Jumat, 09 Maret 2018

Cukup Paham Matematika Untuk Menjadi Pro-Nuklir


Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (nuclear engineer)

Fisika dan rekayasa nuklir adalah ilmu yang kompleks. Tidak banyak orang, khususnya di Indonesia, yang tertarik dengan kompleksitas ilmu nuklir. Kalaupun ada, hampir pasti mereka adalah orang-orang yang siap dicap aneh-aneh. Apalagi ditengah iklim politik Indonesia yang tidak begitu ramah nuklir.

Tapi sebenarnya tidak perlu menjadi pakar nuklir terlebih dahulu untuk menjadi seorang pro-nuklir. Tidak perlu paham seluruh aspek mulai dari interaksi netron dengan materi hingga fault-tree analysis keselamatan reaktor. Tidak usah.

Cukup paham matematika untuk menjadi seorang pro-nuklir.

Para praktisi energi dan analis energi pasti mendukung penerapan energi fosil dan nuklir. Karena mereka tahu perlunya penggunaan energi yang murah dan reliabel. Dan praktisi serta analis yang paham dampak lingkungan energi fosil yang mengerikan pasti mendukung energi nuklir. Karena hanya nuklir saja yang mampu beroperasi secara reliabel dan murah tetapi tetap bersih, bebas emisi gas rumah kaca.

Yang terakhir ini termasuk krusial, karena planet bumi sedang terancam bencana perubahan iklim seandainya penggunaan energi fosil tidak dihentikan.

Sementara, mereka yang kemampuan matematikanya payah pasti akan menentang nuklir habis-habisan dan mendukung "energi terbarukan" mati-matian. Baik itu di kalangan masyarakat maupun penguasanya. Mereka didukung oleh kaum yang paham matematika tetapi tidak jujur dengan dirinya sendiri.

Kenapa bisa mengklaim seperti itu? Karena matematika bisa membuktikan bahwa energi nuklir memang energi terbaik untuk umat manusia. Ini bisa ditinjau dari segi biaya, emisi, reliabilitas, risiko keselamatan dan pemanfaatan lahan.

Dari segi biaya, matematika membuktikan bahwa nuklir adalah moda energi paling murah. Betul, biaya awal nuklir memang terkategori sangat mahal untuk saat ini. Hal tersebut disebabkan regulasi irasional yang lagi-lagi tidak dilandaskan pada matematika dan fisika, melainkan politik. Akibatnya, peraturan keselamatan energi nuklir jadi terlalu ketat untuk mencegah bahaya yang risiko matematisnya sangat kecil.

Tapi bahkan dengan biaya awal sangat tinggi pun, nuklir masih lebih murah dari, katakanlah, energi bayu, energi surya dan energi laut (ombak, pasang surut, OTEC). Merujuk pada estimasi US EIA, biaya awal nuklir berkisar USD 5000/kW. Namun, harga listrik finalnya "hanya" USD 8-10 sen/kWh. Sementara,"energi terbarukan" menghasilkan harga listrik antara USD 11-24 sen/kWh bahkan lebih!

Apa alasannya? Reliabilitas "energi terbarukan" itu rendah. Nuklir beroperasi 3-6x lebih lama dalam setahun ketimbang energi bayu dan energi surya, menghasilkan lebih banyak listrik sehingga beban biaya per kWh lebih rendah.

Vendor PLTN yang lebih terstandardisasi, seperti milik Korea Selatan dan Cina, bisa lebih murah lagi. Biaya awalnya bisa hanya USD 1500-4000/kW, menghasilkan listrik dengan harga berkisar USD 3-7 sen/kWh.

Angka untuk "energi terbarukan" belum memperhitungkan moda penyimpanan energi, yang mutlak dibutuhkan kalau mau menerapkan "energi terbarukan" secara besar-besaran. Harga listriknya dapat naik dua kali lipat.

