Sabtu, 30 Maret 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 20: Bagaimana Dengan Limbah PLTN?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng.

Semua aspek kehidupan menghasilkan limbah. Pembakaran BBM menghasilkan limbah, dalam bentuk polutan mikro, CO2, CO, NOX, dan SO2. Pembakaran batubara menghasilkan limbah CO2, polutan mikro, dan berbagai jenis abu dengan kandungan bermacam-macam. Konsumsi rumah tangga menghasilkan limbah rumah tangga, khususnya para manusia sombong yang doyan buang-buang makanan padahal tetangganya banyak yang miskin. Bahkan manusia mengeluarkan limbah, baik berbentuk cairan maupun padatan, yang mana keduanya tidak perlu dijelaskan lebih lanjut. Tidak terkecuali energi nuklir, akan ada limbah yang dihasilkan dari pengoperasiannya.

Tapi untuk alasan tertentu, limbah nuklir mendapat penentangan yang lebih keras dibandingkan limbah lainnya.

Alasannya apa? Radiasi. Bahwa limbah nuklir melepaskan radiasi dan membuatnya lebih berbahaya or something dibandingkan limbah lainnya. Limbah nuklir ini berbahaya dan tidak ada solusinya. Katanya, sih, begitu.

Di satu sisi, benar bahwa limbah nuklir melepaskan radiasi. Namanya juga hasil reaksi nuklir, apakah itu fisi, transmutasi, atau peluruhan. Di sisi lain, seperti sering disebutkan sebelumnya, adanya radiasi tidak serta merta menjelaskan sesuatu itu bahaya atau tidak.

Jadi, apakah benar limbah nuklir, khususnya limbah PLTN itu tidak ada solusinya?

Seandainya pernyataan ini benar, maka teknologi nuklir kemungkinan besar tidak akan pernah berkembang sejak awal ditemukannya reaktor nuklir oleh Enrico Fermi dan Leo Szilard.

Faktanya, industri nuklir jelas memiliki solusi terhadap pengelolaan limbah radioaktif yang dihasilkan, terutama limbah PLTN. Hingga sekarang pun, metode pengelolaan limbah yang dikembangkan sebagian besar sudah diterapkan dan berjalan baik-baik saja. Yang belum sepenuhnya diterapkan bukan karena persoalan teknologi, melainkan politik.

Sebelumnya, perlu dipahami dulu kategorisasi terhadap limbah radioaktif. Karena tiap jenis limbah punya cara penanganan berbeda.

Limbah radioaktif dapat dibagi menjadi tiga atau empat kategori. Di sini kita pakai empat kategori, yaitu Very Low Level Waste (VLLW), Low Level Waste (LLW), Intermediate Level Waste (ILW), dan High Level Waste (HLW). Tiap kategori memiliki metode pengelolaan masing-masing, dan sebagian besar sudah digunakan.

VLLW memiliki kadar radiasi sangat rendah dan tidak berbahaya bagi manusia maupun lingkungan. Biasanya terdiri dari material seperti beton, semen, batu bata, logam, dan sebagainya, dari industri umum, seperti industri besi, industri kimia, dsb. Sebabnya adalah beberapa jenis mineral yang digunakan dalam industri-industri tersebut secara alami bersifat radioaktif, yang kita sebut naturally occurring radioactive material (NORM). Bisa juga berasal dari bangunan industri nuklir yang entah mengalami rehabilitasi atau pembongkaran. Karena rendahnya kadar radiasi VVLW, limbah ini bisa dikelola sebagaimana limbah domestik lain. Tidak perlu perlakuan khusus.

VLW memiliki kadar radiasi rendah, biasanya mengandung sedikit unsur radioaktif dengan waktu paruh pendek. VLW berasal dari rumah sakit dan industri nuklir, termasuk daur bahan bakar nuklir, seperti kertas, pakaian, penyaring, serta alat-alat sejenis. Penanganannya tidak perlu menggunakan perisai radiasi dan limbahnya bisa dikubur di tanah dangkal. Untuk mengurangi volume, limbah ini bisa juga dikompaksi/dipadatkan, seperti padatnya jadwal pejabat Eselon I, supaya tidak makan tempat. Bisa juga dibakar, selama dibakarnya di tempat khusus bukan di halaman rumah tetangga. VLW memiliki volume mencapai 90% limbah radioaktif, tapi hanya mewakili 1% radioaktivitas total. Volumenya paling banyak, tapi radioaktivitas sekadarnya saja. Bukan sesuatu yang penting.

ILW memiliki kadar radiasi sedang dan sebagian membutuhkan perisai radiasi dalam pengelolaannya. Asalnya dari resin, limbah kimiawi dan kelongsong bahan bakar, juga material yang terkontaminasi dari dekomisioning reaktor. Limbah-limbah berukuran kecil atau cair dapat dipadatkan dalam beton atau bitumen sebelum dikubur di tanah dangkal seperti VLW. ILW mewakili 7% volume limbah dan 4% radioaktivitas total.

Pengelolaan limbah dengan tiga level radioaktivitas di atas sudah dipraktikkan di banyak negara selama puluhan tahun tanpa ada masalah terhadap manusia maupun lingkungan. Di Indonesia, VLW dan ILW dari industri dulunya dikelola oleh Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) BATAN, kalau sekarang di Direktorat Pengelolaan Fasilitas Ketenaganukliran (DPFK) BRIN.

HLW memiliki kadar radiasi sangat tinggi dan merupakan sisa dari pembakaran uranium di dalam reaktor nuklir. Kandungannya terdiri dari produk fisi dan elemen transuranik yang dihasilkan dari reaksi fisi nuklir. Selain intensitas radiasi yang sangat tinggi, HLW juga sangat panas sehingga perlu didinginkan dan menggunakan perisai radiasi tebal untuk mengelolanya. Volume HLW hanya 3% dari limbah radioaktif, tapi mewakili 95% radioaktivitas. Dengan kata lain, limbah paling berbahaya memiliki volume paling sedikit.

Mengelolanya bagaimana? Ambil contoh Reaktor Berpendingin Air. Ketika dikeluarkan dari teras reaktor, kelongsong bahan bakar bekas yang mengandung HLW akan sangat panas dan luar biasa radioaktif. Pegang benda itu dua detik dan orang yang memegangnya akan mendapatkan luka bakar parah yang mungkin tidak bisa diobati, dan paparan radiasi dosis tinggi yang bisa menyebabkannya bertemu malaikat Izrail dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari. Jadi, kelongsong ini disimpan dulu di kolam penampungan limbah sementara untuk didinginkan. Kolam ini berada di dalam bangunan reaktor, dibuat dari beton tebal dan dilapisi besi. Isi kolamnya adalah air, yang merupakan perisai radiasi cukup efektif dan murah, dengan catatan tidak ada yang berenang di dekat permukaan bahan bakar bekasnya.

Bahan bakar bekas didinginkan dalam kolam selama setidaknya lima tahun. Setelah sekitar lima tahun, radioaktivitas limbah akan turun hingga tinggal 5% dari radioaktivitas awal ketika dikeluarkan dari teras reaktor nuklir. Sebabnya apa? Produk fisi umur pendek sebagian besar meluruh dengan cepat dan berubah menjadi unsur stabil bebas radiasi. Lalu, bahan bakar bekas ini bisa dikeluarkan dari kolam dan disimpan dalam kontainer penyimpanan beton kering, didinginkan dengan udara.

Untuk sekitar 300 tahun, metode penyimpanan interim ini cukup memadai. Apalagi, setelah 40 tahun, radioaktivitas makin turun lagi sampai tinggal seperseribu radioaktivitas ketika dikeluarkan dari teras reaktor, seiring makin banyaknya produk fisi yang meluruh ke kondisi stabil.

Walau begitu, untuk jangka panjang, sebagian berpendapat bahwa HLW harus disimpan dalam repositori abadi, pembuangan limbah lestari. Metode yang banyak disepakati adalah limbah disimpan dalam repositori berupa tanah dalam stabil. Beberapa tempat sudah diajukan untuk repositori abadi, seperti di Finlandia, Swedia, Prancis ataupun Amerika Serikat. Yang sudah hampir operasional itu di Onkalo, Finlandia. Di repositori ini, limbah HLW bisa disimpan dengan selamat hingga ribuan tahun ke depan.

Walau demikian, saat ini, kebutuhan akan repositori abadi belum mendesak, karena bahan bakar bekas itu sebenarnya bisa dieksploitasi lagi menjadi bahan bakar untuk Reaktor Generasi IV.

Dalam repositori abadi, limbah divitrifikasi dalam bentuk gelas borosilikat dan dienkapsulasi dalam dalam silinder baja tahan karat. Tujuannya supaya secara struktural kuat dan mencegah kebocoran bahan radioaktif dari dalam matriks limbah.

Jadi, salah besar kalau teknologi nuklir dianggap tidak memiliki solusi mengenai limbah. Apalagi kalau menuduh seperti itu sembari mengimplikasikan bahwa teknologi industri lain tidak mengalami masalah dengan limbahnya. Padahal, pengelolaan limbah industri selain PLTN justru sangat buruk dan jauh tertinggal. Lebih mudah mengelola limbah nuklir daripada limbah kimia.

Untuk semua jenis limbah, teknologi nuklir memiliki metode pengelolaan yang jelas, terstruktur dan sebagian besar sudah dilaksanakan selama puluhan tahun dengan sukses. Keputusan mengenai HLW sendiri bukan masalah teknologi, melainkan urusan politik. Sementara, urusan politik sedikit sekali terkait dengan persoalan-persoalan saintifik.

Dari sini, jelas bahwa pengelolaan limbah PLTN jauh lebih unggul dibandingkan pengelolaan limbah energi lain, termasuk PLTU batubara, yang notabene sebagian besarnya terlepas ke udara tanpa bisa dipungut, karena sistem penangkapan CO2 itu secara sistem boros sekali dan sama sekali tidak efisien. Atau dibandingkan industri-industri kimia, tekstil dan sebagainya yang membuang limbah beracun ke sungai, meracuni air sungai nyaris permanen dan merusak biota di dalamnya. Limbah PLTN baru diduga berbahaya terhadap generasi, sementara limbah industri kimia sudah terbukti membahayakan umat manusia selama sekian generasi.

Menunjuk limbah PLTN sebagai berbahaya dan tidak ada solusi tetapi tidak menganggap serius dampak lingkungan limbah kimia adalah bentuk pengkhianatan intelektual.

0 komentar:

Posting Komentar