Sabtu, 03 Juni 2017

Delusi Listrik Kedondong dan Riset Salah Arah


Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T.

(Alumni Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada, asisten penelitan TAHRMoPS bidang proteksi radiasi)


Kasus yang menimpa anak muda berlagak liberal ala Utan Kayu (tidak usah saya sebut namanya, biar tidak tambah terkenal) kembali mengundang komparasi. Dengan siapa? Naufal Raziq, siswa MTSn dari Aceh Timur yang diklaim menemukan listrik dari pohon kedondong.  Dianggapnya bahwa Naufal lebih berprestasi daripada anak muda liberal itu dan lebih layak menjadi perhatian istana.

Komparasi ini lagi-lagi bikin saya prihatin. Hype yang tampak di tengah warganet mengesankan seolah-olah penemuan Naufal ini benar-benar sebuah breakthrough hebat serta layak mendapat publikasi jor-joran.

Saya selalu skeptis dengan penemuan semodel ini. Persoalannya, waktu saya mengungkapkan skeptisme ini, warganet yang rerata awam mengenai rekayasa teknologi energi langsung mencak-mencak dan ad hominem, sampai menanyakan apa yang sudah saya perbuat dibanding Naufal. Seolah-olah mereka paham saja seperti apa dunia rekayasa energi bekerja. Awam boleh, sok bijak jangan.

Kalau ditanya seperti itu, sebenarnya tidak terlalu sulit saya jawab. Saya sedang berupaya mendesain Molten Chloride Fast Reactor (MCFR), reaktor nuklir generasi IV yang merupakan subtipe dari Molten Salt Reactor (MSR) yang menggunakan garam klorida alih-alih fluorida. Tapi masalahnya bukan di sini. Sekalipun saya tidak sedang merancang apa-apa, kritik dan skeptisme yang saya lontarkan tetap berlaku. Karena kritik dalam dunia rekayasa itu adalah sangat wajar dan harus dilakukan, selama didukung alasan-alasan yang kuat.

Tidak, saya tidak sedang berniat meruntuhkan semangat riset DIk Naufal. Hanya saja, yang perlu diperhatikan, bagian dari sains adalah mengakui bahwa sesuatu tidak akan pernah bisa bekerja. Di dunia nuklir, misalnya, merancang “mobil nuklir”. Itu ide konyol yang tidak akan pernah bisa terwujud. Termasuk soal “listrik kedondong”. Kalau sebatas untuk karya ilmiah tingkat SMP sederajat, ya okelah. Tidak ada masalah. Mirip kasusnya dengan kulit pisang sebagai pengganti baterai darurat. Persoalannya, apa semua karya ilmiah ini layak untuk dikembangkan?

Tentu saja tidak.

Dik Naufal semata-mata mengulang percobaan Sel Volta yang sering menjadi bahan praktikum anak sekolahan. Bedanya, kalau selama ini orang menggunakan jeruk nipis atau kentang, yang digunakan Dik Naufal adalah pohon kedondong. Kenapa kedondong? Dugaan saya karena pohonnya terkategori asam, yang mana memenuhi syarat untuk sel Volta.

Persoalannya, sel Volta tidak pernah dilirik untuk dijadikan pembangkit listrik sejak ratusan tahun yang lalu untuk alasan yang jelas: It’s simply not good enough.

Potensi listrik dalam pepohonan untuk dimanfaatkan dalam sel Volta itu rendah sekali. Paling banter dayanya skala miliwatt (mW) alias seperseribu watt. Keasaman pohon yang lebih tinggi berpotensi meningkatkan daya, tapi tentu saja tidak cukup signifikan untuk membuat perbedaan berarti.

Ya tentu saja, kalau bukan orang yang berkutat di bidang energi, jarang yang akan skeptis dengan so-called “penemuan” ini. Langsung dibikin viral seolah-olah Nikola Tesla baru telah lahir. Giliran diluruskan, langsung balik marah-marah. Duh...

Sepertinya memang harus disumpal pakai matematika.

Coba ambil studi kasus, berapa pohon kedondong yang dibutuhkan untuk menerangi sebuah rumah selama sehari? Asumsikan saja rumah itu mengonsumsi 1 kWh listrik per hari.

Mari kita lihat hasil penelitian BPPT yang dimuat di laman Tempo, 29 Mei 2017. Menurut peneliti BPPT, enam buah pohon kedondong di tempat penelitian Pertamina EP hanya bisa menyalakan 1 lampu LED 5 Watt selama 20 menit, dengan perkiraan daya sebesar 1,7 Watt per jam. Terbatasnya waktu pembangkitan listrik disebabkan elektrodanya yang makin lama makin aus dan mesti diganti.

Katakanlah elektrodanya bisa terus menerus diganti (walau realitanya ini tidak mungkin dilakukan dalam tataran riil), maka potensi listriknya per 6 pohon adalah 1,7 Watt, atau 0,283 Watt/pohon. Realitanya, kemampuan pembangkitan daya ini sangat tergantung kondisi keasaman pohon yang bervariasi selama setahun. Tapi di sini anggap saja keasamannya konstan.

