Rabu, 27 Maret 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 17: PLTN Bisa Dipakai Untuk Apa Saja?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Walau energi nuklir pertama kali digunakan untuk keperluan militer, dengan hasil luaran berupa 200 ribuan korban jiwa di dua kota di Jepang, kesadaran bahwa potensi energi nuklir juga sangat dahsyat untuk keperluan sipil membuat potensi energi nuklir kemudian diekstrak dalam bentuk PLTN. Energi listrik yang dihasilkan PLTN ini kemudian menyuplai kebutuhan rumah tangga dan industri secara murah, bersih, selamat, dan andal.

Namun, kebutuhan energi manusia bukan sekadar listrik. Saat ini, setidaknya ada tiga jenis energi final yang dibutuhkan manusia, yakni listrik, kalor, dan bahan bakar transportasi. Listrik sudah jelas, tidak perlu dibahas lagi keperluannya apa. Tulisan ini tidak akan bisa diketik, ditayangkan, dan dibaca kalau tidak ada listrik. Kebutuhan akan listrik sangat besar, sampai-sampai blackout di Jabodetabek dan sebagian Jawa Barat-Banten pada tahun 2019 membuat semua orang kelimpungan dan kebingungan. Kebutuhan yang sangat besar, sehingga kalau terjadi perang, sasaran paling empuk adalah sektor kelistrikan. Lumpuhkan pembangkit listrik dan jaringannya, siap-siap chaos di mana-mana.

Kalor (bukan nama daun) penting untuk industri yang berbasis proses termal temperatur tinggi. Biasanya untuk industri logam dan permesinan. Industri baja, misalnya, butuh tanur tinggi (blast furnace) dengan temperatur 900-1300 °C. Selain itu, kalor juga bisa dimanfaatkan untuk proses termal temperatur sedang atau rendah, misalkan desalinasi air laut untuk penyediaan air bersih dan pemanasan ruang di negara empat musim, supaya orang-orang tidak mati karena hipotermia.

Kalor juga digunakan di rumah tangga untuk keperluan masak memasak, temasuk memasak isu. Umumnya menggunakan liquefied petroleum gas (LPG) yang diolah dari minyak bumi, kadang-kadang pakai gas alam yang disalurkan lewat pipa.

Bahan bakar transportasi pun sudah jelas kegunaannya. Hampir semua transportasi saat ini mengandalkan bahan bakar minyak (BBM). Walau hype soal kendaraan listrik mulai meningkat baru-baru ini, agak sulit untuk mengharapkan baterai bisa benar-benar menggantikan BBM. Mengingat, baterai itu big, bulky, heavy, dengan kepadatan energi rendah dan limbahnya belum bisa ditangani dengan baik. BBM masih jadi primadona untuk menjadi bahan bakar yang gunanya memindahkan manusia dan barang dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai barang ekonomi yang nilainya lenting sempurna, mau semahal apapun karena subsidi terus menerus dipangkas, yang menggunakan akan tetap banyak. Karena memang butuh.

PLTN, sebagaimana namanya, adalah pembangkit listrik. Tugasnya menghasilkan listrik yang kemudian dialirkan ke pengguna. Dari sini, jelas bahwa PLTN sudah mampu memenuhi kebutuhan energi manusia yang pertama. Tapi apakah cuma sampai sini? Apakah PLTN tidak bisa memenuhi kebutuhan kalor dan BBM? Kalau tidak bisa, berarti sulit, dong, mengganti energi fosil yang ada saat ini?

Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah tergantung pada skema penggunaan PLTN dan tipe PLTN apa yang digunakan.

Secara teoretis, PLTN yang menggunakan Reaktor Berpendingin Air sebagaimana yang ada saat ini bisa digunakan untuk proses kalor temperatur rendah. Jadi, bisa saja panas buangan dari PLTN ini digunakan untuk desalinasi air laut maupun untuk pemanasan ruang di negara empat musim. Desalinasi air laut sudah digunakan di PLTN penggerak kapal induk militer, tetapi belum digunakan secara komersial untuk sipil. Beberapa PLTN di Jepang, Korea Selatan, Cina, dan India dikopel dengan fasilitas desalinasi, tetapi biasanya untuk penggunaan sendiri.

Apakah nanti air desalinasinya mengandung bahan radioaktif? Ya, tapi dari air lautnya itu sendiri, bukan efek ‘bocor’ dari PLTN. Air laut itu secara alami radioaktif, dan tidak ada yang perlu kita lakukan soal itu. Bahaya juga tidak. Yang jelas masih jauh lebih layak diminum daripada air sungai Ciliwung.

Kalau pemanasan ruang, sudah mulai diterapkan di Finlandia. Jadi panas buangan dari PLTN dialirkan melalui pipa-pipa ke rumah-rumah, untuk menghangatkan ruangan di musim dingin. Daripada bakar-bakar kayu atau bakar rumah tetangga supaya tidak kedinginan, jelas lebih berguna pakai panas sisa PLTN. Jadi memang prinsipnya bisa diterapkan, walau tidak relevan untuk negara tropis karena sepanjang tahun panas.

