Senin, 25 September 2017

Methanol dan DME, Alternatif Lebih Baik Dari Biofuel

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. 

Pada artikel sebelumnya, saya sudah menunjukkan bahwa biofuel (dalam hal ini biodiesel dan bioethanol) tidak berguna dalam mitigasi pemanasan global. Laju pertumbuhannya terlalu lambat dan kebutuhan lahannya terlalu besar untuk bisa membuat perbedaan. Biofuel adalah usaha sia-sia, cuma mentok jadi feel-good effort saja.

Kalau bukan biofuel, lantas apa yang harus digunakan untuk menggantikan energi fosil? Alternatif yang lebih feasible ada dua, yakni elektrifikasi dan bahan bakar sintetis netral karbon. Elektrifikasi sendiri bukan tanpa masalah; ketersediaan lithium dan kobalt yang terbatas menjadi pengganjal terbesar ekspansi kendaraan listrik. Apalagi lithium sulit sekali didaur ulang. Karena itu, kendaraan listrik sendiri barangkali tidak akan bisa sepenuhnya menggantikan kendaraan internal fuel combustion (IFC).

Maka alternatif lain ya harus menggunakan bahan bakar sintetis (synfuel) netral karbon. Jadi tetap pakai kendaraan IFC, tapi bahan bakarnya diganti. Meski sebenarnya biofuel juga bisa disebut sebagai synfuel, tetapi yang dimaksud di sini bukan biodiesel dan bioethanol, melainkan methanol dan dimetil eter (DME).

Methanol sering juga disebut “wood alcohol”, karena dulunya disintetis dari kayu. Methanol merupakan bentuk metil alkohol paling sederhana, digunakan untuk substitusi bensin. Sifat-sifat methanol relatif unggul dibandingkan amonia, dengan nilai oktan lebih tinggi dari bensin dan efisiensi mesin lebih baik. Methanol lebih aman dari bensin, karena memiliki kecenderungan lebih rendah untuk menyebabkan kebakaran ketika terjadi kecelakaan. Kekurangannya, methanol bersifat toksik, sehingga penanganannya harus lebih hati-hati.

Dimetil eter adalah bentuk eter paling sederhana dan dibuat langsung dari konversi methanol. Dimetil eter digunakan untuk substitusi minyak Diesel, dengan keunggulan bebas sulfur dan impuritas lain. Toksisitas dimetil eter relatif rendah, sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan. Selain substitusi minyak Diesel, dimetil eter dapat digunakan sebagai substitusi langsung untuk LPG.


Sintetis methanol dan DME hanya membutuhkan komponen mentah hidrogen dan CO2. Methanol tidak perlu menggunakan biomassa khusus untuk produksinya, pakai limbah pertanian pun bisa. Jadi, sintetis methanol dan DME sangat tepat dengan filosofi waste to energy.

Karena komposisi kimiawinya yang sederhana, komponen mentah untuk produksi methanol tidak terbatas dari limbah pertanian saja, tetapi juga dari sumber-sumber lain, misalnya elektrolisis hidrogen dan carbon capture baik dari atmosfer maupun air laut. Untuk memastikannya netral karbon, proses elektrolisis dan carbon capture (yang notabene intensif energi) dilakukan menggunakan energi bersih, misalnya nuklir atau hidro.

Mana buktinya methanol dan DME bisa lebih baik daripada bioethanol dan biodiesel?

Oke, mari kita lihat.

Pertama, methanol dan DME dari limbah biomassa. Di sini saya gunakan contoh padi dan jagung. Produksi gabah kering giling tahun 2016 sebesar 79.358.000 ton. Ini setara dengan 114.275.520.000 kg jerami padi. Anggaplah setengah dari limbah jerami ini dikonversi menjadi methanol.

