Dalam kehidupan manusia posmodern, khusunya bagi seorang muslim, saya kira ada beberapa peran yang selayaknya dikurang-kurangi dan ada peran yang sebaiknya diperkuat.
Di sini saya bahas peran yang sebaiknya dikurangi dulu.
1. Polisi Adab
Di sini saya bahas peran yang sebaiknya dikurangi dulu.
1. Polisi Adab
Ini bukan hadits
asing. Hadits ini sering sekali dibahas khususnya dalam berbagai ceramah
terkait urusan publik. Biasanya ditujukan pada entitas-entitas kepemimpinan,
mulai dari yang kecil seperti lembaga riset maupun entitas yang lebih besar
seperti negara. Karena hadits ini bersifat mujmal, jadi bisa
diaplikasikan untuk berbagai konteks. Tidak hanya pemimpin negara saja, bahkan
tanpa terikat dengan suatu entitas tertentu sekalipun.
Abad 21 baru berjalan
seperempat abad, dan makin kesini para ruwaibidhah tampak
semakin banyak. Siapapun bisa berbicara soal apapun tanpa koreksi dan kontrol
memadai. Tom Nicholls menyebutnya sebagai The Death of Expertise.
Kepakaran kini sudah mati, berganti dengan popularitas. FYP dan interaksi/engagement menjadi
mata uang baru untuk menentukan benar atau salah, bisa dipercaya atau tidak.
Bukan lagi kebenaran objektif, tapi persepsi subjektif. Asal dia tenar, dia
bisa dipercaya sebagai orang yang kredibel. Contohnya banyak, mulai dari
pedagang hoax berkedok agama, "guru" obesitas yang bicara segala hal
seolah-olah dia pakar dalam semua bidang, mentalis/pesulap/penghibur tipuan
mata yang alih haluan menjadi tuan rumah siniar, dokter influencer tapi
STR mati, sampai dukun anonim berkedok medis.
Tipikal-tipikal orang
sejenis itu layak disebut sebagai ruwaibidhah. Mengapa? Karena
berbicara tanpa ilmu terkait urusan manusia luas. Berbicara soal kesehatan
membawa-bawa kedok agama, tanpa memahami bagaimana fahmul waqi' dalam
sebuah persoalan, tanpa memahami dalil apalagi istidlal hukum
syara', tanpa memahami ilmu medis seperti apa. Semua "argumentasi"
yang disampaikan berbasis pada appeal-to-emotion fallacy, cuma
memantik emosi/perasaan audiens dengan tajuk-tajuk kontroversial dan
premis-premis palsu, serta penggunaan dalil syara' tidak pada tempatnya. Tapi
karena menggunakan emotional appeal inilah, mereka mudah
menyesatkan warganet yang memang pada dasarnya jarang yang mampu berpikir
kritis.
Truth is boring. Fear sells. (Hargraves, 2012)
Tidak ketinggalan pula
seseorang yang punya gelar PhD di bidang teknologi pangan, tapi berbicara
sangat jauh melampaui kepakarannya tersebut sampai ke topik climate
change, pandemi Covid-19, dan genetically modified
organism (GMO). Sudah begitu, kemampuan penalaran dalam membaca
publikasi ilmiah (scientific paper, atau kita sebut saja paper)
dan menganalisis datanya relatif rendah. Tapi pede sekali mengatakan ini dan
itu yang KATANYA merujuk pada paper tertentu,
tapi apa yang disampaikan dengan isi paper sama sekali
berbeda. Alias salah menafsirkan isi paper. Mulai dari paper soal
Covid sampai soal glifosat, keliru semua.
Nah, kira-kira, kalau para ruwaibidhah sejenis ini diberi
panggung oleh mereka yang punya basis audiens cukup besar, apa yang akan
terjadi?
Betul. PEMBODOHAN
MASSAL. Bukannya mencerdaskan kehidupan bangsa, bukannya mencerdaskan
pemikiran umat, malah melakukan pembodohan terhadap umat. Maka akan menjadi
masalah besar, ketika sebuah komunitas Islam yang katanya mengajak
"mengaji" kemudian memberi panggung kepada para ruwaibidhah sejenis
ini, maka sama saja pengikut dan audiens komunitas ini disajikan panggung
pembodohan!