Dibandingkan energi fosil, energi nuklir memang terkesan lebih mahal. Namun, itu karena energi fosil tidak diberi penalti atas dampak lingkungannya. Padahal, energi fosil adalah driver utama dari perubahan iklim yang dapat memicu bencana iklim. Jika diberi penalti dengan selayaknya, sebagaimana nuklir diberi "penalti" untuk pengelolaan limbahnya, maka harga energi fosil bisa mencapai USD 11-20 sen/kWh. Sangat mahal, tapi adil.

Jelas, secara matematis, nuklir adalah yang paling murah.

(Kalkulator biaya listrik dapat diakses di sini)

Dari segi emisi, nuklir termasuk yang paling rendah. Lifecycle assessment terkait tapak karbon (carbon footprint) yang dikeluarkan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan bahwa emisi spesifik energi nuklir sebesar 12 g CO2 ekivalen/kWh. Semuanya dari sumber tidak langsung, yakni proses konstruksi, siklus bahan bakar dan dekomisioning. Ketika beroperasi, tidak ada emisi gas rumah kaca yang dihasilkan.

"Energi terbarukan" tentu saja memiliki emisi spesifik yang rendah. Energi bayu 12 g CO2 ekivalen/kWh (sama seperti nuklir) dan energi surya sebesar 48 g CO2 ekivalen/kWh. Sementara, dibandingkan energi fosil, jelas saja nuklir jauh lebih bersih. Sebagai perbandingan, emisi spesifik gas alam dalam PLTGU adalah 490 g CO2 ekivalen/kWh. Batubara tipe pulverised coal memiliki emisi spesifik 820 g CO2 ekivalen/kWh, sementara batubara rerata dunia 1,1 kg CO2 ekivalen/kWh. Berkali lipat lebih tinggi, berkontribusi positif dalam menyebabkan perubahan iklim.

Kenapa emisi spesifik nuklir sangat rendah? Karena nuklir tidak melepaskan CO2 ke lingkungan ketika beroperasi. CO2 hanya dilepaskan pada proses pembangunan, siklus bahan bakar dan dekomisioning. Dibandingkan listrik yang dibangkitkan selama usia pakainya, emisi CO2 yang dihasilkan kecil sekali.

Gambar 1. Emisi spesifik berbagai moda energi per kWh (diolah dari IPCC)

Matematika membuktikan bahwa nuklir adalah energi paling bersih.

Biaya listrik dari berbagai moda energi terkait dengan reliabilitas operasional. Jika dalam setahun sebuah pembangkit listrik mampu beroperasi hampir sepanjang waktu, maka listrik yang dibangkitkan akan lebih banyak. Hasilnya, beban biaya listrik per kWh pun turun. Sebaliknya, operasi yang tidak reliabel, putus-putus, beban biaya listrik per kWh otomatis naik. Sebab listrik yang dibangkitkan lebih sedikit.

Energi nuklir merupakan energi paling reliabel. Unit-unit PLTN mampu meraih faktor kapasitas hingga lebih dari 90%Rerata di seluruh dunia, berdasarkan data World Nuclear Association, energi nuklir memiliki faktor kapasitas ~80%. Bahkan beberapa PLTN, seperti PLTN Bruce di Kanada dan PLTN Heysham 2 di Inggris pernah mencapai rekor beroperasi lebih dari 700 hari tanpa shutdown untuk perawatan. Bagi PLTN yang memiliki biaya awal tinggi, reliabilitas operasi ini dapat membantu mengurangi beban biaya listrik.

Sebagai perbandingan, energi batubara dan gas alam biasanya memiliki faktor kapasitas 60%. Beberapa PLTU dan PLTGU baru bisa mencapai faktor kapasitas hingga 80%, secara teoretis. Umumnya tetap berkisar 60-70%. Sementara,"energi terbarukan" memiliki performa paling rendah. Energi bayu memiliki tipikal faktor kapasitas 15-30%, sementara energi surya 10-24%. Sangat rendahnya faktor kapasitas itu menyebabkan "energi terbarukan" berbiaya tinggi, walau biaya modalnya tidak terlampau tinggi.

