikasih otak kalau tidak dipakai berpikir.

Jumat, 25 Mei 2018

Ramadhan #7: Kesombongan

Sekitar dua hari lalu, waktu tilawah Qur'an, saya sampai pada ayat yang menjelaskan kronologi diusirnya iblis dari surga di Surat Al A'raf. Alasannya tampak sangat sepele, tapi sebenarnya serius. Iblis merasa tinggi hati. Merasa lebih baik dari Adam. Ana khairu minhu. Iblis diciptakan dari api, sementara Adam dari tanah. Merasa 'kasta'-nya lebih tinggi, Iblis pun menolak sujud pada Adam, ketika diperintahkan oleh Allah.
Karena satu kesalahan yang bagi orang-orang pada umumnya terdengar sepele itu, Iblis diusir dari surga dan dilaknat oleh Allah, serta akan dijebloskan ke dalam neraka di Hari Pembalasan. Karena satu kesalahan saja: Sombong.
Meski tampak sepele, kesombongan pada hakikatnya adalah dosa besar. Bahkan Rasulullah SAW menegaskan bahwa tidak akan masuk surga orang-orang yang masih ada kesombongan dalam hatinya, walau hanya sebesar biji sawi. Dalam literatur Nasrani sekalipun, sombong merupakan satu dari Tujuh Dosa Besar. Penegasan Rasulullah terkait kesombongan jelas merupakan qarinah bahwa sombong itu merupakan keharaman, dosa besar.
Kenapa dosa besar? Implikasi dari kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Ketika disampaikan sebuah kebenaran, dia menolak. Akhirnya jadi tenggelam dalam kesalahan dan atau kesesatannya. Merendahkan orang lain, artinya menganggap rendah seseorang yang sebenarnya tidak rendah. Sesungguhnya Iblis tidak lebih mulia kedudukannya dari Adam, tetapi Iblis merendahkan Adam hanya karena Adam diciptakan dari tanah. Jadinya merasa lebih hebat dan bisa jadi semena-mena. Merendahkan orang lain ini berkaitan erat dengan menolak kebenaran.
Selesai membaca ayat-ayat itu, saya jadi terpikir beberapa hal. Pertama, betapa buruknya diri saya, karena masih banyaknya kesombongan dalam hati ini. Semoga Allah mengampuni saya dan mencegah saya dari terus memelihara kesombongan.
Kedua, jika Iblis diusir dari surga karena bersikap sombong dan kelak akan kekal di neraka, lantas bagaimana dengan orang-orang yang menolak hukum-hukum Allah? Menolak perintah-perintahNya untuk diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari individu, masyarakat hingga negara? Menolak karena hawa nafsunya dan atau, wal 'iydzu billah, menolak karena menganggap wahyu Allah lebih rendah daripada apa yang ditetapkan dari akalnya sendiri! Padahal di sisi Allah lah kebenaran yang hakiki berada. Allah lah yang memiliki kedudukan tertinggi dalam penentuan hukum dan peraturan hidup, karena Dia lah Pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan.
Bukankah penolakan terhadap hukum Allah itu merupakan kesombongan yang nyata?
Lantas, bagaimana nasib mereka yang sombong terhadap hukum-hukum Allah di akhirat kelak?
Semoga kita dihindarkan dari kesombongan, khususnya kesombongan terhadap hukum-hukum Allah. Dan bagi yang saat ini masih memiliki kesombongan terhadap Allah, terhadap hukum-hukum yang diperintahkanNya untuk diterapkan dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara, semoga mereka menyadari kesalahannya dan bertaubat sebelum nyawanya berada di tenggorokan. Kalau tidak, Iblis akan merasa senang mendapatkan teman dalam siksaan abadinya.

