Sebagian kalangan pemuja "energi terbarukan" (baca: panel surya dan turbin angin) menggembargemborkan Jerman dan Denmark sebagai negara yang berhasil dengan proyek "energi terbarukan" untuk mengantikan energi fosil tanpa perlu menggunakan nuklir. Jerman berniat phase outnuklir pada 2022, sementara Denmark mencekal nuklir sejak 1980-an. Keduanya menggunakan proyek ambisius, yaitu hanya menggunakan panel surya dan turbin angin untuk memenuhi lebih dari 80% kebutuhan listriknya.
Benarkah klaim itu?
SALAH. TOTAL FRAUD.
Jerman dan Denmark tetap melepaskan emisi CO2 tinggi ke lingkungan. Bahkan bisa lebih tinggi daripada negara-negara yang tidak seambisius mereka, seperti Inggris Raya dan Prancis, tergantung fluktuasi angin dan sinar matahari. Pasalnya, mereka tetap butuh pada energi fosil, semacam batubara dan gas alam, sebagai backup bagi "energi terbarukan" yang tidak reliabel dan tidak berguna dalam skala jaringan listrik.
Buktinya? Perhatikan tiga gambar berikut.
Secara berturut-turut, gambar di atas adalah emisi ekivalen CO2 yang dihasilkan oleh Swedia, Jerman dan Denmark per kWh listrik yang diproduksi, data 6 Maret 2017 pukul 12.46 setara WIB. Jelas sekali Nampak bahwa Swedia melepaskan jauh lebih sedikit CO2 per kWh (74 g) ketimbang Jerman (522 g) dan Denmark (346 g). Dengan kata lain, listrik yang diproduksi Swedia adalah yang paling bersih. Bahkan tiga besar listrik terbersih di Eropa, selain Norwegia dan Prancis.
Apa pasal? Swedia menggunakan energi nuklir dan hidro, kombinasi energi bersih yang klop. Masing-masing menyumbang lebih dari 40% bauran listrik Swedia, dengan turbin angin menyumbang kurang dari 10%. Hanya 1% listrik yang menggunakan energi fosil, itupun sebenarnya berasal dari pengolahan sampah. Energi nuklir dan hidro secara praktis tidak melepaskan CO2 ke lingkungan, sehingga sangat bersih.
Jerman? Meski mereka telah menghabiskan lebih dari USD 1,1 trilyun untuk Energiewende, nyatanya Jerman masih sangat tergantung pada batubara, yang notabene merupakan bentuk energi paling kotor dan polutif. Lebih buruk lagi, setengah dari batubaranya menggunakan lignite, tipe batubara dengan kualitas paling rendah, boros dan kotor. Penutupan terhadap 8 reaktor nuklir Jerman memaksa pemerintah untuk membuka PLTU batubara baru! Menutup energi bersih dan menggantinya dengan energi kotor untuk tujuan “revolusi energi bersih”. Logis?
Kenapa Jerman sampai harus tergantung pada batubara begitu? Karena panel surya dan turbin anginnya tidak berguna. Environmental Progress melaporkan bahwa pada tahun 2016, Jerman menghasilkan listrik dari panel surya lebih rendah 1% (38,3 TWh) ketimbang tahun 2015 (38,7 TWh), walau kapasitas panel surya naik 2,5% (40,3 GWe) dari tahun 2015 (39,3 GWe). Begitu pula, turbin angin Jerman mengalami kenaikan kapasitas terpasang hingga 11% (49,6 GWe) dari tahun 2015 (44,6 GWe), tapi produksi listrik hanya naik 0,8% (79,8 TWh) dari tahun sebelumnya (79,2 TWh). Kenaikan daya tidak dibarengi dengan kenaikan produksi listrik.
Kenapa?
Karena tahun 2016 tidak secerah dan se-berangin seperti tahun 2015!
Bahkan, walaupun kapasitas terpasang panel surya dan turbin anginnya jauh lebih tinggi dari nuklir (12 GWe), bauran listrik dari nuklir mencapai 13%! Sementara turbin angin hanya 12% dan panel surya 5,9%.
