Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.
Hingga saat ini,
ada empat generasi reaktor nuklir, mulai dari reaktor Generasi I hingga
Generasi IV. Sebelumnya, sudah dijelaskan pula tahapan-tahapan pengembangan desain
reaktor nuklir pada tiap generasi. Saat ini, teknologi PLTN yang beroperasi di
dunia mayoritas masih berada pada Generasi II, sementara Generasi III agak
terhambat pembangunannya pasca kecelakaan Chernobyl, yang membuat banyak negara
mendadak takut pada energi nuklir atas bahaya yang sebenarnya tidak terlalu
parah jika dibandingkan dengan berbagai kecelakaan industri lain. Cuma gara-gara
bawa sesuatu yang bernama radiasi, Chernobyl dianggap jauh lebih mematikan dan
berbahaya daripada kecelkaan lain. Padahal itu keliru.
Kembali ke topik.
Selain masih banyak yang berasal dari Generasi II, 99% PLTN yang digunakan
masih menggunakan Reaktor Berpendingin Air. Hanya beberapa negara yang
menggunakan non-Pendingin Air, seperti AGR di Inggris Raya dan HTR-PM di Cina.
AGR pun sudah diskontinu secara desain dan Inggris beralih ke Reaktor
Berpendingin Air.
Walau sebenarnya
Reaktor Berpendingin Air bisa dibangun dengan murah dan cepat, selama dukungan infra
dan suprastruktur memadai, reaktor ini punya masalah yang membuatnya agak sulit
untuk dibiarkan mendominasi terus selama berabad-abad ke depan. Reaktor
Berpendingin Air, karena didinginkan dengan air, harus menggunakan bejana bertekanan
tinggi seperti tekanan hidup di era kapitalisme neoliberal, hingga 150
atmosfer. Itu juga hanya bisa menaikkan temperatur air hingga 320 °C, sehingga pembangkit uapnya harus pakai saturated steam turbine.
Sebagai perbandingan, PLTU batubara menggunakan supercritical steam turbine dengan
luaran temperatur mencapai 560°C. Imbasnya,
efisiensi termal PLTN jadi rendah (33-35%) dan tidak bisa digunakan untuk
proses termal temperatur tinggi.
Selain itu, Reaktor
Berpendingin Air tidak didesain untuk memanfaatkan uranium secara efisien. Wajar,
reaktor ini awalnya digunakan untuk keperluan militer, sebagai propulsi armada
laut. Ketika digunakan untuk keperluan sipil, desainnya yang tidak efisien
bahan bakar membuat hanya 0,5% dari potensi energi uranium alam yang bisa
diekstrak. Sisanya jadi bahan bakar bekas. Boros. Dari aspek fisika reaktor
pun, Reaktor Berpendingin Air tidak bisa dibuat jadi reaktor pembiak agar bisa
memanfaatkan uranium dan thorium secara optimal.
Kalau mau energi
nuklir mampu mencapai potensinya secara optimal, kita butuh suatu teknologi
yang berbeda. Teknologi yang bisa mengekstrak potensi bahan bakar nuklir secara
optimal dan mampu dioperasikan dalam temperatur tinggi. Oh, juga soal anti-proliferasi
or something.
Mari masuk ke PLTN
Generasi IV.
Bagian-bagian sebelumnya
sudah banyak menyinggung soal Generasi IV. Apa itu PLTN Generasi IV? Ringkasnya
adalah generasi PLTN terbaru dengan teknologi yang berbeda secara signifikan
dengan PLTN generasi sebelumnya. Kalau Generasi II ke Generasi III hanya
memperbarui fitur, sementara basis desainnya tetap sama, maka Generasi III ke Generasi
IV mengalami perubahan basis desain yang sangat signifikan, tidak bisa disamakan
dengan Generasi III.
Apa tujuan dikembangkannya
PLTN Generasi IV? Rangkumannya adalah sebagai berikut.
-
Menghasilkan
energi bersih berkelanjutan.
-
Meminimalisir
limbah radioaktif umur panjang.
-
Keekonomian
yang lebih baik dari sumber energi lain.
-
Risiko finansial
yang lebih rendah dari generasi sebelumnya.
-
Keselamatan
dan keandalan yang baik.
-
Potensi kerusakan
teras sangat rendah.
-
Tidak membutuhkan
tanggap darurat luar tapak.
-
Anti-proliferasi
(baca: tidak bisa dialihgunakan untuk senjata nuklir).
