Minggu, 20 Oktober 2024

Just Starting a New Chapter... Kind of

 (This post is unusually written in English, just because)

Well it's been a while since the last time I remember that I've got a blog. Although it's by no means because I'm too lazy to write... er... I admit I was lazy, but hey, preparing to move to a new country and settling down isn't an simple task! Because unlike some business trip, I'll stay here for quite a long time. At the very least, until I graduated.

So, yeah, I'm pursuing my doctoral degree in Japan. For exact, at Institute of Science Tokyo, previously known as Tokyo Institute of Technology. I didn't know that Tokyo Tech was going to be merged with TMDU back then, when I was considering this university as my preferred destination. But notwithstanding, that matters less to me (except for the less cool logo).

How is it so far?

I've only been here for around three weeks, so there's nothing I can conclude just yet. Although, there are obviously some differences (and culture shocks, if it can be considered as a shock). But first and foremost is the communication issue. Sure, I've learnt some Japanese during my high school. But that was 14 years ago. I also watched some anime. But it's been several years since the last time I actually watch one full episode of it. So, saying that my Nihongo (Japanese language) is quite rusty is a bit of an understatement.

I literally cannot read anything.

Not even I cannot read anything, I cannot even form a simple sentence in Nihongo either. Sure, I know a few bits and words in Nihongo, but forming it into a complete sentence? That's a different wave of hell. I can recall some awkward situations where I need to ask something but neither of me nor the Nihonjin (Japanese people) I'm speaking with was unable to understand each other completely. Especially when the Nihonjin speaks to me in Nihongo, more often than not, I'm utterly perplexed.

Luckily, it's Tokyo. So, some texts are still written in English (although sometimes the choice of words baffles me), as well as instructions in some machines. Fortunately again, google translate can help translating through camera image, so at least I know what stuff to buy, where to go, et cetera. And I don't always have to talk to the cashier when buying stuff, unless being questioned. Just saying arigatou gozaimasu (-mashita? What's the difference?) afterwards and we're all good. In our own awkwardness, no less.

Nonetheless, I'm not burdening myself to understand Nihongo up to a N3 level in a hurry. Rome wasn't built in a day. A little improvement over time should do the job... ish.

What about the lab?

I won't lie, I didn't expect to join Nakase Laboratory when considering Tokyo Tech. However, after knowing that the lab is researching (or intend to research) about Molten Salt Reactor (the chloride one, no less) and nuclear fuel cycle, I didn't think too much before asking to join. Alhamdulillah, Nakase-sensei was keen for me to join and now I became the part of the lab to perform those aforementioned research. The fact that there's another Indonesian in the lab helped me a lot to settle in Tokyo and understanding what to do here. Kind of.

I haven't yet to explore Science Tokyo (as it's called by now) too much, but probably in the next few weeks I'd allocate time for sightseeing to understand the campus map better. After all, I've got 36 months here, at the very least. The journey is still long, no need to rush. Unless you're a certain minister in a particular country that enrolled in a certain university, then the case might be quite a bit different. With less integr--

Anyway, the members of Nakase Laboratory conducted a welcome ceremony to welcome me and my colleague from BRIN (and BATAN) to their lab. Nothing formal, just a dinner in an Indonesian cafe in Shinjuku. I'd say that the food is quite authentic (the sauce in Sate Ayam was too sweet and runny, though). There are some notable differences, obviously, but I digress.

(I'm pretty sure we took some photos there, but sensei hasn't uploaded it anywhere yet)

Long story short, it's a new chapter for me, at a new university in a new country where I cannot read anything without google translate and cannot speak full sentence yet. It will be a challenge, like pretty much everything in my life, but I'll embrace it will full arms open (and wishing it doesn't strike at me like an oversized grizzly bear). I wish I could do well for my study and contribute to the laboratory.

And I hope I can invite my family before the winter starts and the air is freezing.

Kamis, 19 September 2024

Seberapa Mahal Biaya Pendidikan Tinggi di Indonesia?


Orang bilang kuliah di luar negeri itu mahal. Ya memang mahal, cuma kalau dibandingkan di dalam negeri, lebih mahal mana?

Coba kita bandingkan.





Gambar di bawah adalah tuition fee (SPP) di Tokyo Institute of Technology. Per tahun JPY 635.400. Gaji minimum warga Tokyo itu JPY 1.113 per jam, atau sekitar JPY 2,3 juta per tahun. Maka, kalau dikonversi per bulan, tuition fee di Tokyo Tech mencapai 27.45% dari pendapatan bulanannya.