Berapa yang bisa dihasilkan? Penelitian di Jepang menunjukkan yield methanol dari jerami padi itu sekitar 48%. Artinya, tiap kg jerami padi menghasilkan 480 g methanol. Dari yield yang dihasilkan, diasumsikan setengahnya akan dikonversi menjadi DME. Maka, dari sini, bisa didapatkan methanol sebesar (114.275.520.000*0,5*48%*0,5) = 13.713.062.400 kgDensitas energi methanol yakni 19,7 MJ/kg, lebih rendah dari bensinMaka, produksi di atas setara dengan (27.426.124.800*19,7)/1.000 = 270.147.329 GJ.

Berdasarkan artikel sebelumnya, konsumsi bensin Indonesia tahun 2016 setara dengan 1.067.040.000 GJ. Maka, produksi methanol dari limbah jerami padi setara dengan (270.147.329/1.067.040.000) = 25,32% konsumsi bensin nasional.

Tanpa perlu menambah lahan khusus untuk menanam biomassa, methanol dari limbah jerami padi sudah memenuhi seperempat kebutuhan bensin nasional.

Untuk menghasilkan 1 kg DME, butuh 1,391 kg methanol. Maka, jika 50% dari methanol yang diproduksi (13.713.062.400 kg) dikonversi menjadi DME, maka didapatkan (13.713.062.400/1,391) = 9.858.420.129 kg. Dengan densitas energi 28,8 MJ/kg, angka ini setara dengan (9.858.420.129*28,8)/1.000 =   283.922.499 GJ. Konsumsi minyak Diesel Indonesia tahun 2016 setara dengan 1.095.480.000 GJ. Dengan demikian, DME dari limbah jerami padi setara dengan (283.922.499/1.095.480.000) = 25,92% konsumsi minyak Diesel nasional.

Jadi, setengah limbah jerami padi nasional cukup untuk memenuhi seperempat kebutuhan BBM nasional. Seandainya 100% jerami diolah menjadi methanol dan DME, setengah kebutuhan BBM nasional sudah terpenuhi hanya dengan menggunakan konsep waste-to-energy saja. Untuk konservatif, pemenuhan 25% itu sudah luar biasa. Khususnya dibandingkan biofuel yang cuma… ah, baca artikel kemarin saja.

Limbah jagung juga bisa dimanfaatkan, walau yield yang dihasilkan lebih rendah. Berat tangkai jagung setara dengan berat jagungnya sendiri, jadi limbah yang dihasilkan sama dengan produksi jagung. Kapasitas produksi jagung nasional hanya  23.578.293 ton. Dengan pemanfaatan 50% limbah, yield 40% dan sisanya sama dengan limbah padi, dapat dihasilkan 2.357.829.300 kg methanol dan 1.695.060.604 kg DME, masing-masing setara dengan 4,35% dan 4,46% konsumsi bensin dan minyak Diesel nasional. Tidak terlalu mengesankan, tetapi kalau dibandingkan biofuel, sih…

Produksi methanol dan DME bisa dilakukan menggunakan energi nuklir, khususnya teknologi nuklir Generasi IV. Komponen hidrogen bisa didapatkan menggunakan elektrolisis suhu tinggi. Untuk menghasilkan 1 kg hidrogen, dibutuhkan 15-20 kWh listrik. Di sini diasumsikan konservatif 20 kWh/kg hidrogen. Sementara, CO2 bisa didapatkan dari air laut maupun udara. Untuk mengekstrak CO2 dari air laut, butuh listrik setidaknya 1,5 kWh/kg CO2. Sementara, dari atmosfer, listrik yang dibutuhkan sebesar 0,5 kWh/kg CO2. Karena konsentrasi CO2 di udara jauh lebih kecil daripada di laut, angka ini terdengar aneh. Sebenarnya tidak juga. Yang mahal pada ekstraksi CO2 dari udara adalah biaya modal dan proses termalnya. Biaya modal ekstraksi CO2 dari laut tidak terlalu mahal dan tidak membutuhkan proses termal tambahan. Menggunakan reaktor nuklir Generasi IV, proses termal bisa disubstitusi menggunakan panas buangannya yang bersuhu tinggi, jadi kebutuhan energi termal tidak diperhitungkan lagi.

