Sabtu, 16 September 2017

Kenapa Harus Thorium?

Oleh: R. Andhika Putra Dwijayanto, S.T.

Baru-baru ini (5-6 tahun belakangan), thorium menjadi hype baru dalam kebangkitan energi nuklir. Dalam dunia di mana apapun yang berbau nuklir secara konstan dicitraburukkan oleh politik anti-sains, kesalahpahaman total terhadap konsep risiko dan ketakutan irasional terhadap radiasi level rendah, thorium seolah memberi udara segar bagi pelaku industri nuklir. Banyak start-up nuklir dan advokat nuklir mempromosikan thorium sebagai “era nuklir baru”.

Pada dasarnya, nuklir manapun lebih baik daripada bukan nuklir. Mau itu uranium maupun thorium. Apalagi kalau dibandingkan dengan, katakanlah, batubara dan gas alam. Walau demikian, thorium memang memiliki beberapa keunggulan ketimbang uranium. Keunggulan-keunggulan ini patut diakui cukup membuat thorium tampak lebih menjanjikan.

1. Thorium itu melimpah
Secara praktis, uranium itu tidak langka. “Red Book” keluaran OECD-NEA memproyeksikan bahwa cadangan uranium terbukti di dunia sekitar 5,7 juta ton. Hampir sepertiganya dapat ditemukan di Australia, dengan cadangan substansial lain ada di Kazakhstan, Kanada, Rusia, Namibia dan beberapa negara lain. Jadi sulit untuk mengatakan bahwa akan terjadi kelangkaan uranium, utamanya menilik fakta bahwa konsumsi uranium dalam reaktor nuklir itu sedikit dibandingkan penggunaan energi fosil.

Menggunakan thorium, energi nuklir akan semakin jauh dari yang namanya ‘kelangkaan’. Thorium terdapat di kerak bumi kira-kira 3-4 kali lebih banyak daripada uranium (10 ppm berbanding 2,5 ppm). Pada tahun 2015, sekitar 6,3 juta ton thorium sudah terbukti cadangannya. Ini saja sudah lebih berlimpah dari cadangan uranium saat ini. Mengingat sekarang thorium belum punya kegunaan khusus yang benar-benar berarti, eksplorasi dan penambangan thorium tambahan belum diperlukan, sehingga cadangan aktual thorium masih belum bisa dipastikan. Pemanfaatan thorium secara komersial di reaktor nuklir akan meningkatkan angka cadangan setidaknya tiga kali angka sekarang.

Estimasi deposit thorium dunia (sumber: OECD-NEA)

Cadangan thorium yang sudah terbukti saat ini saja sudah cukup untuk membangkitkan listrik dua kali lipat konsumsi listrik dunia saat ini untuk lebih dari 1000 tahun, menggunakan reaktor Generasi IV seperti Molten Salt Reactor (MSR).

(aside note: selain di daratan, uranium juga terdapat di laut dengan konsentrasi 3 ppb. Mengingat lautan sangat luas, diperkirakan ada 4,5 milyar ton uranium dalam air laut. Jumlah ini juga terjaga dengan siklus kesetimbangan dari uranium yang ada dalam batuan, sehingga ketika uranium dalam air laut berkurang konsentrasinya, uranium dari batuan laut akan terlepas ke lautan. Thorium tidak terlarut dalam air, jadi tidak bisa ditemukan di lautan. Sehingga, kalau mempertimbangkan mana yang lebih banyak jumlahnya, yang secara praktis bisa ditambang manusia, uranium jelas lebih banyak. Sekarang belum ada penambangan uranium dari air laut secara komersil, tetapi metodenya sudah dikembangkan dan bisa bekerja cukup baik.)

2. Thorium menghasilkan lebih sedikit limbah umur panjang
Salah satu hal yang dipersoalkan dari siklus uranium adalah dihasilkannya limbah berumur panjang, umumnya dikenal dengan nama transuranik. Sesuai namanya, transuranik terdiri dari isotop-isotop unsur dengan nomor atom lebih tinggi dari uranium, seperti neptunium, plutonium, americium, curium dan seterusnya. Sebagian elemen transuranik memiliki waktu paruh panjang, hingga ratusan bahkan ribuan tahun. Dalam satu dan lain hal, karakteristik ini menimbulkan kekhawatiran soal manajemen limbahnya.

