Kamis, 28 Maret 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 18: PLTN Generasi IV Itu Apa?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.

Hingga saat ini, ada empat generasi reaktor nuklir, mulai dari reaktor Generasi I hingga Generasi IV. Sebelumnya, sudah dijelaskan pula tahapan-tahapan pengembangan desain reaktor nuklir pada tiap generasi. Saat ini, teknologi PLTN yang beroperasi di dunia mayoritas masih berada pada Generasi II, sementara Generasi III agak terhambat pembangunannya pasca kecelakaan Chernobyl, yang membuat banyak negara mendadak takut pada energi nuklir atas bahaya yang sebenarnya tidak terlalu parah jika dibandingkan dengan berbagai kecelakaan industri lain. Cuma gara-gara bawa sesuatu yang bernama radiasi, Chernobyl dianggap jauh lebih mematikan dan berbahaya daripada kecelkaan lain. Padahal itu keliru.

Kembali ke topik. Selain masih banyak yang berasal dari Generasi II, 99% PLTN yang digunakan masih menggunakan Reaktor Berpendingin Air. Hanya beberapa negara yang menggunakan non-Pendingin Air, seperti AGR di Inggris Raya dan HTR-PM di Cina. AGR pun sudah diskontinu secara desain dan Inggris beralih ke Reaktor Berpendingin Air.

Walau sebenarnya Reaktor Berpendingin Air bisa dibangun dengan murah dan cepat, selama dukungan infra dan suprastruktur memadai, reaktor ini punya masalah yang membuatnya agak sulit untuk dibiarkan mendominasi terus selama berabad-abad ke depan. Reaktor Berpendingin Air, karena didinginkan dengan air, harus menggunakan bejana bertekanan tinggi seperti tekanan hidup di era kapitalisme neoliberal, hingga 150 atmosfer. Itu juga hanya bisa menaikkan temperatur air hingga 320 °C, sehingga pembangkit uapnya harus pakai saturated steam turbine. Sebagai perbandingan, PLTU batubara menggunakan supercritical steam turbine dengan luaran temperatur mencapai 560°C. Imbasnya, efisiensi termal PLTN jadi rendah (33-35%) dan tidak bisa digunakan untuk proses termal temperatur tinggi.

Selain itu, Reaktor Berpendingin Air tidak didesain untuk memanfaatkan uranium secara efisien. Wajar, reaktor ini awalnya digunakan untuk keperluan militer, sebagai propulsi armada laut. Ketika digunakan untuk keperluan sipil, desainnya yang tidak efisien bahan bakar membuat hanya 0,5% dari potensi energi uranium alam yang bisa diekstrak. Sisanya jadi bahan bakar bekas. Boros. Dari aspek fisika reaktor pun, Reaktor Berpendingin Air tidak bisa dibuat jadi reaktor pembiak agar bisa memanfaatkan uranium dan thorium secara optimal.

Kalau mau energi nuklir mampu mencapai potensinya secara optimal, kita butuh suatu teknologi yang berbeda. Teknologi yang bisa mengekstrak potensi bahan bakar nuklir secara optimal dan mampu dioperasikan dalam temperatur tinggi. Oh, juga soal anti-proliferasi or something.

Mari masuk ke PLTN Generasi IV.

Bagian-bagian sebelumnya sudah banyak menyinggung soal Generasi IV. Apa itu PLTN Generasi IV? Ringkasnya adalah generasi PLTN terbaru dengan teknologi yang berbeda secara signifikan dengan PLTN generasi sebelumnya. Kalau Generasi II ke Generasi III hanya memperbarui fitur, sementara basis desainnya tetap sama, maka Generasi III ke Generasi IV mengalami perubahan basis desain yang sangat signifikan, tidak bisa disamakan dengan Generasi III.

Apa tujuan dikembangkannya PLTN Generasi IV? Rangkumannya adalah sebagai berikut.

-          Menghasilkan energi bersih berkelanjutan.

-          Meminimalisir limbah radioaktif umur panjang.

-          Keekonomian yang lebih baik dari sumber energi lain.

-          Risiko finansial yang lebih rendah dari generasi sebelumnya.

-          Keselamatan dan keandalan yang baik.

-          Potensi kerusakan teras sangat rendah.

-          Tidak membutuhkan tanggap darurat luar tapak.

-          Anti-proliferasi (baca: tidak bisa dialihgunakan untuk senjata nuklir).

