Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (nuclear engineer)
Apa yang pertama kali terlintas di benak ketika mendengar kata Chernobyl?
Seandainya kecelakaan nuklir pada tahun 1986 itu tidak terjadi, barangkali sedikit sekali yang tahu bahwa itu adalah nama kota di Ukraina, yang dulunya merupakan bagian dari Uni Soviet. Begitu pula, kalau bukan karena kecelakaan nuklir pada tahun 2011, mungkin sedikit sekali yang tahu eksistensi prefektur Fukushima di Jepang. Sayangnya, dua kecelakaan nuklir ini benar-benar terjadi. Nama kedua kota ini pun terpaku di benak publik sebagai justifikasi bahwa “nuklir itu berbahaya!”
Awalnya, saya hampir beranggapan serupa. Bahwa energi nuklir dan PLTN berpotensi menghasilkan kecelakaan katastropik dan mengancam banyak sekali jiwa. Namun, setelah saya kaji data-data yang ada, sembari mempelajari bagaimana berbagai desain reaktor nuklir bekerja, saya makin skeptis dengan anggapan ini. Sampai akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan: potensi bahaya nuklir terlalu dilebih-lebihkan, dan kecelakaan nuklir yang terjadi itu criminally overrated.
Sebelum saya menjelaskan lebih jauh, coba kita lihat apa yang terjadi di sekeliling kita sehari-hari.
Ada yang sering menonton berita pagi sambil ngopi? Apa kira-kira isi beritanya? Kalau bukan tindak kriminal, mungkin kecelakaan lalu lintas. Coba, deh, perhatikan, berapa kejadian kecelakaan kendaraan bermotor selama sebulan? Selama setahun? Waktu arus mudik? Bisa ribuan bahkan puluhan ribu, bukan begitu? World Health Organisation (WHO) pada tahun 2014 mengklaim bahwa kecelakaan lalu lintas di Indonesia menelan korban jiwa hingga 44 ribu orang per tahun! Jalan raya menelan korban jiwa paling banyak di negeri ini setelah serangan jantung dan stroke.
Pesawat terbang, sudah berapa kali mengalami kecelakaan? Hilang dari pantauan radar, terjun bebas ke laut, gagal tinggal landas atau mendarat paksa sampai menghancurkan rumah-rumah warga, berapa korbannya? Bisa ratusan bahkan ribuan. Masih ingat soal kecelakaan pesawat Air Asia terakhir, yang membuat menteri memaksa untuk menghapuskan tarif murah layanan penerbangan itu?
Ada yang kenal penyakit kanker? Betul, penyakit abnormalitas sel tubuh yang sangat berbahaya, biasanya diakibatkan gaya hidup tidak sehat. Jutaan orang mengidap kanker di dunia ini, memakan korban puluhan sampai ratusan ribu orang tiap tahun. Kalau ada yang ingat karakter Severus Snape dalam franchise film Harry Potter, pemerannya adalah Alan Rickman. Nah, Rickman meninggal di akhir 2015 lalu karena kanker. Hingga saat ini, kanker masih menjadi momok menakutkan bagi umat manusia.
Dan lain sebagainya.
Apa poin dari semua ini?
Hidup ini penuh risiko. Kita berkendara, ada risiko ditabrak pengendara ugal-ugalan. Kita jalan kaki di tepi jalan, masih ada risiko ditabrak juga. Seseorang merokok, itu berisiko terkena kanker paru-paru. Orang kerja di pertambangan, risikonya terkena penyakit paru-paru. Orang bekerja di konstruksi, ada risiko jatuh dari rangka bangunan tinggi. Bekerja di pabrik, ada risiko terhantam mesin yang gagal berfungsi. Tidak ada bagian hidup yang lepas dari risiko. Lalu, seberapa tinggi risiko energi nuklir?
Secara ringkas, risiko keselamatan energi nuklir jauh lebih rendah dibandingkan semua yang telah disebutkan di atas. Bahkan, seseorang lebih mungkin mati diterkam ikan hiu atau diseruduk banteng rodeo daripada karena kecelakaan nuklir.
