Kamis, 05 Oktober 2017

Membedakan Tipe-Tipe Senjata Nuklir

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (nuclear engineer)

Berita beberapa waktu lalu terkait "Kelompok Teroris Mau Buat Bom Nuklir" yang dimuat laman Tribun agak menggelitik. Di media sosial beberapa kali tampak postingan-postingan yang mempertanyakan kebenaran berita itu, sebagian lain menertawakannya. Setelah saya baca beritanya, saya menyimpulkan ini lebih soal komunikasi publik yang buruk dan jurnalisme payah. Dengan kata lain, just another day at the office.

Namun, karena publik banyak yang keliru dalam membaca topik itu, sehingga menafsirkan berita itu seolah-olah terkait bom nuklir yang pernah menghancurkan Kota Hiroshima dan Nagasaki, sekiranya perlu diluruskan sedikit soal jenis-jenis senjata nuklir.

Secara singkat, ada dua jenis senjata nuklir, yakni bom nuklir dan bom kotor (dirty bomb). Bom nuklir ada dua sub-jenis, yakni bom fisi dan bom termonuklir/bom hidrogen. Karakteristik antara bom nuklir dan dirty bomb sama sekali berbeda, tapi seringkali disalahpahami satu sama lain.

Bom fisi adalah bom yang ledakannya dihasilkan dari reaksi fisi (pembelahan) nuklir. Atom-atom nuklida berat seperti uranium dan plutonium mengalami reaksi fisi berantai yang diinisiasi hamburan netron sebagai pemicu utama. Bedanya dengan reaktor nuklir, reaksi fisi di bom nuklir tidak terkendali. Jumlah reaksi fisi terus naik secara eksponensial dalam kecepatan sangat tinggi. Dalam waktu singkat, sepersekian detik, energi termal (panas) setara ribuan kiloton TNT pun terlepaskan, disertai hamburan radiasi gamma energetik dan sedikit produk fisi.

Mekanisme peledakan bom nuklir ada dua. Pertama, subcritical assembly, atau disebut juga gun-type. Radioisotop peledak dipisahkan menjadi dua potongan subkritis. Ketika akan diledakkan, salah satu potongan ditembakkan sehingga bergabung dengan potongan lain, membentuk massa kritis. Netron diinisiasi dan kemudian memicu reaksi fisi berantai, menyebabkan ledakan termal. Mekanisme subcritical assembly hanya bisa digunakan pada radioisotop uranium.

Gun-type nuclear weapon (sumber: Atomic Archive)

Kedua, implosion-type. Radioisotop peledak dibungkus menggunakan peledak konvensional. Ketika akan diledakkan, peledak konvensional akan diledakkan ke arah dalam, mengompresi radioisotop hingga mencapai massa kritis. Saat itu, netron diinisiasi dan reaksi fisi berantai pun terpicu, melepaskan energi termal mahadahsyat. Implosion-type didesain untuk radioisotop plutonium, yang tidak bisa digunakan pada subcritical assembly..

Implosion-type nuclear weapon (sumber: Atomic Archive)

Bom termonuklir menggunakan gabungan prinsip fisi dan fusi. Bom ini menggunakan dua langkah ledakan, yang pertama adalah ledakan fisi, yang kemudian diikuti ledakan fusi. Konfigurasi seperti ini disebut Konfigurasi Teller-Ulam, diambil dari nama desainernya, Edward Teller dan Stanislaw Ulam.

Pada langkah pertama, prinsipnya sama dengan bom nuklir implosion. Pada langkah kedua, energi termal mahadahsyat memanaskan dan mengompresi lithium deterida di susunan fusi hingga jutaan derajat Celsius. Hamburan netron hasil fisi ditangkap oleh lithium dan menghasilkan tritium. Suhu dan tekanan ekstra tinggi memicu reaksi fusi antara tritium dan deterium, sehingga melepaskan energi termal yang bahkan jauh lebih dahsyat daripada bom nuklir biasa. Daya ledaknya dapat mencapai jutaan kiloton TNT.

Teller-Ulam thermonuclear weapon (sumber: Wikipedia)

Bom nuklir yang pertama-tama dibuat adalah bom fisi. Daya ledaknya terbatas hingga beberapa ratus kiloton TNT. Sekarang, mayoritas senjata nuklir adalah bom termonuklir. Secara teoretis, bom termonuklir bisa mencapai daya ledak mencapai 100 megaton TNT.

Untuk membuat bom nuklir, dibutuhkan radioisotop fisil dengan kemurnian tinggi. Sejauh ini, hanya tiga isotop yang pernah dipakai untuk bom nuklir, yakni uranium-233uranium-235 dan plutonium-239. Dari ketiganya, yang masih digunakan hingga saat ini adalah uranium-235 dan plutonium-239.