Generation IV
Forum (GIF) sudah melakukan analisis terhadap berbagai jenis teknologi reaktor
nuklir yang ada di dunia dan memutuskan ada enam jenis PLTN Generasi IV,
masing-masing adalah gas-cooled fast reactor (GCFR), lead-cooled
fast reactor (LFR), sodium-cooled fast reactor (SFR), molten salt
reactor (MSR), supercritical water reactor (SCWR), dan very high
temperature reactor (VHTR).
Penjelasan masing-masing
desain adalah sebagai berikut.
1.
GCFR mengambil
basis desain berupa Reaktor Berpendingin Gas. Bahan bakarnya berbentuk silinder
padat, yang disusun dalam perangkat bakar heksagonal seperti sarang lebah. Teras
reaktornya juga berbentuk segienam. Bedanya dengan Reaktor Berpendingin Gas
lain, GCFR tidak menggunakan material moderator. Artinya, reaktor tidak bekerja
menggunakan netron termal, melainkan netron cepat. Tujuannya, supaya bahan
bakar, baik uranium maupun thorium, bisa diekstrak seluruh potensinya. Penggunaan
gas (biasanya helium) sebagai media pendingin menjamin reaktor minim korosi. Kekurangannya,
kalau terjadi skenario kecelakaan yang menyebabkan kehilangan aliran pendingin,
ketiadaan material moderator membuat GCFR agak lebih rentan mengalami kerusakan
bahan bakar akibat tidak adanya kapasitas penyerapan panas memadai. GCFR masih
menggunakan bejana tekan untuk meningkatkan kepadatan gas helium.
2.
LFR merupakan
salah satu desain Reaktor Berpendingin Logam. Sebagaimana namanya, pendingin
yang digunakan adalah timbal cair. Timbal meleleh pada temperatur 327 °C dan mendidih pada temperatur 1749 °C. Jadi, LFR bisa dioperasikan pada rentang temperatur 500-800 °C tanpa menggunakan bejana tekan. Varian LFR lain menggunakan
campuran timbal-bismuth sebagai pendingin, dengan tujuan untuk menurunkan titik
leleh menjadi 123,5 °C. Tujuannya untuk
meningkatkan margin temperatur operasi. Reaktor Berpendingin Logam tidak menggunakan
material moderator, jadi bekerja menggunakan netron cepat. Paling optimal
menggunakan uranium, tapi thorium pun bisa dipakai. Bahan bakarnya berbentuk silinder
padat, disusun dalam teras reaktor berbentuk heksagonal. Timbal memiliki
karakteristik termodinamika yang baik dan tidak kemaruk netron. Kekurangannya,
timbal bersifat korosif dan berat di pompa, karena kepadatannya tinggi.
3.
SFR
merupakan kembaran LFR, hanya saja menggunakan logam natrium cair sebagai
pendingin. Natrium meleleh di temperatur 98 °C dan mendidih di temperatur 883 °C.
Rentang temperatur ini memungkinkan SFR dioperasikan tanpa bejana tekan, tetapi
hanya sekitar 550 °C. Tidak terlalu tinggi. SFR juga tidak menggunakan moderator,
bekerja di netron cepat. Uranium dan thorium sama-sama bisa digunakan di SFR. Konfigurasi
bahan bakar sama seperti LFR, hanya saja jarak antar bahan bakarnya lebih sempit
karena natrium jauh lebih superior dalam mengambil panas daripada LFR. Jadi ukuran
terasnya lebih kecil dan volume pendinginnya juga lebih sedikit. Kekurangannya,
natrium reaktif dengan udara sehingga harus diisolasi total dari udara atmosfer,
dan temperatur luarannya tidak terlalu tinggi.
4.
MSR adalah
satu-satunya yang mengadopsi basis desain Reaktor Berpendingin Garam. Berbeda dengan
Generasi IV lain yang memiliki bahan bakar dan pendingin terpisah, MSR
menggunakan bahan bakar yang berfungsi sekaligus sebagai pendingin, dalam
bentuk garam cair. Jadi panas dihasilkan di bahan bakar dan dialirkan
menggunakan medium yang sama. Karena bahan bakarnya sendiri merupakan garam
cair, MSR memiliki fleksibilitas desain sangat tinggi. MSR bisa didesain menggunakan
moderator atau tidak, menggunakan senyawa garam fluorida atau klorida, berbagai
opsi campuran senyawa garam, bahan bakar mengalir atau statis, menggunakan uranium
atau thorium, dan sebagainya. Umumnya, MSR dikenal sebagai “reaktor thorium,”
karena pengembangan awal MSR ditujukan untuk memanfaatkan thorium secara
optimal menggunakan netron termal. MSR ini menggunakan moderator grafit dan
campuran garam LiF-BeF2-ThF4-UF4, dengan
temperatur operasi sekitar 700 °C dan titik
didih garam sekitar 1400 °C. MSR tidak
membutuhkan bejana tekan, dan bahan bakar bisa diproses secara online tanpa
harus mematikan reaktor. Kekurangannya, garam itu korosif dan sifat-sifat
termofisika garam sebagian masih belum pasti.