Usaha yang menyedihkan. Buang-buang uang dalam jumlah besar tapi tidak juga berhasil menurunkan emisi CO2 dengan berarti.
Denmark? Klaimnya, sih, menggunakan 100% “energi terbarukan”. Nyatanya, Denmark tetap menggunakan backup dari batubara dan gas alam. Karena biar bagaimanapun, angin tidak berembus tiap saat. Ada waktu ketika angin sama sekali tidak berembus. Sialnya kalau ketiadaan angin ini ketika sedang peak demand. Jadi harus bagaimana? Pakai energi fosil.
Turbin angin bukannya tanpa masalah. Kalau bukan karena jaringan listrik Denmark tersambung dengan Jerman, Polandia dan Skandinavia, sudah hancur transmisi listriknya. Power spiking yang disebabkan turbin angin sangat mengganggu kestabilan jaringan listrik, sehingga harus diekspor ke Skandinavia, yang kemudian disimpan dalam bentuk hydro storage. Kalau tidak? Selamat tinggal jaringan listrik. Perangkat elektronik akan rusak semua dan kemudian disusul total blackout.
Karena tersambung dengan Jerman dan Polandia pula lah, listrik dari Denmark tidak bisa dikatakan bersih. Kedua negara itu mengagunakan batubara sebagai energi primernya, khususnya Polandia. Jadi, listrik yang digunakan orang-orang Denmark banyak berasal dari batubara. Sementara, karena tersambung juga ke Swedia, Denmark pun mendapat suplai listrik dari energi nuklir yang mereka cekal!
Bonus lainnya, listrik di Jerman dan Denmark adalah YANG PALING MAHAL DI EROPA. Sekitar USD 40 sen/kWh, atau Rp 5200/kWh. Mahalnya kenapa? Untuk menyubsidi turbin angin dan panel surya yang muahalnya ampun-ampunan, plus untuk mengompensasi penyedia listrik dari batubara dan gas alam yang tidak boleh beroperasi ketika produksi listrik dari turbin angin dan panel surya sedang tinggi-tingginya. Serba repot pengelolaannya. Sudah repot, mahal, tapi tidak juga berhasil menurunkan emisi CO2 sesuai harapan.
Program “energi terbarukan” Jerman dan Denmark cenderung fraud. Program tersebut bukan dilakukan untuk menyelamatkan bumi dari bahaya energi fosil, tapi semata-mata menjalankan agenda kelompok anti-nuklir untuk melenyapkan penggunaan energi nuklir. Tidak lebih. Karena, jika mereka memang serius ingin mencegah perubahan iklim katastropik, pasti mereka akan mendukung nuklir, bukan malah menentangnya.
Jadi, benarkah "energi terbarukan" bisa menggantikan energi fosil sepenuhnya?
Jawabannya adalah MUSTAHIL.
Energi bersih yang bisa menggantikan energi fosil sepenuhnya hanya nuklir. Tidak ada alternatif lain. Hidro dan panas bumi, meski sama baiknya dengan nuklir, tapi tidak bisa diekspansi di semua tempat, terbatas kondisi geografis. Nuklir tidak memiliki batasan itu, bisa digunakan di mana saja.
Kombinasi energi bersih yang tepat untuk menggantikan energi fosil adalah nuklir, hidro dan panas bumi. Di tempat tanpa potensi hidro dan panas bumi, opsi terbaik adalah nuklir. Bukan panel surya, bukan pula turbin angin. Prancis tidak pernah berambisi mengurangi emisi CO2 ketika beralih ke nuklir pada dekade 1970-an. Mereka beralih ke nuklir untuk menjaga keamanan energi. Namun, peralihan ke nuklir ternyata sukses membawa Prancis menjadi negara dengan emisi CO2 salah satu yang terendah di planet ini. Tanpa banyak publikasi, tanpa banyak ba bi bu. Begitu pula Swedia.
Belajar dari kegagalan Jerman dan Denmark, panel surya dan turbin angin tidak berguna untuk digunakan dalam skala besar. Penggunaannya secara besar-besaran dalam jaringan listrik hanya akan membawa masalah baru bagi penyediaan listrik dunia alih-alih menyelesaikan masalah.
Referensi
0 komentar:
Posting Komentar