Minggu, 25 Februari 2024

Penguasaan Energi Nuklir, Bercermin Pada Cina


Untuk Indonesia menjadi bangsa besar harus menguasai nuklir dan antariksa.”

Kutipan di atas mencerminkan visi Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, terkait penguasaan sains dan teknologi yang seharusnya dimiliki oleh bangsa Indonesia. Walau pada masa kepemimpinan Soekarno pada saat itu memang sedang terjadi kompetisi antara dua negara adidaya dunia, Amerika Serikat dan Uni Soviet, terkait sains dan teknologi nuklir dan antariksa, faktanya pernyataan tersebut tidak lekang oleh zaman, masih bertahan hingga sekarang.

Tidak ada negara maju yang tidak memiliki kekuatan di bidang sains dan teknologi nuklir maupun antariksa. Amerika Serikat dan Uni Soviet adalah dua negara pionir dalam pengembangan teknologi energi nuklir. Berbagai desain dan inovasi teknologi reaktor nuklir utamanya muncul dari kedua negara ini, seperti pressurised water reactor (PWR) yang dikembangkan oleh Amerika Serikat dan vodo-vodyanoi enyergeticheskiy reaktor (VVER) yang dikembangkan oleh Uni Soviet. Amerika Serikat menelurkan teknologi reaktor berpendingin natrium cair, sementara Soviet melahirkan teknologi reaktor berpendingin timbal-bismut cair. Negara-negara Eropa lain seperti Inggris dan Prancis tidak ketinggalan. Bahkan, Prancis menjadi negara dengan bauran energi nuklir terbesar di dunia, mencapai 70% dari suplai listriknya.

Di tengah krisis iklim global saat ini, teknologi energi nuklir semakin mendapat momentum. Walau pamornya sempat meredup pasca kecelakaan Fukushima Daiichi, berkembangnya teknologi reaktor generasi baru dan kesadaran akan kurang andalnya energi terbarukan membuat berbagai negara kembali melirik nuklir, termasuk negara-negara baru seperti Uni Emirat Arab, Turki, Bangladesh, dan Mesir. Negara-negara ini membutuhkan nuklir untuk meningkatkan taraf ekonominya agar mulai mendekati negara maju.

Terlepas bahwa Indonesia sudah melakukan litbang energi nuklir sejak 1958, hingga saat ini belum ada satupun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang beroperasi di Indonesia. Penguasaan energi nuklir, sebagaimana yang diharapkan Presiden Soekarno, belum terlampau mumpuni. Walau BATAN sempat memulai proyek Reaktor Daya Eksperimental (RDE) pada tahun 2014 untuk meningkatkan kapasitas penguasaan teknologi nuklir domestik, proyek ini terhenti lima tahun kemudian untuk alasan yang tidak jelas.

Agar Indonesia sungguhan menjadi negara besar, penguasaan teknologi energi nuklir dari hulu sampai hilir tidak bisa ditawar. Namun, pertanyaannya adalah bagaimana Indonesia bisa melakukannya?

Barangkali tidak ada salahnya kita menengok pada Cina.

Riset nuklir Cina dimulai setidaknya delapan tahun lebih dulu daripada Indonesia, saat itu masih bekerjasama dengan Uni Soviet. Pasca berbagai masalah dengan Soviet dan kondisi politik dalam negeri, Cina baru memulai riset PLTN secara serius pada tahun 1970-an, mengembangkan teknologi yang digunakan kapal selam nuklir untuk keperluan sipil. Hasilnya adalah CNP-300, PLTN pertama yang didesain sepenuhnya oleh Cina yang dibangun pada tahun 1984 dan beroperasi pada tahun 1991.

Ketika pertama kali membangun PLTN, Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) PLTN Cina hanya 1%. Sementara 99% komponen lain seluruhnya impor.

Setelah lebih dari 25 tahun, TKDN PLTN Cina sudah lebih dari 90%. Bahkan desain PLTN domestik Cina sudah banyak digunakan di dalam negeri dan diekspor ke luar negeri, dalam hal ini Pakistan. Dari aslinya tidak memiliki penguasaan teknologi energi nuklir sama sekali menjadi yang terdepan dalam urusan desain dan teknologi reaktor daya nuklir, dengan mayoritas komponen diproduksi secara domestik.