Serius.
Kontras dengan persepsi publik yang menganggap energi nuklir itu berbahaya, tidak selamat, realita justru menunjukkan sebaliknya. Energi nuklir adalah moda pembangkitan energi paling selamat yang pernah ada sampai saat ini. Risiko terjadinya kecelakaan sangat kecil. Dan kalaupun terjadi kecelakaan, dampaknya tidak seburuk yang didengung-dengungkan. US Bureau of Labour Statistics bahkan mengklaim bahwa bekerja di PLTN itu lebih selamat daripada bekerja di toko grosir!
Kalau penasaran kenapa, mari tengok ‘dalaman’ PLTN, yaitu di reaktor nuklir. Untuk pembahasan ini, saya mengambil contoh dari reaktor Generasi II/III maupun Generasi IV. Untuk Generasi II/III, saya ambil contoh Pressurised Water Reactor (PWR), sementara untuk Generasi IV diambil Molten Salt Reactor (MSR) dan High Temperature Reactor (HTR).
Sistem dasar keselamatan reaktor nuklir adalah defence-in-depth, dilakukan baik pada proteksi fisik maupun pada desain, konstruksi dan operasi.
Sistem proteksi fisik pada PLTN berlapis, yang luar tidak bisa ditembus selama yang di dalam kokoh. Pertahanan ini dimulai dari bahan bakar sampai containment building. Dari cara kerjanya, sistem keselamatan reaktor nuklir ada yang bersifat melekat (inherent safety) maupun bersifat eksternal.
Pada PWR, lapisan keselamatan pertama dimulai pada bahan bakarnya. Bahan bakar PWR berupa pelet uranium oksida (UO2). Pelet bahan bakar ini kurang lebih berdiameter 1 cm dan tinggi 1 cm. UO2 merupakan senyawa yang stabil dan tahan suhu tinggi, hingga 2.800o C. Senyawa ini punya kelemahan pada konduktivitas termalnya yang rendah, sehingga suhu di tengah pelet jauh lebih tinggi daripada di tepiannya. Pada operasi normal PWR, suhu maksimum pelet UO2 berada pada kisaran 2.000o C. Marginnya masih cukup lebar.
Namun, jika terjadi masalah, katakanlah kegagalan sistem pendingin, pelet UO2 dapat memanas sampai mungkin saja meleleh. Saat itu, lapisan keselamatan kedua bekerja, yaitu kelongsong bahan bakar. Kelongsong ini dibuat dari alloy zirkonium (Zircaloy) dan akan menahan lelehan bahan bakar dari keluar ke teras.
Lapisan ini bisa gagal juga dan ikut meleleh. Karenanya, masih ada lapisan ketiga, yakni teras reaktor. Teras PWR dipenuhi oleh air, yang bisa membantu menurunkan suhu bahan bakar yang overheat. Bagian dasar bejana PWR pun dibuat dari beton, sehingga sulit sekali ditembus oleh bahan bakar yang mencair.
Kalaupun misalnya masih gagal juga, yang kemungkinannya hampir tidak ada, masih ada containment building tebal yang mencegah lelehan bahan bakar ini lolos keluar reaktor. Sehingga, bahan bakar akan sepenuhnya terkungkung di dalam gedung reaktor.
Masalah lain muncul: ada beberapa material radioaktif yang bersifat volatil, seperti iodin-131 dan cesium-137. Keduanya bisa lolos melalui udara dan uap air. Lagi-lagi, di sini containment building yang bekerja menahan kedua unsur radioaktif ini terlepas ke lingkungan.
PWR bekerja dengan siklus uap tidak langsung. Sehingga, pada perpipaan sekunder, tidak ada unsur radioaktif sama sekali. Ini keunggulan khusus dibanding BWR yang menggunakan siklus uap langsung; uap pendinginnya bersifat radioaktif.