Generation IV Forum (GIF) sudah melakukan analisis terhadap berbagai jenis teknologi reaktor nuklir yang ada di dunia dan memutuskan ada enam jenis PLTN Generasi IV, masing-masing adalah gas-cooled fast reactor (GCFR), lead-cooled fast reactor (LFR), sodium-cooled fast reactor (SFR), molten salt reactor (MSR), supercritical water reactor (SCWR), dan very high temperature reactor (VHTR).

Penjelasan masing-masing desain adalah sebagai berikut.

1.       GCFR mengambil basis desain berupa Reaktor Berpendingin Gas. Bahan bakarnya berbentuk silinder padat, yang disusun dalam perangkat bakar heksagonal seperti sarang lebah. Teras reaktornya juga berbentuk segienam. Bedanya dengan Reaktor Berpendingin Gas lain, GCFR tidak menggunakan material moderator. Artinya, reaktor tidak bekerja menggunakan netron termal, melainkan netron cepat. Tujuannya, supaya bahan bakar, baik uranium maupun thorium, bisa diekstrak seluruh potensinya. Penggunaan gas (biasanya helium) sebagai media pendingin menjamin reaktor minim korosi. Kekurangannya, kalau terjadi skenario kecelakaan yang menyebabkan kehilangan aliran pendingin, ketiadaan material moderator membuat GCFR agak lebih rentan mengalami kerusakan bahan bakar akibat tidak adanya kapasitas penyerapan panas memadai. GCFR masih menggunakan bejana tekan untuk meningkatkan kepadatan gas helium.

2.       LFR merupakan salah satu desain Reaktor Berpendingin Logam. Sebagaimana namanya, pendingin yang digunakan adalah timbal cair. Timbal meleleh pada temperatur 327 °C dan mendidih pada temperatur 1749 °C. Jadi, LFR bisa dioperasikan pada rentang temperatur 500-800 °C tanpa menggunakan bejana tekan. Varian LFR lain menggunakan campuran timbal-bismuth sebagai pendingin, dengan tujuan untuk menurunkan titik leleh menjadi 123,5 °C. Tujuannya untuk meningkatkan margin temperatur operasi. Reaktor Berpendingin Logam tidak menggunakan material moderator, jadi bekerja menggunakan netron cepat. Paling optimal menggunakan uranium, tapi thorium pun bisa dipakai. Bahan bakarnya berbentuk silinder padat, disusun dalam teras reaktor berbentuk heksagonal. Timbal memiliki karakteristik termodinamika yang baik dan tidak kemaruk netron. Kekurangannya, timbal bersifat korosif dan berat di pompa, karena kepadatannya tinggi.

3.       SFR merupakan kembaran LFR, hanya saja menggunakan logam natrium cair sebagai pendingin. Natrium meleleh di temperatur 98 °C dan mendidih di temperatur 883 °C. Rentang temperatur ini memungkinkan SFR dioperasikan tanpa bejana tekan, tetapi hanya sekitar 550 °C. Tidak terlalu tinggi. SFR juga tidak menggunakan moderator, bekerja di netron cepat. Uranium dan thorium sama-sama bisa digunakan di SFR. Konfigurasi bahan bakar sama seperti LFR, hanya saja jarak antar bahan bakarnya lebih sempit karena natrium jauh lebih superior dalam mengambil panas daripada LFR. Jadi ukuran terasnya lebih kecil dan volume pendinginnya juga lebih sedikit. Kekurangannya, natrium reaktif dengan udara sehingga harus diisolasi total dari udara atmosfer, dan temperatur luarannya tidak terlalu tinggi.

4.       MSR adalah satu-satunya yang mengadopsi basis desain Reaktor Berpendingin Garam. Berbeda dengan Generasi IV lain yang memiliki bahan bakar dan pendingin terpisah, MSR menggunakan bahan bakar yang berfungsi sekaligus sebagai pendingin, dalam bentuk garam cair. Jadi panas dihasilkan di bahan bakar dan dialirkan menggunakan medium yang sama. Karena bahan bakarnya sendiri merupakan garam cair, MSR memiliki fleksibilitas desain sangat tinggi. MSR bisa didesain menggunakan moderator atau tidak, menggunakan senyawa garam fluorida atau klorida, berbagai opsi campuran senyawa garam, bahan bakar mengalir atau statis, menggunakan uranium atau thorium, dan sebagainya. Umumnya, MSR dikenal sebagai “reaktor thorium,” karena pengembangan awal MSR ditujukan untuk memanfaatkan thorium secara optimal menggunakan netron termal. MSR ini menggunakan moderator grafit dan campuran garam LiF-BeF2-ThF4-UF4, dengan temperatur operasi sekitar 700 °C dan titik didih garam sekitar 1400 °C. MSR tidak membutuhkan bejana tekan, dan bahan bakar bisa diproses secara online tanpa harus mematikan reaktor. Kekurangannya, garam itu korosif dan sifat-sifat termofisika garam sebagian masih belum pasti.

