Melihat konflik yang terjadi antara
kalangan pendukung energi nuklir dengan industri energi fosil, mungkin
pertanyaan sejenis ini akan muncul: Apa tidak bisa energi nuklir dan energi fosil berdampingan saja?
Tidak berusaha menghilangkan satu sama lain, tapi bekerjasama?
Saya kira jawabannya
jelas: tidak.
Sejak pidato Atoms for Peace Dwight
Eisenhower, energi nuklir yang aslinya digunakan untuk keperluan militer pun
digunakan untuk keperluan damai, alias keperluan sipil. Caranya? Mengonversi
energi termal yang dilepaskan uranium menjadi listrik. Dari situlah Pembangkit
Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) lahir.
PLTN awalnya dibangun untuk menyajikan
listrik secara murah dan melimpah. Sampai ada celetukan bahwa listrik PLTN itu “too
cheap to meter.” Alasannya sederhana. Dengan biaya pembangunan yang relatif
sama dengan PLTU batubara, listrik dari PLTN jauh lebih murah, karena harga
uranium sangat murah mengingat betapa besar energi yang terkandung di dalamnya
[1]. Hal ini menjadikan PLTN dimusuhi oleh industri energi fosil (Big Petro
Carbon), yang notabene lebih mahal di biaya bahan bakar.
Ketika global warming awareness
mulai dibangkitkan tahun 1988 oleh Dr. James Hansen, atmospheric scientist
NASA, negara-negara mulai berpikir untuk beralih pada energi bersih. Energi
yang tidak menghasilkan emisi CO2, yang disinyalir merupakan
penyebab pemanasan global [2]. Dalam kasus ini, PLTN menawarkan listrik yang
murah dan melimpah tanpa melepaskan emisi CO2 demi mengatasi
pemanasan global dan perubahan iklim. Hal ini membuat PLTN tambah dimusuhi oleh
Big Petro Carbon, yang notabene paling berkontribusi dalam lepasan CO2
antropogenik ke atmosfer.
Bukan tanpa alasan kenapa kecelakaan PLTN
Three Mile Island, di mana tidak ada seorangpun yang terluka karenanya apalagi
mati, digambarkan dengan begitu buruknya di media massa [3]. Demikian pula
kecelakaan PLTN Chernobyl, yang paling sering dijadikan argumen untuk menolak
nuklir [4]. Kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi, yang tidak lebih buruk dari
kecelakaan Chernobyl, digambarkan dengan begitu bombastis di era internet dan
media sosial [5].
Padahal, total orang yang mati karena seluruh kecelakaan PLTN itu hanya 43 orang [6]. Jauh lebih rendah daripada, katakanlah, ledakan di tambang batubara Soma, Turki, yang membunuh 300 orang [7]. Dan itu bukan satu-satunya kecelakaan batubara yang menyebabkan korban jiwa, atau satu-satunya sumber kematian dari batubara [8].
Akui sajalah, PLTN dimusuhi bukan karena
isu-isu keselamatan yang notabene semuanya hanya omong kosong. Toh kalau mau
dibandingkan, energi nuklir justru memiliki tingkat keselamatan paling tinggi
dibandingkan seluruh moda energi yang dimanfaatkan manusia saat ini [9,10].
Tidak seperti persepsi publik tentang PLTN, keselamatan PLTN justru tidak
tertandingi bahkan oleh panel surya dan turbin angin sekalipun.
PLTN dimusuhi karena energi nuklir adalah
solusi bagi masalah-masalah energi dunia. Ini yang membuat Big Petro Carbon
meradang. Karena Big Petro Carbon adalah penguasa pangsa pasar energi dunia dan
sumber dari berbagai masalah energi dunia. Tentu saja mereka tidak senang jika
hegemoni mereka terganggu. Maka, isu-isu yang sebenarnya tidak cukup kuat untuk
dijadikan argumen untuk menghancurkan nuklir pun dijadikan alat untuk
menghantam nuklir.
