Kamis, 29 Maret 2018

Menilik Konsumsi Energi Spesifik Berbagai Moda Kendaraan


Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T.

Kemacetan di kota-kota besar sudah menjadi pemandangan umum. Khususnya di jam-jam pergi dan pulang kantor, kendaraan bermotor memenuhi jalan dan berjalan dengan kecepatan siput bercangkang beton. Secara psikologis, paparan terhadap kemacetan terus menerus dapat menimbulkan stres pada pengguna jalan. Efeknya nanti pada kestabilan emosi dan perilaku ketika berkendara, serta performa di tempat kerja. Sementara, dari segi energi, kemacetan menyebabkan pemborosan yang luar biasa.

Penyebab kemacetan jalan raya di kota-kota besar itu banyak. Dua diantaranya adalah gaya hidup dan transportasi umum kurang representatif. Masalah pertama agak sulit diatasi, karena urusannya dengan pola pikir dan pola sikap manusia. Masalah kedua lebih mudah diatasi, karena bersifat teknis. Tapi sayangnya, masalah teknis inipun tidak kunjung selesai.

Padahal, jika orang-orang mau beralih dari kendaraan pribadi, masalah kemacetan akan (sedikit) lebih mudah diatasi dan pemborosan bahan bakar minyak pun dapat dikurangi. Yang terakhir ini krusial, karena negeri ini sejak tahun 2004 menjadi net importir minyak bumi, ditambah persoalan perubahan iklim akibat penggunaan bahan bakar fosil yang jor-joran.

Sebagai contoh, kalau seseorang menggunakan mobil pribadi dan hanya mengendarainya sendiri saja, maka untuk tiap km jarak yang ditempuh dari rumah ke tempat kerja, dengan asumsi konsumsi BBM 1 liter untuk 12 km, akan mengonsumsi energi hingga 0,8 kWh/orang-km. Seandainya jarak rumah-kantor itu 30 km, maka konsumsi energinya menjadi 23,75 kWh/orang. Pulang pergi, jadinya 47,5 kWh/orang.

Kalau yang naik mobil lebih dari seorang, konsumsi energi spesifiknya jelas berkurang. Katakanlah yang naik mobil itu 3 orang. Maka, konsumsi energi spesifiknya turun menjadi 0,264 kWh/orang-km. Dengan jarak yang sama, pulang pergi, maka konsumsi energi spesifiknya 15,83 kWh/orang. Turun cukup jauh, tapi masih cukup boros.

Sepeda motor jadi alternatif bagi yang butuh moda transportasi lebih cepat dan gesit (serta berkantong lebih cekak). Dibanding mobil, jelas saja sepeda motor lebih hemat energi. Jika seseorang mengendarai sepeda motor dengan konsumsi BBM kira-kira 45 km/liter, maka energi spesifik yang dikonsumsi pengemudi sepeda motor tersebut adalah 0,211 kWh/orang-km. Kira-kira seperempat konsumsi energi spesifik pengendara mobil. Kalau dipakai PP rumah-kantor dengan jarak tempuh total 60 km, maka konsumsi energinya jadi 12,67 kWh/orang. Seandainya pergi ke kantor boncengan, maka konsumsi energinya turun jadi 6,33 kWh/orang. Lumayan hemat.

Sayangnya tidak semua orang senang pakai sepeda motor. Apalagi dengan kondisi kota besar yang penuh sesak dan polutif. Sebagian orang merasa lebih nyaman pakai mobil pribadi, walau itu harus didapatkan dengan kredit.

Opsi angkot seharusnya bisa menjadi alternatif dari mobil, seandainya lebih nyaman dan tertata. Juga lebih hemat energi. Tipikal angkot biasanya muat untuk 8 orang penumpang (1 depan, 4 kursi kanan dan 3 kursi kiri). Banyaknya orang yang diangkut normalnya berdampak pada lebih borosnya konsumsi BBM. Mungkin tinggal 1 liter untuk 10 km.

Mengasumsikan angkot dalam kondisi penuh, konsumsi energi spesifik pengguna angkot jadi 0,0125 kWh/orang-km. Dipakai PP dengan jarak tempuh 60 km, konsumsi energinya jadi 7,125 kWh/orang. Sedikit lebih boros daripada naik sepeda motor berdua, tapi kira-kira setengah dari naik sepeda motor sendirian.

Jadi, untuk sementara ini, naik ojek tampaknya masih sedikit lebih hemat energi dari naik angkot. Tapi ini relatif, karena bedanya juga tipis. Seandainya konsumsi BBM riilnya berbeda, maka keunggulan sepeda motor bisa jadi berubah.

Yang paling hemat sebenarnya adalah bus kota. Walau konsumsi BBM bus kota relatif boros, keluaran baru kira-kira 1 liter untuk 3 km (keluaran lama, apalagi yang asapnya sudah mengepul dari knalpot, lebih boros). Kalau bus kota itu memiliki 48 kursi dan semuanya penuh terisi, maka konsumsi energi spesifiknya menjadi 0,07 kWh/orang-km. Kira-kira sepersepuluh dari menggunakan mobil pribadi.

Dengan jarak tempuh PP rumah-kantor sama, maka konsumsi energinya hanya 4,14 kWh/orang. Lebih unggul dari naik sepeda motor/ojek maupun angkot. Tinggal bagaimana membuat bus kota menjadi nyaman dan jumlahnya representatif agar orang-orang mau beralih ke sini.

