Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (nuclear engineer)
Jadi ceritanya saya lagi berselancar di web, lihat-lihat artikel tentang radioisotope thermoelectric generator (RTG). Itu, lho, perangkat yang menghasilkan listrik untuk kebutuhan wahana luar angkasa. Wahana Curiosity yang dikirim ke Mars pun pakai RTG, berbahan bakar plutonium-238 (Pu-238).
Saat berselancar ini, pikiran melayang-layang ke penggunaan RTG untuk keperluan di bumi dan tetiba teringat soal berita yang pernah dimuat beberapa waktu lalu. Soal baterai nuklir. I'm imagining things... bagaimana kalau ada baterai ponsel yang dibuat dari material radioaktif? misalnya dari strontium-90 (Sr-90), yang notabene banyak ditemukan di bahan bakar bekas PLTN.
Sr-90 itu pemancar beta. Artinya, sistem konversi dayanya menggunakan prinsip betavoltaic, Pancaran radiasi beta (elektron) dari Sr-90 dikonversi menggunakan material semikonduktor menjadi arus listrik. Karena radiasinya beta, Sr-90 tidak butuh perisai radiasi tebal. Pakai aluminium saja cukup. Jadi (barangkali) tidak repot-repot amat. Kecuali kalau ternyata emisi radiasi gamma sekunder dari efek Bremsstrahlung terlalu besar, tapi itu diabaikan saja dulu untuk sementara.
Yang jadi soal adalah bagaimana efisiensinya.
Sr-90 memiliki umur paruh 28,8 tahun dan memancarkan radiasi beta dengan energi 546 keV. Selama 28,8 tahun tersebut, tiap mol Sr-90 akan memancarkan elektron sebanyak Avogadro/2, berarti 3,01E+23 elektron. Per tahunnya, dipancarkan 1,045E+22 elektron, dan per detiknya 3,314E+14 elektron.
Well, sebenarnya peluruhan radioaktif itu eksponensial, tidak linier. Tapi sementara disimplifikasi saja dulu. Dari situ, didapatkan arusnya sebesar (3,314E+14/6,25E+18)*1000 = 0,05 mA.
Perangkat betavoltaic punya efisiensi konversi antara 4-8%. Ya, memang rendah sekali. Anggap saja bisa 6%. Maka, didapatkan daya baterai Sr-90 per mol adalah (546*0,05*6%) = 1,74 Watt/mol.
Kebutuhan daya puncak untuk ponsel zaman sekarang biasanya sekitar 1,5 Watt. Jadi angka di atas kira-kira memadai, lah.
Masalahnya? Satu mol Sr-90 itu massanya 90 gram. Sementara, harga 1 gram Sr-90 itu sekitar USD 14 atau sekitar Rp 189 ribu. Maka, 1 mol Sr-90 harganya USD 1260 atau Rp 17 juta.
Itu belum mempertimbangkan berapa lama ketahanan material betavoltaic-nya plus berapa ketebalan perangkat baterainya. Patut diingat juga, pada tahun ke 28,8, daya baterai sudah turun jadi setengahnya, alias tinggal 0,87 Watt.
Kalau daya tahan baterai diasumsikan cuma sampai setara dengan pemakaian maksimum baterai, 1,5 Watt itu? Artinya baterai cuma boleh beroperasi sampai tinggal (1,5/1,74) = 86,3% kapasitas pembangkitan listrik aslinya, lalu harus diganti. Itu seberapa lama?
Persamaan dasar peluruhan radioaktif adalah sebagai berikut.
Karena Ī» = ln 2/umur paruh, maka t = 6,098 tahun.
Supaya performa ponsel tidak terganggu, baterai Sr-90 cuma bisa digunakan selama 6 tahun lebih sedikit. Setelah itu mesti diganti baterai baru agar ponsel masih bisa digunakan dengan optimal.
Tapi itu kalau memang menggunakan ponselnya sampai menyedot daya maksimum terus menerus, lho, ya. Kalau ponsel yang dipakai punya kebutuhan daya puncak lebih rendah, katakanlah cuma 1 Watt, maka usia pakai baterainya bisa lebih lama. Tapi yang kebutuhan daya maksimumnya 1 Watt itu paling ponsel-ponsel lama, bukan ponsel pintar zaman sekarang.
Tetap saja… Siapa, sih, yang mau beli baterai yang harganya Rp 17 juta cuma untuk ponsel doang? Dengan pemakaian optimal cuma 6 tahun pula?
Kecuali ada konverter betavoltaic yang punya efisiensi lebih dari 50% dan atau harga Sr-90 bisa direduksi jadi USD 1/gram, sepertinya baterai lithium masih belum perlu diganti dengan baterai nuklir.
0 komentar:
Posting Komentar