Rabu, 10 Januari 2018

Melengkapi Konsep “Green Property” Secara Kaffah

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto

Beberapa kali dengar soal yang namanya “Green Property”. Intinya ya bisnis properti juga, tapi dikasih embel-embel “green”. Jadi katanya konsep perumahannya “green”, begitu. Namun, sejauh ini, konsep “green” yang ditawarkan masih belum sepenuhnya jelas. Apa cuma dengan suasana yang sejuk saja? Atau masih lekat suasana alami? Atau apa?

Penelusuran di internet tentang konsep “Green Property” di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda jelas, apa standar “green” yang digunakan. Tapi kalau yang jadi patokan ternyata cuma suasana yang asri dengan pohon, taman dan barangkali sumber mata air alami, maka itu masih jauh sekali dari “green”. Karena aspek “green” itu banyak sekali, termasuk yang jarang sekali diperhatikan sebagian besar orang: carbon footprint.

Saya enggak punya urusan dengan bisnis properti. Bukan pengusaha properti maupun calon pembelinya. Saya cuma tergelitik (baca: triggered) dengan klaim “green”, karena biasanya mereka yang hobi mengklaim sesuatu sebagai “green”, nyatanya tidak “green”. Cuma sebatas stempel. Ini berlaku baik dalam dunia properti, energi, kesehatan bahkan sampai pengasuhan anak.

Kalau soal properti, dalam hal ini perumahan, apa saja yang mesti dilengkapi agar bisa memenuhi klaim “green” dengan kaffah?

Coba kita daftar satu persatu. Kalau ada yang kurang dari daftar ini, monggo ditambahi.

1. Optimasi Pencahayaan Alami
Desain rumah dengan pencahayaan alami optimal. Ketika cuaca cerah, rumah harus bisa mengandalkan sinar matahari sebagai penerangan utama pada seluruh ruangan. Buat sistem pemantulan cahaya untuk menerangi tempat-tempat yang sulit terjangkau sinar matahari secara langsung, misalnya kamar mandi. Jangan sampai ada dark spot yang tidak terjangkau cahaya matahari pagi-siang.

Sistem pencahayaan alami ini jangan sampai mengganggu kaidah privasi rumah. Sehingga, walau cahaya matahari dapat menerangi seluruh ruangan, tapi tidak ada peluang bagi orang luar untuk mengintip bagian dalam rumah yang tidak diizinkan. Untuk mendesain rumah seperti ini, perlu desainer yang paham fisika optik, fisika cahaya dan hukum syariah terkait rumah.

Tujuan dari pencahayaan alami adalah untuk mengurangi konsumsi energi secara tidak perlu. Mengingat, carbon footprint listrik negeri ini relatif tinggi, mencapai lebih dari 810 g CO2 ekivalen/kWh. Mereduksi penggunaan listrik untuk pencahayaan dapat mengurangi konsumsi energi rumah, sehingga menurunkan carbon footprint.

Selain dengan mengoptimalkan pencahayaan alami, reduksi konsumsi energi untuk penerangan dapat dilakukan dengan menggunakan lampu LED alih-alih lampu neon. Lampu LED memiliki konsumsi energi jauh lebih rendah dari lampu neon biasa dan usia pakainya lebih panjang.

2. Pendinginan Pasif
Iklim Indonesia merupakan iklim tropis. Khususnya di daerah perkotaan, suhu udara relatif panas pada siang bahkan malam hari. Karena itulah pendingin ruangan, baik kipas angin maupun AC banyak dipakai. Keduanya membutuhkan energi listrik untuk beroperasi, dan AC adalah yang paling boros.

Untuk meminimalisir konsumsi listrik sehingga menurunkan carbon footprint, perlu dirancang sistem sirkulasi udara alami untuk pendinginan udara dalam rumah. Istilahnya adalah passive cooling. Buat sistem ventilasi udara yang bisa diatur buka-tutupnya menggunakan prinsip konveksi udara. Sehingga, udara panas di dalam rumah akan keluar secara otomatis, sembari menarik udara dingin ke dalam ruangan.

