Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (nuclear engineer)
Molten Salt Reactor (MSR) adalah teknologi lama. MSR merupakan reaktor nuklir yang menggunakan bahan bakar garam fluorida cair dan moderator grafit. Teknologi ini berasal dari Oak Ridge National Laboratory (ORNL) pada dekade 1960-an, waktu era Perang Dingin. Alvin Weinberg, direktur ORNL kala itu, mengajukan MSR sebagai reaktor untuk keperluan sipil. Keinginan Weinberg tidak terwujud kala itu dan programnya terhenti pada tahun 1970-an, tapi mimpi mewujudkannya muncul kembali pada abad 21.
Biarpun MSR merupakan teknologi lama, tetapi desain dan fitur unik yang menyertainya membuat MSR menjadi pilihan menarik untuk program reaktor nuklir Generasi IV. MSR menawarkan banyak keunggulan dibandingkan reaktor nuklir konvensional (Light Water Reactor/LWR) yang umumnya dipakai saat ini.
Berikut adalah keunggulan-keunggulan MSR.
1. MSR itu sustainabel
Sebagai reaktor nuklir yang menggunakan bahan bakar cair, MSR lebih superior dalam urusan pemanfaatan bahan bakar ketimbang reaktor berbahan bakar padat. Kenapa?
Pertama, MSR tidak butuh fabrikasi dan kelongsong bahan bakar, yang artinya nilai ekonomi netron lebih baik. Apa maksudnya? Netron yang diproduksi dalam reaktor nuklir termanfaatkan secara lebih optimal. Lebih banyak netron yang digunakan bahan bakar untuk berfisi daripada yang terserap tidak berguna oleh produk fisi dan struktur kelongsong.
Produk fisi gas mulia seperti xenon-135, yang merupakan penyerap netron kuat, bisa dikeluarkan secara kontinu dari dalam reaktor, menggunakan teknik seperti helium sparging. Ini tidak bisa dilakukan di reaktor berbahan bakar padat, xenon-135 akan terperangkap dalam struktur bahan bakar dan menjadi racun bagi netron.
Xenon-135 sebagai racun netron (sumber: Energy From Thorium) |
Kemampuan pembuangan produk fisi ketika reaktor beroperasi ini yang menjadikan nilai ekonomi netron MSR lebih baik daripada LWR. Hasilnya, pemanfaatan bahan bakar lebih baik, sehingga lebih sedikit bahan bakar yang dikonsumsi.
Kedua, karena MSR tidak menggunakan kelongsong bahan bakar, yang kualitasnya terdegradasi seiring waktu karena hantaman konstan dari radiasi netron dan gamma dalam reaktor. Karena itu, bahan bakar MSR dapat dibiarkan berada di dalam reaktor hingga bisa benar-benar termanfaatkan tanpa perlu terkendala masalah ketahanan material. Derajat bakar MSR bisa mencapai lebih dari 90%, sementara LWR hanya 4-5% saja. Dengan kata lain, bahan bakar LWR hanya bisa termanfaatkan sekitar 4-5%, sisanya mesti dikeluarkan dari dalam reaktor sebelum sempat terpakai.
Derajat bakar tinggi dari MSR membuat reaktor ini hanya membutuhkan sekitar 800 kg thorium per GWe-tahun. Untuk perbandingan, LWR konvensional butuh sekitar 200 ton uranium alam per GWe-tahun!
Kalau dimasukkan dalam angka, Indonesia memiliki cadangan thorium terbukti sebesar 130 ribu ton. Angka ini cukup untuk memberdayai 160 GWe MSR selama 1000 tahun. Jadi, MSR memang sangat sustainabel.
2. MSR dapat digunakan untuk kogenerasi
MSR beroperasi pada suhu tinggi (700-800oC). Konsekuensinya, MSR dapat meraih efisiensi termal lebih tinggi dari LWR konvensional. Panas yang dihasilkannya dapat pula dimanfaatkan untuk proses termal industri. Selain untuk desalinasi air, panas dari MSR juga dapat digunakan untuk proses termal yang butuh suhu lebih tinggi, seperti enhanced oil recovery, gasifikasi batubara, distilasi minyak mental, pencairan batubara, sintetis hidrogen maupun sintetis bahan bakar hidrokarbon.
Kogenerasi nuklir (Sumber: IAEA) |
Sintetis hidrogen secara khusus cukup krusial. Selama ini, hidrogen diproduksi menggunakan energi fosil, yakni steam reforming dari gas alam dan byproduct dari pengilangan minyak. Metode seperti ini melepaskan CO2 dalam jumlah besar ke udara. Untuk membangun peradaban ter-dekarbonisasi, butuh sintetis hidrogen yang tidak berasal dari energi fosil.