5.       SCWR adalah satu-satunya Generasi IV yang berbasis pada Reaktor Berpendingin Air. Bedanya, tekanan operasi dinaikkan hingga 221 atmosfer, sehingga air berada pada fasa yang bukan-bukan. Dibilang air bukan, gas bukan, uap bukan, apalagi plasma. Bentuk teras reaktornya sama dengan reaktor berbahan bakar padat lain, batang silindris dengan teras heksagonal. Air superkritis dipanaskan oleh bahan bakar nuklir sehingga temperatur naik dan dialirkan langsung ke turbin uap. Keunggulan utama SCWR adalah bisa pakai netron termal atau cepat tanpa harus otak atik moderator, dan teknologi air superkritis itu sudah familiar di PLTU batubara. Kekurangannya, tekanan hidupnya malah jadi lebih tinggi daripada PWR (221 atm) dan temperatur luarannya tetap cenderung rendah, hanya 374 °C.

6.       VHTR memiliki basis desain Reaktor Berpendingin Gas. Bedanya dengan GCFR, VHTR menggunakan material moderator berbentuk grafit. Pendinginnya menggunakan helium. Bahan bakar VHTR unik, karena menggunakan model TRISO. Basically bola-bola uranium sebesar biji wijen, dibungkus dengan lapisan supertipis karbon pirolitik, silikon karbida, dan karbon pirolitik lain. Tujuannya supaya produk hasil reaksi fisi nuklir tidak bisa kabur kemana-mana, terkungkung semua di dalam partikel superkecil itu. VHTR bisa didesain prismatik, yakni ketika biji-biji TRISO tersebut dipadatkan di dalam silinder dalam matriks grafit heksagonal. Bisa juga didesain pebble bed, ketika ribuan biji TRISO dicampur di dalam bola grafit berdiameter 6 cm yang cukup berat untuk bikin maling gegar otak, dan puluhan hingga ratusan ribu bola nuklir itu dimasukkan dalam teras berbentuk silinder. VHTR saat ini bisa beroperasi pada temperatur 700 °C, dengan proyeksi berikutnya di temperatur 950 °C. Kekurangannya, bahan bakar VHTR sangat sulit didaur ulang, sehingga sulit mengekstrak potensi penuh dari uranium (apalagi thorium).

Dari keenam PLTN Generasi IV ini, baru ada satu yang komersial, yakni VHTR. Namanya HTR-PM, terletak di PLTN Shidaowan, Cina. Temperatur operasinya saat ini masih 700 °C. Ke depannya mungkin bisa lebih tinggi lagi. Rusia memiliki PLTN SFR bernama BN-800, tapi bukan reaktor komersial, melainkan bagian dari program eliminasi plutonium antara AS-Rusia. Selain SFR, Rusia juga mengembangkan LFR, bernama BREST-300. TerraPower, berbasis di AS, berencana membangun SFR di Wyoming pada tahun 2030.

MSR sudah pernah dibuat purwarupanya di AS pada tahun 1966-1969. Saat ini, beberapa perusahaan sedang mengembangkan MSR untuk penerapan segera, misalkan ThorCon dan Terrestrial Energy. ThorCon berusaha membangun di Indonesia, sementara Terrestrial Energy di Kanada. SCWR dikembangkan di beberapa negara, termasuk di universitas di Jepang, salah satunya Waseda University (terdengar familiar?). GCFR dikembangkan di Eropa dan juga oleh GE-Hitachi.

Memang butuh waktu untuk mengembangkan PLTN Generasi IV agar layak secara komersial, khususnya di tengah kondisi finansial, politik, dan regulasi yang agak kurang bersahabat. Namun, ketika pada akhirnya PLTN Generasi IV komersial, dengan keekonomian lebih baik dan kemampuan mengekstrak seluruh potensi uranium dan thorium (kecuali VHTR), maka sisa-sisa bahan bakar dari PLTN Generasi III dan IV bisa dimanfaatkan potensinya secara optimal, perlahan-lahan mengubah haluan industri nuklir dari Reaktor Berpendingin Air Generasi III ke Generasi IV.

Kapan? Tidak tahu. Semoga saja tidak terlalu lama.

0 komentar:

Posting Komentar