Untuk menghasilkan listrik 1 kWh dalam 24 jam, berarti dibutuhkan pohon kedondong sebanyak ((1/24)*1000)/0,283 = ± 147 pohon.

Kalau satu pohon butuh lahan sebesar 1 m2, maka kebutuhan lahannya sebesar ± 147 m2. Kalau satu desa ada 40 rumah, berarti butuh lahan kira-kira setengah hektar, khusus untuk pohon kedondong, yang elektrodanya harus diganti 20 menit sekali. Hore!

Tentu saja tidak ada yang mau repot-repot mengganti elektroda tiap 20 menit sekali. Bagaimana kalau penggantiannya seminggu sekali? Berarti lebih banyak pohon yang dibutuhkan.

Penggantian elektroda seminggu sekali, berarti jumlah pohon yang dibutuhkan naik dalam faktor (60*24*7)/20 = 504 kali lipat. Artinya, untuk 1 rumah, butuh pohon kedondong sebanyak (147*504) = 74.118 pohon, memakan lahan seluas 7,4 hektar per rumah. Untuk desa dengan 40 rumah, butuh 2,964 juta pohon kedondong dan memakan lahan 296,5 hektar. Tiap minggu, hampir 3 juta pohon itu harus diganti elektrodanya dengan yang baru. Yeay! Lapangan pekerjaan baru buat mengganti elektroda yang aus!

Luas lahannya sendiri masih underestimate. Mana ada kebun pohon kedondong yang tumbuh terus menerus cuma berjarak 1 meter antar pohon? Bisa saja lahan yang dibutuhkan 2-3 kali lebih luas. Yuhuuu!

Saya tidak yakin riset lebih lanjut bisa menaikkan daya secara signifikan. Kalaupun misalnya secara ajaib berhasil dinaikkan jadi 10 kali lipat, 3 W/pohon, maka untuk menghasilkan 1 kWh per hari, akan dibutuhkan 14 pohon per rumah untuk penggantian elektroda 20 menit sekali dan 7000 pohon untuk penggantian elektroda seminggu sekali. Per desa, berarti butuh 556 pohon untuk penggantian elektroda 20 menit sekali dan 280 ribu pohon untuk penggantian elektroda seminggu sekali.

Sekalian saja bikin hutan kedondong, kalau begini ceritanya. Lumayan, kan, buah kedondongnya bisa dijual dan menambah pemasukan desa. Siapa tahu dari pemasukan desa ini bisa membangun pembangkit listrik mikro hidro tanpa perlu menunggu dana bantuan desa segala.

Jadi, apa kesimpulannya?

Listrik kedondong itu tidak berguna dalam skala pemakaian wajar.

Kalau cuma untuk praktikum ya bolehlah. Tapi untuk menerangi rumah? Lebih baik bangun pembangkit listrik mikro hidro saja. Lebih jelas berguna. Saya bukan penggemar panel surya, tapi kalau harus memilih antara listrik kedondong atau panel surya, jelas saya memilih panel surya.

Jadi, beginilah masalah di masyarakat dan pemerintah terkait riset seperti ini. Masyarakat terlalu gampang terpukau tapi tidak mau diluruskan oleh yang lebih paham. Mudah terjebak delusi akan suatu “penemuan baru”, padahal riilnya tidak bisa diwujudkan sebagaimana harapan.

Sementara, pemerintah malah meneruskan saja pengembangan yang tidak berguna dalam tataran riil seperti ini. Pemerintah itu seperti kasus gajah di dalam ruangan, ada solusi yang lebih jelas dan riil untuk mengatasi masalah energi (misalnya nuklir) tapi malah fokus pada hal-hal remeh yang boro-boro bisa membantu. Risetnya salah arah.

Semangat riset Dik Naufal bagus, tinggal diluruskan saja arahnya. Sebab kalau salah arah, ya wassalam. Tidak akan menghasilkan apa-apa. Sebaiknya matikan saja riset soal “sumber listrik tidak berguna” yang bertujuan untuk keperluan listrik rumahan ini dan alihkan riset Dik Naufal ke moda energi yang lebih berguna, misalnya hidro atau energi surya taraf kecil. Daripada buang-buang waktu, tenaga dan dana untuk sesuatu yang tidak realistis. 

Atau kalau mau dilanjutkan, arahnya diubah: Jangan ditujukan untuk menghasilkan listrik rumahan, tapi arahkan untuk membangkitkan listrik demi keperluan teknologi sensor yang butuh daya kecil. Orang-orang Teknik Fisika lebih paham soal ini. Kalau arahnya benar, insya Allah potensi daya gunanya akan jauh lebih luas daripada delusi listrik untuk rumahan dari pohon kedondong.

Intinya, jangan salah arah.

 “Part of science is acknowledging that something is never going to work.”

“What’s good about science is that it’s true, whether you believe it or not.”



0 komentar:

Posting Komentar