Optimasi bisa dilakukan menggunakan solar chimney sampai evaporative coolingSolar chimney menggunakan sejenis cerobong untuk konveksi udara, dilengkapi material penangkap panas untuk memanaskan udara di dalamnya. Udara yang lebih panas meningkatkan beda suhu dan massa, sehingga udara panas lebih cepat keluar dan udara dingin lebih cepat masuk. Debit udara dingin bertambah dibanding sebelumnya.

Penggunaan sistem passive cooling akan mereduksi konsumsi listrik, sehingga menurunkan carbon footprint rumah. Kebutuhan penggunaan kipas angin dan atau AC dapat dikurangi.

3. Pemilihan Material Rumah
Bahan-bahan penyusun rumah merupakan material sarat emisi karbon. Sebagai contoh, semen memiliki carbon footprint 0,77 ton CO2 ekivalen/ton semen, batu bata 0,27 ton CO2 ekivalen/ton batu bata dan baja 2,2 ton CO2 ekivalen/ton baja. Untuk mereduksi carbon footprint rumah, penggunaan material rumah dapat disiasati.

Sulit untuk mencari substitusi baja, karena itu fokus dialihkan pada semen, batu bata dan lantai. Penggunaan semen dapat dicampur dengan mineral penyerap karbon, seperti Serpentinite atau Olivine. Semen sejenis ini akan menyerap CO2 dari udara seiring berjalannya waktu, selain menurunkan penggunaan semen itu sendiri. Masalahnya? Saya bukan civil engineer, jadi saya tidak tahu apa penggunaan campuran semen seperti ini bisa sebaik semen biasa.

Batu bata dapat diganti dengan granit, batu sungai atau mineral penyerap karbon. Namun, eksploitasi batu sungai berlebihan dapat mengganggu ekosistem sungai, sehingga justru melenyapkan kesan “green”. Alternatifnya, batu bata dapat dikombinasikan dengan granit. Lagi-lagi, saya bukan civil engineer, jadi sebaiknya ini ditinjau dulu sebelumnya.

Alternatif lain bisa dengan kombinasi struktur bangunan dengan kayu. Kayu memiliki nilai carbon footprint lebih rendah dari batu bata, semen dan baja. Meningkatkan bauran kayu dalam bangunan berarti menurunkan carbon footprint rumah.

Lantai rumah biasanya menggunakan keramik. Alternatifnya dapat menggunakan granit, yang memiliki carbon footprint rendah. Selain dari segi carbon footprint, granit mengandung sejumlah kecil uranium dan thorium secara alami, sehingga rumah dengan lantai granit memancarkan radiasi gamma sedikit lebih besar daripada rumah dengan lantai keramik. Hal ini bagus, karena radiasi gamma dalam dosis rendah memiliki efek positif bagi kesehatan.

Pemilihan material rumah pun mesti mempertimbangkan insulasi termal, sehingga tidak mengganggu bahkan kalau bisa mendukung sistem passive cooling.

4. Fasilitas carbon sink
Selain menurunkan carbon footprint rumah, mengurangi emisi karbon dapat dilakukan dengan membangun fasilitas carbon sink. Maksudnya adalah fasilitas yang menyerap CO2 dari udara, khususnya dari proses pembangunan rumah. Agar tidak ada energi yang terbuang, fasilitas carbon sink yang digunakan sebaiknya bersifat pasif.

Carbon sink pasif yang bisa digunakan adalah pohon dan mineral magnesium. Pohon dapat ditanam baik di halaman depan rumah, di pinggir jalan perumahan maupun di taman. Penanaman pohon di halaman rumah dapat menyerap CO2 dari udara dan menambah kesejukan rumah.

Mineral Olivine dan Serpentine dapat digunakan dalam bentuk hiasan. Serpentinite sering digunakan sebagai bahan ukiran, sehingga mineral ini dapat digunakan sebagai penghias taman maupun halaman rumah. Olivine agak lebih mudah lapuk, sehingga lebih cocok menjadi hiasan taman maupun halaman rumah dalam potongan-potongan kecil.