Rabu, 23 Mei 2018

Ramadhan #6: Membaca dan Berpikir

Al Qur'an menyuruh manusia untuk membaca dan berpikir. Ayat Al Qur'an pertama yang turun pada Rasulullah adalah "Iqra". Bacalah! Sementara, seruan untuk berpikir banyak tertera dalam berbagai ayat Al Qur'an, misalnya

وَهُوَ ٱلَّذِى مَدَّ ٱلْأَرْضَ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَٰسِىَ وَأَنْهَٰرًاۖ وَمِن كُلِّ ٱلثَّمَرَٰتِ جَعَلَ فِيهَا زَوْجَيْنِ ٱثْنَيْنِۖ يُغْشِى ٱلَّيْلَ ٱلنَّهَارَۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

"Dan Dia yang menghamparkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai di atasnya. Dan padanya Dia menjadikan semua buah-buahan berpasang-pasangan; Dia menutupkan malam kepada siang. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir."
(QS Ar Ra'du: 3)


Akidah Islam adalah akidah rasional. Ia tidak dibentuk dari dogma apalagi circular reasoning. Membuktikan keberadaan Tuhan dan membuktikan bahwa Al Qur'an adalah wahyu Allah dapat dilakukan secara rasional, tidak dogmatis. Mereka yang benar-benar menggunakan akalnya, dengan asumsi tidak dikalahkan oleh hawa nafsunya, pasti akan menemukan kebenaran Islam. Bahwa Tuhan itu ada, bukan semata-mata khayalan manusia, dan Tuhan itu adalah Allah. Al Qur'an adalah wahyu Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.

Hanya orang-orang yang membaca dan berpikir yang mampu memahami semua itu.

Lantas, jika ada segolongan manusia yang menolak untuk membaca dan berpikir, bahkan mengkriminalisasi dan menstigmatisasi negatif kalangan pemikir, sebagai akibat dari fanatisme buta terhadap sebuah dogma yang dianggap tidak bisa diganggu gugat, layakkah mereka disebut sebagai anti-Al Qur'an bahkan anti-Tuhan? Karena sesungguhnya menolak berpikir berarti menolak seruan Allah agar manusia berpikir, menggunakan akalnya.

Selasa, 22 Mei 2018

Ramadhan #5: Al Qur'an Sebagai Petunjuk

Malam-malam Ramadhan, Al Qur'an dibaca di mana-mana. Di rumah, di masjid, mushalla, seringkali dibaca sampai menjelang tengah malam. Betapa Ramadhan menjadi ladang menggali pahala dengan membaca kitabullah.

Tapi sesungguhnya Al Qur'an diturunkan bukan hanya untuk dibaca, melainkan sebagai Huda dan Furqan. Pemberi petunjuk dan pembeda antara haq dan bathil. Petunjuk bagaimana menjalankan kehidupan di dunia dalam segala aspeknya, mulai dari individu sampai negara. Menjadi pembeda mana sifat dan aktivitas yang haq, mana sifat dan aktivitas yang bathil. Semua itu untuk diaplikasikan oleh manusia, bukan semata-mata bacaan belaka.

Al Qur'an adalah petunjuk kehidupan manusia terbaik dan standar baik-buruk yang tiada paradoks di dalamnya. Menerapkan petunjuk dalam Al Qur'an secara keseluruhan niscaya akan membawa keberkahan. Sebaliknya, berpaling dari Al Qur'an adalah sumber bencana.

"Dan barangsiapa berpaling dari peringatanKu, maka baginya kehidupan yang sempit, dan kelak ia akan dibangkitkan di Hari Kiamat dalam keadaan buta."
(QS Thaha: 124)

Tidakkah kita berpikir bahwa kriminalisasi terhadap wahyu Allah yang termaktub dalam Al Qur'an adalah bentuk "berpaling dari peringatan Allah"? Apa mereka yang mengkriminalisasi pengaplikasian dari wahyu Allah tidak takut dengan ancamanNya?

Sabtu, 24 Februari 2018

Tentang Apocalypticism

Dari dulu saya tidak pernah tertarik dengan kalangan apocalypticist. Materi-materi yang dipelajari dan disampaikan cuma khabar-khabar ambigu yang tidak jelas kronologinya dan memang tidak bisa diketahui waktu pastinya. Tanpa bermaksud merendahkan figur-figur yang rutin membawakan tema-tema apokaliptik, secara pribadi, saya menganggap terlalu banyak membaca dan memikirkan hal-hal terkait akhir zaman dan apocalypticism cuma buang-buang waktu.

Dalil-dalil apocalypticism sebagian besar (kalau bukan semua) adalah khabar, bukan 'amr. Statusnya pun sebagian besar ahad, yang mutawatir cuma yang berasal dari Quran. Khabar ahad tidak bisa dipastikan kapan terjadinya dan seperti apa bentuknya. Padahal, khabar ahad itulah yang banyak dibahas oleh apocalypticist.