Hasilnya, PLTN terhambat perkembangannya.
Biaya konstruksi melangit akibat regulatory ratcheting di berbagai
belahan dunia [3], karena regulator dan masyarakat sukses dibodoh-bodohi oleh
lobi-lobi anti-nuklir akan bahaya PLTN yang tidak pernah ada. Standar
keselamatan jadi super tinggi dan irasional, tanpa benar-benar ada imbas pada
keselamatan publik itu sendiri. Buat apa keselamatan diperketat seketat mungkin
kalau yang biasa saja sudah selamat? Seperti menggarami laut saja.
Lobi-lobi energi fosil juga yang di
berbagai belahan dunia membuat PLTN tutup prematur. Terbaru, PLTN Indian Point
di New York ditutup prematur karena lobi-lobi industri gas alam, yang sampai
menyuap ajudan gubernurnya [11]. Siapakah yang diuntungkan dengan ditutupnya
PLTN secara prematur? Jelas saja Big Petro Carbon. Itu jelas, sejelas sinar
matahari pada tengah hari di gurun Sahara. Karena ditutupnya PLTN akan
digantikan oleh the one and only energi fosil. Bukan energi terbarukan.
Big Petro Carbon menganggap nuklir sebagai
musuh. Mereka akan selalu berusaha membunuh nuklir, bahkan sekalipun harus
menggunakan cara kotor lain selain lobi-lobi politik; menggandeng industri
energi terbarukan. Kalangan energi terbarukan menjadi proxy bagi Big Petro
Carbon untuk menghantam nuklir, walau
tentu saja mereka juga memiliki agenda pribadi untuk melenyapkan nuklir.
Lantas, kenapa
kalangan nuklir harus menganggap Big Petro Carbon sebagai rekan bahkan teman?
Yang bisa berdampingan satu sama lain tanpa saling mengganggu? Itu sama
realistisnya dengan berharap Fir’aun beriman pada Musa.
Pertarungan diametral antara energi nuklir
dan energi fosil adalah keniscayaan. Tidak perlu direkayasa sekalipun sudah by
default akan berseteru. Karena keduanya ditakdirkan untuk membunuh satu
sama lain. Segala usaha untuk mengompromikan keduanya hanya akan entah membunuh
energi nuklir atau mengorbankan keselamatan planet bumi beserta manusia di
dalamnya.
Sudah bukan waktunya lagi bersikap defensif
apologetik. Sejak awal, sikap seperti itu hanya membuat industri nuklir tambah
babak belur alih-alih menguat.
Referensi:
- https://en.wikipedia.org/wiki/Energy_density
- James Hansen et al. 1981.
Climate Impact of Increasing Atmospheric Carbon Dioxide. Science, vol.
213, no. 4511, pp. 957-966.
- Bernard L. Cohen. 1990. The
Nuclear Energy Option. Pittsburgh: Plenum Press.
- https://warstek.com/chernobylnpp/
- http://andhika-dwijayanto.blogspot.com/2019/03/fukushima.html
- United Nations Scientific
Committee on the Effects of Atomic Radiation. 2011. Sources and Effects of
Ionizing Radiation Volume II Annex D. New York: UNSCEAR.
- https://en.wikipedia.org/wiki/Soma_mine_disaster
- Ian
Hore-Lacy. 2006. Nuclear Energy in the 21st Century. World
Nuclear University Press.
- https://www.nextbigfuture.com/2016/06/update-of-death-per-terawatt-hour-by.html
- Anil Markandya, Paul Wilkinson.
2007. Electricity generation and health. The Lancet. Vol. 370, pp.
979-990.
- https://environmentalprogress.org/big-news/2017/1/6/natural-gas-promotor-at-center-of-new-york-corruption-scandal-pushed-to-close-indian-point-nuclear-plant
0 komentar:
Posting Komentar