Dalam kondisi sudah shutdown atau mengalami kecelakaan, masih ada panas sisa dalam reaktor. Seperti mesin motor yang baru saja dimatikan, tidak mungkin langsung dingin begitu saja. Jadi butuh pendinginan, yang disuplai oleh sistem khsuus. Jika sistem pendinginan ini gagal, misalnya karena bangunan reaktor kehilangan suplai listrik sama sekali, ada mesin Diesel cadangan yang otomatis menyala dan memompa air untuk mendinginkan reaktor.
Masih banyak skenario kecelakaan lain dan bagaimana mitigasinya, yang tidak akan cukup dimuat di buku ini. Namun, ini saja setidaknya sudah memberi gambaran betapa ketatnya sistem keselamatan dalam reaktor nuklir. Dengan tujuan, meminimalisir risiko kecelakaan hingga sekecil mungkin dan mencegah skenario terburuk, yakni terlepasnya sejumlah besar material radioaktif ke lingkungan.
Tidak hanya itu, sistem shutdown berganda, sistem instrumentasi redundan, pompa air cadangan dan berbagai sistem lain turut menjamin keselamatan reaktor nuklir berada pada taraf tertinggi di industri energi.
Tapi bagaimana kalau misalnya operator yang lalai? Sistem keselamatan PLTN didesain dengan memperhitungkan bahwa operator dapat melakukan kesalahan. Semua itu sudah dipertimbangkan. Sistem keselamatan diatur agar, sekalipun operator salah-salah menekan tombol atau menarik tuas, reaktor tetap berada dalam keadaan selamat.
Sistem keselamatan ekstra inilah yang membuat biaya konstruksi PWR dan reaktor Generasi III lainnya lebih mahal ketimbang PLTU dan PLTG. Walau biaya produksi listrik akhirnya kompetitif bahkan lebih murah dari energi fosil, sejujurnya persoalan biaya konstruksi ini memang sedikit mengganggu dalam ekspansi penggunaan energi nuklir.
Karenanya, pengembangan reaktor maju kemudian menyentuh ke aspek keselamatan yang lebih alami sehingga mengurangi kebutuhan akan sistem keselamatan rumit. Seperti telah disebutkan, sistem keselamatan ini disebut inherent safety, atau keselamatan melekat. Pada PWR sendiri, keselamatan melekat paling dasar adalah yang disebut umpan balik reaktivitas negatif. Apa maksudnya? Tanpa perlu melibatkan penjelasan fisika, intinya adalah “Ketika suhu naik, reaksi berantai turun. Ketika reaksi berantai turun, suhu naik.”
Artinya begini. Ketika operasi reaktor terganggu karena satu atau lain hal yang membuat suhu operasi naik, maka reaksi nuklir yang terjadi akan turun. Karena reaksi berantai turun, energi panas yang dilepaskan pun turun, berimbas pada suhu operasi ikut turun. Sebaliknya, jika suhu operasi turun karena suatu hal, reaksi berantai akan bertambah banyak, sehingga melepaskan lebih banyak energi panas yang kemudian kembali menaikkan suhu. Imbas dari reaktivitas negatif ini, operasi reaktor nuklir jadi sangat stabil.
Pada segi desain, wujud defence-in-depth diantaranya dengan menggunakan material yang kompatibel secara kimiawi (tidak menggunakan grafit dan air dalam reaktor) dan jaminan kualitas pada material yang digunakan (harus tersertifikasi khusus). Pada operasi, para operator harus melewati serangkaian pelatihan agar tersertifikasi untuk mengoperasikan PLTN.
Ini gambaran umum untuk sistem keselamatan PWR. Berikutnya, coba kita tinjau sistem keselamatan MSR dan HTR, bagian-bagian utamanya saja dulu.
MSR menggunakan bahan bakar cair berupa senyawa garam. Jadi, tidak ada peluang terjadinya kecelakaan karena bahan bakar meleleh, mengingat bahan bakarnya sendiri sudah dalam bentuk lelehan. Ketika bahan bakar overheat, umpan balik reaktivitas mengambil alih dan mengembalikan suhu bahan bakar ke suhu semula.
