Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.
Walau energi
nuklir pertama kali digunakan untuk keperluan militer, dengan hasil luaran
berupa 200 ribuan korban jiwa di dua kota di Jepang, kesadaran bahwa potensi energi
nuklir juga sangat dahsyat untuk keperluan sipil membuat potensi energi nuklir
kemudian diekstrak dalam bentuk PLTN. Energi listrik yang dihasilkan PLTN ini
kemudian menyuplai kebutuhan rumah tangga dan industri secara murah, bersih, selamat,
dan andal.
Namun, kebutuhan
energi manusia bukan sekadar listrik. Saat ini, setidaknya ada tiga jenis energi
final yang dibutuhkan manusia, yakni listrik, kalor, dan bahan bakar
transportasi. Listrik sudah jelas, tidak perlu dibahas lagi keperluannya apa. Tulisan
ini tidak akan bisa diketik, ditayangkan, dan dibaca kalau tidak ada listrik. Kebutuhan
akan listrik sangat besar, sampai-sampai blackout di Jabodetabek dan sebagian
Jawa Barat-Banten pada tahun 2019 membuat semua orang kelimpungan dan
kebingungan. Kebutuhan yang sangat besar, sehingga kalau terjadi perang,
sasaran paling empuk adalah sektor kelistrikan. Lumpuhkan pembangkit listrik
dan jaringannya, siap-siap chaos di mana-mana.
Kalor (bukan
nama daun) penting untuk industri yang berbasis proses termal temperatur
tinggi. Biasanya untuk industri logam dan permesinan. Industri baja, misalnya,
butuh tanur tinggi (blast furnace) dengan temperatur 900-1300 °C. Selain
itu, kalor juga bisa dimanfaatkan untuk proses termal temperatur sedang atau
rendah, misalkan desalinasi air laut untuk penyediaan air bersih dan pemanasan
ruang di negara empat musim, supaya orang-orang tidak mati karena hipotermia.
Kalor juga
digunakan di rumah tangga untuk keperluan masak memasak, temasuk memasak isu. Umumnya
menggunakan liquefied petroleum gas (LPG) yang diolah dari minyak bumi,
kadang-kadang pakai gas alam yang disalurkan lewat pipa.
Bahan bakar
transportasi pun sudah jelas kegunaannya. Hampir semua transportasi saat ini
mengandalkan bahan bakar minyak (BBM). Walau hype soal kendaraan listrik
mulai meningkat baru-baru ini, agak sulit untuk mengharapkan baterai bisa
benar-benar menggantikan BBM. Mengingat, baterai itu big, bulky, heavy, dengan
kepadatan energi rendah dan limbahnya belum bisa ditangani dengan baik. BBM
masih jadi primadona untuk menjadi bahan bakar yang gunanya memindahkan manusia
dan barang dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai barang ekonomi yang
nilainya lenting sempurna, mau semahal apapun karena subsidi terus menerus
dipangkas, yang menggunakan akan tetap banyak. Karena memang butuh.
PLTN,
sebagaimana namanya, adalah pembangkit listrik. Tugasnya menghasilkan listrik yang
kemudian dialirkan ke pengguna. Dari sini, jelas bahwa PLTN sudah mampu
memenuhi kebutuhan energi manusia yang pertama. Tapi apakah cuma sampai sini? Apakah
PLTN tidak bisa memenuhi kebutuhan kalor dan BBM? Kalau tidak bisa, berarti
sulit, dong, mengganti energi fosil yang ada saat ini?
Jawaban dari
pertanyaan tersebut adalah tergantung pada skema penggunaan PLTN dan tipe
PLTN apa yang digunakan.
Secara teoretis,
PLTN yang menggunakan Reaktor Berpendingin Air sebagaimana yang ada saat ini
bisa digunakan untuk proses kalor temperatur rendah. Jadi, bisa saja panas buangan
dari PLTN ini digunakan untuk desalinasi air laut maupun untuk pemanasan ruang di
negara empat musim. Desalinasi air laut sudah digunakan di PLTN penggerak kapal
induk militer, tetapi belum digunakan secara komersial untuk sipil. Beberapa PLTN
di Jepang, Korea Selatan, Cina, dan India dikopel dengan fasilitas desalinasi,
tetapi biasanya untuk penggunaan sendiri.
Apakah nanti air
desalinasinya mengandung bahan radioaktif? Ya, tapi dari air lautnya itu
sendiri, bukan efek ‘bocor’ dari PLTN. Air laut itu secara alami radioaktif, dan
tidak ada yang perlu kita lakukan soal itu. Bahaya juga tidak. Yang jelas masih
jauh lebih layak diminum daripada air sungai Ciliwung.
Kalau pemanasan
ruang, sudah mulai diterapkan di Finlandia. Jadi panas buangan dari PLTN
dialirkan melalui pipa-pipa ke rumah-rumah, untuk menghangatkan ruangan di
musim dingin. Daripada bakar-bakar kayu atau bakar rumah tetangga supaya tidak
kedinginan, jelas lebih berguna pakai panas sisa PLTN. Jadi memang prinsipnya
bisa diterapkan, walau tidak relevan untuk negara tropis karena sepanjang tahun
panas.