5.
SCWR
adalah satu-satunya Generasi IV yang berbasis pada Reaktor Berpendingin Air. Bedanya,
tekanan operasi dinaikkan hingga 221 atmosfer, sehingga air berada pada fasa
yang bukan-bukan. Dibilang air bukan, gas bukan, uap bukan, apalagi plasma. Bentuk
teras reaktornya sama dengan reaktor berbahan bakar padat lain, batang
silindris dengan teras heksagonal. Air superkritis dipanaskan oleh bahan bakar
nuklir sehingga temperatur naik dan dialirkan langsung ke turbin uap. Keunggulan
utama SCWR adalah bisa pakai netron termal atau cepat tanpa harus otak atik moderator,
dan teknologi air superkritis itu sudah familiar di PLTU batubara. Kekurangannya,
tekanan hidupnya malah jadi lebih tinggi daripada PWR (221 atm) dan temperatur luarannya
tetap cenderung rendah, hanya 374 °C.
6.
VHTR memiliki
basis desain Reaktor Berpendingin Gas. Bedanya dengan GCFR, VHTR menggunakan material
moderator berbentuk grafit. Pendinginnya menggunakan helium. Bahan bakar VHTR
unik, karena menggunakan model TRISO. Basically bola-bola uranium sebesar
biji wijen, dibungkus dengan lapisan supertipis karbon pirolitik, silikon karbida,
dan karbon pirolitik lain. Tujuannya supaya produk hasil reaksi fisi nuklir
tidak bisa kabur kemana-mana, terkungkung semua di dalam partikel superkecil
itu. VHTR bisa didesain prismatik, yakni ketika biji-biji TRISO tersebut
dipadatkan di dalam silinder dalam matriks grafit heksagonal. Bisa juga
didesain pebble bed, ketika ribuan biji TRISO dicampur di dalam bola
grafit berdiameter 6 cm yang cukup berat untuk bikin maling gegar otak, dan puluhan
hingga ratusan ribu bola nuklir itu dimasukkan dalam teras berbentuk silinder.
VHTR saat ini bisa beroperasi pada temperatur 700 °C, dengan proyeksi berikutnya di temperatur 950 °C. Kekurangannya, bahan bakar VHTR sangat sulit didaur ulang, sehingga
sulit mengekstrak potensi penuh dari uranium (apalagi thorium).
Dari keenam PLTN
Generasi IV ini, baru ada satu yang komersial, yakni VHTR. Namanya HTR-PM,
terletak di PLTN Shidaowan, Cina. Temperatur operasinya saat ini masih 700 °C. Ke depannya mungkin bisa lebih tinggi lagi. Rusia memiliki PLTN SFR
bernama BN-800, tapi bukan reaktor komersial, melainkan bagian dari program eliminasi
plutonium antara AS-Rusia. Selain SFR, Rusia juga mengembangkan LFR, bernama BREST-300.
TerraPower, berbasis di AS, berencana membangun SFR di Wyoming pada tahun 2030.
MSR sudah pernah
dibuat purwarupanya di AS pada tahun 1966-1969. Saat ini, beberapa perusahaan
sedang mengembangkan MSR untuk penerapan segera, misalkan ThorCon dan
Terrestrial Energy. ThorCon berusaha membangun di Indonesia, sementara
Terrestrial Energy di Kanada. SCWR dikembangkan di beberapa negara, termasuk di
universitas di Jepang, salah satunya Waseda University (terdengar familiar?).
GCFR dikembangkan di Eropa dan juga oleh GE-Hitachi.
Memang butuh
waktu untuk mengembangkan PLTN Generasi IV agar layak secara komersial, khususnya
di tengah kondisi finansial, politik, dan regulasi yang agak kurang bersahabat.
Namun, ketika pada akhirnya PLTN Generasi IV komersial, dengan keekonomian
lebih baik dan kemampuan mengekstrak seluruh potensi uranium dan thorium (kecuali
VHTR), maka sisa-sisa bahan bakar dari PLTN Generasi III dan IV bisa dimanfaatkan
potensinya secara optimal, perlahan-lahan mengubah haluan industri nuklir dari
Reaktor Berpendingin Air Generasi III ke Generasi IV.
Kapan? Tidak
tahu. Semoga saja tidak terlalu lama.
0 komentar:
Posting Komentar