Bagi beberapa kalangan, salah satu alasan
yang digunakan untuk menolak PLTN adalah potensi proliferasi[1].
Khawatir bahan bakar PLTN disalahgunakan menjadi senjata nuklir, entah uranium
maupun plutonium. Efek senjata nuklir sendiri kita tahu seperti apa
mengerikannya. Akhirnya jadi banyak yang takut pada PLTN.
Padahal, tidak ada ceritanya bahan bakar
PLTN bisa jadi bahan baku senjata nuklir. Untuk uranium, penjelasannya lebih
mudah dipahami. Mengingat, bahan bakar PLTN menggunakan uranium berpengayaan
rendah, hanya 3-5%. Sementara senjata nuklir butuh uranium berpengayaan 90%
agar bisa meledak. Perbandingannya jauh sekali. Mustahil uranium PLTN bisa
disalahgunakan jadi senjata mematikan.
Yang menjadi ketakutan lebih mungkin
plutonium. Tiap tahunnya, PLTN menghasilkan sekitar 300 kg plutonium dalam
bahan bakar bekasnya. Sama seperti uranium, plutonium juga bisa menjadi bahan
baku senjata nuklir, bahkan lebih poten. Mengingat, untuk membuat satu senjata
nuklir, hanya diperlukan 10 kg plutonium, dibandingkan uranium berpengayaan
tinggi yang butuh minimal 52 kg. Fat Man yang diledakkan di Nagasaki malah
hanya menggunakan 6,2 kg plutonium untuk menghasilkan kerusakan dahsyat!
Karena kekhawatiran proliferasi ini,
International Atomic Energy Agency (IAEA) bersikap konservatif dan memasukkan
plutonium dari bahan bakar bekas ini sebagai proliferation concern. Sehingga, transportasinya diawasi ketat,
jangan sampai jatuh ke tangan yang salah. Walau nyatanya, plutonium dari bahan
bakar bekas PLTN ini tidak benar-benar berpotensi disimpangkan sebagaimana yang
dikira sebagian kalangan.
Apa pasal? Untuk tahu alasannya, coba kita
kenali dulu plutonium itu sendiri.
Plutonium bukan bahan bakar nuklir alami.
Unsur ini hanya bisa dibentuk di laboraturium dan reaktor nuklir, melalui
reaksi tangkapan netron oleh uranium-238, isotop utama uranium. Reaksinya
seperti ini.
Plutonium sendiri punya beberapa isotop,
yaitu plutonium-239, plutonium-240, plutonium-241 dan plutonium-242. Isotop
utamanya adalah plutonium-239, yang sifatnya mirip dengan uranium-235, yaitu
isotop dapat belah dan bisa digunakan sebagai bahan bakar nuklir. Namun, ketika
menangkap netron, ada 25% kemungkinan bahwa plutonium-239 tidak berfisi,
melainkan berubah menjadi plutonium-240 yang sifatnya tidak dapat belah.
Nah, plutonium bisa dikategorikan berdasarkan
kadar plutonium-240 di dalamnya, masing-masing yaitu weapon grade plutonium dan reactor
grade plutonium. Weapon grade
plutonium memiliki kandungan plutonium-240 rendah, kurang dari 7%.
Sementara, reactor grade plutonium kadarnya
lebih dari 7%.
Plutonium-240 adalah pengotor dalam senjata
nuklir. Isotop ini memiliki intensitas peluruhan spontan yang tinggi. Kalau
kadarnya terlalu tinggi, bisa-bisa senjata nuklir meledak sebelum waktunya,
dengan kadar ledakan yang jauh lebih kecil dari seharusnya. Istilahnya fizzle. Tidak ada pembuat senjata nuklir
yang mau hal ini terjadi. Karena itulah, plutonium dalam senjata nuklir harus
memiliki kadar plutonium-240 serendah mungkin, maksimal 7%.
