Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.
Semua aspek
kehidupan menghasilkan limbah. Pembakaran BBM menghasilkan limbah, dalam bentuk
polutan mikro, CO2, CO, NOX, dan SO2. Pembakaran batubara
menghasilkan limbah CO2, polutan mikro, dan berbagai jenis abu
dengan kandungan bermacam-macam. Konsumsi rumah tangga menghasilkan limbah
rumah tangga, khususnya para manusia sombong yang doyan buang-buang makanan
padahal tetangganya banyak yang miskin. Bahkan manusia mengeluarkan limbah,
baik berbentuk cairan maupun padatan, yang mana keduanya tidak perlu dijelaskan
lebih lanjut. Tidak terkecuali energi nuklir, akan ada limbah yang dihasilkan
dari pengoperasiannya.
Tapi untuk
alasan tertentu, limbah nuklir mendapat penentangan yang lebih keras
dibandingkan limbah lainnya.
Alasannya apa?
Radiasi. Bahwa limbah nuklir melepaskan radiasi dan membuatnya lebih berbahaya or
something dibandingkan limbah lainnya. Limbah nuklir ini berbahaya dan
tidak ada solusinya. Katanya, sih, begitu.
Di satu
sisi, benar bahwa limbah nuklir melepaskan radiasi. Namanya juga hasil reaksi
nuklir, apakah itu fisi, transmutasi, atau peluruhan. Di sisi lain, seperti
sering disebutkan sebelumnya, adanya radiasi tidak serta merta menjelaskan
sesuatu itu bahaya atau tidak.
Jadi,
apakah benar limbah nuklir, khususnya limbah PLTN itu tidak ada solusinya?
Seandainya
pernyataan ini benar, maka teknologi nuklir kemungkinan besar tidak akan pernah
berkembang sejak awal ditemukannya reaktor nuklir oleh Enrico Fermi dan Leo
Szilard.
Faktanya,
industri nuklir jelas memiliki solusi terhadap pengelolaan limbah radioaktif
yang dihasilkan, terutama limbah PLTN. Hingga sekarang pun, metode pengelolaan
limbah yang dikembangkan sebagian besar sudah diterapkan dan berjalan baik-baik
saja. Yang belum sepenuhnya diterapkan bukan karena persoalan teknologi,
melainkan politik.
Sebelumnya,
perlu dipahami dulu kategorisasi terhadap limbah radioaktif. Karena tiap jenis
limbah punya cara penanganan berbeda.
Limbah
radioaktif dapat dibagi menjadi tiga atau empat kategori. Di sini kita pakai empat
kategori, yaitu Very Low Level Waste (VLLW),
Low Level Waste (LLW), Intermediate Level Waste (ILW), dan High Level Waste (HLW). Tiap kategori
memiliki metode pengelolaan masing-masing, dan sebagian besar sudah digunakan.
VLLW
memiliki kadar radiasi sangat rendah dan
tidak berbahaya bagi manusia maupun lingkungan. Biasanya terdiri dari material
seperti beton, semen, batu bata, logam, dan sebagainya, dari industri umum,
seperti industri besi, industri kimia, dsb. Sebabnya adalah beberapa jenis
mineral yang digunakan dalam industri-industri tersebut secara alami bersifat
radioaktif, yang kita sebut naturally occurring radioactive material (NORM).
Bisa juga berasal dari bangunan industri nuklir yang entah mengalami
rehabilitasi atau pembongkaran. Karena rendahnya kadar radiasi VVLW, limbah ini
bisa dikelola sebagaimana limbah domestik lain. Tidak perlu perlakuan khusus.
VLW
memiliki kadar radiasi rendah,
biasanya mengandung sedikit unsur radioaktif dengan waktu paruh pendek. VLW
berasal dari rumah sakit dan industri nuklir, termasuk daur bahan bakar nuklir,
seperti kertas, pakaian, penyaring,
serta alat-alat sejenis. Penanganannya tidak perlu menggunakan perisai radiasi
dan limbahnya bisa dikubur di tanah dangkal. Untuk mengurangi volume, limbah
ini bisa juga dikompaksi/dipadatkan, seperti padatnya jadwal pejabat Eselon I,
supaya tidak makan tempat. Bisa juga dibakar, selama dibakarnya di tempat khusus
bukan di halaman rumah tetangga. VLW memiliki volume mencapai 90% limbah
radioaktif, tapi hanya mewakili 1% radioaktivitas total. Volumenya paling
banyak, tapi radioaktivitas sekadarnya saja. Bukan sesuatu yang penting.
ILW
memiliki kadar radiasi sedang dan
sebagian membutuhkan perisai radiasi dalam pengelolaannya. Asalnya dari resin,
limbah kimiawi dan kelongsong bahan bakar, juga material yang terkontaminasi
dari dekomisioning reaktor. Limbah-limbah berukuran kecil atau cair dapat
dipadatkan dalam beton atau bitumen sebelum dikubur di tanah dangkal seperti
VLW. ILW mewakili 7% volume limbah dan 4% radioaktivitas total.
Pengelolaan
limbah dengan tiga level radioaktivitas di atas sudah dipraktikkan di banyak
negara selama puluhan tahun tanpa ada masalah terhadap manusia maupun
lingkungan. Di Indonesia, VLW dan ILW dari industri dulunya dikelola oleh Pusat
Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) BATAN, kalau sekarang di Direktorat
Pengelolaan Fasilitas Ketenaganukliran (DPFK) BRIN.