Sementara, di sisi lain, persoalan-persoalan umat manusia sudah menuntut di depan mata. Tuntutan untuk menyelesaikannya ditunjukkan oleh dalil-dalil bersifat 'amr (perintah), bukan khabar. Artinya ada taklif syara' di dalamnya. Maka yang di depan mata inilah yang seharusnya lebih diperhatikan dan diselesaikan.

Taklif syara' tidak akan berubah dengan adanya dalil-dalil khabar apokaliptik. Cuma karena dunia ini akan segera berakhir (berdasarkan penafsiran apocalypticist), bukan berarti umat harus disibukkan dengan hal-hal terkait kehancuran bumi yang sebenarnya entah kapan akan terjadi, Allahu a'lam. Yang seperti itu cukup tahu saja. Paling mentok dijadikan inspirasi untuk mempelajari Islam secara kaffah. Tidak lebih. Karena selain menghabiskan waktu, kebanyakan membahas apocalypticism dapat mengalihkan fokus umat dari hal-hal yang lebih krusial untuk ditangani.

Politik masih sekuler. Ideologi masih kapitalistik. Ekonomi masih neoliberal. Utang ribawi masih menggunung. Pergaulan bebas masih menggila. Semua ini problematika manusia yang mesti ditangani dengan penerapan sistem Islam. Hal inilah yang seharusnya lebih banyak dipelajari dan diperjuangkan.

Tidak setuju? Silakan. Tidak ada yang memaksa harus setuju, kok.

Rabu, 10 Januari 2018

Melengkapi Konsep “Green Property” Secara Kaffah

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto

Beberapa kali dengar soal yang namanya “Green Property”. Intinya ya bisnis properti juga, tapi dikasih embel-embel “green”. Jadi katanya konsep perumahannya “green”, begitu. Namun, sejauh ini, konsep “green” yang ditawarkan masih belum sepenuhnya jelas. Apa cuma dengan suasana yang sejuk saja? Atau masih lekat suasana alami? Atau apa?

Penelusuran di internet tentang konsep “Green Property” di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda jelas, apa standar “green” yang digunakan. Tapi kalau yang jadi patokan ternyata cuma suasana yang asri dengan pohon, taman dan barangkali sumber mata air alami, maka itu masih jauh sekali dari “green”. Karena aspek “green” itu banyak sekali, termasuk yang jarang sekali diperhatikan sebagian besar orang: carbon footprint.

Saya enggak punya urusan dengan bisnis properti. Bukan pengusaha properti maupun calon pembelinya. Saya cuma tergelitik (baca: triggered) dengan klaim “green”, karena biasanya mereka yang hobi mengklaim sesuatu sebagai “green”, nyatanya tidak “green”. Cuma sebatas stempel. Ini berlaku baik dalam dunia properti, energi, kesehatan bahkan sampai pengasuhan anak.

Kalau soal properti, dalam hal ini perumahan, apa saja yang mesti dilengkapi agar bisa memenuhi klaim “green” dengan kaffah?

Coba kita daftar satu persatu. Kalau ada yang kurang dari daftar ini, monggo ditambahi.

1. Optimasi Pencahayaan Alami
Desain rumah dengan pencahayaan alami optimal. Ketika cuaca cerah, rumah harus bisa mengandalkan sinar matahari sebagai penerangan utama pada seluruh ruangan. Buat sistem pemantulan cahaya untuk menerangi tempat-tempat yang sulit terjangkau sinar matahari secara langsung, misalnya kamar mandi. Jangan sampai ada dark spot yang tidak terjangkau cahaya matahari pagi-siang.

Sistem pencahayaan alami ini jangan sampai mengganggu kaidah privasi rumah. Sehingga, walau cahaya matahari dapat menerangi seluruh ruangan, tapi tidak ada peluang bagi orang luar untuk mengintip bagian dalam rumah yang tidak diizinkan. Untuk mendesain rumah seperti ini, perlu desainer yang paham fisika optik, fisika cahaya dan hukum syariah terkait rumah.

Tujuan dari pencahayaan alami adalah untuk mengurangi konsumsi energi secara tidak perlu. Mengingat, carbon footprint listrik negeri ini relatif tinggi, mencapai lebih dari 810 g CO2 ekivalen/kWh. Mereduksi penggunaan listrik untuk pencahayaan dapat mengurangi konsumsi energi rumah, sehingga menurunkan carbon footprint.