Tetapi sebenarnya menangani transuranik tidak sesulit yang dibayangkan. Para insinyur nuklir tahu bagaimana cara mengisolasi dan membuang limbah tersebut tanpa banyak ngoceh. Soal transuranik ini lebih banyak urusan politik ketimbang urusan teknis.

Dengan thorium, isu seperti ini secara praktis tidak ada lagi.

Thorium memiliki nomor massa 232, lebih kecil lima angka dari neptunium-237, unsur transuranik umur panjang pertama. Karena itu, butuh rute yang sangat dari thorium menuju transuranik, dan lebih sulit. Ketika atom thorium menangkap netron, thorium akan bertransmutasi menjadi protaktinium-233 dan kemudian meluruh menjadi uranium-233, bahan bakar fisil yang sangat baik. Sekitar 91% uranium-233 akan berfisi ketika menangkap netron, hanya 9% yang akan bertransmutasi menjadi uranium-234. Isotop terakhir ini akan bertransmutasi menjadi uranium-235, bahan bakar fisil lain yang memiliki peluang fisi 85%. Maka, dapat dipahami dengan mudah kenapa rute dari thorium menjadi transuranik itu sulit sekali. Untuk perbandingan, uranium-238 cuma butuh sekali menangkap netron untuk bertransmutasi menjadi plutonium-239, unsur transuranik.

Perbandingan limbah uranium di LWR dan thorium di MSR (Sumber: Hargraves dan Moir, 2010)
Untuk perbandingan, sebuah reaktor nuklir konvensional berdaya 1 GWe menghasilkan sekitar 300 kg transuranik (termasuk plutonium) tiap tahunnya. Menggunakan thorium, sebuah MSR berdaya sama menghasilkan kurang dari 1 kg transuranik. ‘Isu’ terkait pembuangan limbah transuranik jangka panjang sama skelai bukan sesuatu yang mesti dipedulikan untuk thorium.

3. Thorium dapat dimanfaatkan optimal di spektrum netron termal
Ketika atom uranium-238 menangkap netron, unsur ini akan bertransmutasi menjadi plutonium-239, sebuah bahan bakar fisil. Hanya saja, plutonium-239 tidak sebaik uranium-235 dalam spektrum netron termal. Plutonium-239 tidak bisa menghasilkan netron dalam jumlah cukup untuk bisa self-sustain dalam spektrum termal, mengingat tampang lintang tangkapan plutonium-239 di spektrum termal cukup tinggi. Itulah kenapa reaktor nuklir konvensional tidak bisa membiakkan bahan bakarnya sendiri dalam jumlah memadai, tetap perlu bahan bakar tambahan.

Plutonium lebih baik digunakan dalam reaktor cepat. Hanya saja, reaktor cepat memiliki beberapa kendala material. Ketahanan materialnya lebih rendah daripada reaktor termal, karena hantaman konstan dari netron energi tinggi. Kendala ini berpotensi menurunkan faktor kapasitas dari reaktor cepat dibandingkan reaktor termal. Sebagai tambahan, beberapa karakteristik keselamatan reaktor cepat agak-agak sedikit kurang meyakinkan ketimbang reaktor termal, meski tidak selalu begitu. Reaktor cepat yang terkendala masalah ini membutuhkan sistem keselamatan yang lebih kompleks dan lebih mahal untuk dibangun. Karena itu, agak bisa dipahami kenapa reaktor termal lebih disukai daripada reaktor cepat, walau tentu saja para insinyur nuklir memiliki bias teknologi masing-masing.