Kereta Rel Listrik (KRL) tentunya tidak bisa dilupakan. Walau tidak menggunakan BBM, tapi KRL mengonsumsi energi dalam bentuk berbeda, yakni listrik. Sementara, pembangkit listrik di Indonesia didominasi oleh energi fosil. Jadi, menggunakan KRL sebenarnya tidak menghilangkan emisi gas buang, hanya memindahkan lokasinya saja.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa naik KRL juga lebih hemat energi ketimbang naik kendaraan pribadi.

Motor listrik KRL kira-kira memiliki daya total 2400 kW tiap rangkaian. Tiap gerbong diasumsikan diisi oleh 80 orang dan ada 10 gerbong tiap rangkaian kereta. Kecepatan KRL normalnya antara 50-80 km/jam, reratanya mungkin 60 km/jam. Dengan kondisi seperti itu, maka konsumsi energi spesifik KRL adalah 0,05 kWh/km. Sedikit lebih rendah daripada bus kota dan terang saja jauh lebih rendah dari mobil pribadi.

Jika diterjemahkan untuk PP rumah kantor berjarak 60 km, maka konsumsi energi spesifiknya hanya 3 kWh/orang. Lebih rendah dari bus kota. Tapi tentu saja, KRL hanya berhenti di stasiun, dan seringkali harus disambung lagi dengan angkot/ojek/bus kota. Jadi 11-12 lah dengan bus kota.

Lebih enak lagi bahwa KRL memiliki jalur khusus, sehingga tidak terjebak kemacetan di jalan.

Berdasarkan penjelasan di atas, berikut tabel konsumsi energi dan energi spesifik dari berbagai moda kendaraan di atas.




Bagaimana soal biaya energinya?

Jelas saja menggunakan kendaraan umum jauh lebih murah ditinjau dari segi pengeluaran untuk energi. Namun, tarif angkot/ojek/bus kota seringkali lebih mahal daripada biaya energinya. Wajarlah, biaya bahan bakar hanya satu dari sekian aspek pembiayaan transportasi. Tapi kalau dianggap, “Ah, mending naik kendaraan pribadi, kalau begitu. Lebih jelas cuma bayar biaya energinya”, itu juga tidak tepat. Tetap saja pengguna membayar untuk mendapakan kendaraannya, dan ada skema perhitungan biaya balik modal dan ongkos perawatan di sana.

Namun, untuk sekadar gambaran, tidak ada salahnya dicek perbandingan biaya energinya.

Di sini diasumsikan BBM yang digunakan semua non-subsidi. Bukan karena saya anti-subsidi, tapi sebatas untuk menyetarakan kondisi. Angkot/sepeda motor/mobil pribadi menggunakan Pertamax, yang harganya per Maret 2018 adalah Rp 8900/liter. Sementara, bus kota menggunakan Pertamina DEX yang harganya Rp 10.000/liter. Untuk KRL, tarif listriknya diasumsikan juga non subsidi, yakni Rp 1.467,28/kWh.

Berikut adalah tabel biaya bahan bakar dan biaya bahan bakar spesifik masing-masing moda kendaraan.


Walau konsumsi energinya lebih sedikit, tampak bahwa biaya energi dan energi spesifik KRL sedikit di atas bus kota. Hal ini disebabkan tarif listrik non-subsidi per satuan energi lebih mahal daripada harga BBM non-subsidi. Walau begitu, bedanya tidak jauh.

Menyediakan transportasi umum yang representatif dalam jumlah memadai dan jangkauan rute lebih komplit seharusnya menjadi tugas negara. Karena salah satu penyebab enggannya orang-orang berpindah ke kendaraan umum adalah kondisi infrastruktur kendaraan umum yang menyedihkan dan rutenya tidak menjangkau semua tempat. Termasuk merombak sistem dan tata perundang-undangan terkait transportasi umum. Supaya, skema operasional dan pembiayaannya bisa diubah sehingga lebih menjamin kesejahteraan pengemudi dan keterjangkauan tarif di satu sisi, serta keteraturan kota di sisi lain.

Jelas saja mengajak orang-orang yang terbiasa menggunakan kendaraan pribadi untuk beralih menggunakan kendaraan umum butuh usaha, khususnya dalam mengubah pola pikir dan pola sikap. Itupun belum tentu semuanya bersedia. Tapi seandainya 80% saja pengguna kendaraan pribadi mau beralih ke kendaraan umum, itu sudah sangat membantu sekali dalam mengurai kemacetan.

Tidak ada salahnya untuk mengenalkan konsep efisiensi energi (sebagaimana di atas) pada penduduk perkotaan, khususnya pengguna kendaraan pribadi, lebih khusus lagi mobil pribadi. Karena sejujurnya, yang terjadi di kota-kota memang pemborosan. Sehingga, konsumsi energi seharusnya diturunkan ke level yang lebih rasional. Tidak banyak membantu dalam mitigasi perubahan iklim, tentu saja. Minimal tidak ada lagi pemborosan bahan bakar minyak.

Mengurai masalah transportasi dan energi memang butuh berpikir. Sayangnya, rezim penguasa lebih senang dengan slogan “Kerja, kerja, kerja!” tapi tanpa disertai berpikir. Jadilah masalah tidak usai-usai.

0 komentar:

Posting Komentar