Rabu, 10 Maret 2021

Energi Nuklir dan Energi Fosil, Mungkinkah Berdampingan?


Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (Mahasiswa Magister Teknik Fisika UGM)

Melihat konflik yang terjadi antara kalangan pendukung energi nuklir dengan industri energi fosil, mungkin pertanyaan sejenis ini akan muncul: Apa tidak bisa energi nuklir dan energi fosil berdampingan saja? Tidak berusaha menghilangkan satu sama lain, tapi bekerjasama?

Saya kira jawabannya jelas: tidak.

Sejak pidato Atoms for Peace Dwight Eisenhower, energi nuklir yang aslinya digunakan untuk keperluan militer pun digunakan untuk keperluan damai, alias keperluan sipil. Caranya? Mengonversi energi termal yang dilepaskan uranium menjadi listrik. Dari situlah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) lahir.

PLTN awalnya dibangun untuk menyajikan listrik secara murah dan melimpah. Sampai ada celetukan bahwa listrik PLTN itu “too cheap to meter.” Alasannya sederhana. Dengan biaya pembangunan yang relatif sama dengan PLTU batubara, listrik dari PLTN jauh lebih murah, karena harga uranium sangat murah mengingat betapa besar energi yang terkandung di dalamnya [1]. Hal ini menjadikan PLTN dimusuhi oleh industri energi fosil (Big Petro Carbon), yang notabene lebih mahal di biaya bahan bakar.

Ketika global warming awareness mulai dibangkitkan tahun 1988 oleh Dr. James Hansen, atmospheric scientist NASA, negara-negara mulai berpikir untuk beralih pada energi bersih. Energi yang tidak menghasilkan emisi CO2, yang disinyalir merupakan penyebab pemanasan global [2]. Dalam kasus ini, PLTN menawarkan listrik yang murah dan melimpah tanpa melepaskan emisi CO2 demi mengatasi pemanasan global dan perubahan iklim. Hal ini membuat PLTN tambah dimusuhi oleh Big Petro Carbon, yang notabene paling berkontribusi dalam lepasan CO2 antropogenik ke atmosfer.

Bukan tanpa alasan kenapa kecelakaan PLTN Three Mile Island, di mana tidak ada seorangpun yang terluka karenanya apalagi mati, digambarkan dengan begitu buruknya di media massa [3]. Demikian pula kecelakaan PLTN Chernobyl, yang paling sering dijadikan argumen untuk menolak nuklir [4]. Kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi, yang tidak lebih buruk dari kecelakaan Chernobyl, digambarkan dengan begitu bombastis di era internet dan media sosial [5].

Padahal, total orang yang mati karena seluruh kecelakaan PLTN itu hanya 43 orang [6]. Jauh lebih rendah daripada, katakanlah, ledakan di tambang batubara Soma, Turki, yang membunuh 300 orang [7]. Dan itu bukan satu-satunya kecelakaan batubara yang menyebabkan korban jiwa, atau satu-satunya sumber kematian dari batubara [8].


Tabel 1. Daftar kecelakaan pada berbagai daur energi (Hore-Lacy, 2006)

Akui sajalah, PLTN dimusuhi bukan karena isu-isu keselamatan yang notabene semuanya hanya omong kosong. Toh kalau mau dibandingkan, energi nuklir justru memiliki tingkat keselamatan paling tinggi dibandingkan seluruh moda energi yang dimanfaatkan manusia saat ini [9,10]. Tidak seperti persepsi publik tentang PLTN, keselamatan PLTN justru tidak tertandingi bahkan oleh panel surya dan turbin angin sekalipun.

Gambar 1. Death per TWh of various energy sources (Wang, 2016)

PLTN dimusuhi karena energi nuklir adalah solusi bagi masalah-masalah energi dunia. Ini yang membuat Big Petro Carbon meradang. Karena Big Petro Carbon adalah penguasa pangsa pasar energi dunia dan sumber dari berbagai masalah energi dunia. Tentu saja mereka tidak senang jika hegemoni mereka terganggu. Maka, isu-isu yang sebenarnya tidak cukup kuat untuk dijadikan argumen untuk menghancurkan nuklir pun dijadikan alat untuk menghantam nuklir.