Thorium adalah satu-satunya material fertil yang bisa digunakan secara optimal di spektrum netron termal. Thorium bertransmutasi menjadi uranium-233, yang memiliki performa lebih baik daripada uranium-235 dan plutonium-239 sekaligus. Tampang lintang tangkapan netronnya rendah, sehingga uranium-233 bisa menghasilkan netron yang cukup untuk self-sustain, tidak butuh asupan bahan bakar fisil eksternal. Karakteristik ini menjamin thorium sangat sustainabel tanpa terkendala masalah keselamatan reaktor, kesulitan dalam handling dan biaya lebih tinggi.

(aside note: tidak semua reaktor cepat memiliki masalah serupa. Subtipe MSR yang beroperasi di spektrum cepat tidak memiliki masalah keselamatan berarti, walau mungkin untuk kendala material memang agak sedikit menyulitkan.)

4. Thorium lebih resisten proliferasi
Pemanfaatan uranium dalam reaktor nuklir menghasilkan plutonium, bahan bakar fisil yang berguna tapi seringkali dianggap sebagai “ciptaan setan”. Stereotip ini muncul karena fakta bahwa plutonium pernah dipakai dalam senjata nuklir untuk meluluhlantakkan Nagasaki pada tahun 1945. Walau sebenarnya plutonium pada bahan bakar bekas tidak cukup murni untuk keperluan senjata nuklir, kebanyakan orang masih menganggapnya sebagai masalah proliferasi, bahkan bagi orang-orang yang bekerja di bidang nuklir sekalipun. Jadi, diterapkan safeguard terhadap plutonium yang mempersulit persoalan secara tidak perlu.

Thorium tidak memiliki risiko proliferasi terlalu besar. Seperti disebutkan sebelumnya, thorium menghasilkan sangat sedikit plutonium dengan kemurnian luar biasa rendah. Tidak ada dan tidak akan pernah ada ceritanya thorium bisa digunakan untuk memproduksi plutonium untuk keperluan senjata nuklir.

Bagaimana dengan uranium-233? Sebenarnya ini merupakan bahan senjata nuklir yang bagus. Barangkali lebih bagus dari uranium-235. Tapi masalahnya, handling-nya lebih sulit, bahkan lebih sulit daripada plutonium sekalipun. Produksi uranium-233 seringkali didampingi produksi uranium-232 dalam jumlah kecil. Uranium-232 ini akan meluruh menjadi thallium-208, pemancar gamma kuat 2,6 MeV. Kontaminasi 50 ppm uranium-232 meniscayakan perakitan senjata nuklir jauh lebih sulit dan mahal ketimbang menggunakan metode konvensional. Radiasi gamma dari thallium-208 juga cukup untuk merusak perangkat elektronik dalam senjata nuklir, membuatnya tidak bisa digunakan.

Karenanya, thorium agak-agak tidak menarik untuk manufaktur senjata nuklir. Main logika saja, kalau ada cara yang lebih mudah dan murah, yakni menggunakan pengayaan uranium atau reaktor produksi plutonium, kenapa harus repot-repot pakai thorium?

5. Thorium lebih ramah lingkungan
Karena kebutuhan uranium tidak begitu besar, penambangannya pun jauh lebih selamat daripada penambangan elemen lain seperti, katakanlah, batubara. Kebutuhan uranium puluhan ribu kali lebih sedikit daripada batubara. Penambangan batubara sendiri cukup sukses membuat lanskap permukaan bumi yang dijadikan tambang jadi seperti bulan (baca: rusak). Karena itu, dampak lingkungan dari penambangan uranium sangat kecil ketimbang penambangan batubara.

Thorium bisa lebih ramah lagi pada lingkungan. Thorium banyak terdapat pada pasir monasit dan diekstrak sebagai byproduct. Penambangannya lebih sering dilakukan pada tambang terbuka, sehingga tidak butuh ventilasi khusus. Kebutuhan bahan bakarnya sedikit lebih rendah dari uranium, sehingga penambangan yang diperlukan juga semakin sedikit.

Berdasarkan keunggulan-keunggulan ini, tanpa berniat menihilkan peran uranium, cukup adil untuk mengatakan bahwa thorium merupakan pilihan menarik untuk era kebangkitan energi nuklir.

0 komentar:

Posting Komentar