Rabu, 21 Agustus 2019

Kritik Atas Pernyataan Walhi Tentang PLTN


sumber: Generation Atomic
Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (Peneliti Teknologi Keselamatan Reaktor)

Terkait rencana pemanfaatan PLTN di Kalimantan, Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi), LSM lingkungan nasional, mengirimkan pernyataan ke kantor berita Antara. Seperti tipikal LSM lingkungan, Walhi tentu saja mengkritik rencana pemanfaatan PLTN. Kemudian keluarlah klaim-klaim dengan kualitas argumentasi selevel buzzer.

Saya sudah membaca argumen Walhi, jadi anda tidak perlu repot-repot membacanya. Kalau dirangkum, pernyataan mereka berkisar pada masalah harga (PLTN tidak murah), limbah radioaktif, dan keselamatan nuklir. Tidak ada yang baru, Walhi hanya mengulang-ulang buzzword basi tentang energi nuklir. Buzzword yang tidak lebih dari pseudoscience at best, dan hoax at worst.

Pertama, masalah biaya. Walhi mengklaim bahwa banyak biaya dalam PLTN yang tidak diperhitungkan ketika mengklaim PLTN itu murah. Mereka menyebutkan soal biaya pengayaan, penyimpanan limbah, dan dekomisioning reaktor. Apakah benar klaim ini? Bagi mereka yang paham sistem energi nuklir bekerja, klaim ini mungkin hanya akan ditertawakan saja.

Teknologi reaktor nuklir saat ini masih Generasi III. Belum ada PLTN Generasi IV dengan kapabilitas pembiakan bahan bakar (breeding) yang sudah beroperasi. Artinya, semua PLTN masih beroperasi menggunakan bahan bakar uranium pengayaan rendah, kecuali PLTN tipe pressurised heavy water reactor (PHWR) yang menggunakan uranium alam.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin biaya pengayaan bahan bakar tidak dimasukkan dalam perhitungan harga listrik PLTN sementara bahan bakar yang digunakan memang menggunakan uranium diperkaya? Uranium yang sudah melalui proses pengayaan terlebih dahulu? Atau bagaimana mungkin PLTN tipe PHWR dianggap tidak memasukkan biaya pengayaan, sementara memang PLTN ini tidak menggunakan uranium diperkaya?

Logika aneh seperti ini tidak perlu dibahas lebih lanjut. Terlalu mengada-ada.

Terkait biaya penyimpanan limbah maupun dekomisioning, maka patut dipahami bahwa kedua komponen itu sudah dimasukkan by default ke dalam biaya listrik PLTN. Besarannya kira-kira USD 0,1 sen/kWh. Di Prancis, besarannya sekitar USD 0,16 sen/kWh. Kenapa rendah? Karena nilai ini sudah mencukupi. Energi nuklir memiliki EROEI sebesar 75, berkat faktor ketersediaan dan keandalan yang tinggi. Maka dana yang dikumpulkan sepanjang usia pakai PLTN (40-80 tahun), walau dengan biaya limbah dan dekomisioning rendah, cukup untuk membiayai semuanya.

Dirasa terlalu rendah? Naikkan jadi USD 0,5 sen/kWh dan PLTN akan tetap jadi murah. Tidak perlu dinaikkan lebih tinggi karena angka tersebut sudah sangat mencukupi.

Industri nuklir adalah satu-satunya industri energi yang mempertimbangkan pengelolaan limbah dan dekomisioning fasilitas pada biaya pembangkitan listriknya. Hal ini tidak pernah diikuti oleh industri lain seperti industri batubara, industri panel surya, maupun industri turbin angin, walaupun limbah mereka jauh lebih banyak dan lebih sulit dikelola daripada limbah nuklir! Jelas bahwa industri nuklir jauh lebih maju daripada industri-industri tersebut.

Saya sudah bahas masalah biaya PLTN di sini.

