Senin, 09 September 2019

Menyoal Dogma Keselamatan Radiasi


Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (Nuclear Engineer)
Sulit untuk menemukan penelitian dalam negeri tentang efek biologi radiasi terhadap makhluk hidup. Selama ini, aspek keselamatan radiasi selalu dilandaskan pada model obsolete dan bermasalah bernama linear-no-threshold (LNT). Model LNT mengatakan bahwa "kenaikan risiko akibat paparan radiasi nuklir linier dengan naiknya dosis," atau seperti itulah maknanya. Sedikit yang mengkritisi model ini, yang ada justru ditelan mentah-mentah seolah itulah kebenaran atau paling mendekati kebenaran.
Dari model inilah lahir konsep-konsep ganjil seperti "efek stokastik radiasi" dan "tidak ada dosis radiasi yang selamat." Model ini sama sekali mengabaikan fakta bahwa manusia memiliki mekanisme self-repair. Kerusakan pada sel/jaringan/DNA dapat diperbaiki dalam taraf tertentu. Tapi menurut LNT, satu pancaran radiasi memiliki potensi merusak sel dan tidak bisa diperbaiki. Permanently damaged. Jadi, muncullah konsep aneh "tidak ada dosis radiasi yang selamat/there is no safe dose."
Dari sana pula muncul hipotesis soal "efek stokastik," yakni efek tertunda dari paparan radiasi nuklir, yang munculnya entah berapa puluh tahun setelah terpapar. Itupun kalau benar sumbernya dari radiasi nuklir. Tingkat ketidakpastiannya? Sangat tinggi sampai-sampai saya akan terkejut kalau ada orang statistik yang menerimanya.
Lucunya, model usang, obsolete, dan scientifically unproven (surprise!) inilah yang dijadikan landasan "ngilmiah" bagi regulator nuklir untuk menentukan standar keselamatan radiasi. Sehingga, kemudian muncul filosofi as low as reasonably achievable (ALARA), yang meniscayakan penerimaan dosis radiasi diwajibkan serendah mungkin sampai mentok sementok-mentoknya. Walau secara teknis pemanfaatan radiasi (sebagaimana semua teknologi lain) membutuhkan justifikasi untuk penggunaannya, prinsip ALARA memperketat standar justifikasi sehingga dosis radiasi yang diizinkan diterima manusia menjadi terlalu rendah dan irasional. Kenapa harus serendah ini?
Model LNT adalah penghambat utama penerimaan teknologi energi nuklir dan salah satu faktor yang membuat energi nuklir, dalam beberapa kondisi, menjadi mahal. LNT membuat standar keselamatan radiasi jadi terlalu ketat. Standar keselamatan ketat membuat masyarakat berasumsi bahwa radiasi itu berbahaya, sehingga energi nuklir itu berbahaya. Karena dianggap berbahaya, berbagai macam safety measurement harus diterapkan pada PLTN untuk mencegah dampak “mematikan” radiasi ke masyarakat, walau sebenarnya perangkat-perangkat itu tidak benar-benar diperlukan. Hasilnya, sistem keselamatan nuklir overdosis ini membuat harga PLTN di beberapa belahan dunia menjadi sangat mahal.
Kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi membuat standar keselamatan PLTN di seluruh dunia, secara panik, ditingkatkan setinggi-tingginya, walau realitanya tidak ada seorangpun yang mati karena kecelakaan itu. Atau seperti istilah Prof. Bernard L. Cohen, regulatory ratcheting. Hasilnya, pembangunan PLTN terhambat dan harganya melonjak, dengan kontribusi minim bahkan tidak diperlukan terhadap keselamatan nuklir. Semua gara-gara persepsi bodoh bahwa “radiasi itu berbahaya,” yang mana kebodohan itu asal muasalnya dari model LNT.
Herman Muller adalah orang paling bertanggungjawab dalam semua kebodohan ini. Muller adalah orang yang menelurkan konsep LNT yang dipenuhi kecacatan ilmiah. Data bermasalah, menyembunyikan data, studi yang tidak peer-reviewed, eh malah orangnya dijadikan penerima Nobel tahun 1946 atas penelitian bermasalah itu. Bodohnya lagi, model yang dibuat Muller itulah kemudian diadaptasi dan dijadikan landasan proteksi dan keselamatan radiasi!