Tiap kg mineral magnesium tersebut dapat menyerap hingga 0,6 kg CO2. Sementara, pohon dapat menyimpan hingga 0,65 kg CO2 dalam tiap kg batang kayunya. Namun, seberapa besar CO2 yang mampu ditampung sebuah pohon selama usia hidupnya bergantung pada jenis pohon yang ditanam.

5. Penyediaan Rooftop Solar System
Dalam skala besar, panel surya tidak berguna untuk menyediakan listrik secara reliabel dan murah. Namun, dalam skala kecil, panel surya masih memiliki kegunaan, setidaknya selama listrik di negeri ini masih didominasi energi fosil. Khususnya sebagai penyedia daya cadangan.

Pengelola perumahan dapat menyediakan panel surya yang terpasang di atap rumah (rooftop solar system/RSS) plus baterai untuk penyimpanan listrik. Kapasitas daya panel surya kira-kira 1-2 kW dan kapasitas baterai 4-6 kWh. RSS dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti daya listrik cadangan ketika mati listrik atau sebagai pemikul daya utama ketika siang maupun malam hari, sesuai keperluan dan keinginan pengguna.

Cost-wise, RSS tidak mengurangi beban biaya listrik. Pasalnya, tagihan PLN yang berkurang karena penggunaan RSS dibebankan pada naiknya harga rumah. Namun, RSS jelas mengurangi carbon footprint karena memiliki emisi spesifik rendah (48 g CO2 ekivalen/kWh) dan berguna untuk cadangan listrik ketika suatu waktu jaringan PLN mengalami masalah.

6. Resapan Air dan Drainase
Perumahan yang “green” sudah barang tentu harus bisa memanfaatkan air dengan sebaik-baiknya. Kaitannya dengan air hujan, maka daerah resapan air dalam kompleks perumahan harus memadai. Tidak boleh ada titik-titik genangan air. Pembuatan jalan perumahan harus mempertimbangkan hal ini.

Kelebihan debit air yang sekiranya melebihi kebutuhan tanaman yang ada di perumahan harus disalurkan melalui sistem drainase yang baik, untuk kemudian ditampung atau dibuang ke saluran air luar perumahan. Di daerah yang suplai airnya tidak begitu baik, dapat dibuat penampungan air hujan untuk kemudian disalurkan ke rumah-rumah.

7. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
Filosofi dasar pengelolaan sampah yang “green” adalah “reduce, reuse, recycle”. Namun, tetap saja ada limbah rumah tangga yang dihasilkan, baik itu organik maupun anorganik. Maka perlu pengelolaan lebih lanjut soal limbah ini, selain semata-mata memisahkannya dalam kategori limbah organik dan anorganik. Pengelola perumahan harus bisa mengelola limbah-limbah ini dengan baik.

Sampah anorganik dikelola berdasarkan jenisnya. Sampah anorganik berbasis hidrokarbon (plastik dan sejenisnya) dikumpulkan dan diolah menggunakan plastic-to-oil machine. Limbah plastik diolah menjadi minyak bakar setipe dengan bensin, minyak Diesel dan kerosin. Minyak hasil olahan ini dapat dikembalikan lagi pada rumah yang menyediakan sampahnya atau digunakan sendiri, tergantung kesepakatan.

Konversi plastik menjadi minyak tidak mengurangi emisi CO2 secara langsung, tetapi menambah nilai guna limbah plastik dan mereduksi penggunaan bensin dan minyak Diesel konvensional.

Sampah anorganik dalam bentuk lembaran logam (kaleng dsb) dipilah, diolah dan dimanfaatkan ulang jika memungkinkan. Sampah anorganik dalam bentuk kaca dan keramik dipisahkan sendiri untuk dibuang ke pembuangan akhir.