Walau begitu, masih ada peluang kegagalan ketika sistem aliran pendingin tidak berfungsi. Bahan bakar jadi macet dan level overheating terlalu tinggi. Pada MSR, suhu terlalu tinggi itu akan melelehkan katup di bawah teras reaktor, lalu mengalirkan bahan bakar dalam kompartemen darurat untuk dibiarkan membeku. Karena teras reaktor kosong dari bahan bakar, otomatis reaktor pun mati. Begitu pula, jika gedung reaktor mendadak kehilangan suplai listrik, katup akan meleleh dan bahan bakar jatuh ke kompartemen yang sama.
Pada kondisi itu, iodin-131 dan cesium-137 tidak bisa lepas ke lingkungan. Pasalnya, dalam MSR, unsur-unsur itu terikat dalam senyawa fluorida yang stabil. Juga, ketiadaan air pada gedung reaktor meniscayakan MSR bebas dari kemungkinan steam explosion.
Derajat keselamatan MSR meniscayakan bahwa, dalam kemungkinan kecelakaan terparah sekalipun, hal terburuk yang akan terjadi adalah reaktornya hancur. Tanpa menyebabkan bahaya ada manusia maupun lingkungan.
Pada HTR, partikel UO2 berukuran 0,9 mm dibungkus dalam lapisan TRISO, dan ribuan partikel ini dikungkung lagi dalam bola-bola grafit (pebble bed). Ketahanan suhu pebble bed mencapai 1.600o C, walau suhu operasi maksimalnya hanya berkisar 1.000o C. Puluhan ribu pebble bed ditumpuk dalam teras reaktor hingga ketinggian tertentu. Beda ketinggian memengaruhi reaksi berantai. Semakin tinggi tinggi tumpukan pebble bed, semakin tinggi pula laju reaksi berantainya, akibat bahan bakar lebih banyak. Untuk menurunkan laju reaksi berantai, tinggal menjatuhkan pebble bed di lapisan bawah keluar dari teras. HTR juga tidak bisa mengalami pelelehan.
Fitur umpan balik reaktivitas negatif tentu dimiliki juga oleh HTR. Tapi fitur keselamatan utama ada pada mekanisme pembungkusan bahan bakarnya. Kalaupun kecelakaan parah terjadi, sampai katakanlah pebble bed ini terlepas ke lingkungan (meski hampir mustahil terjadi), maka bahan bakar dan limbahnya yang radioaktif akan terkungkung aman di dalamnya. HTR sangat tahan terhadap kecelakaan.
Jadi, pada dasarnya, sistem keselamatan pada reaktor maju lebih difokuskan pada sistem keselamatan pasif. Berbeda dengan reaktor Generasi III yang sebagian masih mengandalkan sistem keselamatan aktif. Sistem keselamatan pasif meniscayakan tidak butuh intervensi operator untuk mengaktifkan sistem keselamatan serta tidak perlu mesin eksternal untuk menyediakan pendinginan memadai. Ini mampu meminimalisir bahkan mungkin melenyapkan kemungkinan human error.
Dengan berbagai sistem keselamatan ini, wajarlah jarang sekali terjadi kecelakaan pada PLTN. Kalau terjadi kecelakaan pun belum tentu ada korban. Kecelakaan PLTN Three Mile Island di Pennsylvania, Amerika Serikat, mengakibatkan teras reaktor mengalami kerusakan parah. Namun, tidak ada seorangpun yang tewas karenanya. Jangankan tewas, korban cedera saja sama sekali tidak ada!
Maka, kalau dikatakan risiko pada energi nuklir itu kecil sekali, hal itu bisa dijustifikasi. Lagipula, orang-orang seringkali salah kaprah dalam menilai risiko. Hakikatnya, risiko bukan faktor yang berdiri sendiri, melainkan dampak x probabilitas. Kalau dampak kecil tapi probabilitas tinggi, risikonya pun tinggi. Tapi kalau dampak besar dan probabilitasnya sangat kecil, risikonya tentu saja kecil. Dampak kecelakaan naik motor itu mungkin cuma 1, tapi probabilitasnya bisa 100. Kalau reaktor nuklir, dampak kecelakaannya barangkali 100, tapi kalau probabilitasnya 0,0000001? Lebih berisiko mana?
