Minggu, 07 Januari 2024

Penghargaan Yang Layak?

Minggu pertama tahun 2024, tidak banyak yang dikerjakan. Kecepatan aktivitas tidak secepat biasanya. Entahlah, barangkali karena sudah enggan terlalu sibuk kerja karena toh tidak ada apresiasi yang layak dengan sistem Angka Kredit yang baru. Mungkin malas karena terlalu banyak ekspektasi ke golongan muda sementara yang sudah tua dibiarkan saja tidak banyak bekerja. Mungkin menyesuaikan dengan grade tunjangan kinerja juga yang tidak cukup tinggi untuk diekspektasikan menghasilkan luaran mahadahsyat.

Toh pada akhirnya, risetnya juga jalan sendiri, karena tidak ada rekan yang bisa diajak kolaborasi serius. Sudah pada sibuk dengan urusan masing-masing, dan tidak ada lagi yang paham molten salt reactor (MSR) di sini selain saya dan satu kolega lagi--yang notabene cukup sibuk kemana-mana karena dipercaya dalam banyak hal.

Setidaknya, dengan bapaknya kemana-mana, PRTRN tidak akan bengong ketika ditanyai soal MSR. It'll be Goddamn embarrassing if that were the case.

Bicara soal penghargaan, ketika terpikir soal sistem baru yang memanjakan pegawai malas dan merugikan pegawai produktif ini, saya jadi terpikir soal kalangan yang jauh sekali dari menerima penghargaan yang layak.

Guru. Dosen. Tenaga kesehatan.

Seriously, alumni sarjana pendidikan itu melimpah tiap tahunnya. Tapi kenapa tahun 2024 diprediksi akan terjadi krisis guru? Kekurangan guru?

Ya karena alumni sarjana pendidikan ini tidak mau jadi guru.

Kenapa tidak mau jadi guru?

Karena penghargaannya tidak layak.

Bagaimana mau dikatakan layak, gaji guru honorer (dalam 90% kesempatan) tidak ada Rp 1 jt per bulan. Kadang dirapel 3 bulan sekali. Beban kerja tinggi. Tuntutan sealaihim gambreng. Lalu ketika mengharapkan gaji lebih layak, dirujak oleh netijen kurang asupan otak yang mengatakan bahwa "guru itu memang mengabdi!" "kalau mau kaya jangan jadi guru!"

Gee, I wonder who'll teach their children. ChatGPT?

Memang orang-orang dengan nalar bermasalah itu selalu susah melihat orang lain senang dan senang melihat orang lain susah. Apa hidup mereka susah juga, makanya tidak senang orang lain hidup senang dan mau semua orang sesusah dirinya? Dragging people down to their level? Atau seperti postingan saya sebelumnya, memang punya mental penindas?

Tugas berat bagi masyarakat dan negara untuk membasmi kerusakan berpikir dan cacat mental semodel ini. Rasa-rasanya agak-agak mulai mendarah daging di sebagian kalangan.

Kembali ke topik. Ketika guru dibayar cuma segitu, dan orang-orang tahu, apakah kira-kira para SDM berkualitas tinggi akan mau jadi guru?

Ya enggaklah.

Mereka akan memilih jurusan kuliah lain yang lebih menjanjikan. Sementara yang masuk pendidikan cuma yang sisa-sisa saja. Dari sisa-sisa itu, yang relatif lebih unggul akan enggan berkarir di sektor pendidikan, dan memilih sektor lain.

Akhirnya, siapa yang jadi guru beneran?

Sisa-sisa dari sisa-sisa. Sisaception.

Kalau SDM semodel itu yang menjadi guru, apa bisa diekspektasikan anak murid yang diajarnya jadi berkualitas? No offence, tapi perbedaan kualitas SDM itu nyata, dan realitanya ada saja guru yang tidak kompeten menjadi guru, sekalipun alumnus jurusan pendidikan.

Bahkan guru PNS pun tidak terlalu membaik sekali nasibnya. Ada sertifikasi guru, gaji juga bisa naik tiap dua tahun (walau kecil sekali kenaikannya). Tapi syarat-syaratnya susah. Lama. Dan dapatnya juga tidak terlalu besar. Oh iya, tidak ada tunjangan kinerja juga.

Guru PNS yang sudah dapat sertifikasi guru, kira-kira sudah bekerja lima tahunan lebih, kemungkinan besar total take home pay mereka masih di bawah Peneliti Ahli Pertama golongan III.a yang baru dilantik fungsional.

(Well, saya malas hitung-hitungan totalnya, tapi dugaan saya tidak berubah--THP total masih lebih kecil)

Ada diskrepansi lumayan besar di sini.

Bayangkan saja, guru yang harus berurusan dengan manusia, beban kerja seabreg, tuntutan segede gaban, kalau dia honorer, digaji palingan Rp. 300-500 rb per bulan.

Sementara itu, ada fungsional teknis Ahli Utama dengan THP sampai Rp. 25-30 jt per bulan, sehari-hari tidak mau kerja, tidak mau riset, tidak mau berkarya, tidak mau berinovasi, maunya cuma sekadar numpang nama di publikasi orang supaya KKM dan HKM terpenuhi.

Mental sampah, sesampah hasil risetnya yang tidak pernah ada gunanya.

Kalau jadi guru wajib mengabdi? Mengabdi itu urusan pribadi masing-masing orang. Itu urusan Allah untuk menilainya. Bukan tugas manusia untuk menyuruh-nyuruh orang lain untuk mengabdi. Yang menjadi taklif, perintah, kewajiban yang ditetapkan Allah pada manusia, khususnya pemberi kerja, adalah menunaikan hak-hak pekerja. Apa hak-hak itu? Salah satunya adalah gaji yang layak. Bukan gaji yang besaran bulanannya setara dengan uang jajan R*f*t**r selama 20 menit.

(kalau ada pembela perbudakan berkedok pengabdian yang bawa-bawa fiqh soal 'ijarah, yuk ribut sini)

Jadi guru tidak boleh kaya? Para guru biasanya tidak meminta kaya. Mereka hanya ingin minimal bisa hidup layak. Bukan hidup blangsak karena gaji seuprit. Bagaimana mau menarik SDM berkualitas untuk jadi guru kalau gajinya sama sekali tidak berkualitas? Mau pendidikan membaik atau tambah rusak, sih? Kok sekadar layak saja masih pada koar-koar "kalau mau kaya jangan jadi guru!" Anda ini punya masalah apa dengan guru, sampai jahat sekali ocehannya?

Hal yang sama dengan dosen, walau pendetailannya agak lebih kompleks. But I'm not keen to write anything further about it at this point

Salah satu aspek kunci dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045 adalah dengan meningkatkan kualtas SDM. Peningkatan kualitas SDM tidak bisa dicapai kalau gurunya tidak berkualitas. Sementara, guru yang berkualitas tidak mau menjadi guru ketika gajinya cuma seuprit. Yang jadi guru adalah SDM yang agak kurang kualitasnya. Efeknya, murid-murid sekolah tidak mendapatkan sesuatu yang layak seperti dilakukan di sekolah tertentu. Kualitas intelektual warga Indonesia pun berkurang. Bukannya jadi Indonesia Emas 2045, bisa jadi malah Indonesia Cemas 2045.

Para pemberi kerja guru sebaiknya perhatikan masalah ini baik-baik. Kalau memang mau kualitas SDM negeri ini membaik, Anda tahu siapa yang harusnya mendapat penghargaan yang layak. Bukannya dianggap beban APBN atau beban anggaran yayasan.

Minimal hargai kehidupan para guru dulu. Tidak usah fafifuwasweswos soal pahala, karena itu bukan tugas Anda. Tugas Anda adalah memberi penggajian yang layak.

Sekian pembaruan minggu ini.

Till the next update.

Andika

0 komentar:

Posting Komentar