Selain dengan mengoptimalkan pencahayaan alami, reduksi konsumsi energi untuk penerangan dapat dilakukan dengan menggunakan lampu LED alih-alih lampu neon. Lampu LED memiliki konsumsi energi jauh lebih rendah dari lampu neon biasa dan usia pakainya lebih panjang.

2. Pendinginan Pasif
Iklim Indonesia merupakan iklim tropis. Khususnya di daerah perkotaan, suhu udara relatif panas pada siang bahkan malam hari. Karena itulah pendingin ruangan, baik kipas angin maupun AC banyak dipakai. Keduanya membutuhkan energi listrik untuk beroperasi, dan AC adalah yang paling boros.

Untuk meminimalisir konsumsi listrik sehingga menurunkan carbon footprint, perlu dirancang sistem sirkulasi udara alami untuk pendinginan udara dalam rumah. Istilahnya adalah passive cooling. Buat sistem ventilasi udara yang bisa diatur buka-tutupnya menggunakan prinsip konveksi udara. Sehingga, udara panas di dalam rumah akan keluar secara otomatis, sembari menarik udara dingin ke dalam ruangan.

Optimasi bisa dilakukan menggunakan solar chimney sampai evaporative coolingSolar chimney menggunakan sejenis cerobong untuk konveksi udara, dilengkapi material penangkap panas untuk memanaskan udara di dalamnya. Udara yang lebih panas meningkatkan beda suhu dan massa, sehingga udara panas lebih cepat keluar dan udara dingin lebih cepat masuk. Debit udara dingin bertambah dibanding sebelumnya.

Penggunaan sistem passive cooling akan mereduksi konsumsi listrik, sehingga menurunkan carbon footprint rumah. Kebutuhan penggunaan kipas angin dan atau AC dapat dikurangi.

3. Pemilihan Material Rumah
Bahan-bahan penyusun rumah merupakan material sarat emisi karbon. Sebagai contoh, semen memiliki carbon footprint 0,77 ton CO2 ekivalen/ton semen, batu bata 0,27 ton CO2 ekivalen/ton batu bata dan baja 2,2 ton CO2 ekivalen/ton baja. Untuk mereduksi carbon footprint rumah, penggunaan material rumah dapat disiasati.

Sulit untuk mencari substitusi baja, karena itu fokus dialihkan pada semen, batu bata dan lantai. Penggunaan semen dapat dicampur dengan mineral penyerap karbon, seperti Serpentinite atau Olivine. Semen sejenis ini akan menyerap CO2 dari udara seiring berjalannya waktu, selain menurunkan penggunaan semen itu sendiri. Masalahnya? Saya bukan civil engineer, jadi saya tidak tahu apa penggunaan campuran semen seperti ini bisa sebaik semen biasa.

Batu bata dapat diganti dengan granit, batu sungai atau mineral penyerap karbon. Namun, eksploitasi batu sungai berlebihan dapat mengganggu ekosistem sungai, sehingga justru melenyapkan kesan “green”. Alternatifnya, batu bata dapat dikombinasikan dengan granit. Lagi-lagi, saya bukan civil engineer, jadi sebaiknya ini ditinjau dulu sebelumnya.

Alternatif lain bisa dengan kombinasi struktur bangunan dengan kayu. Kayu memiliki nilai carbon footprint lebih rendah dari batu bata, semen dan baja. Meningkatkan bauran kayu dalam bangunan berarti menurunkan carbon footprint rumah.

Lantai rumah biasanya menggunakan keramik. Alternatifnya dapat menggunakan granit, yang memiliki carbon footprint rendah. Selain dari segi carbon footprint, granit mengandung sejumlah kecil uranium dan thorium secara alami, sehingga rumah dengan lantai granit memancarkan radiasi gamma sedikit lebih besar daripada rumah dengan lantai keramik. Hal ini bagus, karena radiasi gamma dalam dosis rendah memiliki efek positif bagi kesehatan.

Pemilihan material rumah pun mesti mempertimbangkan insulasi termal, sehingga tidak mengganggu bahkan kalau bisa mendukung sistem passive cooling.

4. Fasilitas carbon sink
Selain menurunkan carbon footprint rumah, mengurangi emisi karbon dapat dilakukan dengan membangun fasilitas carbon sink. Maksudnya adalah fasilitas yang menyerap CO2 dari udara, khususnya dari proses pembangunan rumah. Agar tidak ada energi yang terbuang, fasilitas carbon sink yang digunakan sebaiknya bersifat pasif.

