Sabtu, 25 Januari 2020

Klaim Bombastis Harus Dibuktikan Dengan Publikasi Ilmiah Bereputasi


Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (Peneliti Ahli Pertama Teknologi Keselamatan Reaktor Nuklir)

Kalau ada klaim penemuan-penemuan baru di dunia ilmiah, hal pertama yang harus dijaga adalah healthy scepticism. Skeptisisme sehat. Tidak semerta-merta menolaknya mentah-mentah, tapi juga tidak menerimanya begitu saja. Reserve the judgment, setidaknya sampai penemuan tersebut dipublikasikan di jurnal ilmiah.

Ada alasan kenapa klaim penemuan baru itu harus dipublikasikan di jurnal ilmiah. Karena di jurnal lah hasil penelitian tersebut dapat diperiksa dengan ketat, terkait metode, analisis, pengambilan kesimpulan, kebaruan penelitian, dan lain-lain. Istilahnya peer-review. Pemeriksa juga bukan sembarang orang, tapi harus yang pakar di bidang tersebut, yang artinya mereka menguasai kaidah-kaidah ilmiah yang diperlukan. Kalau tidak memenuhi kriteria, peer reviewer bisa menyuruh penulis makalah untuk melakukan revisi, entah mayor atau minor.

Atau bisa juga DITOLAK.

Bahkan makalah yang dipublikasikan di jurnal ilmiah saja masih bisa dikritik. Contoh makalah Mark Jacobson et al tentang 100% renewable yang terbit di jurnal milik Elsevier. Dikritik oleh Ben Heard et al dengan makalah yang dipublikasikan di jurnal laintapi milik Elsevier juga. Cook et al (2013) dikritik oleh Tol (2016) dan kemudian dijawab lagi oleh Cook et al (2016). Makalah Kharecha dan Hansen (2013) dikritik oleh Sovacool et al (2013) dan dijawab lagi oleh Kharecha (2013). Jadi diterima pun bukan berarti pasti bebas kritik.

Peer-review dan publikasi di jurnal ilmiah inilah yang menjamin bahwa dunia penelitian tidak keluar jalur. Metodologi ilmiah terjaga, pun kualitas penelitian dan argumentasi ilmiah.

Semakin tinggi klaimnya, level jurnal yang harus ditembus juga harus semakin tinggi. Biasanya level jurnal ada kategorisasinya, sekarang entah pakai Scopus, Scimago, atau Web of Science. Di Juknis Peneliti LIPI, ada kategorisasi jurnal nasional dan internasional. Jurnal internasional pun ada yang masuk kategori terindeks global bereputasi tinggi, menengah, sedang, atau lainnya. Penilaiannya berbeda-beda. Scimago pun mengkategorisasikan jurnal dalam empat kuartil, dari Q1-Q4. Q1 paling tinggi, Q4 paling rendah.

Di jurnal internasional inilah penelitian-penelitian ilmiah dengan klaim tinggi seharusnya dipublikasikan. Bukan di jurnal nasional apalagi cuma sekadar prosiding. Mohon maaf, saya tidak yakin dengan iklim jurnal nasional saat ini. Apalagi yang kurang dari SINTA-2. Lah SINTA-2 saja masih banyak yang bermasalah, SINTA-1 juga. Padahal SINTA-1 adalah kategorisasi tertinggi di pangkalan data jurnal nasional Kemenristek.

Iklim penelitian dan publikasi nasional masih kurang baik untuk makalah-makalah dengan klaim tinggi. Sudah berapa kali saya baca makalah yang diterbitkan di jurnal nasional dan saya jadi bertanya-tanya bagaimana ceritanya makalah dengan kualitas ambyar seperti itu bisa nyasar di jurnal nasional terakreditasi. Entah yang kategorinya SINTA-3 kebawah seperti apa kontrol kualitasnya. Barangkali sulit, karena tiap-tiap jurnal berebut makalah. Seperti angkot Sukabumi berebut penumpang saking banyaknya. Terbit tepat waktu saja belum tentu bisa. Kontrol kualitas apalagi.

Jadi, klaim penemuan baru, apalagi yang terdengar bombastis, memang sebaiknya dikirim ke jurnal internasional. Kalau bisa jurnal ilmiah internasional bereputasi tinggi, yang punya proses peer review ketat dan acceptance rate rendah. Kalau diterima dan diterbitkan, baru klaim penemuan tersebut bisa dipertimbangkan.

Ingat, DIPERTIMBANGKAN. Bukan dianggap pasti benar. Karena penemuan baru harus diteliti lebih lanjut dan harus bisa direplikasi. Kalau syarat replikasi itu gagal, maka klaim penemuan baru tersebut bisa dianggap JUNK CLAIM. Bahkan makalahnya bisa diretraksi, seperti makalah Andrew Wakefield yang menyatakan bahwa vaksin dapat menyebabkan autisme. The Lancet meretraksi makalah tersebut karena berbagai pelanggaran ilmiah dan manipulasi data oleh Wakefield, serta ketidakbisaan untuk direplikasi oleh peneliti lain.

Kalau di instansi penelitian bereputasi, nyaris tidak ada klaim bombastis. Pasti menggunakan klaim-klaim yang bersifat dugaan. Kecuali kalau sudah masuk systematic review dan meta-analysis. Tapi yang namanya penemuan baru sih masih jauh dari systematic review. Apalagi meta-analysis.

Maka, kalau ada klaim bahwa radiasi nuklir dosis rendah itu bermanfaat bagi kesehatan (hormesis), atau sebaliknya bahwa radiasi dosis rendah itu berbahaya, atau klaim bahwa merokok bermanfaat bagi kesehatan, santai saja. Tunggu sampai terpublikasi di JURNAL ILMIAH INTERNASIONAL BEREPUTASI TINGGI (misalkan Chemico-Biological Interactions atau British Medical Journal) kemudian nantikan kalangan ilmiah membaca, mengomentari, meneliti lebih lanjut, serta berusaha mereplikasi hasil penelitian. Sebelum dipublikasikan, klaim tersebut dapat dikatakan TIDAK PERNAH ADA.

Rumit? Memang. Begitulah dunia ilmiah menjaga kualitasnya. Kalau tidak punya pemahaman dan pengalaman dengan dunia penelitian, tidak disarankan untuk memercayai klaim-klaim bombastis yang tidak pernah dipublikasikan pembuktiannya. Supaya tidak dikata-katai dalam hati oleh mereka yang paham betapa rumitnya dunia penelitian ilmiah.

0 komentar:

Posting Komentar