Apa maksud dari kemurnian tinggi? Yakni kontaminasi isotop pengotornya sedikit. Untuk uranium-233, syaratnya adalah kontaminasi uranium-232 kurang dari 50 ppm. Uranium-235 mesti diperkaya hingga 90%, sementara plutonium-239 mesti memiliki kontaminasi plutonium-240 kurang dari 7%. Untuk meraih kondisi ketiganya, diperlukan usaha yang sulit dan merepotkan.

Untuk membuat uranium-233 weapon-grade, sejumlah besar thorium (dalam orde ton) mesti dibombardir netron dengan fluks setidaknya 1E+14. Produk antaranya, protaktinium-233, harus diisolasi dengan cepat, yang sulit dilakukan jika thorium itu dalam bentuk bongkahan. Membuat reaktor produksi uranium-233 khusus tidak bisa dilakukan, karena thorium tidak memiliki isotop fisil. Jika batang bakar thorium dipapari netron dalam reaktor nuklir daya, kontaminasi uranium-232 jadi terlalu tinggi. Mensintetis uranium-233 membutuhkan usaha yang sangat sulit dan mahal.

Untuk membuat uranium-235 weapon grade (high enriched uranium/HEU), isotop uranium-235 mesti diperkaya hingga 90%. Untuk mendapatkan 52 kg HEU, yaitu massa kritis dari uranium-235, butuh setidaknya 9,14 ton uranium alam dan 11.822 SWU, dengan asumsi tail assay 0,2%. Teknologi pengayaan uranium bukan sesuatu yang mudah dibuat, kebutuhan komponennya sangat banyak dan mahal. Belum lagi, uranium tidak dijual secara bebas di pasaran.

Untuk membuat plutonium-239 weapon-grade (weapon-grade plutonium/WGP), perlu menggunakan reaktor produksi plutonium khusus atau menggunakan iradiasi netron. Keduanya mahal dan butuh expertise khusus untuk melakukannya. Reaktor produksi plutonium harus diganti bahan bakarnya tiga bulan sekali untuk menghindari kontaminasi plutonium-240 diatas 7%, sehingga tidak bisa dilakukan di reaktor nuklir daya biasa. Plutonium dari bahan bakar bekas PLTN mengandung terlalu banyak kontaminasi plutonium-240, sehingga tidak bisa digunakan untuk bom nuklir. Separasi uranium dari plutonium sudah ada teknologinya secara komersil, tetapi mahal.

Melihat besarnya kebutuhan expertise dan biaya yang diperlukan untuk menghasilkan material yang cukup demi membangun sebuah bom fisi, maka pada hakikatnya mustahil sebuah "kelompok teroris" mampu membuat senjata nuklir yang bisa beroperasi. Sumber daya yang diperlukan untuk menghasilkan materialnya bisa dikatakan tidak akan pernah bisa didapatkan.

Kalaupun seandainya bisa, maka yang paling memungkinkan itu mereka mendapatkan plutonium. Kendala berikutnya adalah merakit senjata nuklir itu. Dr. Luis Alvarez, saintis yang terlibat dalam Manhattan Project, mengatakan bahwa merakit bom nuklir plutonium yang bisa meledak itu "pekerjaan teknis tersulit yang diketahuinya".

Yang bisa membuat bom nuklir, fisi maupun termonuklir, hanya sebuah institusi negara. Bukan kelompok apalagi individu. Hanya negara yang memiliki dana dan SDM memadai untuk membangun senjata nuklir. Hal ini sudah terbukti hingga sekarang; tidak ada satupun yang disebut "kelompok teroris" yang bisa membuat bom nuklir. Yang memiliki bom nuklir hanya Amerika Serikat, Rusia, Inggris Raya, Prancis, Cina, Pakistan, India, Israel dan Korea Utara. Itu saja.

Dengan demikian, jika ada yang berusaha membingkai seolah-olah sebuah "kelompok teroris" akan membuat bom nuklir, maka bisa dipastikan bahwa itu merupakan pembingkaian bodoh. Tidak, sampai kiamat sekalipun tidak ada yang bisa dilakukan so-called "kelompok teroris" untuk membuat bom nuklir yang bisa bekerja.

Yang lebih mungkin dibuat oleh so-called "kelompok teroris" adalah dirty bomb. Senjata nuklir tipe ini sebenarnya hanya peledak biasa. Hanya saja, dalam dirty bomb, disertakan sejumlah radioisotop. Sehingga, ketika bom meledak, radioisotop ini akan terhambur dan mengontaminasi daerah yang terkena dampak ledakan. Karena itu, dirty bomb disebut juga sebagai radiological dispersal device.