Terkait risiko ini, Dr. Alexander Agung, ketua program studi Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada, menjelaskan bahwa, dalam konteks PLTN, probabilitas terjadinya kegagalan dinyatakan dalam satuan kejadian/reaktor-tahun. Angka sebesar 10-3/tahun artinya untuk unit tunggal probabilitas kejadiannya adalah sekali dalam 1000 tahun operasi. Atau jika ada 1000 unit, maka probabilitas kejadiannya adalah sekali dalam setahun. Parameter yang penting adalah core damage frequency (CDF), yang menyatakan besarnya probabilitas kerusakan reaktor yang dapat menyebabkan potensi pelepasan bahan radioaktif ke lingkungan dan large release frequency (LRF) yang menyatakan besarnya probabilitas pelepasan bahan radioaktif ke lingkungan.
Dari pengalaman operasional sekitar 580 reaktor sejak tahun 1954-2011, didapatkan CDF sebesar 7,6x10-4/reaktor-tahun dan LRF sebesar 10-6/reaktor-tahun. Di Swedia, untuk PLTN Ringhals di selatan Gothenburg, sebagai contoh, CDF-nya sebesar 10-6 dan LRF sebesar 10-7, yang artinya probabilitas pelepasan radioaktif dari 1 unit PLTN Ringhals adalah 1 kejadian dalam 10 juta tahun! Padahal masa operasinya “hanya” sampai tahun 2040-an.
Nilai CDF dan LRF yang bisa diterima itu ditentukan oleh badan regulasi nuklir masing-masing negara (di Indonesia adalah Bapeten). Pihak vendor yang membangun reaktor harus menyesuaikan kriteria itu. Dengan kemajuan teknologi, reaktor nuklir tipe baru memiliki CDF dan LRF yang jauh lebih rendah daripada reaktor-reaktor lama yang saat ini sedang beroperasi. Sebagai contoh, reaktor AP1000 yang sedang dibangun di Amerika Serikat dan Cina memiliki CDF sebesar 10-7 dan LRF 10-8, alias sekali dalam 10 juta dan 100 juta tahun.
Artinya, sangat kecil probabilitas terjadinya kecelakaan pada reaktor nuklir, sehingga membuat risikonya juga kecil.
Buktinya, sejak dekade 1960-an hingga sekarang, kecelakaan PLTN hanya terjadi tiga kali dengan korban sangat minimal. PLTN lain beroperasi dengan baik-baik saja. Sebagian unit pernah mengalami gangguan dalam operasi, tapi tidak berujung pada kecelakaan. Gangguan operasi sendiri bukan hal yang tidak umum terjadi dalam pembangkit listrik manapun.
Bagaimana dengan Chernobyl? Kalangan-kalangan anti-nuklir ataupun yang kurang informasi sering menjadikan kasus ini rujukan untuk menganggap PLTN itu berbahaya. Nyatanya, kesalahan berasumsi di sini fatal sekali.
Kecelakaan Chernobyl adalah kejadian sangat unik dan tidak mungkin terjadi kedua kalinya di belahan bumi manapun. Reaktor yang dipakai di PLTN Chernobyl adalah reaktor yang desainnya cacat darisananya. Tapi bahkan dengan cacat desain inipun, kecelakaan itu seharusnya tidak perlu terjadi, kalau saja operatornya tidak bertindak bodoh dengan mematikan seluruh sistem keselamatan dan mengabaikan pesan peringatan dari sistem reaktor bahwa kondisi operasi reaktor tidak selamat.
Reaktor Light Water Graphite Reactor (LWGR) yang dipakai di PLTN Chernobyl hanya ada di bekas negara Uni Soviet, sekarang tersisa di Rusia dan Ukraina. Unit-unitnya pun telah mengalami perombakan besar-besaran agar level keselamatannya meningkat. Lalu, seiring usianya yang makin menua, unit-unit LWGR itu sedikit demi sedikit di-shutdown dan diganti dengan desain lain yang keselamatannya lebih baik. Kini, tidak ada yang memproduksi LWGR lagi, bahkan Rusia sekalipun. Regulator nuklir lain tentunya cukup waras untuk tidak mengizinkan reaktor seperti itu beroperasi di negaranya.
