Seperti bisa ditebak, saya tidak bisa konsisten mengisi blog ini.
Terakhir saya cek, postingan sebelum ini tertanggal 28 Januari 2024. Sekarang 24 Februari 2024. Hampir sebulan sudah saya tidak mengisi blog. Alasannya sederhana, repetitif, dan tidak ada kreatif-kreatifnya: Malas. Tidak ada mood. Sudah, itu saja.
Bukan berarti tidak ada ide yang bisa ditulis. Kalau saya buka editor blog, meski sebelumnya tidak ada yang dipikirkan, pasti ada saja yang bisa dikeluarkan untuk ditulis. Seperti postingan ini. Pertama buka tidak ada ide sama sekali mau nulis apa, tapi akhirnya toh jadi juga.
Konsisten itu memang perkara yang sederhana di tulisan tapi susah di eksekusi. Kenapa? Tidak tahu, saya tidak bisa menjawab untuk orang lain. Kalau untuk saya pribadi, sih, terkait inkonsistensi dalam mengisi blog, alasannya jelas, sebagaimana tertulis di paragraf 2.
Masih untung inkonsistensi ini dalam perkara yang tidak ada efeknya ke orang lain. Masalahnya adalah kalau sikap inkonsisten ini ngaruh ke urusan banyak orang, atau ngaruh ke opini publik terkait seseorang atau sesuatu.
Misalkan masalah akhir tahun lalu, terkait isu Rohingya. Banyak yang berpura-pura mendukung Palestina, tetapi malah antipati terhadap Rohingya. Padahal nasib mereka sama. Mentang-mentang Rohingya tidak good-looking, sampai sebegitunya...
Kalau kemanusiaan saja pilih-pilih, apalagi yang lebih tinggi dari kemanusiaan. Busuk, kali, ya.
Lalu inkonsistensi terkait sikap politik. Well, saya tidak tertarik dengan politik praktis, politik partisan, dan ribut-ribut di atas terkait perebutan jabatan, perebutan kekuasaan bla bla bla berkedok kontestasi demokrasi. Cuma kalau saya perhatikan, ya lucu saja. Antara kontestasi lima tahun lalu dengan sekarang, ada yang sikapnya berubah. Tapi begitu ada omon-omon di balik layar, eh kembali lagi ke mode default. Ada yang dulunya begitu mendukung, eh sekarang menentang dan menuduh yang didukungnya itu pengkhianat (buset, lima tahun lalu diingetin kemana aja?). Ada yang menuduh lawan politiknya cawe-cawe, eh luluh juga ketika anaknya dijadikan Menteri.
Duh.
Termasuk ada juga yang dulunya di SMA taat syariat, rajin ibadah, beberapa tahun setelah lulus kerudungnya dilepas. Ada yang alumni pesantren, lulus malah jadi pabalatak kelakuannya. Ada yang dulunya pro-nuklir, setelah dipecat dari instansi (mungkin karena kesalahannya sendiri juga), berubah jadi anti-nuklir. Dari yang awalnya taat, di kemudian hari malah murtad. Dan sebagainya.
Ada juga yang awalnya bikin aturan boleh kerja di mana saja, tapi kemudian cuma boleh di dalam wilayah negara, lalu berubah lagi harus ada hari masuk kerja di kantor. Alasannya karena peraturan itu dinamis, tapi namanya 'dinamis' itu beda tipis dengan inkonsisten dan plin plan. Kedengaran cuma fancy word saja.
Konsistensi itu mahal, memang. Tidak semua mampu melalui ujian konsistensi di jalur yang benar.
Semoga kita bukan bagian dari manusia-manusia inkonsisten semacam itu. Inkonsisten yang bikin kacau hidup orang dan memengaruhi opini banyak orang. Tetap teguh di jalan yang benar, jalan yang sahih, jalan yang diridhai, meski itu kadang membawa tekanan ke diri kita sendiri. Walau berat, ingatlah bahwa kita akan dibangkitkan di akhirat.
Till the next update.
Andika
0 komentar:
Posting Komentar