Implikasinya, yang bisa digunakan sebagai
senjata nuklir adalah weapon grade
plutonium, bukan reactor grade
plutonium. Sementara, plutonium yang dihasilkan dalam bahan bakar bekas
PLTN adalah reactor grade plutonium,
yang dicirikan memiliki kandungan plutonium-240 tinggi, antara 16-30%.
Perhatikan tabel berikut.
Tabel
1. Contoh variasi komposisi isotop plutonium dalam bahan bakar bekas berbagai
jenis reaktor nuklir. Tampak semuanya memiliki kadar plutonium-240 lebih dari
7% (sumber: WNA)
Bagaimana kalau plutonium-240 dipisahkan
saja dari plutonium-239? Jawabannya tidak bisa. Pemisahan isotop yang nomor
massanya bersebelahan, secara esensial tidak bisa dilakukan. Kalaupun kelak ada
teknologi yang bisa melakukannya, biayanya akan sangat mahal. Proses pengayaan
uranium-235 saja biayanya mahal sekali. Ditinjau dari segi manapun, cara ini
luar biasa menyulitkan pembuat senjata. Tidak ada yang mau repot-repot
melakukannya.
Praktis, sebenarnya plutonium dari bahan
bakar bekas PLTN tidak layak dijadikan senjata nuklir. Kalau mau memaksakan
diri membuat senjata nuklir pakai reactor
grade plutonium, perlu usaha jauh lebih sulit dan mahal, yang itu juga
belum tentu berhasil.
Kalau mau
membuat senjata nuklir, sebuah negara bisa membangun sebuah reaktor nuklir
sederhana menggunakan bahan bakar uranium alam, didesain supaya bisa dimatikan tiga
bulan sekali untuk diekstrak plutonium di dalamnya. Cara ini lebih mudah untuk
mendapatkan plutonium dengan kemurnian tinggi, dan tentunya jauh lebih murah
ketimbang harus membangun PLTN dulu, dengan segala sistemnya yang rumit.
Kita main
logika saja, nih, kalau ada cara yang lebih mudah dan murah untuk mendapatkan weapon grade plutonium, kenapa harus
repot-repot menggunakan reactor grade
plutonium yang jauh lebih rumit dan mahal?
Sebagian orang juga menganggap plutonium
itu berbahaya karena beracun. Yah, dalam taraf tertentu memang unsur ini
beracun. Tapi tidak lebih beracun daripada sianida dalam kopi Mirna. Ada ribuan
unsur yang lebih beracun dan mematikan daripada plutonium. Serius, nih, kalau
mau meracuni orang, lebih gampang pakai sianida daripada pakai plutonium.
Apalagi mendapatkan plutonium itu ekstra susah karena pengawasannya super
ketat.
Tidak, sebaiknya kita jangan takut terhadap
plutonium dari bahan bakar PLTN. Jangan pula menjadikan plutonium sebagai beban
dari energi nuklir, apalagi memperlakukannya sebagai limbah yang harus
disingkirkan jauh-jauh. Sebaliknya, lebih baik kita lihat potensinya untuk
menjadi sumber energi bersih dan murah. Kalau sebagian orang menganggap
plutonium itu gangguan yang mesti disingkirkan, saya melihat plutonium adalah
bahan bakar nuklir potensial!
Ada beberapa cara untuk memanfaatkan
potensi plutonium. Yang pertama, digunakan ulang di PLTN. Plutonium dari bahan
bakar bekas bisa diproses ulang dan dicampur dengan uranium, untuk kemudian
dipakai kembali dalam PLTN dalam bentuk mixed
oxide (MOX). Penggunaan MOX di PLTN bisa menghemat penggunaan uranium dalam
menyuplai energi bersih dan murah pada masyarakat.
Cara lain adalah menggunakannya di PLTN
Generasi IV, yaitu Liquid Metal Fast
Breeder Reactor (LMFBR) maupun Molten
Salt Reactor (MSR). LMFBR pada dasarnya memang didesain untuk menggunakan
plutonium, dengan menggunakan spektrum netron cepat. Tidak hanya itu, LMFBR
bisa mengekstrak potensi yang tersisa di bahan bakar bekas PLTN konvensional.