HLW
memiliki kadar radiasi sangat tinggi dan
merupakan sisa dari pembakaran uranium di dalam reaktor nuklir. Kandungannya terdiri
dari produk fisi dan elemen transuranik yang dihasilkan dari reaksi fisi
nuklir. Selain intensitas radiasi yang sangat tinggi, HLW juga sangat
panas sehingga perlu didinginkan dan menggunakan perisai radiasi tebal
untuk mengelolanya. Volume HLW hanya 3% dari limbah radioaktif, tapi mewakili
95% radioaktivitas. Dengan kata lain, limbah paling berbahaya memiliki volume paling
sedikit.
Mengelolanya
bagaimana? Ambil contoh Reaktor Berpendingin Air. Ketika dikeluarkan dari teras
reaktor, kelongsong bahan bakar bekas yang mengandung HLW akan sangat panas dan
luar biasa radioaktif. Pegang benda itu dua detik dan orang yang memegangnya
akan mendapatkan luka bakar parah yang mungkin tidak bisa diobati, dan paparan
radiasi dosis tinggi yang bisa menyebabkannya bertemu malaikat Izrail dalam
waktu beberapa jam sampai beberapa hari. Jadi, kelongsong ini disimpan dulu di kolam
penampungan limbah sementara untuk didinginkan. Kolam ini berada di dalam
bangunan reaktor, dibuat dari beton tebal dan dilapisi besi. Isi kolamnya
adalah air, yang merupakan perisai radiasi cukup efektif dan murah, dengan
catatan tidak ada yang berenang di dekat permukaan bahan bakar bekasnya.
Bahan
bakar bekas didinginkan dalam kolam selama setidaknya lima tahun. Setelah sekitar
lima tahun, radioaktivitas limbah akan turun hingga tinggal 5% dari
radioaktivitas awal ketika dikeluarkan dari teras reaktor nuklir. Sebabnya apa?
Produk fisi umur pendek sebagian besar meluruh dengan cepat dan berubah menjadi
unsur stabil bebas radiasi. Lalu, bahan bakar bekas ini bisa dikeluarkan dari
kolam dan disimpan dalam kontainer penyimpanan beton kering, didinginkan dengan
udara.
Untuk sekitar
300 tahun, metode penyimpanan interim ini cukup memadai. Apalagi, setelah 40
tahun, radioaktivitas makin turun lagi sampai tinggal seperseribu
radioaktivitas ketika dikeluarkan dari teras reaktor, seiring makin banyaknya
produk fisi yang meluruh ke kondisi stabil.
Walau
begitu, untuk jangka panjang, sebagian berpendapat bahwa HLW harus disimpan
dalam repositori abadi, pembuangan limbah lestari. Metode yang banyak disepakati
adalah limbah disimpan dalam repositori berupa tanah dalam stabil. Beberapa
tempat sudah diajukan untuk repositori abadi, seperti di Finlandia, Swedia,
Prancis ataupun Amerika Serikat. Yang sudah hampir operasional itu di Onkalo,
Finlandia. Di repositori ini, limbah HLW bisa disimpan dengan selamat hingga
ribuan tahun ke depan.
Walau demikian,
saat ini, kebutuhan akan repositori abadi belum mendesak, karena bahan bakar
bekas itu sebenarnya bisa dieksploitasi lagi menjadi bahan bakar untuk Reaktor
Generasi IV.
Dalam
repositori abadi, limbah divitrifikasi dalam bentuk gelas borosilikat dan dienkapsulasi
dalam dalam silinder baja tahan karat. Tujuannya supaya secara struktural kuat
dan mencegah kebocoran bahan radioaktif dari dalam matriks limbah.
Jadi,
salah besar kalau teknologi nuklir dianggap tidak memiliki solusi mengenai
limbah. Apalagi kalau menuduh seperti itu sembari mengimplikasikan bahwa teknologi
industri lain tidak mengalami masalah dengan limbahnya. Padahal, pengelolaan
limbah industri selain PLTN justru sangat buruk dan jauh tertinggal. Lebih
mudah mengelola limbah nuklir daripada limbah kimia.
Untuk
semua jenis limbah, teknologi nuklir memiliki metode pengelolaan yang jelas,
terstruktur dan sebagian besar sudah dilaksanakan selama puluhan tahun dengan
sukses. Keputusan mengenai HLW sendiri bukan masalah teknologi, melainkan
urusan politik. Sementara, urusan politik sedikit sekali terkait dengan
persoalan-persoalan saintifik.
Dari sini,
jelas bahwa pengelolaan limbah PLTN jauh lebih unggul dibandingkan pengelolaan
limbah energi lain, termasuk PLTU batubara, yang notabene sebagian besarnya terlepas ke udara tanpa bisa dipungut,
karena sistem penangkapan CO2 itu secara sistem boros sekali dan
sama sekali tidak efisien. Atau dibandingkan industri-industri kimia, tekstil
dan sebagainya yang membuang limbah beracun ke sungai, meracuni air sungai
nyaris permanen dan merusak biota di dalamnya. Limbah PLTN baru diduga berbahaya
terhadap generasi, sementara limbah industri kimia sudah terbukti membahayakan
umat manusia selama sekian generasi.
Menunjuk limbah
PLTN sebagai berbahaya dan tidak ada solusi tetapi tidak menganggap serius
dampak lingkungan limbah kimia adalah bentuk pengkhianatan intelektual.
0 komentar:
Posting Komentar