“Hidrogen bersih” ini bisa disintetis menggunakan radiolisis suhu tinggi menggunakan siklus sulphur-iodin atau elektrolisis suhu tinggi. Kedua proses ini membutuhkan panas bersuhu tinggi, dan MSR bisa menyediakannya. Menggunakan hidrogen untuk produksi bahan bakar sintetis, seperti methanol atau dimetil eter, dapat dilakukan secara bersih dan netral karbon. Begitu pula seandainya ada yang mau menggunakan hydrogen fuel cell.
Panas suhu tinggi MSR sangat esensial untuk menggantikan energi fosil.
3. MSR menghasilkan lebih sedikit limbah
Meski sebenarnya limban nuklir bukan benar-benar sebuah isu, apalagi masalah, ini seringkali membuat penerimaan politis dari energi nuklir agak-agak sedikit problematik. Khususnya kalau sudah berurusan dengan elemen transuranik umur panjang.
MSR tidak perlu mengalami problematika serupa. Kalau menggunakan siklus thorium, MSR menghasilkan elemen transuranik dalam orde 100 kali lebih sedikit daripada LWR. Tiap tahun, LWR berdaya 1 GWe menghasilkan 300 kg transuranik (plutonium dan aktinida minor), sementara MSR berdaya 1 GWe cuma menghasilkan kurang dari 1 kg transuranik. Sekalipun katakanlah MSR menggunakan low-enriched uranium (LEU) untuk startup reaktor (yang mana hampir merupakan sebuah kepastian), transuranik yang dihasilkannya dapat dibiarkan saja di dalam reaktor sampai seluruhnya ‘terbakar’.
Sementara, produk fisi lainnya akan meluruh sampai ke level radioaktivitas alami dalam waktu 300 tahun, sehingga manajemen limbahnya jadi jauh lebih murah dan mudah lagi.
4. MSR jauh lebih selamat
Tingkat keselamatan reaktor nuklir tidak perlu diragukan lagi. Lebih dari 440 reaktor daya nuklir beroperasi di seluruh dunia selama puluhan tahun dengan selamat. Hanya terjadi tiga kecelakaan yang melibatkan reaktor daya nuklir dengan korban jiwa minimal. Tidak ada moda energi yang lebih selamat dari energi nuklir. Padahal sebagian besar reaktor itu LWR.
Sistem keselamatan MSR jauh lebih baik lagi dari LWR.
MSR menggunakan bahan bakar cair, sehingga secara praktis tidak mungkin ada kecelakaan pelelehan bahan bakar. Lha wong bahan bakarnya sudah cair. MSR pun memiliki koefisien reaktivitas suhu dan void bahan bakar negatif, sehingga menjamin operasi reaktor yang stabil. Ketika suhu bahan bakar naik dari suhu operasi standar, bahan bakar akan mengembang dan terdorong keluar dari teras reaktor, mengurangi reaktivitasnya. Suhu yang naik pun akan memicu Efek Doppler, meningkatkan tangkapan thorium sehingga mengurangi reaksi fisi. MSR itu self-regulating.
MSR memiliki kemampuan untuk mengisi bahan bakar ketika reaktor beroperasi, lagi-lagi karena bahan bakarnya yang cair. Kapabilitas ini membuat MSR membutuhkan lebih sedikit reaktivitas berlebih, sehingga mengurangi risiko terjadinya prompt jump.
MSR beroperasi dalam suhu tinggi dengan tekanan ambien, sehingga melenyapkan risiko terjadinya tekanan berlebih. Produk fisi volatil seperti cesium-137 dan iodin-131 terkunci dalam ikatan garam fluorida. Karenanya, produk fisi ini tidak bisa terhambur ke lingkungan ketika terjadi ‘sesuatu yang tidak diharapkan’.
Fitur keselamatan yang simpel tapi sangat menarik dari MSR adalah adanya katup beku (freeze valve) yang diletakkan di bawah teras reaktor. Seandainya, karena satu dan lain hal, reaktor kehilangan suplai daya, garam bahan bakar akan mengalami overheating. Katup beku yang ketika reaktor beroperasi dijaga dalam kondisi padat menggunakan blower pun akan kehilangan pendinginan. Kombinasi keduanya akan melelehkan katup beku dengan sukses, menjatuhkan bahan bakar ke emergency drain tank di mana re-kritikalitas mustahil terjadi. Karena reaktor kosong dari bahan bakar, reaksi fisi pun terhenti dan reaktor mati secara otomatis.