Jadi, untuk PLTN konvensional, setidaknya bisa untuk keperluan kalor temperatur rendah. Tidak bisa untuk proses termal temperatur tinggi, karena panas luaran maksimumnya hanya sekitar 285 °C. Terlalu rendah. Tidak bisa juga untuk menggantikan BBM, karena PLTN terlalu besar untuk ditaruh di mobil. Tidak bisa sekadar taruh setumpuk uranium di dalam mesin lalu mobil bergerak terus.

PLTN konvensional Berpendingin Air jelas tidak bisa digunakan untuk keperluan pembangkitan kalor temperatur tinggi dan BBM. Yang bisa menghasilkan kalor temperatur tinggi dan BBM hanya Reaktor Berpendingin Logam, Reaktor Berpendingin Garam, dan Reaktor Berpendingin Gas. Ketiga jenis reaktor ini masuk dalam kategori Reaktor Generasi IV.

Prinsipnya bagaimana?

Untuk proses kalor temperatur tinggi, mayoritas Reaktor Generasi IV bisa beroperasi pada temperatur 700-900 °C. Panas luaran 900 °C cukup untuk keperluan tanur tinggi, dan bisa dipenuhi utamanya oleh Reaktor Berpendingin Gas. Jadi, gas helium dipanaskan melalui reaksi fisi nuklir hingga mencapai temperatur hingga lebih dari 900 °C, lalu panas tersebut ditransfer ke gas sekunder yang kemudian disemburkan ke tungku baja. Saat ini Reaktor Berpendingin Gas baru didesain untuk menghasilkan temperatur luaran 700 °C, tapi ke depan akan dikembangkan yang bisa lebih dari 900 °C. Jepang memiliki purwarupa high temperature test reactor (HTTR) berdaya 30 MWt yang temperatur luarannya antara 850-950 °C, tetapi belum sampai taraf komersial.

Opsi lain untuk kebutuhan kalor temperatur tinggi adalah dengan produksi hidrogen. Temperatur luaran 700 °C bisa digunakan untuk radiolisis atau hidrolisis temperatur tinggi, memisahkan air menjadi hidrogen dan oksigen, secara lebih efisien. Hidrogen yang dihasilkan bisa digunakan menggantikan gas alam untuk produksi baja dan proses termal lain. Opsi ini bisa dilakukan oleh Reaktor Berpendingin Logam, Garam, maupun Gas.

Opsi lain lagi adalah menggunakan listrik yang dihasilkan oleh PLTN untuk menyalakan pemanas plasma, yang kemudian bisa digunakan untuk menyediakan kalor temperatur tinggi di tanur tinggi. Opsi ini belum tentu ekonomis, dan secara efisiensi sistem agak lebih rendah daripada pakai gas alam langsung.

Jadi, Reaktor Generasi IV, khususnya Reaktor Berpendingin Gas, bisa digunakan memenuhi kebutuhan kalor temperatur tinggi.

Untuk keperluan BBM, kunci utamanya ada pada produksi hidrogen. Karena dari hidrogen inilah BBM sintetis (synfuel) bisa diproduksi. Atau kalau mau pakai langsung hidrogennya juga bisa, seperti di mobil hydrogen fuel cell (HFC). Tapi karena kendaraan HFC masih cukup terbatas, mari tidak terlalu bertaruh pada teknologi ini.

Synfuel diproduksi dengan mereaksikan hidrogen dengan unsur karbon, biasanya karbon monoksida atau dioksida. Ide utama sampai saat ini adalah hidrogen diproduksi dari hidrolisis, memecah air menjadi hidrogen dan oksigen. Cara ini agak mahal dan butuh energi besar karena sifatnya endotermik, tapi efisiensi sistem bisa ditingkatkan dengan menggunakan Reaktor Generasi IV yang punya temperatur luaran tinggi. Proses lain seperti daur Cu-Cl dan S-I juga sedang dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi produksi hidrogen lebih lanjut. Opsi lain yang lebih murah adalah steam methane reforming dari gas alam, tapi alih-alih pakai energi fosil, pakai energi nuklir untuk menyuplai uap panasnya. Hidrogen yang dihasilkan bisa disintetis dengan karbon dioksida yang diambil entah dari udara atau air laut, menjadi BBM sintetis.

Proses ini butuh cukup banyak energi, tapi hasilnya adalah BBM net zero. Artinya, tidak melepaskan emisi karbon ke alam, karena karbonnya sendiri diambil dari alam. Karena butuh banyak energi, maka nuklir adalah energi yang cocok, karena konsumsi bahan bakarnya sangat rendah.

Synfuel ini bisa diproses untuk menjadi bahan bakar pengganti bensin maupun solar. Jadi mulai dari sepeda motor hingga truk semen, bisa menggunakan BBM net zero yang tidak menambah emisi gas rumah kaca. Kecuali kalau mesinnya butut karena tidak dirawat, ya akan tetap ngebul, juga, sih.

Dengan demikian, PLTN pada dasarnya bisa saja digunakan untuk menggantikan energi fosil pada seluruh aspek kebutuhan energi, mulai dari listrik, kalor, hingga BBM. Catatannya adalah harus dengan menggunakan teknologi yang tepat, yakni Reaktor Generasi IV. Dengan begini, namanya net zero emission bisa benar-benar diraih, bukan sekadar omon-omon politisi semata.

0 komentar:

Posting Komentar