Radioisotop yang bisa digunakan untuk dirty bomb tidak banyak dan tidak mudah didapatkan. Kandidat yang paling layak itu misalnya cesium-137kobalt-60 dan iridium-192. Ketiganya biasa digunakan di bidang industri dan medis. Radioisotop selain tiga di atas tidak jadi persoalan, entah karena terlalu mustahil didapatkan atau dampak lingkungannya yang terlalu tidak penting untuk diperhatikan.

Hanya, masalahnya begini. Dalam skala industri dan medis, ketiga radioisotop di atas memiliki radioaktivitas sangat tinggi, hingga ratusan bahkan ribuan Curie. Orang yang berani-beraninya mencuri radioisotop tersebut tanpa proteksi radiasi memadai harus siap-siap untuk segera menemui malaikat maut. Dengan energi gamma berkisar 380 keV hingga 1,33 MeV dan aktivitas ratusan hingga ribuan Curie, jaringan tubuh manusia tidak memiliki kesempatan untuk memulihkan diri setelah hancur dibombardir radiasi pengion tersebut.

So-called "kelompok teroris" kecil kemungkinannya paham soal proteksi radiasi. Usaha mencuri radioisotop di atas paling-paling berujung mereka menemui ajalnya sendiri.

Lebih memungkinkan untuk mencuri radioisotop yang memiliki radioaktivitas jauh lebih kecil dari standar industri dan medis. Jadi, para "teroris" itu bisa selamat dari bertemu malaikat maut. Konsekuensinya, ketika diledakkan, dampak dari paparan radiasinya pun tidak signifikan. Orang-orang yang berada di radius ledakan lebih mungkin terluka atau tewas karena ledakan bomnya, bukan karena paparan radiasinya.

Lantas apa gunanya dirty bomb, kalau begitu? Untuk menimbulkan kepanikan. Pengetahuan masyarakat akan radiasi nuklir itu minim, itupun lebih banyak yang keliru. Masyarakat relatif gampang ditakut-takuti dengan radiasi nuklir. Pokoknya kalau sudah ada kata radiasi dan nuklir, orang langsung panik. Walau sebenarnya, radiasi tersebut sebenarnya tidak berpengaruh apa-apa pada kehidupan mereka!

Secara riil, dirty bomb fungsinya tidak lebih seperti mitos soal hantu terhadap anak kecil. Hanya untuk menakut-nakuti dengan suatu bahaya yang tidak pernah ada. Seandainya, sekali lagi seandainya, dirty bomb benar-benar diledakkan di suatu tempat, maka kemungkinan sangat kuat bahwa radioisotop yang digunakan tidak dalam level radioaktivitas yang berbahaya bagi manusia manapun.

Dari penjelasan sedikit panjang di atas, maka apa yang bisa disimpulkan seandainya ada yang bahas thorium sebagai dirty bomb?

Abaikan saja.

Thorium tidak pernah layak menjadi dirty bomb dan tidak akan pernah layak. Waktu paruhnya lebih panjang daripada usia bumi sendiri. Karena itu, radioaktivitasnya sangat rendah, jutaan kali lebih rendah daripada kobalt-60. Tidak ada alasan logis kenapa orang harus percaya bahwa so-called "teroris" berniat membuat dirty bomb menggunakan isotop thorium, kecuali dengan berasumsi bahwa para "teroris" itu orang-orang yang luar biasa bego.

Maka, dirty bomb adalah jenis senjata nuklir yang lebih mungkin untuk dibuat oleh so-called "kelompok teroris". Walau demikian, dampak fisik akibat paparan radiasi yang terhambur oleh radioisotop terbilang tidak membahayakan manusia, setidaknya dibanding dampak ledakan bomnya sendiri.

Kalau ada yang mesti dipahami, maka so-called "kelompok teroris" bukanlah komplotan yang mampu merekayasa teknologi nuklir untuk meraih kepentingannya. Itupun kalau mereka benar-benar ada secara independen alias bukan piaraan pihak-pihak tertentu, yang mana kemungkinannya sama dengan kemungkinan paparan radiasi 1 mSv/tahun bisa membunuh seseorang.

Dampak dari radiasi level rendah sendiri cuma mengerikan dalam khayalan saja, bukan di tataran realitas. Ketakutan terhadap radiasi level rendah tidak memiliki dasar ilmiah apapun, asumsi soal bahayanya dilandaskan dari pemodelan yang sudah usang, kadaluarsa dan tidak pernah terbukti.

Dan sekali lagi, senjata nuklir dalam artian sebenarnya hanya bisa dibuat oleh negara. Kalau ada berita-berita soal so-called "kelompok teroris" dan dikaitkan dengan "bom nuklir", apalagi dengan thorium, maka yakinlah, itu sama realistisnya dengan mitos soal genderuwo, kuntilanak dan sebangsanya.

0 komentar:

Posting Komentar