Pertanyaan:
Apakah thorium adalah masa depan tenaga nuklir? Jika ya, mengapa? Jika tidak, mengapa tidak?
Jawaban:
Kemungkinan besar iya.
Begini. Keberlangsungan energi nuklir sangat bergantung pada setidaknya dua hal. Pertama, teknologi reaktor nuklir yang digunakan. Kedua, ketersediaan bahan bakar. Terkait aspek kedua, berarti kita bicara soal uranium dan thorium.
Uranium sebenarnya tidak langka-langka amat. Cadangan uranium terbukti di dunia ini kira-kira 5,7 juta ton (kalau tidak salah ingat, cari saja di OECD-NEA Red Book edisi 2016). Mengasumsikan aspek teknologi reaktor sudah selesai, maka kira-kira cadangan itu cukup untuk menerangi dunia selama beberapa ribu tahun ke depan.
Tapi uranium itu ketersediaannya terkonsentrasi di beberapa lokasi saja. Utamanya di Australia, Kanada dan Kazakhstan, dengan sebagian lain di Niger, Namibia, Uzbekistan dan beberapa negara lain. Kurang terkonsentrasi.
Ketersediaan thorium lebih banyak kira-kira 3–4x di kerak bumi daripada uranium. Ketersediaannya lebih tersebar di berbagai wilayah dunia ketimbang uranium. India dan Cina yang tidak memiliki limpahan uranium, justru memiliki sumber daya thorium dalam jumlah besar. Begitu pula Turki dan Mesir.
Thorium pun menghasilkan elemen transuranik lebih sedikit daripada uranium, yang notabene merupakan elemen yang paling malas diurusi dalam siklus bahan bakar nuklir. Bukan berarti elemen transuranik tidak bisa diatasi, tapi sebagian orang hanya terlalu malas untuk 'membersihkan' elemen transuranik dari limbah bahan bakar nuklir. Thorium, karena nomor massa-nya lebih rendah 7 angka dari unsur transuranik pertama yang bisa dibentuknya, menghasilkan jauh lebih sedikit elemen transuranik, kira-kira 1/300 dari siklus uranium.
Selain itu, thorium adalah satu-satunya bahan bakar yang dapat membiak dalam spektrum netron termal. Uranium tidak bisa membiak dalam netron termal, karena plutonium (yang merupakan hasil transmutasi uranium) itu payah ketika direaksikan di spektrum netron termal. Sehingga, selalu butuh asupan 'gizi' tambahan berupa uranium-235 supaya bisa tetap kritis. Thorium tidak perlu asupan 'gizi' tambahan terus menerus. Cukup beberapa waktu saja, lalu sisanya biar thorium itu sendiri yang menjadi bahan bakar utama bagi si reaktor.
Maka, bagi yang menginginkan cadangan bahan bakar nuklir lebih banyak, distribusi lebih merata, tidak mau direpotkan dengan elemen transuranik dalam pengelolaan limbah serta lebih suka reaktor termal daripada reaktor cepat, maka thorium adalah opsi yang lebih baik daripada uranium.
Mengingat cukup maraknya riset tentang thorium belakangan ini di berbagai negara, ditambah fakta bahwa thorium memang sudah teruji sebagai bahan bakar nuklir di Shippingport dan Indian Point, lalu sekarang dikembangkan masif oleh India, tidak berlebihan jika thorium akan mengambil peran sebagai bahan bakar nuklir di masa depan. Tidak untuk menggantikan uranium, tentu saja, tapi melengkapi uranium yang sudah ada. Mengingat, thorium sendiri tidak bisa digunakan begitu saja di reaktor nuklir tanpa bantuan uranium terlebih dahulu.
Apakah termasuk di Indonesia? Bisa saja. Yang penting jangan ada pembatasan bahwa Indonesia cuma menggunakan reaktor nuklir tipe tertentu atau misalnya hanya mau uranium saja. Jangan sampai berpikiran tertutup seperti itu. Karena secara teknis, potensi bahan bakar nuklir di Indonesia paling besar itu thorium, bukan uranium.
0 komentar:
Posting Komentar