Kecelakaan PLTN
barangkali merupakan jenis kecelakaan yang overhyped. Besarnya
pemberitaan tentang kecelakaan PLTN tidak selaras dengan korban jiwa maupun
dampak lingkungan. Jika dampak manusia dan lingkungan PLTN bernilai 1,
pemberitaan media dan opini liar yang berkembang seperti jamur di musim hujan
membuatnya seolah-olah bernilai 1000. Tidak adil.
Tentu banyak faktor
mengapa terjadi jurang sangat lebar antara apa yang dipikirkan publik denga
napa yang sebenarnya terjadi. Sebagian besar bukan faktor teknis, sehingga
penyelesaiannya pun pada dasarnya tidak menggunakan cara teknis. Faktor
non-teknis seperti ini paling sulit diatasi, karena melibatkan banyak
kepentingan, khususnya kepentingan politik. Khususnya ketika, walau
kemungkinannya kecil sekali, kecelakaan PLTN sungguh-sungguh terjadi.
Pertanyaannya,
mungkinkah didesain sebuah sistem teknis yang bisa meminimalisir isu non-teknis
terkait kecelakaan PLTN?
Saya benar-benar bukan
penggemar artificial intelligence (AI) maupun internet-of-things (IoT).
Sedikit sekali yang saya ketahui tentang kedua hal ini, dan praktis tidak ada
usaha berarti untuk mempelajarinya. Namun, pada kasus ini, saya terpikirkan
untuk menggunakan AI untuk memberi peringatan dini potensi kecelakaan PLTN dan
kalau perlu mitigasi kecelakaan. Selama ini, PLTN mengandalkan operator dalam
melakukan tindakan jika terjadi masalah pada reaktor nuklir. Namun, kecepatan
berpikir manusia terbatas, dan tindakannya masih mungkin terpengaruh emosi,
yang berpotensi untuk menghalangi pemberian justifikasi tindakan secara tepat.
Di sini, saya berpikir,
AI dapat membantu manusia dalam melakukan tindakan mitigasi keselamatan tanpa
terganggu emosi. Minimal dalam bentuk pemberian peringatan dini. Seperti apa bentuknya?
Alur berpikirnya
kira-kira seperti ini. AI akan memantau parameter operasi reaktor, apakah
berjalan dengan normal atau tidak. Seandainya AI membaca ada penyimpangan
parameter yang melebihi nilai toleransi, AI akan mengkategorisasikan bentuk
penyimpangan tersebut. Apakah merupakan bagian dari anticipated operational
occurrences (AOO), design basis accident (DBA), beyond design
basis accident (BDBA), atau severe accident (SA). Jika tidak
termasuk pada seluruh kategori di atas, maka AI akan menganalisis menggunakan fault-tree
analysis (FTA) untuk mengecek apakah penyimpangan yang dimaksud dapat
berujung pada salah satu kondisi sebagaimana disebutkan sebelumnya. Termasuk
berapa persen peluang terjadinya suatu skenario kecelakaan dari penyimpangan
parameter tersebut, jika terdapat lebih dari skenario kecelakaan yang
dimungkinkan.
Dari seluruh
pengolahan data ini, AI akan menyimpulkan jenis penyimpangan (AOO, DBA, BDBA,
atau SA), tingkat bahaya, dan tindakan yang harus dilakukan untuk menyelesaikan
isu tersebut.
Pertanyaan berikutnya,
siapakah yang akan mengeksekusi tindakan mitigasi? Apakah operator atau AI?
Sejauh ini, saya masih
berpikir bahwa AI hanya boleh melakukan tindakan sendiri, mem-bypass operator, jika dan hanya jika kondisi SA terjadi. Mengingat,
kondisi ini memungkinkan terjadi lepasan radioaktivitas dari kalang primer
reaktor hingga keluar nuclear island bahkan terlepas ke lingkungan.
Kondisi SA membutuhkan intervensi cepat, untuk mencegah dampak yang tidak
diharapkan. Sementara, pada kondisi lain, AI hanya memberikan peringatan pada
operator akan kondisi yang terjadi. Eksekusi tindakan tetap dilakukan oleh
operator. Mengapa? Karena operator harus memverifikasi, walau secara cepat,
apakah pembacaan AI terhadap parameter operator benar. Di sini, AI juga dapat
membantu untuk menunjukkan layer pembacaan yang relevan kepada operator. Biar bagaimanapun,
AI itu program, dan program bisa faulty.
Bagaimana jika kondisi terburuk terjadi?
Kondisi SA terjadi dan tindakan mitigasi yang dilakukan AI tidak ada yang bisa
menghentikan lepasan radioaktif dari teras reaktor? Pada kondisi ini, AI akan
menghitung source term lepasan radioaktif dan berapa yang mungkin
terlepas ke lingkungan. AI juga akan menghitung peluang sebaran radioaktif
berdasarkan arah angin dan potensi paparan ke penduduk sekitar menggunakan data
kependudukan.
Dari sini, AI akan menentukan tindakan yang
perlu dilakukan, apakah membiarkan saja masyarakat di tempat atau menyarankan
evakuasi, berdasarkan dosis radiasi yang mungkin terpapar pada masyarakat.
Dalam kondisi ini, sistem peringatan dini
akan bekerja. AI akan menghubungkan komputer dengan internet, lalu mengirim
pesan peringatan dini kecelakaan PLTN ke peladen (server) operator
internet atau lembaga terkait (misalkan BNPB), untuk kemudian diteruskan pada
penduduk di sekitar lokasi PLTN. IoT (kalau saya tidak keliru memahami benda
ini), berperan penting dalam transmisi data dan distribusi informasi, sekaligus
memastikan bahwa informasi yang disebarkan bersifat terlokalisir, tidak
menyebar ke wilayah lain yang tidak terdampak.
Penggunaan AI dan IoT, secara teoretis,
dapat mencegah kekacauan yang terjadi pada even Fukushima Daiichi, ketika
pemerintah Jepang secara sembrono mengevakuasi puluhan ribu warga Fukushima
tanpa justifikasi ilmiah apapun. Dengan demikian, potensi kekacauan
sosial-politik dapat dihindari, dan warga sekitar dapat hidup dengan damai
tanpa omong kosong media massa yang mayoritas menyesatkan.
Tentu saja sistem ini mesti dikaji lebih
dalam sebelum benar-benar bisa diterapkan. Masih banyak isu yang perlu disikapi
dengan baik, misalkan terkait potensi galat pada AI dalam kondisi SA atau bagaimana ketika terjadi station
blackout mendadak. Namun, secara ide dasar, AI dan IoT mungkin bisa saja
digunakan untuk membantu operator PLTN dalam mencegah dan mengatasi kecelakaan
PLTN. Mengasumsikan apa yang saya pahami soal AI dan IoT itu benar seperti yang
sudah dijelaskan di atas. Persoalannya, mengingat PLTN merupakan fasilitas yang
sangat sensitif terhadap isu keamanan nuklir, biasanya PLTN sama sekali tidak
terkoneksi dengan internet.
Satu pertanyaan
terakhir, yang tidak perlu dijawab di sini. Bagimana membuat PLTN bisa
memanfaatkan IoT dan AI tanpa mengompromikan aspek keamanan nuklir?
0 komentar:
Posting Komentar