Manusia hidup dengan dosis latar berbeda-beda. Orang yang tinggal di Bangka Belitung dan Mamuju menerima dosis radiasi lebih tinggi daripada yang tinggal di Sukabumi dan Serpong. Orang yang tinggal di Karachi menerima dosis radiasi lebih rendah daripada yang tinggal di Kerala. Tiap daerah memiliki laju paparan radiasi berbeda-beda. Nyatanya, tidak tampak bahwa penduduk di daerah dengan dosis radiasi lebih tinggi memiliki tingkat masalah kesehatan lebih tinggi daripada daerah dengan dosis radiasi lebih rendah. Jangan sampai saya kemudian mendengar rekomendasi bodoh untuk memindahkan penduduk Mamuju dan Bangka Belitung karena paparan radiasinya.
Sebagai perspektif, penyintas pemboman Hiroshima dan Nagasaki mayoritas menerima dosis lebih tinggi daripada Nilai Batas Dosis (NBD) yang ditetapkan oleh berbagai regulator nuklir dunia. Penelitian terhadap mereka dan keturunannya menunjukkan bahwa tidak ditemukan ada defek genetik pada keturunan penyintas. Efek kanker berlebih hanya tampak signifikan pada dosis radiasi > 1 Gy dan sulit dibedakan dari insidensi kanker normal pada dosis dibawah 0,1 Gy.
Studi lain menunjukkan bahwa radiasi dosis rendah pada penyintas pemboman Hiroshima dan Nagasaki justru memperpanjang usia dan menurunkan mortalitas akibat kanker. Sementara, studi efek radiasi terhadap fungsi kognitif penyintas tidak menemukan korelasi sebab-akibat dari paparan radiasi terhadap demensia.
Kecelakaan PLTN Chernobyl merupakan kecelakaan PLTN paling parah yang mungkin terjadi. Kecelakaan ini menyebabkan terlepasnya sebagian material radioaktif dari dalam teras reaktor ke lingkungan. Apakah terjadi masalah terhadap kesehatan masyarakat? Jawabannya tidak. Selain dari ± 60 orang tewas yang dapat diatribusikan pada dampak kecelakaan PLTN Chernobyl (mungkin lebih rendah), tidak terobservasi adanya kenaikan insidensi mortalitas kanker pada penduduk di daerah paling terkontaminasi sekalipun. Prediksi WHO bahwa mungkin terdapat 4000 kematian susulan akibat dampak radiasi ditolak oleh UNSCEAR.
Mengerikan bahwa dogma ini diterima begitu saja tanpa kritik dan evaluasi. Apakah penerimaan buta ini yang membuat penelitian efek biologi radiasi dalam negeri mandeg? Yang ada hanya spouting nonsense tentang ALARA, efek stokastik, there is no safe dose, dan sebangsanya. Alih-alih divalidasi, malah dijadikan landasan untuk memvalidasi.
Seandainya LNT itu benar, maka bisa saja seseorang di luar sana terkena kanker dan mati karena makan sebuah cireng yang dibeli di tukang gorengan pinggir jalan. Atribusi seperti ini sangat menggelikan bagi kalangan ilmiah.
LNT dan turunannya merupakan salah satu penyebab energi nuklir menjadi sulit diterima dan sulit diekspansi, all for nothing. Tidak ada landasan ilmiah yang meyakinkan, tidak meningkatkan keselamatan publik, tidak membuat masyarakat merasa safe, efek positif yang mungkin didapatkan tidak terjustifikasi dengan efek negatif yang malah timbul.
Jika energi nuklir ingin bisa diterima dengan baik dan biaya keselamatannya tidak berlebihan secara sia-sia, LNT dan turunannya adalah salah satu hal yang paling pertama harus dibasmi. Kalau masih tidak yakin untuk membasminya, buat penelitian serius tentang efek biologi radiasi, kali ini wajib bebas dari bias apapun dan semata-mata hanya demi menemukan kebenaran ilmiah (atau yang mendekatinya). Pertanyaan pertama, adakah yang berani mengabolisi LNT? Pertanyaan kedua, siapa yang mau dan bertanggungjawab melakukan penelitiannya?
Daftar Pustaka:
  1. Alexander Vaiserman et al, 2018. Health Impacts of Low-Dose Ionizing Radiation: Current Scientific Debates and Regulatory Issues. Dose-Response, vol. 16, issue 3, pp. 1-27.