Jadi, untuk PLTN
konvensional, setidaknya bisa untuk keperluan kalor temperatur rendah. Tidak bisa
untuk proses termal temperatur tinggi, karena panas luaran maksimumnya hanya
sekitar 285 °C. Terlalu rendah. Tidak bisa juga untuk menggantikan BBM, karena
PLTN terlalu besar untuk ditaruh di mobil. Tidak bisa sekadar taruh setumpuk
uranium di dalam mesin lalu mobil bergerak terus.
PLTN konvensional
Berpendingin Air jelas tidak bisa digunakan untuk keperluan pembangkitan kalor temperatur
tinggi dan BBM. Yang bisa menghasilkan kalor temperatur tinggi dan BBM hanya Reaktor
Berpendingin Logam, Reaktor Berpendingin Garam, dan Reaktor Berpendingin Gas.
Ketiga jenis reaktor ini masuk dalam kategori Reaktor Generasi IV.
Prinsipnya bagaimana?
Untuk proses
kalor temperatur tinggi, mayoritas Reaktor Generasi IV bisa beroperasi pada
temperatur 700-900 °C. Panas luaran 900 °C cukup untuk keperluan tanur tinggi,
dan bisa dipenuhi utamanya oleh Reaktor Berpendingin Gas. Jadi, gas helium
dipanaskan melalui reaksi fisi nuklir hingga mencapai temperatur hingga lebih
dari 900 °C, lalu panas tersebut ditransfer ke gas sekunder yang kemudian
disemburkan ke tungku baja. Saat ini Reaktor Berpendingin Gas baru didesain
untuk menghasilkan temperatur luaran 700 °C, tapi ke depan akan dikembangkan
yang bisa lebih dari 900 °C. Jepang memiliki purwarupa high temperature test
reactor (HTTR) berdaya 30 MWt yang temperatur luarannya antara 850-950 °C,
tetapi belum sampai taraf komersial.
Opsi lain untuk
kebutuhan kalor temperatur tinggi adalah dengan produksi hidrogen. Temperatur luaran
700 °C bisa digunakan untuk radiolisis atau hidrolisis temperatur tinggi,
memisahkan air menjadi hidrogen dan oksigen, secara lebih efisien. Hidrogen yang
dihasilkan bisa digunakan menggantikan gas alam untuk produksi baja dan proses
termal lain. Opsi ini bisa dilakukan oleh Reaktor Berpendingin Logam, Garam,
maupun Gas.
Opsi lain lagi
adalah menggunakan listrik yang dihasilkan oleh PLTN untuk menyalakan pemanas plasma,
yang kemudian bisa digunakan untuk menyediakan kalor temperatur tinggi di tanur
tinggi. Opsi ini belum tentu ekonomis, dan secara efisiensi sistem agak lebih
rendah daripada pakai gas alam langsung.
Jadi, Reaktor
Generasi IV, khususnya Reaktor Berpendingin Gas, bisa digunakan memenuhi
kebutuhan kalor temperatur tinggi.
Untuk keperluan
BBM, kunci utamanya ada pada produksi hidrogen. Karena dari hidrogen inilah BBM
sintetis (synfuel) bisa diproduksi. Atau kalau mau pakai langsung
hidrogennya juga bisa, seperti di mobil hydrogen fuel cell (HFC). Tapi
karena kendaraan HFC masih cukup terbatas, mari tidak terlalu bertaruh pada
teknologi ini.
Synfuel diproduksi dengan mereaksikan hidrogen dengan unsur karbon, biasanya
karbon monoksida atau dioksida. Ide utama sampai saat ini adalah hidrogen
diproduksi dari hidrolisis, memecah air menjadi hidrogen dan oksigen. Cara ini
agak mahal dan butuh energi besar karena sifatnya endotermik, tapi efisiensi
sistem bisa ditingkatkan dengan menggunakan Reaktor Generasi IV yang punya temperatur
luaran tinggi. Proses lain seperti daur Cu-Cl dan S-I juga sedang dikembangkan
untuk meningkatkan efisiensi produksi hidrogen lebih lanjut. Opsi lain yang
lebih murah adalah steam methane reforming dari gas alam, tapi alih-alih
pakai energi fosil, pakai energi nuklir untuk menyuplai uap panasnya. Hidrogen
yang dihasilkan bisa disintetis dengan karbon dioksida yang diambil entah dari
udara atau air laut, menjadi BBM sintetis.
Proses ini butuh
cukup banyak energi, tapi hasilnya adalah BBM net zero. Artinya, tidak
melepaskan emisi karbon ke alam, karena karbonnya sendiri diambil dari alam. Karena
butuh banyak energi, maka nuklir adalah energi yang cocok, karena konsumsi
bahan bakarnya sangat rendah.
Synfuel ini bisa diproses untuk menjadi bahan bakar pengganti bensin maupun solar.
Jadi mulai dari sepeda motor hingga truk semen, bisa menggunakan BBM net zero
yang tidak menambah emisi gas rumah kaca. Kecuali kalau mesinnya butut karena
tidak dirawat, ya akan tetap ngebul, juga, sih.
Dengan demikian,
PLTN pada dasarnya bisa saja digunakan untuk menggantikan energi fosil pada seluruh
aspek kebutuhan energi, mulai dari listrik, kalor, hingga BBM. Catatannya adalah
harus dengan menggunakan teknologi yang tepat, yakni Reaktor Generasi IV.
Dengan begini, namanya net zero emission bisa benar-benar diraih, bukan
sekadar omon-omon politisi semata.
0 komentar:
Posting Komentar