Kutipan di atas mencerminkan visi Presiden
pertama RI, Ir. Soekarno, terkait penguasaan sains dan teknologi yang
seharusnya dimiliki oleh bangsa Indonesia. Walau pada masa kepemimpinan
Soekarno pada saat itu memang sedang terjadi kompetisi antara dua negara
adidaya dunia, Amerika Serikat dan Uni Soviet, terkait sains dan teknologi
nuklir dan antariksa, faktanya pernyataan tersebut tidak lekang oleh zaman,
masih bertahan hingga sekarang.
Tidak ada negara maju yang tidak memiliki
kekuatan di bidang sains dan teknologi nuklir maupun antariksa. Amerika Serikat
dan Uni Soviet adalah dua negara pionir dalam pengembangan teknologi energi
nuklir. Berbagai desain dan inovasi teknologi reaktor nuklir utamanya muncul
dari kedua negara ini, seperti pressurised water reactor (PWR) yang dikembangkan
oleh Amerika Serikat dan vodo-vodyanoi enyergeticheskiy reaktor (VVER)
yang dikembangkan oleh Uni Soviet. Amerika Serikat menelurkan teknologi reaktor
berpendingin natrium cair, sementara Soviet melahirkan teknologi reaktor
berpendingin timbal-bismut cair. Negara-negara Eropa lain seperti Inggris dan
Prancis tidak ketinggalan. Bahkan, Prancis menjadi negara dengan bauran energi
nuklir terbesar di dunia, mencapai 70% dari suplai listriknya.
Di tengah krisis iklim global saat ini,
teknologi energi nuklir semakin mendapat momentum. Walau pamornya sempat
meredup pasca kecelakaan Fukushima Daiichi, berkembangnya teknologi reaktor
generasi baru dan kesadaran akan kurang andalnya energi terbarukan membuat
berbagai negara kembali melirik nuklir, termasuk negara-negara baru seperti Uni
Emirat Arab, Turki, Bangladesh, dan Mesir. Negara-negara ini membutuhkan nuklir
untuk meningkatkan taraf ekonominya agar mulai mendekati negara maju.
Terlepas bahwa Indonesia sudah melakukan
litbang energi nuklir sejak 1958, hingga saat ini belum ada satupun Pembangkit
Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang beroperasi di Indonesia. Penguasaan energi
nuklir, sebagaimana yang diharapkan Presiden Soekarno, belum terlampau mumpuni.
Walau BATAN sempat memulai proyek Reaktor Daya Eksperimental (RDE) pada tahun
2014 untuk meningkatkan kapasitas penguasaan teknologi nuklir domestik, proyek
ini terhenti lima tahun kemudian untuk alasan yang tidak jelas.
Agar Indonesia sungguhan menjadi negara
besar, penguasaan teknologi energi nuklir dari hulu sampai hilir tidak bisa
ditawar. Namun, pertanyaannya adalah bagaimana Indonesia bisa melakukannya?
Barangkali tidak ada salahnya kita menengok
pada Cina.
Riset nuklir Cina dimulai setidaknya
delapan tahun lebih dulu daripada Indonesia, saat itu masih bekerjasama dengan
Uni Soviet. Pasca berbagai masalah dengan Soviet dan kondisi politik dalam
negeri, Cina baru memulai riset PLTN secara serius pada tahun 1970-an,
mengembangkan teknologi yang digunakan kapal selam nuklir untuk keperluan sipil.
Hasilnya adalah CNP-300, PLTN pertama yang didesain sepenuhnya oleh Cina yang
dibangun pada tahun 1984 dan beroperasi pada tahun 1991.
Apa kunci teknis dari penguasaan teknologi Cina
ini? Reverse engineering. Cina mempelajari teknologi PWR di kapal selam
nuklir lalu dikembangkan menjadi desain sendiri. Selain itu, Cina pun membeli
teknologi PLTN luar dari berbagai vendor (Framatome, Westinghouse, dan AECL), mempelajari
sistemnya, lalu mengembangkan sendiri desain domestik berbasis teknologi yang
sudah dipelajari itu ditambah dengan berbagai perbaikan dan peningkatan
performa desain.
Untuk teknologi reaktor maju, Cina yang
mendapat hibah High Temperature Gas-cooled Reactor (HTGR) dari
Jerman mempelajari sistem reaktornya lalu dikembangkan dengan daya lebih besar,
menjadi HTR-PM. Untuk Molten Salt Reactor (MSR), Cina mendatangkan pakar
MSR dari Oak Ridge National Laboratory (ORNL) dengan tujuan untuk mempelajari
data dan pengalaman ORNL terkait MSR, lalu kemudian dikembangkan sendiri dan tahun
2023 ini akan purwarupanya sudah akan dibangun.
Selain itu, kapasitas industri dalam negeri
Cina pun mumpuni. Berbagai komponen PLTN seperti bejana tekan, pressuriser,
teras reaktor, hingga pembangkit uap dapat diproduksi sendiri. Cina memiliki
kapasitas industri berat yang cukup supaya mampu memproduksi komponen vital
PLTN tanpa bergantung pada impor.
Apa kunci non-teknis dari penguasaan
teknologi Cina ini? Visi politik yang kuat. Cina tahu mereka tidak bisa
selamanya bergantung pada batubara; polusi udara mereka terburuk di dunia dan
ratusan ribu orang meninggal prematur tiap tahunnya akibat polusi batubara.
Tapi Cina tidak bisa meninggalkan batubara yang keandalannya tinggi begitu
saja, sementara Cina tidak memiliki cadangan gas alam memadai. Maka Cina masuk secara
serius ke energi nuklir. Dengan kapasitas industri berat yang mumpuni, Cina
mampu membangun PLTN dengan laju pembangunan paling cepat di dunia.
Selain itu, secara politik, penguasaan
terhadap teknologi nuklir yang notabene memiliki kompleksitas cukup tinggi dan
menuntut sistem keselamatan kelas atas, kekuatan industri dan sektor litbang Cina
akan diakui berkelas dunia hingga mungkin menyaingi Amerika Serikat.
Cina pun mendukung penuh berbagai riset
teknologi nuklir dalam negeri, yang disebar di beberapa instansi. Tsinghua
University, sebagai contoh, menjadi pusat pengembangan HTGR. Sementara,
Shanghai Institute for Applied Sciences menjadi pusat pengembangan MSR.
Keduanya didukung visi riset yang jelas dan pendanaan memadai.
Fakta bahwa Cina mampu mengembangkan
industri nuklir mereka dari TKDN 1% menjadi 90% dalam 25 tahun menunjukkan
bahwa visi politik yang kuat, ditambah dengan kapasitas industri yang memadai,
dukungan besar terhadap lembaga riset, dan strategi adopsi teknologi yang
tepat, bisa dengan cepat menggeser peta kekuatan industri nuklir dunia.
Apakah strategi reverse engineering
seperti yang dilakukan Cina selalu tepat digunakan oleh semua negara, tentu masih
bisa diperdebatkan. Tetapi bahwa penguasaan teknologi nuklir dari hampir tidak
ada menjadi kekuatan dunia membutuhkan visi yang kuat dari negara, dukungan
besar terhadap lembaga riset dalam proyek-proyek strategis negara, dan
kapasitas industri yang mumpuni, semua itu sudah menjadi kewajiban.
0 komentar:
Posting Komentar