Jumat, 20 Desember 2024

Tahan Kritik ala Peneliti

Kalau ada satu karakter yang harus dimiliki oleh seorang Peneliti, itu adalah tahan kritik.

Peneliti, selain tugas utamanya melakukan penelitian dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, punya kewajiban untuk mendiseminasikan hasil penelitiannya pada komunitas ilmiah dan publik. Diseminasi ini, utamanya, berbentuk karya tulis ilmiah yang dipublikasikan di jurnal ilmiah.

Melakukan penelitian itu susah, makan waktu banyak, anggaran juga bisa habis dalam jumlah besar. Dataset yang didapatkan belum tentu bagus, harus di-refine dulu sampai dapat yang cukup meyakinkan. Validitas harus diuji. Data harus diolah dalam bentuk grafik dan tabel, kemudian diinterpretasi, apa hasil yang didapatkan dari penelitian ini.

Setelah melalui semua itu, para Peneliti harus menulis hasil penemuannya dalam sebuah manuskrip ilmiah. Apakah bisa ditayangkan begitu saja? Bisa, tapi apa nilainya? Apakah ada yang menganggap temuan itu sebagai sesuatu yang penting, atau lebih penting lagi, valid? Tidak. Maka Peneliti harus mengajukan manuskrip ilmiahnya ke sebuah jurnal ilmiah. Editor jurnal tersebut akan mengirim manuskrip tersebut ke dua atau lebih reviewer, juga Peneliti dan seringkali pakar di bidangnya, yang kemudian akan mengevaluasi merit dari manuskrip si Peneliti.

Apakah kemudian manuskrip itu langsung akan dapat pujian dan diterima oleh para reviewer? Belum tentu.

Seringkali, para reviewer memberikan banyak catatan, kritikan, masukan, mulai dari yang biasa saja sampai yang pedas bukan main. Rekomendasinya jarang sekali yang diterima begitu saja. Biasanya wajib direvisi berdasarkan catatan yang diberikan, dan bisa jadi belasan hingga puluhan poin. Lebih buruk lagi, manuskripnya bisa saja ditolak di kesempatan pertama.

Bayangkan. Sudah lama-lama riset, ngumpulkan data, diskusi dengan rekan, banyak waktu dan anggaran yang terbuang, lalu ditulis dalam manuskrip yang menyusunnya juga tidak mudah, lalu kemudian menerima banyak kritik bahkan manuskripnya ditolak oleh kolega Peneliti yang tidak tahu siapa identitasnya dan tidak langsung terjun melakukan riset tersebut. Apa tidak sakit hati?

Pada proses inilah karakter seorang Peneliti diuji. Apakah dia bakalan ngambekan, marah-marah tidak jelas, kecewa, sakit hati, marah para reviewer yang dianggap banyak ngomong padahal tidak pernah melakukan riset yang mereka lakukan, atau mendengarkan komentar reviewer dan memperbaiki manuskrip sesuai masukan?

Sistem peer-review (tinjauan sejawat) dalam publikasi ilmiah merupakan konsekuensi dari memastikan agar hasil riset yang dipublikasikan di jurnal itu adalah hasil riset yang berkualitas. Bukan abal-abal. Bukan riset berkualitas rendah yang tidak ada nilainya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Juga bukan riset yang memiliki interpretasi data apalagi dataset yang keliru, sehingga berpotensi menyesatkan dunia ilmiah. Tidak selalu berjalan sempurna; kadang-kadang reviewer bisa keliru juga dalam memberikan komentar. Di situlah sistem rebuttal, yang diizinkan dalam dunia reviu manuskrip ilmiah, bisa diaplikasikan.

Tapi kalau komentar reviewer benar, tidak peduli sepedas apapun komentarnya, hingga mungkin mengatakan sejenis, "The authors don't seem to understand what they are writing," para Peneliti penyusun manuskrip tidak punya alasan untuk tidak mengikuti saran dari reviewer untuk memperbaiki manuskripnya.

Karena biar bagaimanapun, seseorang butuh orang lain untuk mengevaluasi karyanya. Kalau dilihat pakai kacamata sendiri, sudah jelas Peneliti merasa manuskripnya sudah bagus, data yang ditulis sudah oke. Cacatnya baru kelihatan ketika ada reviewer yang mengoreksi.

Itu proses yang lumrah dan alamiah dalam dunia litbang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Mengutip kalimat the ultimate legend, "Kita tidak bisa mengontrol perkataan orang, tapi kita bisa mengontrol respon kita terhadap perkataan orang." maka demikian pula yang terjadi di dunia ilmiah. Seorang Peneliti tidak bisa mengontrol reviewer memberi komentar semacam apa, tapi Peneliti bisa mengontrol responnya terhadap komentar reviewer. Apakah bakalan nurut, meski sambil kesal, atau bakalan ngambek dan menarik/withdraw manuskrip dari jurnal untuk disubmit ke jurnal lain, di mana dia bisa jadi mengalami fenomena yang sama?

Kalau pilihan kedua yang diambil, niscaya dia tidak akan berkembang sebagai Peneliti. Dia akan berkutat dalam ilusi kebesarannya sendiri, seolah-olah dia selalu benar dan reviewer itu salah dan tidak seharusnya memberi respon yang tidak disukainya. Dalam kondisi ini, dia akan terlempar keluar dari posisinya sebagai Peneliti, karena tidak ada karya yang bisa diterbitkannya.

Komentar reviewer memang seringkali pahit, tapi dengan begitu, kualitas manuskrip ilmiah yang diterbitkan di jurnal bisa dijaga. Sehingga, artikel yang terbit itu sungguh-sungguh memang mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan artikel jelek bahkan menyesatkan akibat dataset maupun interpretasi yang keliru.

Demikian karakter tahan kritik yang harus dimiliki oleh Peneliti.

0 komentar:

Posting Komentar