Apa kunci teknis dari penguasaan teknologi Cina ini? Reverse engineering. Cina mempelajari teknologi PWR di kapal selam nuklir lalu dikembangkan menjadi desain sendiri. Selain itu, Cina pun membeli teknologi PLTN luar dari berbagai vendor (Framatome, Westinghouse, dan AECL), mempelajari sistemnya, lalu mengembangkan sendiri desain domestik berbasis teknologi yang sudah dipelajari itu ditambah dengan berbagai perbaikan dan peningkatan performa desain.

Untuk teknologi reaktor maju, Cina yang mendapat hibah High Temperature Gas-cooled Reactor (HTGR) dari Jerman mempelajari sistem reaktornya lalu dikembangkan dengan daya lebih besar, menjadi HTR-PM. Untuk Molten Salt Reactor (MSR), Cina mendatangkan pakar MSR dari Oak Ridge National Laboratory (ORNL) dengan tujuan untuk mempelajari data dan pengalaman ORNL terkait MSR, lalu kemudian dikembangkan sendiri dan tahun 2023 ini akan purwarupanya sudah akan dibangun.

Selain itu, kapasitas industri dalam negeri Cina pun mumpuni. Berbagai komponen PLTN seperti bejana tekan, pressuriser, teras reaktor, hingga pembangkit uap dapat diproduksi sendiri. Cina memiliki kapasitas industri berat yang cukup supaya mampu memproduksi komponen vital PLTN tanpa bergantung pada impor.

Apa kunci non-teknis dari penguasaan teknologi Cina ini? Visi politik yang kuat. Cina tahu mereka tidak bisa selamanya bergantung pada batubara; polusi udara mereka terburuk di dunia dan ratusan ribu orang meninggal prematur tiap tahunnya akibat polusi batubara. Tapi Cina tidak bisa meninggalkan batubara yang keandalannya tinggi begitu saja, sementara Cina tidak memiliki cadangan gas alam memadai. Maka Cina masuk secara serius ke energi nuklir. Dengan kapasitas industri berat yang mumpuni, Cina mampu membangun PLTN dengan laju pembangunan paling cepat di dunia.

Selain itu, secara politik, penguasaan terhadap teknologi nuklir yang notabene memiliki kompleksitas cukup tinggi dan menuntut sistem keselamatan kelas atas, kekuatan industri dan sektor litbang Cina akan diakui berkelas dunia hingga mungkin menyaingi Amerika Serikat.

Cina pun mendukung penuh berbagai riset teknologi nuklir dalam negeri, yang disebar di beberapa instansi. Tsinghua University, sebagai contoh, menjadi pusat pengembangan HTGR. Sementara, Shanghai Institute for Applied Sciences menjadi pusat pengembangan MSR. Keduanya didukung visi riset yang jelas dan pendanaan memadai.

Fakta bahwa Cina mampu mengembangkan industri nuklir mereka dari TKDN 1% menjadi 90% dalam 25 tahun menunjukkan bahwa visi politik yang kuat, ditambah dengan kapasitas industri yang memadai, dukungan besar terhadap lembaga riset, dan strategi adopsi teknologi yang tepat, bisa dengan cepat menggeser peta kekuatan industri nuklir dunia.

Apakah strategi reverse engineering seperti yang dilakukan Cina selalu tepat digunakan oleh semua negara, tentu masih bisa diperdebatkan. Tetapi bahwa penguasaan teknologi nuklir dari hampir tidak ada menjadi kekuatan dunia membutuhkan visi yang kuat dari negara, dukungan besar terhadap lembaga riset dalam proyek-proyek strategis negara, dan kapasitas industri yang mumpuni, semua itu sudah menjadi kewajiban.

Dengan sistem politik Indonesia saat ini, maka visi penguasaan teknologi nuklir harus dimiliki oleh lintas presiden dan lintas rezim. Visi yang berkelanjutan alih-alih visi jangka pendek mengikuti masa kekuasaan semata. Visi yang sungguh-sungguh demi kemajuan Indonesia di kancah dunia.

0 komentar:

Posting Komentar