Sabtu, 25 Juli 2020

Jangan Takut Plutonium!

Plutonium-239 - Wikipedia
Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (Peneliti Teknologi Keselamatan Reaktor)

Bagi beberapa kalangan, salah satu alasan yang digunakan untuk menolak PLTN adalah potensi proliferasi[1]. Khawatir bahan bakar PLTN disalahgunakan menjadi senjata nuklir, entah uranium maupun plutonium. Efek senjata nuklir sendiri kita tahu seperti apa mengerikannya. Akhirnya jadi banyak yang takut pada PLTN.

Padahal, tidak ada ceritanya bahan bakar PLTN bisa jadi bahan baku senjata nuklir. Untuk uranium, penjelasannya lebih mudah dipahami. Mengingat, bahan bakar PLTN menggunakan uranium berpengayaan rendah, hanya 3-5%. Sementara senjata nuklir butuh uranium berpengayaan 90% agar bisa meledak. Perbandingannya jauh sekali. Mustahil uranium PLTN bisa disalahgunakan jadi senjata mematikan.

Yang menjadi ketakutan lebih mungkin plutonium. Tiap tahunnya, PLTN menghasilkan sekitar 300 kg plutonium dalam bahan bakar bekasnya. Sama seperti uranium, plutonium juga bisa menjadi bahan baku senjata nuklir, bahkan lebih poten. Mengingat, untuk membuat satu senjata nuklir, hanya diperlukan 10 kg plutonium, dibandingkan uranium berpengayaan tinggi yang butuh minimal 52 kg. Fat Man yang diledakkan di Nagasaki malah hanya menggunakan 6,2 kg plutonium untuk menghasilkan kerusakan dahsyat!

Karena kekhawatiran proliferasi ini, International Atomic Energy Agency (IAEA) bersikap konservatif dan memasukkan plutonium dari bahan bakar bekas ini sebagai proliferation concern. Sehingga, transportasinya diawasi ketat, jangan sampai jatuh ke tangan yang salah. Walau nyatanya, plutonium dari bahan bakar bekas PLTN ini tidak benar-benar berpotensi disimpangkan sebagaimana yang dikira sebagian kalangan.

Apa pasal? Untuk tahu alasannya, coba kita kenali dulu plutonium itu sendiri.

Plutonium bukan bahan bakar nuklir alami. Unsur ini hanya bisa dibentuk di laboraturium dan reaktor nuklir, melalui reaksi tangkapan netron oleh uranium-238, isotop utama uranium. Reaksinya seperti ini.

Plutonium sendiri punya beberapa isotop, yaitu plutonium-239, plutonium-240, plutonium-241 dan plutonium-242. Isotop utamanya adalah plutonium-239, yang sifatnya mirip dengan uranium-235, yaitu isotop dapat belah dan bisa digunakan sebagai bahan bakar nuklir. Namun, ketika menangkap netron, ada 25% kemungkinan bahwa plutonium-239 tidak berfisi, melainkan berubah menjadi plutonium-240 yang sifatnya tidak dapat belah.

Nah, plutonium bisa dikategorikan berdasarkan kadar plutonium-240 di dalamnya, masing-masing yaitu weapon grade plutonium dan reactor grade plutonium. Weapon grade plutonium memiliki kandungan plutonium-240 rendah, kurang dari 7%. Sementara, reactor grade plutonium kadarnya lebih dari 7%.

Plutonium-240 adalah pengotor dalam senjata nuklir. Isotop ini memiliki intensitas peluruhan spontan yang tinggi. Kalau kadarnya terlalu tinggi, bisa-bisa senjata nuklir meledak sebelum waktunya, dengan kadar ledakan yang jauh lebih kecil dari seharusnya. Istilahnya fizzle. Tidak ada pembuat senjata nuklir yang mau hal ini terjadi. Karena itulah, plutonium dalam senjata nuklir harus memiliki kadar plutonium-240 serendah mungkin, maksimal 7%.

Implikasinya, yang bisa digunakan sebagai senjata nuklir adalah weapon grade plutonium, bukan reactor grade plutonium. Sementara, plutonium yang dihasilkan dalam bahan bakar bekas PLTN adalah reactor grade plutonium, yang dicirikan memiliki kandungan plutonium-240 tinggi, antara 16-30%. Perhatikan tabel berikut.

Tabel 1. Contoh variasi komposisi isotop plutonium dalam bahan bakar bekas berbagai jenis reaktor nuklir. Tampak semuanya memiliki kadar plutonium-240 lebih dari 7% (sumber: WNA)

Bagaimana kalau plutonium-240 dipisahkan saja dari plutonium-239? Jawabannya tidak bisa. Pemisahan isotop yang nomor massanya bersebelahan, secara esensial tidak bisa dilakukan. Kalaupun kelak ada teknologi yang bisa melakukannya, biayanya akan sangat mahal. Proses pengayaan uranium-235 saja biayanya mahal sekali. Ditinjau dari segi manapun, cara ini luar biasa menyulitkan pembuat senjata. Tidak ada yang mau repot-repot melakukannya.

Praktis, sebenarnya plutonium dari bahan bakar bekas PLTN tidak layak dijadikan senjata nuklir. Kalau mau memaksakan diri membuat senjata nuklir pakai reactor grade plutonium, perlu usaha jauh lebih sulit dan mahal, yang itu juga belum tentu berhasil.

Kalau mau membuat senjata nuklir, sebuah negara bisa membangun sebuah reaktor nuklir sederhana menggunakan bahan bakar uranium alam, didesain supaya bisa dimatikan tiga bulan sekali untuk diekstrak plutonium di dalamnya. Cara ini lebih mudah untuk mendapatkan plutonium dengan kemurnian tinggi, dan tentunya jauh lebih murah ketimbang harus membangun PLTN dulu, dengan segala sistemnya yang rumit.

Kita main logika saja, nih, kalau ada cara yang lebih mudah dan murah untuk mendapatkan weapon grade plutonium, kenapa harus repot-repot menggunakan reactor grade plutonium yang jauh lebih rumit dan mahal?

Sebagian orang juga menganggap plutonium itu berbahaya karena beracun. Yah, dalam taraf tertentu memang unsur ini beracun. Tapi tidak lebih beracun daripada sianida dalam kopi Mirna. Ada ribuan unsur yang lebih beracun dan mematikan daripada plutonium. Serius, nih, kalau mau meracuni orang, lebih gampang pakai sianida daripada pakai plutonium. Apalagi mendapatkan plutonium itu ekstra susah karena pengawasannya super ketat.

Tidak, sebaiknya kita jangan takut terhadap plutonium dari bahan bakar PLTN. Jangan pula menjadikan plutonium sebagai beban dari energi nuklir, apalagi memperlakukannya sebagai limbah yang harus disingkirkan jauh-jauh. Sebaliknya, lebih baik kita lihat potensinya untuk menjadi sumber energi bersih dan murah. Kalau sebagian orang menganggap plutonium itu gangguan yang mesti disingkirkan, saya melihat plutonium adalah bahan bakar nuklir potensial!

Ada beberapa cara untuk memanfaatkan potensi plutonium. Yang pertama, digunakan ulang di PLTN. Plutonium dari bahan bakar bekas bisa diproses ulang dan dicampur dengan uranium, untuk kemudian dipakai kembali dalam PLTN dalam bentuk mixed oxide (MOX). Penggunaan MOX di PLTN bisa menghemat penggunaan uranium dalam menyuplai energi bersih dan murah pada masyarakat.

Cara lain adalah menggunakannya di PLTN Generasi IV, yaitu Liquid Metal Fast Breeder Reactor (LMFBR) maupun Molten Salt Reactor (MSR). LMFBR pada dasarnya memang didesain untuk menggunakan plutonium, dengan menggunakan spektrum netron cepat. Tidak hanya itu, LMFBR bisa mengekstrak potensi yang tersisa di bahan bakar bekas PLTN konvensional. Uranium-238 di bahan bakar bekas PLTN akan dikonversi menjadi plutonium, yang kemudian dikonsumsi lagi untuk menghasilkan listrik. Potensi plutonium dan uranium akan sangat termanfaatkan di sini, hampir 100%! Saat ini, sudah ada dua unit LMFBR yang beroperasi di Rusia.

MSR bisa jadi alternatif sama baiknya dengan LMFBR untuk mengonsumsi plutonium. Bedanya, MSR digunakan untuk benar-benar mengeliminasi plutonium dan beralih ke siklus thorium. Hal ini diajukan oleh Kirk Sorensen dari Flibe Energy sebagai Rencana Tiga Fase. Fase Pertama, penggunaan PLTN konvensional, yang kelak menghasilkan plutonium. Fase Kedua, plutonium dari Fase Pertama digunakan sebagai bahan bakar pada MSR yang menggunakan siklus thorium. Dalam MSR, potensi plutonium pun bisa dimanfaatkan sampai hampir 100%.

Sementara plutonium ‘dibakar’, uranium-233 akan terbentuk dari thorium. Uranium-233 ini diakumulasikan untuk kemudian dimanfaatkan dalam Fase Ketiga, untuk menjadi bahan bakar utama MSR selanjutnya. Siklus thorium sendiri mampu menghasilkan cukup energi untuk menerangi seisi planet selama ribuan tahun ke depan! Dengan demikian, plutonium dari bahan bakar bekas ini bisa benar-benar terasa manfaatnya.

Gambar 1. Rencana Tiga Fase, plutonium dimanfaatkan pada Fase Kedua sebagai transisi ke siklus thorium (Sorensen, 2016)

Ada satu alternatif MSR lain yang unik untuk mengonsumsi plutonium, yaitu menggunakan Stable Salt Reactor (SSR). Sistem SSR berbeda dengan MSR umumnya. Bahan bakarnya sama-sama cair, tapi alih-alih disirkulasikan dalam reaktor, SSR menggunakan bahan bakar statis yang dimasukkan dalam kelongsong seperti PLTN konvensional. Spektrum netronnya sama seperti LMFBR, yaitu spektrum cepat, sehingga optimal dalam mengonsumsi plutonium. Perbedaan lainnya? Kalau MSR standar menggunakan garam fluorida, maka SSR menggunakan garam klorida, yaitu NaCl. Tahu ini apa? Yep, garam dapur. Plutonium dan uranium dalam SSR dilarutkan dalam garam dapur cair.

Baik dimanfaatkan dalam PLTN konvensional, LMFBR maupun MSR, plutonium sama berharganya untuk menghasilkan energi secara murah, bersih, aman dan reliabel.

Jadi, baiknya kita ubah persepsi soal plutonium. Jangan takut dengan plutonium, potensi bermanfaatnya jauh mengungguli potensi bahaya yang mungkin ada padanya! Plutonium yang dihasilkan dalam bahan bakar bekas PLTN bukanlah sampah yang harus segera dibuang jauh-jauh. Bukan sumber bencana dunia lewat ledakan senjata nuklir yang mematikan. Sebaliknya, stok plutonium ini adalah bahan bakar yang sangat berharga untuk terus menerangi bumi dengan energi bersih dan murah, baik dimanfaatkan lagi dalam PLTN yang sama maupun dipakai di LMFBR atau MSR.

Tidak pernah ada sejarahnya negara yang memutuskan untuk menggunakan PLTN kemudian berpikir, “Oh, ayo bikin senjata nuklir!” Yang ada, justru cara paling mudah untuk menyingkirkan senjata nuklir adalah dengan membangun PLTN baru dan menjadikan plutonium dalam senjata nuklir sebagai bahan bakarnya.



[1] Penyalahgunaan material nuklir


0 komentar:

Posting Komentar