Ketika
"guru" obesitas yang sering membahas topik secara keliru dan
akurasinya rendah kemudian diberi panggung oleh forum siniar dengan basis
audiens cukup besar, maka kesan yang muncul adalah "guru" obesitas
ini adalah seorang yang kompeten dan bisa dipercaya oleh audiens komunitas
tersebut. Khususnya bahwa para audiens tidak terbiasa dan tidak pernah dilatih
berpikir kritis oleh komunitas Islami tersebut, sementara para tuan rumah
siniar juga tidak pernah menganggap pernyataan-pernyataan kontroversial dan
keliru "guru" obesitas sebagai hal yang patut dikoreksi, sehingga
yang terjadi adalah para audiens menelan mentah-mentah sikap dan pernyataan
"guru" obesitas alih-alih bersikap kritis.
Ketika PhD lompat
pagar yang hobi bicara konspiratif berbekal pemahaman keliru terhadap paper yang
dibacanya diberi panggung oleh forum yang sama, maka komunitas tersebut sedang
mengekspos audiens mereka dengan penyesatan pemikiran yang berbahaya. Karena
kepercayaan berlebih terhadap tuan rumah siniar, audiens jadi meyakini bahwa
orang yang diundang ke dalam siniar tersebut adalah orang yang kompeten di
bidangnya, sehingga apa yang disampaikan PhD lompat pagar itu dianggap sebagai
sebuah kebenaran. Mulai dari konspirasi bahwa pandemi Covid-19 adalah rekayasa
manusia, sampai kedelai GMO akan menyebabkan kanker. Hal ini
diperparah bahwa tuan rumah siniar tidak ada seorang pun yang memilikii gelar
doktoral dan tidak ada yang kompeten sama sekali dalam bidang sains.
Ketika orang-orang
sosialis diberi panggung oleh forum yang sama, tanpa ada usaha untuk membongkar
pemikiran kufur sosialisme, audiens yang tidak pernah dilatih berpikir kritis
jadi mudah sekali tergoyangkan pemahamannya dan jadi tertarik untuk mempelajari
karya-karya orang sosialis tersebut. Bukan untuk dibantah, tetapi dijadikan
sebagai referensi!
Kenapa sampai
komunitas Islami tersebut memberi panggung terhadap para ruwaibidhah?
Apa mereka tidak pernah sadar tentang reaksi publik yang cenderung negatif
terhadap beberapa pihak, dan kekeliruan pemikiran di pihak lain?
Sepertinya alasannya
tidak jauh dari memancing interaksi. Karena sekali lagi, FYP dan engagement adalah
cara untuk menjadi terkenal di era posmodern. Engagement adalah
berhala yang mesti disembah demi memiliki nama. Akhirnya semua dampak susulan
dari interaksi tersebut tidak diperhitungkan sama sekali, meskipun itu adalah
dampak negatif. Para ruwaibidhah, yang seharusnya
di-delegitimasi posisiya, malah diberi kesan positif dan dikembalikan
kepercayaannya oleh audiens, semata-mata karena diundang oleh komunitas Islami
yang dianggap memiliki kesan positif.
Penyesatan pemikiran
massal tersebut juga menyulitkan kalangan intelektual sungguhan dan orang-orang
yang lurus pemikirannya untuk menyadarkan masyarakat dari kekeliruan pemikiran
para ruwaibidhah ini. Para saintis sudah mati-matian berusaha
menjelaskan fenomena riil terkait pandemi Covid-19, eh malah disesatkan lagi
oleh komunitas Islami yang mengundang ruwaibidhah. Jadi menambah
pekerjaan lagi. Sama, ketika para guru dan akademisi sungguhan sedang
mengkritik kesalahan berpikir "guru" obesitas, komunitas ini malah
membuat ruwaibidhah satu ini tambah menggelembung namanya
(juga kepalanya).
Dengan kata lain,
siniar komunitas Islami ini membantu menyebarkan kebodohan, kesesatan,
dan fitnah, serta mempersulit hidup para intelektual sungguhan dalam
mencerdaskan pemikiran umat Islam!