Kedua, terkait limbah. Di sini, saya satu suara dengan Michael Shellenberger, pendiri Environmental Progress, LSM lingkungan berbasis di California yang merupakan anomali; Environmental Progress pro-nuklir. Satu suara soal apa? Bahwa limbah nuklir adalah limbah terbaik. Kenapa disebut limbah terbaik? Karena (1) Volumenya kecil, (2) Teknologi pengelolaannya sudah ada dan terbukti, dan (3) Sebagian besar bisa digunakan kembali.

Keunggulan utama energi nuklir adalah kandungan energinya yang sangat tinggi. Tiap kg uranium mengandung energi potensial sebesar 80 juta megajoule. Jutaan kali lebih tinggi daripada batubara (20-35 MJ/kg) dan gas alam (37 MJ/m3). Artinya, per satuan energi dibangkitkan, limbah yang dihasilkan sangat sedikit. Jika seseorang memenuhi kebutuhan energi seumur hidup hanya dengan nuklir, maka limbah nuklir yang dihasilkan hanya setara dengan sekaleng minuman bersoda!

Seandainya, hypothetically, Indonesia memanfaatkan energi nuklir untuk seluruh kebutuhan listrik dengan standar tahun 2050, mengasumsikan teknologi reaktor nuklir Generasi III, pada tahun 2100, volume limbahnya hanya memakan 9% lahan Kawasan Puspiptek Serpong. Dengan volume sekecil itu, apakah sulit mencari lahan seluas Kawasan Puspiptek untuk digali dan digunakan untuk mengubur limbah radioaktif?

Jika dikatakan bahwa limbah radioaktif itu lebih berbahaya daripada limbah biasa, maka ketahuilah bahwa limbah radioaktif hanya berpotensi bahaya selagi kadar radioaktivitasnya di atas radioaktivitas alam, maksimal mungkin 300 ribu tahun. Limbah industri lain? Limbah batubara? Limbah panel surya? Berbahaya selamanya. Let that sink for a moment.

Teknologi pengelolaan limbah pun sudah ada dan cukup memadai. Bahkan alam sudah menunjukkan caranya dengan sangat baik melalui reaktor alam di Oklo, Gabon.

Ratusan juta tahun lalu, terbentuk sebuah reaktor nuklir alami di Oklo, sebagai hasil dari adanya uranium alam dan aliran air. Uranium mengalami reaksi fisi sebagaimana reaktor nuklir pada umumnya, dan tentu saja menghasilkan limbah radioaktif. Jutaan tahun kemudian, reaksi fisi nuklir tersebut berhenti, menyisakan produk fisi dan deret aktinida termasuk elemen transuranium. Tidak terjamah oleh makhluk hidup sama sekali.

Ke mana limbahnya?

Tidak kemana-mana. Limbahnya hanya bergeser kurang lebih tiga meter dari posisi aslinya. Padahal itu di permukaan bumi. Apalagi di bawah tanah, yang lingkungannya jauh lebih statis daripada permukaan.

Siapapun yang mengatakan tidak ada cara untuk mengelola limbah nuklir, maka hakikatnya dia tidak tahu apa-apa.

Limbah nuklir yang sering disebut-sebut itu sebenarnya adalah bahan bakar bekas, yang mana sekalipun disebut bekas, tetapi 95% isinya masih bisa dimanfaatkan di masa depan. Saat ini, Indonesia memang masih menggunakan siklus daur bahan bakar terbuka. Tetapi jika teknologi reaktor pembiak sudah komersial, siklus daur bahan bakar tertutup bisa diaplikasikan dan 95% bahan bakar sisa tersebut bisa dibakar sampai habis. Volume limbah nuklir pun berkurang drastis, dari 30 ton per GW-tahun menjadi 1 ton per GW-tahun. Dengan asumsi sama seperti sebelumnya, Indonesia hanya perlu menyiapkan lahan kurang dari Gedung Istora Senayan untuk menyimpan limbahnya.

Kurang hebat apa lagi limbah nuklir ini?

Pembahasan tentang pengelolaan limbah radioaktif bisa dilihat di sini.