Rendahnya faktor kapasitas "energi terbarukan" menyebabkan moda energi ini membutuhkan penyimpanan energi atau backup daya. Tidak ada yang mau mati listrik ketika matahari tidak bersinar atau angin tidak berembus, bukan?

Energi nuklir selalu tersedia 24 jam dalam seminggu, tidak peduli berbagai kondisi cuaca, siklus siang malam, bahkan badai sekalipun.

Tabel 1. Faktor kapasitas berbagai moda energi

Matematika kembali membuktikan bahwa nuklir adalah yang paling reliabel.

Risiko keselamatan adalah sebuah keniscayaan dalam industri manapun. Termasuk industri energi. Tidak ada moda energi yang 100% selamat. Selalu ada risiko terhadap kesehatan maupun keselamatan jiwa seseorang dalam operasi pembangkit listrik.

Energi nuklir memiliki stigma buruk terkait keselamatan. Kalangan anti-nuklir sering sekali mencatut kecelakaan Chernobyl dan Fukushima sebagai argumen untuk menggugat keselamatan reaktor nuklir. Sayangnya, argumen ini keliru sejak dari landasan berpikir. Maka pemikiran selanjutnya jadi keliru.

Risiko keselamatan energi dapat dinyatakan dalam jumlah kematian per satuan energi dibangkitkan. Di sini digunakan kematian per TWh energi. Laman Next Big Future mengumpulkan data kematian per TWh energi dari berbagai moda energi yang tersedia. Hasilnya sama sekali bertentangan dengan persepsi publik. Nuklir adalah moda energi paling selamat.

Energi nuklir memilikit ingkat risiko keselamatan sebesar 0,04 kematian per TWh. Itu berbasis data UNSCEAR yang sekarang sudah diperbarui. Jika menggunakan angka diperbarui, maka tingkat kematian per TWh energi nuklir turun menjadi 0,0013 kematian per TWh. Artimya, dibandingkan dengan energi yang dibangkitkan, dampak kematian yang disebabkannya sangat sedikit.

Satu-satunya kecelakaan nuklir yang menyebabkan korban jiwa adalah kecelakaan Chernobyl. Hingga saat ini, korban jiwa yang bisa diatributkan pada kecelakaan Chernobyl berkisar 60 orang, dan kecil kemungkinan akan ada tambahan lagi di masa depan. Terlepas dari segala bombastisasi, kecelakaan Fukushima Daiichi tidak menyebabkan satupun korban jiwa.

Sebagai perbandingan, energi batubara menyebabkan 161 kematian per TWh dan gas alam 4 kematian per TWh. Sementara, "energi terbarukan" seperti energi surya dan energi bayu menyebabkan 0,44 kematian per TWh dan 0,15 kematian per TWh. Masih lebih tinggi dari energi nuklir.

Kontras dengan kepercayaan publik, energi nuklir adalah energi yang memiliki risiko keselamatan paling rendah. Energi nuklir adalah yang paling selamat. Statistik dan matematika telah membuktikannya.

Gambar 2. Kematian per TWh energi dibangkitkan (diolah dari Next Big Future)

George Monbiot, kolumnis The Guardian yang berubah dari anti-nuklir menjadi pro-nuklir pasca kecelakaan Fukushima Daiichi, mengungkapkan, "While nuclear causes calamities when it goes wrong, coal causes calamities when it goes right, and coal goes right a lot more often than nuclear goes wrong." Bahkan "calamities" yang disebabkan nuklir pun sebenarnya criminally overrated. Mayoritas masalah seputar kecelakaan nuklir terjadi bukan karena radiasi nuklir, tapi karena orang-orang panik.

Rapat daya pembangkit menentukan luas lahan yang diperlukan untuk keperluan pembangkitan daya. Idealnya, penggunaan lahan untuk keperluan pembangkitan energi itu sesedikit mungkin. Supaya, lahan kosong lainnya dapat digunakan untuk keperluan lain, misalnya pertanian, konservasi dan sebagainya. Rapat daya pembangkit di sini dinyatakan dalam satuan W/m2.

Energi nuklir memiliki rapat daya pembangkit sangat tinggi. Sebuah PLTN berdaya 1000 MWe hanya membutuhkan lahan sekitar 1 km2. PLTN Generasi IV dicanangkan untuk membutuhkan lahan lebih kecil lagi. Dengan faktor kapasitas sekitar 90%, maka energi nuklir memiliki rapat daya 900 W/m2.

Energi fosil membutuhkan lahan yang tidak berbeda jauh, bahkan mungkin lebih kecil. Namun, faktor kapasitasnya lebih rendah dari nuklir. Sehingga, diestimasikan rapat daya pembangkit energi fosil berkisar 600-700 W/m2.

“Energi  terbarukan” memiliki rapat daya paling rendah. Tidak lain karena sifatnya paling diffuse. Energi surya dan energi bayu, dengan faktor kapasitas 20% dan 30%, memiliki rapat daya hanya 22 W/m2 dan 2,5 W/m2. Imbasnya, untuk menghasilkan listrik setara dengan nuklir, butuh lahan berkali lipat lebih luas. Bayangkan ribuan hektar lahan jadi tidak bisa digunakan karena ‘ditanami’ panel surya dan turbin angin, apa tidak sayang?

Tabel 2. Rapat daya berbagai moda energi

Matematika menunjukkan bahwa nuklir adalah yang paling superior dalam pemanfaatan lahan.

Apa yang bisa disimpulkan?

Matematika membuktikan bahwa nuklir merupakan opsi energi terbaik. Bahkan matematikanya juga tidak rumit-rumit amat. Tidak seperti soal-soal olimpiade matematika nasional atau integral rangkap tiga. Matematika statistik saja sudah memadai.

Nuklir merupakan energi paling murah, dengan asumsi perlakuan yang diberikan adil (selama ini tidak). Nuklir juga bersih, karena emisi spesifiknya sangat rendah. Nukli memiliki reliabilitas tinggi, mampu membangkitkan listrik selama 80-90% waktu. Nuklir juga paling selamat, karena tingkat kematian per TWh energi yang dibangkitkan juga sangat rendah. Demikian pula lahan yang digunakan untuk membangkitkan energinya sangat sedikit. Semuanya jelas sekali, statistik dan matematika menunjukkannya dengan mudah.

Tapi kenapa masyarakat banyak yang keliru dalam memahami energi nuklir, khususnya di Indonesia? Masalahnya orang-orang Indonesia banyak yang sangat malas membaca (makanya hoax banyak bertebaran) dan matematikanya sangat payah (makanya Matematika dan Fisika banyak dibenci anak-anak sekolah). No offence, tapi itu realita.


Bahan Bacaan

  1. David J.C. MacKay. 2009. Sustainable Energy - Without the Hot Air. Cambridge: UIT Cambridge.
  2. R. Andika Putra Dwijayanto. 2016. Let's Run The Numbers: Menguji Klaim Antara Energi Nuklir dan "Energi Terbarukan". Yogyakarta.
  3. Brian Wang. Deaths per TWh by energy source. Pranala akses: https://www.nextbigfuture.com/2011/03/deaths-per-twh-by-energy-source.html
  4. World Nuclear Association. World Nuclear Performance 2017. London: WNA.
  5. Intergovernmental Panel on Climate Change Working Group III. 2014. Mitigation of Climate Change, Annex III: Technology - specific cost and performance parameterCambridge: Cambridge University Press.
  6. US EIA. Electric Monthly Table 6.7.A. Pranala akses: https://www.eia.gov/electricity/monthly/epm_table_grapher.php?t=epmt_6_07_a
  7. US EIA. Electric Monthly Table 6.7.B. Pranala akses: https://www.eia.gov/electricity/monthly/epm_table_grapher.php?t=epmt_6_07_b 

0 komentar:

Posting Komentar