Tidak ada peluang reaktor nuklir selain LWGR bisa mengalami kecelakaan seperti di Chernobyl. Menganggap PLTN berbahaya dengan merujuk pada kecelakaan Chernobyl sama saja seperti menganggap pesawat terbang itu berbahaya karena kecelakaan Hindenburg di tahun 1937.
Lantas bagaimana dengan Fukushima Daiichi? Bukankah desain itu bukan LWGR? Kok masih bisa kecelakaan juga?
Jelas bukan LWGR. Fukushima Daiichi menggunakan reaktor tipe Boiling Water Reactor (BWR). Namun, bentuk kecelakaannya sama sekali berbeda dengan Chernobyl. Fukushima Daiichi mengalami kegagalan pendinginan pasca-shutdown. Penyebabnya bukan gempa, melainkan tsunami. Gelombang tsunami membuat mesin Diesel cadangan di Fukushima Daiichi mati sehingga terjadi overheating yang terlalu sulit ditangani dan mengakibatkan bahan bakar meleleh. Iodin-131 dan cesium-137 pun lepas ke lingkungan. Walau begitu, nyatanya tidak ada korban jiwa sama sekali! Korban cedera saja tidak ada. Level radiasi di prefektur Fukushima sudah turun dan aman untuk ditinggali kembali.
Penjelasan singkat di atas setidaknya menunjukkan bahwa “bahaya” yang digembargemborkan ada pada energi nuklir itu nyatanya tidak berdampak banyak. Selain kasus Chernobyl yang menewaskan maksimal 60 orang, tidak ada korban jiwa lainnya dari operasi PLTN selama ini. Kecelakaan Three Mile Island dan Fukushima Daiichi tidak menyebabkan satupun korban jiwa.
Rekam jejak ini tidak bisa disamai oleh industri energi manapun. Total, lebih dari 1 jura orang meninggal tiap tahun akibat penyakit yang disebabkan partikulat batubara. Tidak hanya itu, kecelakaan tambang batubara turut menelan korban mencapai ribuan jiwa. Pada tahun 2014, kecelakaan di tambang batubara Soma, Turki, mengakibatkan 301 orang tewas. Kecelakaan tambang batubara terparah terjadi di Benxihu Colliery, Cina, menelan korban jiwa 1.549 orang.
Kecelakaan melibatkan gas alam juga bukan hal yang tidak pernah terjadi. Beberapa yang cukup parah misalnya ledakan yang diakibatkan kebocoran pipa gas di Ufa, Uni Soviet, pada tahun 1989. Ledakan itu menghancurkan dua unit kereta dan membunuh setidaknya 575 orang serta 800 lain luka-luka. Lalu, pada tahun 1992, ledakan gas di Guadalajara, Meksiko, menewaskan 206 orang dan 500 orang lain luka-luka.
Pada tahun 2013, ledakan gas juga terjadi di kota Rosario, Argentina, menewaskan 22 orang. Lalu, pada 2014, kebocoran gas di kota Kaohsiung, Taiwan, mengakibatkan serentetan ledakan yang berujung pada tewasnya 32 orang. Di Amerika Serikat, dari tahun 1994-2013, terjadi setidaknya 1.796 kecelakaan yang melibatkan perpipaan gas, menyebabkan 682 orang tewas.
Kecelakaan melibatkan kilang minyak juga pernah terjadi. Salah satunya di Piper Alpha Platform, Aberdeen, Skotlandia, pada tahun 1988. Ledakan di kilang minyak ini menyebabkan 167 orang tewas. Kegagalan penyangga di kilang minyak Alexander L. Kielland di Norwegia membuat kilang itu tenggelam, menewaskan 123 orang.