Uranium-238 di bahan bakar bekas PLTN akan dikonversi menjadi plutonium, yang
kemudian dikonsumsi lagi untuk menghasilkan listrik. Potensi plutonium dan
uranium akan sangat termanfaatkan di sini, hampir 100%! Saat ini, sudah ada dua
unit LMFBR yang beroperasi di Rusia.
MSR bisa jadi alternatif sama baiknya
dengan LMFBR untuk mengonsumsi plutonium. Bedanya, MSR digunakan untuk
benar-benar mengeliminasi plutonium dan beralih ke siklus thorium. Hal ini
diajukan oleh Kirk Sorensen dari Flibe Energy sebagai Rencana Tiga Fase. Fase Pertama,
penggunaan PLTN konvensional, yang kelak menghasilkan plutonium. Fase Kedua, plutonium
dari Fase Pertama digunakan sebagai bahan bakar pada MSR yang menggunakan
siklus thorium. Dalam MSR, potensi plutonium pun bisa dimanfaatkan sampai
hampir 100%.
Sementara plutonium ‘dibakar’, uranium-233
akan terbentuk dari thorium. Uranium-233 ini diakumulasikan untuk kemudian
dimanfaatkan dalam Fase Ketiga, untuk menjadi bahan bakar utama MSR
selanjutnya. Siklus thorium sendiri mampu menghasilkan cukup energi untuk
menerangi seisi planet selama ribuan tahun ke depan! Dengan demikian, plutonium
dari bahan bakar bekas ini bisa benar-benar terasa manfaatnya.
Gambar
1. Rencana Tiga Fase, plutonium dimanfaatkan pada Fase Kedua sebagai transisi
ke siklus thorium (Sorensen, 2016)
Ada satu alternatif MSR lain yang unik
untuk mengonsumsi plutonium, yaitu menggunakan Stable Salt Reactor (SSR). Sistem SSR berbeda dengan MSR umumnya.
Bahan bakarnya sama-sama cair, tapi alih-alih disirkulasikan dalam reaktor, SSR
menggunakan bahan bakar statis yang dimasukkan dalam kelongsong seperti PLTN
konvensional. Spektrum netronnya sama seperti LMFBR, yaitu spektrum cepat,
sehingga optimal dalam mengonsumsi plutonium. Perbedaan lainnya? Kalau MSR
standar menggunakan garam fluorida, maka SSR menggunakan garam klorida, yaitu
NaCl. Tahu ini apa? Yep, garam dapur. Plutonium dan uranium dalam SSR
dilarutkan dalam garam dapur cair.
Baik dimanfaatkan dalam PLTN konvensional,
LMFBR maupun MSR, plutonium sama berharganya untuk menghasilkan energi secara
murah, bersih, aman dan reliabel.
Jadi, baiknya kita ubah persepsi soal
plutonium. Jangan takut dengan plutonium, potensi bermanfaatnya jauh
mengungguli potensi bahaya yang mungkin ada padanya! Plutonium yang dihasilkan
dalam bahan bakar bekas PLTN bukanlah sampah yang harus segera dibuang
jauh-jauh. Bukan sumber bencana dunia lewat ledakan senjata nuklir yang
mematikan. Sebaliknya, stok plutonium ini adalah bahan bakar yang sangat
berharga untuk terus menerangi bumi dengan energi bersih dan murah, baik
dimanfaatkan lagi dalam PLTN yang sama maupun dipakai di LMFBR atau MSR.
Tidak pernah ada sejarahnya negara yang
memutuskan untuk menggunakan PLTN kemudian berpikir, “Oh, ayo bikin senjata
nuklir!” Yang ada, justru cara paling mudah untuk menyingkirkan senjata nuklir
adalah dengan membangun PLTN baru dan menjadikan plutonium dalam senjata nuklir
sebagai bahan bakarnya.
0 komentar:
Posting Komentar