Carbon sink pasif yang bisa digunakan adalah pohon dan mineral magnesium. Pohon dapat ditanam baik di halaman depan rumah, di pinggir jalan perumahan maupun di taman. Penanaman pohon di halaman rumah dapat menyerap CO2 dari udara dan menambah kesejukan rumah.

Mineral Olivine dan Serpentine dapat digunakan dalam bentuk hiasan. Serpentinite sering digunakan sebagai bahan ukiran, sehingga mineral ini dapat digunakan sebagai penghias taman maupun halaman rumah. Olivine agak lebih mudah lapuk, sehingga lebih cocok menjadi hiasan taman maupun halaman rumah dalam potongan-potongan kecil.

Tiap kg mineral magnesium tersebut dapat menyerap hingga 0,6 kg CO2. Sementara, pohon dapat menyimpan hingga 0,65 kg CO2 dalam tiap kg batang kayunya. Namun, seberapa besar CO2 yang mampu ditampung sebuah pohon selama usia hidupnya bergantung pada jenis pohon yang ditanam.

5. Penyediaan Rooftop Solar System
Dalam skala besar, panel surya tidak berguna untuk menyediakan listrik secara reliabel dan murah. Namun, dalam skala kecil, panel surya masih memiliki kegunaan, setidaknya selama listrik di negeri ini masih didominasi energi fosil. Khususnya sebagai penyedia daya cadangan.

Pengelola perumahan dapat menyediakan panel surya yang terpasang di atap rumah (rooftop solar system/RSS) plus baterai untuk penyimpanan listrik. Kapasitas daya panel surya kira-kira 1-2 kW dan kapasitas baterai 4-6 kWh. RSS dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti daya listrik cadangan ketika mati listrik atau sebagai pemikul daya utama ketika siang maupun malam hari, sesuai keperluan dan keinginan pengguna.

Cost-wise, RSS tidak mengurangi beban biaya listrik. Pasalnya, tagihan PLN yang berkurang karena penggunaan RSS dibebankan pada naiknya harga rumah. Namun, RSS jelas mengurangi carbon footprint karena memiliki emisi spesifik rendah (48 g CO2 ekivalen/kWh) dan berguna untuk cadangan listrik ketika suatu waktu jaringan PLN mengalami masalah.

6. Resapan Air dan Drainase
Perumahan yang “green” sudah barang tentu harus bisa memanfaatkan air dengan sebaik-baiknya. Kaitannya dengan air hujan, maka daerah resapan air dalam kompleks perumahan harus memadai. Tidak boleh ada titik-titik genangan air. Pembuatan jalan perumahan harus mempertimbangkan hal ini.

Kelebihan debit air yang sekiranya melebihi kebutuhan tanaman yang ada di perumahan harus disalurkan melalui sistem drainase yang baik, untuk kemudian ditampung atau dibuang ke saluran air luar perumahan. Di daerah yang suplai airnya tidak begitu baik, dapat dibuat penampungan air hujan untuk kemudian disalurkan ke rumah-rumah.

7. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
Filosofi dasar pengelolaan sampah yang “green” adalah “reduce, reuse, recycle”. Namun, tetap saja ada limbah rumah tangga yang dihasilkan, baik itu organik maupun anorganik. Maka perlu pengelolaan lebih lanjut soal limbah ini, selain semata-mata memisahkannya dalam kategori limbah organik dan anorganik. Pengelola perumahan harus bisa mengelola limbah-limbah ini dengan baik.

Sampah anorganik dikelola berdasarkan jenisnya. Sampah anorganik berbasis hidrokarbon (plastik dan sejenisnya) dikumpulkan dan diolah menggunakan plastic-to-oil machine. Limbah plastik diolah menjadi minyak bakar setipe dengan bensin, minyak Diesel dan kerosin. Minyak hasil olahan ini dapat dikembalikan lagi pada rumah yang menyediakan sampahnya atau digunakan sendiri, tergantung kesepakatan.

Konversi plastik menjadi minyak tidak mengurangi emisi CO2 secara langsung, tetapi menambah nilai guna limbah plastik dan mereduksi penggunaan bensin dan minyak Diesel konvensional.

Sampah anorganik dalam bentuk lembaran logam (kaleng dsb) dipilah, diolah dan dimanfaatkan ulang jika memungkinkan. Sampah anorganik dalam bentuk kaca dan keramik dipisahkan sendiri untuk dibuang ke pembuangan akhir.

Sampah organik diolah dengan didekomposisi menjadi pupuk, yang bisa digunakan untuk pemeliharaan tanaman di perumahan atau dijual, terserah kesepakatan. Diolah menjadi biogas tidak begitu disarankan, karena kebocoran biogas ke lingkungan jauh lebih buruk daripada pelepasan CO2 dengan massa yang sama. Limbah minyak goreng diolah menjadi biodiesel, bisa digunakan sendiri untuk mesin genset darurat, dikembalikan ke penyedia limbah atau dijual.

Jika orde sampah organik harian mencapai lebih dari 1 ton, maka dapat dipertimbangkan untuk mengolahnya menjadi metanol sintetis. Metanol dapat digunakan di kendaraan bermotor sebagai campuran bensin. Campuran bensin-metanol akan mengurangi emisi CO2, karena metanol sintetis ini bersifat netral karbon, serta meningkatkan performa mesin. Limbah dari sintetis metanol dapat dikonversi menjadi pupuk.

8. Wastewater Treatment
Limbah rumah tangga dapat juga berupa limbah cair, baik dari dapur maupun kamar mandi. Sifatnya kotor bahkan mungkin toksik. Sebelum dilepas ke lingkungan, perlu ada perlakuan agar limbah cair ini tidak membahayakan lingkungan. Sehingga, diperlukan wastewater treatment.

Saluran pembuangan air perumahan tersambung dengan fasilitas wastewater treatment. Teknologi yang digunakan dapat berupa elektrolisis untuk mengurai komponen-komponen berbahaya yang terlarut dalam air, klorinasi, iradiasi gamma maupun metode lain yang tersedia. Sehingga, ketika air buangan dilepaskan ke lingkungan, sudah tidak lagi berbahaya. Jika menggunakan elektrolisis, jika memungkinkan, sumber listriknya dapat menggunakan solar power system dan baterai tersendiri, untuk menjamin rendahnya emisi karbon.

Jika volume air buangan harian sangat besar, dapat dipertimbangkan untuk melakukan purifikasi air, sehingga limbah cair dapat digunakan ulang sebagai air bersih. Hal ini lebih krusial jika daerah perumahan agak sulit air.

9. Sambungan Gas Alam
Jika tersedia, maka selayaknya perumahan disambungkan dengan jaringan pipa gas alam. Dari segi kepraktisan, jaringan gas alam tersedia kapan saja, tidak perlu repot-repot membeli tabung gas serta tidak ada kekhawatiran gas mendadak habis malam hari. Tidak seperti LPG, jaringan gas alam tidak mengalami kelangkaan dan harganya lebih murah daripada LPG subsidi.

Pembakaran gas alam menghasilkan lebih sedikit emisi CO2 daripada LPG. Pasalnya, kandungan energi per satuan massa dalam gas alam lebih tinggi daripada LPG. Karena itu, walau tidak berbeda terlalu jauh, penggunaan gas alam dapat mengurangi carbon footprint.

Namun, yang mesti diperhatikan adalah potensi kebocoran gas alam yang mungkin terjadi. Sekalipun secara keamanan lebih baik karena gas alam lebih ringan dari udara, tetapi komponen utama gas alam, yakni metana (CH4) adalah gas rumah kaca yang 75x lebih kuat dari CO2. Walau demikian, jarang sekali ada kejadian kebocoran jaringan pipa gas alam di negeri ini.

Demikian beberapa langkah penyempurnaan konsep “Green Property” yang perlu dilakukan agar label “green” yang disematkan benar-benar kaffah, bukan semata stempel. Disclaimer, daftar ini tidak saklek. Bisa saja ada aspek lain yang terlewat dari perhatian. Jadi, jika ada saya lewatkan, monggo ditambahkan.

“Tapi itu susah! Mahal! Repot! Siapa yang mau beli?”

Ya memang susah. Itu risiko kalau mau jadi “green” secara kaffah. Kalau enggak dilakukan, berarti label “green” itu cuma stempel, sementara realitanya nanggung. Lepas saja label “green”-nya, jadi biar enggak menawarkan konsep yang enggak kaffah pada konsumen. []