Pertama untuk ekstraksi dari air laut. Reaktor nuklir bisa beroperasi dengan faktor kapasitas 90%. Daya 20.000 MWe cukup untuk membangkitkan listrik sebesar 157.788.000.000 kWh/tahun. Dengan rasio kebutuhan massa H2/CO2 sebesar 1:7,42 dan rasio kebutuhan listrik 40:3, maka daya sebesar itu dapat menghasilkan hidrogen dan CO2 yang cukup untuk memproduksi methanol sebesar 27.034.695.451 kg. Dibagi dua dengan DME, maka diperoleh methanol dan DME masing-masing 13.517.347.726 kg dan 9.717.719.429 kg. Produksi methanol dari CO2 air laut setara dengan 24,96% konsumsi bensin nasional dan DME dari CO2 air laut setara dengan 25,55% konsumsi minyak Diesel nasional.

Kedua untuk ekstraksi dari atmosfer. Menggunakan daya 30.000 MWe, listrik yang bisa dibangkitkan sebesar 236.682.000.000 kWh/tahun. Rasio massa H2/CO2 tetap sementara rasio kebutuhan listrik menjadi 40:1. Hasil produksi dibagi dua lagi. Dari sini, dapat diproduksi hidrogen dan CO2 yang cukup untuk menghasilkan methanol dan DME masing-masing sebesar 26.620.402.654 kg dan 19.137.600.758 kg. Angka tersebut setara dengan 49,15% konsumsi bensin nasional dan 50,31% konsumsi minyak Diesel nasional.

Kalau ditotal, dari limbah padi, limbah jagung dan sintetis nuklir, maka produksi methanol setara dengan 103,77% konsumsi bensin nasional dan 106,23% konsumsi minyak Diesel nasional.

Jadi, sintetis methanol dan DME jauh lebih mampu untuk menggantikan BBM fosil daripada biofuel.

“Hei, tunggu! Lihat dulu, itu, kebutuhan nuklirnya besar sekali!”

Oh ya tentu saja, sudah risiko. Sama saja dengan alternatif lainnya, tidak ada yang bebas risiko. Tapi, hei, coba lihat sisi positifnya. Instalasi nuklir tidak butuh lahan besar!

Daya per luas area dari PLTN sekitar 1.000 W/m2Artinya, 50.000 MWe cuma butuh lahan 50 km2Tidak lebih luas dari Kecamatan Cibinong, Bogor (56,2 km2). Untuk instalasi carbon capture dari atmosfer, laporan dari American Physical Society pada tahun 2011 memperkirakan butuh lahan sebesar 1 km2/juta ton CO2-tahun. Kebutuhan CO2 dari atmosfer sebesar 74 juta ton. Artinya, butuh 74 km2 untuk fasilitas carbon capture. Total hanya 124 km2. Lebih kecil dari Jakarta Barat (129,5 km2), itupun terbagi dalam setidaknya 50 titik berbeda. Sangat bisa ditolerir, setidaknya dibandingkan lahan biofuel.

Sintetis methanol dan DME tidak membutuhkan lahan ekstra luas. Produksinya bisa memanfaatkan setengah limbah pertanian untuk memenuhi seperempat kebutuhan BBM nasional. Sisanya diproduksi secara bersih dan netral karbon menggunakan energi nuklir, yang notabene butuh lahan sangat sedikit. Modalnya tentu saja besar, tapi setidaknya bisa menghasilkan perbedaan yang nyata tanpa mesti mengorbankan alam lebih jauh lagi.

Kesimpulannya, methanol dan DME dari limbah pertanian dan sintetis nuklir merupakan pilihan yang jauh lebih baik untuk menggantikan peran BBM fosil untuk sektor transportasi. Setidaknya, lagi-lagi, ketimbang bioethanol dan biodiesel…

Referensi

0 komentar:

Posting Komentar