Hasilnya, PLTN terhambat perkembangannya. Biaya konstruksi melangit akibat regulatory ratcheting di berbagai belahan dunia [3], karena regulator dan masyarakat sukses dibodoh-bodohi oleh lobi-lobi anti-nuklir akan bahaya PLTN yang tidak pernah ada. Standar keselamatan jadi super tinggi dan irasional, tanpa benar-benar ada imbas pada keselamatan publik itu sendiri. Buat apa keselamatan diperketat seketat mungkin kalau yang biasa saja sudah selamat? Seperti menggarami laut saja.

Lobi-lobi energi fosil juga yang di berbagai belahan dunia membuat PLTN tutup prematur. Terbaru, PLTN Indian Point di New York ditutup prematur karena lobi-lobi industri gas alam, yang sampai menyuap ajudan gubernurnya [11]. Siapakah yang diuntungkan dengan ditutupnya PLTN secara prematur? Jelas saja Big Petro Carbon. Itu jelas, sejelas sinar matahari pada tengah hari di gurun Sahara. Karena ditutupnya PLTN akan digantikan oleh the one and only energi fosil. Bukan energi terbarukan.

Big Petro Carbon menganggap nuklir sebagai musuh. Mereka akan selalu berusaha membunuh nuklir, bahkan sekalipun harus menggunakan cara kotor lain selain lobi-lobi politik; menggandeng industri energi terbarukan. Kalangan energi terbarukan menjadi proxy bagi Big Petro Carbon untuk menghantam nuklir, walau tentu saja mereka juga memiliki agenda pribadi untuk melenyapkan nuklir.

Lantas, kenapa kalangan nuklir harus menganggap Big Petro Carbon sebagai rekan bahkan teman? Yang bisa berdampingan satu sama lain tanpa saling mengganggu? Itu sama realistisnya dengan berharap Fir’aun beriman pada Musa.

Pertarungan diametral antara energi nuklir dan energi fosil adalah keniscayaan. Tidak perlu direkayasa sekalipun sudah by default akan berseteru. Karena keduanya ditakdirkan untuk membunuh satu sama lain. Segala usaha untuk mengompromikan keduanya hanya akan entah membunuh energi nuklir atau mengorbankan keselamatan planet bumi beserta manusia di dalamnya.

Sudah bukan waktunya lagi bersikap defensif apologetik. Sejak awal, sikap seperti itu hanya membuat industri nuklir tambah babak belur alih-alih menguat.

Referensi:

  1. https://en.wikipedia.org/wiki/Energy_density
  2. James Hansen et al. 1981. Climate Impact of Increasing Atmospheric Carbon Dioxide. Science, vol. 213, no. 4511, pp. 957-966.
  3. Bernard L. Cohen. 1990. The Nuclear Energy Option. Pittsburgh: Plenum Press.
  4. https://warstek.com/chernobylnpp/
  5. http://andhika-dwijayanto.blogspot.com/2019/03/fukushima.html
  6. United Nations Scientific Committee on the Effects of Atomic Radiation. 2011. Sources and Effects of Ionizing Radiation Volume II Annex D. New York: UNSCEAR.
  7. https://en.wikipedia.org/wiki/Soma_mine_disaster
  8. Ian Hore-Lacy. 2006. Nuclear Energy in the 21st Century. World Nuclear University Press.
  9. https://www.nextbigfuture.com/2016/06/update-of-death-per-terawatt-hour-by.html
  10. Anil Markandya, Paul Wilkinson. 2007. Electricity generation and health. The Lancet. Vol. 370, pp. 979-990.
  11. https://environmentalprogress.org/big-news/2017/1/6/natural-gas-promotor-at-center-of-new-york-corruption-scandal-pushed-to-close-indian-point-nuclear-plant

 

0 komentar:

Posting Komentar