"Mengaji"
apa yang sesungguhnya mereka ingin tunjukkan dengan praktik pemberhalaan engagement ini?
Apa mereka tidak bisa mengundang orang-orang yang kompeten dan lurus saja alih-alih sekumpulan ruwaibidhah? Apa karena saking buruknya isi komunitas mereka, sehingga mereka hanya mengenal dan menganggap penting ruwaibidhah asal punya nama dan bisa mengundang audiens-interaksi?
Praktik yang dilakukan komunitas Islami seperti
ini tidak ada manfaatnya sama sekali. Alih-alih menjadi pahala jariyah, apa yang
mereka lakukan ini bisa menjadi dosa jariyah.
“Siapa yang mengajak kepada kesesatan,
dia mendapatkan dosa, seperti dosa orang yang mengikutinya, tidak dikurangi
sedikitpun.” (HR Muslim)
Sayang sekali bahwa pengurus komunitas
Islami ini terkenal bebal, besar kepala, dan anti-kritik. Mereka menggunakan
kacamata kuda dalam melakukan aktivitasnya dan tidak mengenal kekeliruan dalam
apa yang mereka lakukan. Yang mereka tahu hanyalah bahwa semua pengkritiknya
adalah hasad, dengki, benci, iri. Tidak beda jauh dengan “musuh” yang didengungkan
sebagian anggotanya. Ironis bahwa mereka menjadi persis sebagaimana apa yang
mereka musuhi. Seperti zionis yang begitu membenci Nazi, tapi akhirnya mereka
bertingkah seperti Nazi Jerman.
Dalam ushul fiqh, ada kaidah syar'iyyah yang bunyinya kurang lebih begini,
"Hukum asal suatu perbuatan adalah terikat pada hukum syara'."
"Hukum asal suatu benda adalah mubah sampai ada dalil yang mengharamkannya."
Kedua kaidah ini berbicara terkait hukum asal dari benda dan perbuatan. Tidak ada yang lebih mendasar daripada ini, karena kehidupan manusia memang berkisar pada dua hal tersebut: Benda dan perbuatan. Terkait benda, maka hukum asalnya adalah mubah atau halal. Semua benda pada dasarnya halal, kecuali yang Allah nyatakan keharamannya. Misalkan darah, khamr, bangkai, babi, anjing, hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, dsb. Benda-benda yang diharamkan ini tidak terlampau banyak, jauh lebih banyak yang halal. Makanya kecuali bisa dibuktikan bahwa benda tertentu itu mengandung bahan yang diharamkan, hukumnya adalah halal.
Bukan sebaliknya, haram (minimal syubhat) sampai ada sertifikat halal MUI. Itu kaidah ngawur bin sesat yang tidak pernah dikenal dalam khazanah pemikiran Islam.
Btw, "bukti" di sini tidak perlu harus secara saintifik sekali, lho, ya. Pakai rasio pun bisa. Contoh, Anda lagi di Korea Selatan. Terus lihat ada daging sapi. Apa perlu dibuktikan secara saintifik bahwa itu haram? Ya enggaklah, ngaco. Pakai itu rasio! Sudah dikasih akal buat mikir kok lagaknya segala harus saintifik.
Sementara perbuatan adalah hal yang sama sekali berbeda. Perbuatan tidak ada yang bersifat netral, semua pasti ada nilai tertentu. Maka, perbuatan tidak bisa jatuh ke aspek halal-haram, melainkan ahkamul khamsah (wajib, mandub, mubah, makruh, haram). Dan nilai perbuatan tersebut masuk hukum yang mana, itu tergantung pada hukum syara' terkait perbuatannya. Makanya hukum asal dari perbuatan itu terikat pada hukum syara', bukan semua perbuatan itu mubah sampai ada larangannya. Ngawur itu.
Jadi, pada dasarnya selalu ada hukum asal dari sesuatu, entah benda maupun perbuatan. Tidak ada yang kosong dari hukum asal, bahkan sekalipun kita membawanya dalam konteks yang lebih luas.