MSR tidak butuh intervensi operator untuk mematikan reaktor. Istilahnya, MSR itu walkaway safe.
5. MSR itu resisten proliferasi
MSR yang menggunakan siklus thorium murni menghasilkan sangat sedikit plutonium. Sebagian besar merupakan plutonium-238, yang sama sekali tidak berguna untuk manufaktur senjata nuklir (tapi sangat berguna untuk keperluan luar angkasa). MSR yang menggunakan LEU untuk startup akan menghasilkan weapon-grade plutonium pada tahun pertama, tapi memisahkan plutonium dari thorium itu sulitnya luar biasa. Nantinya, kualitas plutonium dalam MSR akan berkurang hingga akhirnya tidak berguna untuk digunakan sebagai senjata nuklir.
Tapi bagaimana soal uranium-233 yang dihasilkan dari thorium? Bahan bakar fisil ini sangat baik untuk reaktor nuklir dan bisa digunakan dalam senjata nuklir. Tetapi, produksinya seringkali didampingi dengan uranium-232 yang tidak bisa dipisahkan darinya. Uranium-232 meluruh dengan cepat menjadi thallium-208, pemancar gamma kuat 2,6 MeV. Kontaminasi uranium-232 sebesar 50 ppm cukup untuk membunuh perakit senjata nuklir dalam waktu beberapa jam tanpa menggunakan perisai yang sangat tebal dan penanganan yang sangat sulit. Lebih dari itu, radiasi gamma yang dipancarkan thallium-208 cukup kuat untuk merusak perangkat elektronik dalam senjata nuklir. Perawatan senjata nuklir dari uranium-233 jauh lebih sulit dilakukan daripada menggunakan high-enriched uranium (HEU) maupun plutonium.
Bagaimana kalau unsur antaranya, protaktinium-233, dipisahkan dari bahan bakar sebelum terkontaminasi dengan uranium-232? Sangat memungkinkan. Masalahnya, perlu sistem reprosesing kimia tambahan yang relatif mahal dan harus bisa bertahan pada lingkungan yang ‘kejam’ (suhu tinggi, korosif, dsb). Sementara reprosesing plutonium tidak sesulit itu.
Kalau ada negara yang mau bikin senjata nuklir, sejujurnya, menggunakan pengayaan uranium dan reaktor khusus produksi plutonium itu jauh lebih gampang daripada menyimpangkan MSR. Tidak mustahil, memang, tapi kenapa harus repot-repot menggunakan MSR kalau ada cara yang lebih gampang?
6. MSR lebih murah dari batubara
Karena sifat-sifat melekat dari MSR, reaktor ini membutuhkan material dan sistem keselamatan jauh lebih sedikit daripada LWR. Soal material dan keselamatan ini sering jadi masalah yang membuat biaya modal LWR lebih mahal daripada pembangkit listrik energi fosil. Selain itu, MSR bisa dibangun secara massal seperti industri pesawat terbang, mengurangi waktu dan kemudian biaya untuk membangunnya. Thorium, bahan bakar utama MSR, melimpah dan murah. Kebutuhan bahan bakar MSR yang sangat sedikit membuat biaya bahan bakarnya sama sekali tidak penting. Bahkan mau dihilangkan dalam perhitungan biaya pokok pembangkitan (BPP) listrik pun tidak akan berpengaruh apa-apa.
Harapannya, MSR bisa dibangun dengan biaya kurang dari USD 2000/kW, sehingga BPP listriknya bisa kurang dari USD 3 sen/kWh. Untuk perbandingan, BPP listrik dari batubara sekitar USD 5 sen/kWh. MSR lebih murah dari batubara. MSR akan sangat membantu menggantikan batubara, yang notabene polutif dan menyebabkan pemanasan global.
Disebabkan MSR itu murah, teknologi reaktor maju ini dapat memenuhi kebutuhan energi dunia tanpa merusak lingkungan maupun memberatkan ekonomi.
Saat ini, belum ada MSR yang dibangun. Diperkirakan, pada medio 2020-an, MSR sudah bisa komersial. Nah, ketika sudah komersial nanti, MSR bisa jadi pilihan bagus untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Yah, itu kalau pemerintahnya punya niat dan keseriusan, dua hal yang hampir mustahil ditemui sejak dulu kala.
0 komentar:
Posting Komentar