Energi hidro tidak lepas dari kecelakaan. Paling parah adalah kecelakaan Banqiao Dam, Cina, pada tahun 1975. Kecelakaan ini mengakibatkan 171.000 orang tewas dan 11 juta orang kehilangan rumah. Pada tahun 2009, PLTA Sayano-Shushenskaya di Rusia mengalami kerusakan turbin parah yang membuat hall turbin kebanjiran. Total 75 orang tewas dalam kejadian ini.
Energi surya dan bayu pun bukan moda energi bebas kecelakaan. Korban tewas sering terjadi akibat jatuh dari atap ketika melakukan perawatan/pemasangan panel surya, dengan proyeksi angka sekitar 50 orang di Amerika Serikat. Di Inggris Raya, 14 orang tewas sepanjang tahun 2011 dari 163 kecelakaan kincir angin.
Tiap moda energi tidak pernah bebas dari rekam jejak kematian, tapi berapa banyak korban tewas tiap satuan energi tertentu? Jumlah korban tewas per satuan energi kita sebut saja sebagai death footprint. Berikut adalah grafik death footprint pada berbagai moda energi.
Gambar 1. Death footprint berbagai moda energi. Tampak bahwa nuklir memiliki death footprint paling rendah (diolah dari nuceng.ca)
Bagaimana menafsirkan grafik di atas? Angka-angka tersebut adalah jumlah kematian yang terjadi tiap terawatt-hour (TWh) listrik yang dibangkitkan. Contoh, angka 0,04 pada nuklir berarti hanya ada 0,04 kematian tiap TWh listrik yang dihasilkan energi nuklir. Untuk contoh, provinsi Ontario, Kanada, menghasilkan 88 TWh listrik dari energi nuklir tiap tahunnya. Maka, diproyeksikan bahwa tiap tahun akan ada 3,5 kematian per tahun. Selama 40 tahun, diproyeksikan akan ada 140 orang meninggal karena energi nuklir.
Nyatanya, di Ontario sama sekali tidak ada orang yang celaka akibat energi nuklir! Sebenarnya wajar saja, sebab angka 0,04 dalam grafik didominasi oleh korban dari Chernobyl yang maksimal hanya 50 orang itu. Dari satu-satunya kecelakaan nuklir yang menyebabkan korban jiwa.
Tidak ada moda energi yang 100% selamat. Itu cuma utopia. Pasti ada saja risiko terjadinya kecelakaan. Namun, sebagian moda energi punya risiko lebih rendah dibanding sebagian yang lain. Nuklir adalah salah satu yang risikonya rendah, malah paling rendah. Kecelakaan selevel Chernobyl pun secara filosofis tidak mungkin terjadi lagi. Begitu pula Fukushima Daiichi. Sistem keselamatan canggih dalam reaktor nuklir menjamin sangat rendahnya risiko kecelakaan yang dapat membahayakan publik dapat terjadi. Kalaupun terjadi kecelakaan parah, konsekuensi yang mungkin terealisasi pun sebenarnya lebih rendah daripada imajinasi liar publik yang banyak disesatkan oleh pihak-pihak tertentu.
Tidak percaya dengan klaim bahwa kecelakaan sejenis Chernobyl tidak mungkin terjadi lagi? Bagus. Saya menantang siapapun untuk menunjukkan analisisnya bahwa reaktor nuklir selain LWGR, baik LWR, HWR, AGR atau apapun itu, bisa mengalami kecelakaan dengan level serupa. Atau tidak usah jauh-jauh, deh, analisis peluang bahwa unit LWGR tersisa di Rusia dan Ukraina bisa mengalami kecelakaan serupa. Saya tunggu.
Maka jelaslah, energi nuklir itu sangat selamat, jauh lebih selamat daripada energi fosil, bahkan masih lebih selamat dari energi terbarukan. Ekspansi energi nuklir sebagai moda energi utama di planet ini akan menyelamatkan lebih banyak jiwa dari potensi mematikan energi fosil. Sebaliknya, penolakan terhadap energi nuklir saat melakukan ekspansi energi bisa mengakibatkan lebih banyak kematian dengan lebih banyaknya penggunaan energi fosil.
0 komentar:
Posting Komentar