Misalnya, "hukum asal pernyataan entitas ilegal penjajah israel adalah bohong." Nah, itu sudah jadi hukum dasar yang menjadi landasan berpikir seseorang. Bahwa, semua yang disampaikan oleh entitas penjajah ilegal itu, dalam kondisi apapun, adalah bohong. Mengingat, dari zaman Nabi Ya'kub masih hidup sekalipun, mereka adalah bangsa culas, pembohong, penipu, pengkhianat. Apalagi sekarang. Tidak ada kondisi pengecualian dalam kaidah ini, karena mereka sudah pasti membual, berbohong, untuk menjustifikasi eksistensi menjijikkan mereka dan genosida yang mereka lakukan.
Berdasarkan kaidah ini, maka semua pemberitaan yang bersumber dari entitas penjajah ilegal itu, adalah bohong, penipuan, propaganda. Titik. Selesai.
Ada juga yang mengajukan kaidah seperti, "hukum asal penyataan petinggi adalah bohong sampai terbukti bahwa mereka jujur." Jadi dalam konteks ini, para petinggi (entah itu lembaga, perusahaan, sekolah, univesitas, whatever) itu hanya bualan belaka, sampai terbukti bahwa pernyataan itu benar adanya dan terwujud di instansi mereka. Biasanya, hal ini bersumber dari ketidakpercayaan mereka pada petinggi-petinggi instansi tersebut, dan ketidakpercayaan muncul dari inkonsistensi antara ucapan dan perbuatan para petinggi. Jadi yang dibicarakan apa, yang dijanjikan apa, yang terjadi apa. Yang dijanjikan di awal pekerjaan administratif akan lebih ringan, realitanya malah jadi tambah berat.
Berdasarkan kaidah ini, omongan para petinggi hanya bisa dipercaya jika cuap-cuapnya sudah terbukti. Baru omongannya dianggap benar. Kalau tidak... ya kembali ke kaidah asal.
Kedua contoh kaidah ini kesamaannya apa? Keduanya bersumber dari distrust. Ketidakpercayaan pada subjek kaidah. Dalam konteks keorganisasian, entah organisasi apapun itu, distrust biasanya akan merapuhkan loyalitas bawahan terhadap atasan. Sebabnya? Banyak, tapi utamanya ya tadi: Inkonsisten, pembual, bahkan sering menetapkan kebijakan-kebijakan tidak menyenangkan bahkan merugikan. Kalau sudah begini, bagaimana bisa berekspektasi bahwa bawahan akan percaya pada janji-janji atasan?
Jadi semisal IDF merilis video bahwa warga Palestina mati bergelimpangan karena rebutan makanan, maka berdasarkan kaidah di atas, IDF itu berbohong. Karena realitanya memang kera-kera bau bangkai itulah yang menembaki warga Palestina yang kelaparan setelah mereka bom berbulan-bulan. Siapapun yang percaya narasi entitas penjajah ilegal israel, maka sesungguhnya dia punya IQ di bawah nol.
Juga misalkan ada petinggi instansi yang cuap-cuap soal keberhasilan kinerjanya atau target-target perubahan ke depannya, maka berdasarkan kaidah kedua, penganutnya akan menganggap petinggi itu cuma membual saja, sampai terbukti bahwa apa yang dia lakukan itu terwujud.
Ringkasnya, selalu ada hukum asal untuk sesuatu, bahkan dalam konteks luas. Termasuk kaidah terkait bohong, bahwa sebagian pihak ketika berbicara memang mulutnya penuh belepotan dengan membual dan berbohong. Yang model begini, apalagi dalam contoh kedua, akan sulit untuk menjadi instansi yang berjalan dengan baik. Karena model hubungan antara atasan dan bawahannya adalah berbasis distrust, bukan trust.
Till the next update,
Andika
Ketika para fisikawan berusaha memodelkan atom itu seperti apa, maka sebenarnya tidak ada yang pernah tahu benda seperti apa atom itu. Mereka hanya mengira-ngira, atom itu bentuknya macam apa, sih? Karena itu, pada masanya, model atom tidak pernah sama. Selalu berkembang.
Dalam mitologi Yunani, Sisyphus adalah seorang manusia fana yang semasa hidupnya mencurangi para dewa, khususnya Zeus. Sisyphus pernah mempe...