Ketiga, buzzwords soal keselamatan reaktor nuklir. Tidak jauh-jauh dari Chernobyl dan Fukushima, walau faktanya tidak ada negara selain bekas Uni Soviet yang menggunakan reaktor daya tipe RBMK dan kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi tidak membunuh seorangpun manusia dan tidak akan selama 100 tahun ke depan dan seterusnya.

Masih juga bicara soal bencana nuklir, walau tidak jelas bencana seperti apa yang akan terjadi. Apakah terjadi lepasan radioaktif besar? Sampai-sampai lingkungan terkontaminasi material radioaktif seperti di Chernobyl dan Pripyat? Tidak ada skenario kecelakaan yang mungkin bisa menyebabkan kecelakaan setara dengan kecelakaan Chernobyl apalagi lebih parah. Khususnya mengingat mayoritas PLTN di dunia ini adalah light water reactor (LWR) yang memiliki karakteristik fisika reaktor dan sistem sangat berbeda dengan RBMK. Menyamakan PLTN umum dengan RBMK adalah bukti nyata bahwa Walhi tidak punya pemahaman teknis memadai.

Menggunakan buzzwords Chernobyl dan Fukushima tidak menunjukkan Walhi itu peduli akan lingkungan. Penggunaannya justru menunjukkan Walhi tidak cukup peduli lingkungan untuk benar-benar meneliti fakta-fakta di dalamnya.

Pernyataan tentang risiko keselamatan tinggi pun tidak lebih dari retorika tanpa isi. Salah satu penyakit di negeri ini adalah menggunakan terminologi kualitatif pada perkara yang harus dinilai secara kuantitatif. Jika dikatakan risiko keselamatan PLTN tinggi, bagaimana analisisnya? Pakai metode apa? Kategorisasinya bagaimana? Untuk tipe reaktor apa dengan desain teknis seperti apa? Kalau memang serius, sebaiknya buat saja penelitian secara komprehensif, publikasikan di jurnal. Biar kalangan ilmiah bisa menilai apakah argumentasi Walhi memiliki landasan ilmiah atau hanya retorika hampa belaka.

Sebagai perspektif, energi nuklir memiliki tingkat kematian per TWh sebesar 0,04 kematian per TWh. Angka ini paling rendah dibandingkan energi lain seperti batubara (161 kematian per TWh), gas alam (4 kematian per TWh), bahkan energi surya (0,44 kematian per TWh). Dengan segala propaganda busuk yang menimpanya, energi nuklir tetap menjadi yang paling selamat.

Isu keselamatan nuklir sudah saya bahas di sini.

Terkait bencana longsor dan banjir, adalah sebuah kenaifan tingkat tinggi jika masalah itu tidak akan dipertimbangkan. Perumusan Laporan Analisis Keselamatan (LAK) dalam pembangunan PLTN selalu mempertimbangkan potensi kebencanaan yang ada di calon lokasi tapak. Technically speaking, daerah berpotensi longsor kemungkinan besar tidak akan dipilih sebagai lokasi tapak dan potensi banjir selalu bisa dirancang sistem proteksinya. Lagipula, aspek kegempaan lebih berpotensi mengganggu aspek keselamatan reaktor daripada banjir dan longsor, wajar lebih banyak disorot.

Jelas bahwa klaim-klaim Walhi tidak memiliki pondasi kokoh, tidak berdasarkan argumentasi ilmiah. Tidak ada yang tampak selain “jualan ketakutan” sebagaimana kaum anti nuklir pada umumnya. Sama halnya, tidak ada yang baru dari argumen Walhi selain fearmongering kadaluarsa yang diulang-ulang seperti radio rusak.

Masyarakat Indonesia harusnya dicerdaskan dengan argumen-argumen ilmiah berkualitas. Bukan retorika pseudosains bahkan hoax. Sayangnya, kualitas klaim Walhi soal PLTN tidak lebih dari kedua hal tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar