Jumat, 27 Mei 2022

Apakah Limbah Radioaktif PLTN Riskan Bagi Lingkungan?

sumber: britannica.com

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto (Peneliti Teknologi Energi Nuklir)

Grita Anindarini, Direktur Program IECL, mengatakan bahwa akomodasi energi nuklir dalam RUU EBT akan membuat pemerintah menanggung biaya sangat besar dalam rangka perlindungan lingkungan karena pembangunan tempat pembuangan limbah radioaktif dibebankan pada pemerintah pusat. Grita juga menyitir angka USD 3,4 miliar biaya yang dibutuhkan untuk membangun repositori limbah abadi di Onkalo, Finlandia. (jakartapost, 26/5)

Di sini, saya melihat Grita tidak melakukan penilaian secara menyeluruh. Berbicara secara kualitatif di awal dan menyitir angka kuantitatif di belakang tanpa menelaah komponen pembiayaan energi nuklir dengan detail. Pernyataan ini agak memalukan, saya kira, karena Grita tidak mengeluarkan sedikit saja usaha untuk melakukan analisis matematis soal ini.

Untuk membuktikan pernyataan Grita benar atau salah, saya coba buat analisis matematis terkait dengan (1) apakah benar penyimpanan limbah radioaktif abadi akan menjadi beban keuangan negara, dan (2) sebesar apa kebutuhan area pembuangan lestari ini?

Pertama, dana pengolahan limbah. Tidak seperti moda energi lain, nuklir adalah satu-satunya moda energi yang menginternalisasikan biaya dekomisioning dan pengelolaan limbah pada harga listriknya. Biayanya sekitar USD 0,1 sen/kWh, atau Rp 14/kWh. Kecil? Tentu saja. Tidak terasa sama sekali. Biasanya dekomisioning dan pengelolaan limbah biayanya disatukan, tapi untuk kalkulasi ini, saya pisahkan saja. Jadi USD 0,1 sen/kWh itu untuk pengelolaan limbah saja.

Model PLTN yang saya ambil adalah APR1400 desain Korea Selatan, dengan daya net 1350 MWe. Faktor kapasitas (CF) diasumsikan 90% dan usia pakai 60 tahun. Untuk biaya repositori limbah, saya ambil mentah-mentah biaya untuk Onkalo. Dari sini, berapa unit PLTN APR1400 untuk menghasilkan dana yang cukup untuk pembangunan repositori sejenis Onkalo?

Lihat tabel di bawah. Ternyata hanya 5,32 unit dalam 60 tahun. Sama sekali tidak banyak. Kalau mau dananya sudah ada dalam 30 tahun, maka butuh 10,64 unit APR1400. Tidak terlalu banyak juga.



Jadi, sesulit itukah untuk mendapatkan biaya pembangunan repositori limbah radioaktif abadi? Saya kira tidak.

Kedua, seberapa besar area yang dibutuhkan. Di sini selain APR1400, saya ambil model PCMSR yang sedang dikembangkan dosen saya. PCMSR merupakan reaktor pembiak termal berbasis thorium, yang artinya kebutuhan bahan bakar lebih sedikit dan limbahnya juga jauh lebih sedikit ketimbang APR1400. Densitas UO2 (APR1400) diasumsikan 10,95 g/cc dan UF4 (PCMSR) 6,7 g/cc. Kita anggap Indonesia punya 100 PLTN masing-masing untuk APR1400 dan PCMSR dengan daya 1000 MWe. Waktu operasional dianggap 60 tahun.

Untuk luas penyimpanan, karena volume itu satuannya m3, perlu dikonversi menjadi satuan m2. Untuk mudahnya, diasumsikan limbah disimpan dalam wadah berukuran 1×1×1 m, dengan faktor jarak 2 untuk memberi ruang.

Hasilnya bisa dilihat di tabel di bawah. Kebutuhan lahan untuk limbah radioaktif 100 unit PLTN APR1400 selama 60 tahun hanya 3,29 hektar, sementara 100 unit PLTN PCMSR selama 60 tahun jauh lebih kecil lagi, hanya 0,14 hektar.

See? Tidak butuh lahan banyak, bahkan untuk APR1400 yang boros lahan sekali pun.

Kalau kebutuhan lahannya sedemikian rendah, lalu 95% bahan bakar bekas bisa diolah ulang untuk dipakai di reaktor pembiak cepat, kanister limbah radioaktif teknologinya sudah matang, dan limbahnya sudah aman dalam 300 tahun, pertanyaan saya adalah apa persisnya risiko tinggi bagi lingkungan yang dimaksud Grita? Atau itu hanya bias kognitifnya saja? Bagaimana dengan limbah energi terbarukan, yang faktanya sampai saat ini tidak memiliki strategi pengelolaan limbah yang jelas, volumenya sealaihim gambreng, dan tetap berbahaya selamanya?

Saya aslinya berharap LSM-LSM lingkungan itu agak lebih pintar sedikit matematikanya, tetapi sepertinya saya berharap terlalu jauh.


0 komentar:

Posting Komentar