  2. Antone L. Brooks, 2019. The impact of dose rate on the linear no threshold hypothesis. Chemico-Biological Interactions, vol. 301, pp. 68-80.
  3. Bertrand R. Jordan, 2016. The Hiroshima/Nagasaki Survivor Studies: Discrepancies Between Results and General Perception, Genetics, vol. 203, issue 4, pp. 1505-1512.
  4. Bobby R. Scott and Sujeenthar Tharmalingam, 2019. The LNT model for cancer induction is not supported by radiobiological data. Chemico-Biological Interactions, vol. 301, pp. 34-53.
  5. David Costantini and Benny Borremans, 2019. The linear no-threshold model is less realistic than threshold or hormesis-based models: An evolutionary perspective. Chemico-Biological Interactions, vol. 301, pp. 26-33.
  6. Edward J. Calabrese, 2015. On the origins of the linear no-threshold (LNT) dogma by means of untruths, artful dodges and blind faith. Environmental Research, vol. 142, pp. 432-442.
  7. Edward J. Calabrese. 2019. Muller's Nobel Prize data: Getting the dose wrong and its significance. Environmental Research, vol. 176, 108528.
  8. Edward J. Calabrese, 2019. The linear No-Threshold (LNT) dose response model: A comprehensive assessment of its historical and scientific foundations. Chemico-Biological Interactions, vol. 301, pp. 6-25.
  9. Kotaro Ozasa, 2016. Epidemiological research on radiation-induced cancer in atomic bomb survivors. Journal of Radiation Research, vol. 57, issue S1, pp. 112-117.
  10. Max W. Carbon, 2006. Nuclear Power, Villain or Victim? Our Most Misunderstood Source of Energy 2nd Edition. Madison: Pebble Beach Publisher.
  11. Michiko Yamada et al, 2016. Radiation Effects on Cognitive Function Among Atomic Bomb Survivors Exposed at or After Adolescence. The American Journal of Medicine, vol. 129, issue 6, pp. 586-591.
  12. Paolo F. Ricci, Sujeenthar Tharmalingam, 2019. Ionizing radiations epidemiology does not support the LNT model. Chemico-Biological Interactions, vol. 301, pp. 128-140.
  13. Rebecca A. Clewell et al., 2019. Dose-dependence of chemical carcinogenicity: Biological mechanisms for thresholds and implications for risk assessment. Chemico-Biological Interactions, vol. 301, pp. 112-127.
  14. Robert Hargraves, 2012. Thorium Energy Cheaper Than Coal. Hanover: CreateSpace Independent Publishing Platform.
  15. Shizuyo Sutou, 2018. Low-dose radiation from A-bombs elongated lifespan and reduced cancer mortality relative to un-irradiated individuals, Genes and Environment, vol. 40, 26.
  16. Sujeenthar Tharmalingam, 2019. Re-evaluation of the linear no-threshold (LNT) model using new paradigms and modern molecular studies. Chemico-Biological Interactions, vol. 301, pp. 54-67.
  17. Syarbaini et al, 2015. Perkiraan dosis radiasi yang diterima publik di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Jurnal Ekologi Kesehatan, vol. 14, no. 4, pp. 318-333.
  18. United Nations Scientific Committee on the Effects of Atomic Radiation, 2011. Sources and Effects of Ionizing Radiation Volume II Annex D. New York: UNSCEAR.
  19. Wade Allison, 2009. Radiation and Reason: The Impact of Science on a Culture of Fear. York: Wade Allison Publishing.
  20. Wade Allison, 2015. Nuclear Is for Life. York: Wade Allison Publishing.
  21. Zbigniew Jaworowski, 2010. Observations on Chernobyl After 25 Years of Radiophobia. 21st Century Science and Technology, Summer 2010, pp. 30-45.
  22. Zbigniew Jaworowski, 2010. Observations on the Chernobyl Disaster and LNT. Dose-Response, vol. 8, issue 2, pp. 148-171.
  23. Zubaidah Alatas et al, 2013. Respon Sitogenik Penduduk Daerah Radiasi Alam Tinggi Di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia, vol. 13, no. 1, pp. 13-26.

0 komentar:

Posting Komentar