Sampah organik diolah dengan didekomposisi menjadi pupuk, yang bisa digunakan untuk pemeliharaan tanaman di perumahan atau dijual, terserah kesepakatan. Diolah menjadi biogas tidak begitu disarankan, karena kebocoran biogas ke lingkungan jauh lebih buruk daripada pelepasan CO2 dengan massa yang sama. Limbah minyak goreng diolah menjadi biodiesel, bisa digunakan sendiri untuk mesin genset darurat, dikembalikan ke penyedia limbah atau dijual.

Jika orde sampah organik harian mencapai lebih dari 1 ton, maka dapat dipertimbangkan untuk mengolahnya menjadi metanol sintetis. Metanol dapat digunakan di kendaraan bermotor sebagai campuran bensin. Campuran bensin-metanol akan mengurangi emisi CO2, karena metanol sintetis ini bersifat netral karbon, serta meningkatkan performa mesin. Limbah dari sintetis metanol dapat dikonversi menjadi pupuk.

8. Wastewater Treatment
Limbah rumah tangga dapat juga berupa limbah cair, baik dari dapur maupun kamar mandi. Sifatnya kotor bahkan mungkin toksik. Sebelum dilepas ke lingkungan, perlu ada perlakuan agar limbah cair ini tidak membahayakan lingkungan. Sehingga, diperlukan wastewater treatment.

Saluran pembuangan air perumahan tersambung dengan fasilitas wastewater treatment. Teknologi yang digunakan dapat berupa elektrolisis untuk mengurai komponen-komponen berbahaya yang terlarut dalam air, klorinasi, iradiasi gamma maupun metode lain yang tersedia. Sehingga, ketika air buangan dilepaskan ke lingkungan, sudah tidak lagi berbahaya. Jika menggunakan elektrolisis, jika memungkinkan, sumber listriknya dapat menggunakan solar power system dan baterai tersendiri, untuk menjamin rendahnya emisi karbon.

Jika volume air buangan harian sangat besar, dapat dipertimbangkan untuk melakukan purifikasi air, sehingga limbah cair dapat digunakan ulang sebagai air bersih. Hal ini lebih krusial jika daerah perumahan agak sulit air.

9. Sambungan Gas Alam
Jika tersedia, maka selayaknya perumahan disambungkan dengan jaringan pipa gas alam. Dari segi kepraktisan, jaringan gas alam tersedia kapan saja, tidak perlu repot-repot membeli tabung gas serta tidak ada kekhawatiran gas mendadak habis malam hari. Tidak seperti LPG, jaringan gas alam tidak mengalami kelangkaan dan harganya lebih murah daripada LPG subsidi.

Pembakaran gas alam menghasilkan lebih sedikit emisi CO2 daripada LPG. Pasalnya, kandungan energi per satuan massa dalam gas alam lebih tinggi daripada LPG. Karena itu, walau tidak berbeda terlalu jauh, penggunaan gas alam dapat mengurangi carbon footprint.

Namun, yang mesti diperhatikan adalah potensi kebocoran gas alam yang mungkin terjadi. Sekalipun secara keamanan lebih baik karena gas alam lebih ringan dari udara, tetapi komponen utama gas alam, yakni metana (CH4) adalah gas rumah kaca yang 75x lebih kuat dari CO2. Walau demikian, jarang sekali ada kejadian kebocoran jaringan pipa gas alam di negeri ini.

Demikian beberapa langkah penyempurnaan konsep “Green Property” yang perlu dilakukan agar label “green” yang disematkan benar-benar kaffah, bukan semata stempel. Disclaimer, daftar ini tidak saklek. Bisa saja ada aspek lain yang terlewat dari perhatian. Jadi, jika ada saya lewatkan, monggo ditambahkan.

“Tapi itu susah! Mahal! Repot! Siapa yang mau beli?”

Ya memang susah. Itu risiko kalau mau jadi “green” secara kaffah. Kalau enggak dilakukan, berarti label “green” itu cuma stempel, sementara realitanya nanggung. Lepas saja label “green”-nya, jadi biar enggak menawarkan konsep yang enggak kaffah pada konsumen. []

0 komentar:

Posting Komentar