Cukup besar, kan, ya? Hampir sepertiga penghasilan habis buat tuition fee?

Itu gaji minimum. Padahal gaji rerata pekerja di Tokyo bisa mencapai JPY 400-500 ribu per bulan. Katakanlah JPY 500 ribu, maka beban tuition fee turun jadi 10,59% dari gaji bulanan.

Sebagai perbandingan, cek UKT Universitas Indonesia di bawah. UKT 6 di Universitas Indonesia mencapai Rp. 7,5 juta per semester. UMR Jakarta sebesar Rp. 5.067.381, sehingga per bulan beban UKT ke gaji sebesar 24,67%.


Bebannya sedikit lebih rendah daripada dibayar pakai gaji minimum di Tokyo. Tapi tetap saja lumayan tinggi.

Bagaimana kalau gaji warga Jakarta itu ternyata Rp. 10 juta per bulan? Kalau begitu, mustahil dapat UKT 6, bisa dapatnya 11. Jadinya Rp. 20 juta per semester. Itu bebannya ke gaji bulanan mencapai 33,33%! Kalaupun gajinya Rp. 15 juta per bulan, bebannya tetap tinggi, mencapai 22,22%.

Padahal ranking Tokyo Tech itu nomor #84 dunia berdasarkan QS World University Ranking, sementara UI nomor #206.

Jadi, apakah pendidikan tinggi di Indonesia itu mahal? Tergantung, dibandingkan negara mana dulu? Kalau dibandingkan Jepang, rasanya jawabannya sudah jelas... lebih mahal. Kalau dibandingkan Inggris Raya?

Sebaiknya jangan terlalu gegabah.

Tuition fee setahun untuk satu orang di kampus-kampus Inggris Raya bisa membiayai 10 orang kuliah di Jepang selama setahun.

Sabtu, 14 September 2024

Komentar (Kritik, Whatever) Tentang Systematic Literature Review

Jadi, saya secara random penasaran dengan salah satu peserta Clash of Champions yang sudah punya belasan publikasi internasional terindeks Scopus padahal masih mahasiswa S1. Waktu lihat akun google scholar-nya, per 30 Juli 2024, sitasinya sudah 157 (saya cuma 64), dan tahun 2024 publikasi 13 artikel (saya cuma 10, dan ini tahun paling produktif saya). Di akun Scopus, terdata ada 15 dokumen dan disitasi 86 kali.

(kalau tidak percaya, cek akun Scopus saya di sini dan akun Scopus mahasiswa tsb di sini. Per 14 September 2024, pasti sudah berubah dari yang disebutkan di atas)

Walau begitu, cuma ada dua publikasinya yang ditulis sebagai first author, sisanya sebagai co-author. Ketika dicek, kedua artikel tersebut bentuknya... Systematic Literature Review (SLR).


Baiklah, ternyata bukan cuma dua itu. Literally semua artikel ilmiahnya berbentuk SLR.

Oke. Memang saya gak percaya mahasiswa S1 bisa menghasilkan original research sebelum magang/KP atau skripsi. SLR sendiri gak terlampau mudah. Masalahnya, SLR itu cocoknya:
  1. Sebagai exit liquidity kalau kepepet, misalkan karena tuntutan KKM (orang BRIN familiar dengan ini), atau permintaan dari pemberi dana hibah penelitian, atau
  2. Telaah sungguhan untuk mencari tahu permasalahan pada suatu bidang yang kemudian menjadi landasan untuk riset berikutnya.
Bukan buat dikerjakan terus-terusan demi publikasi terindeks Scopus.

Kenapa?

Karena artinya risetnya demi publikasi, bukan demi pengembangan iptek itu sendiri. Apalagi dikerjakan mahasiswa S1 yang belum tentu akan menggunakan hasil SLR itu untuk kelanjutan risetnya.

Tentu saja bisa publikasi di jurnal internasional untuk level mahasiswa S1 itu suatu hal yang luar biasa. Menulis makalah ilmiah itu susah, bahkan yang sudah pengalaman meneliti puluhan tahun saja seringkali cara nulis artikelnya jelek sekali (percayalah, saya copyeditor di jurnal SINTA 2 dan Scopus Q4, sudah paham saya kelakuan mereka).

Yang jadi concern saya adalah model publikasinya yang banyak berbentuk SLR. Kondisi seperti ini adalah indikator kuat ada problema kronis di dunia akademik negeri ini, yang ditanamkan ke para mahasiswa, bukan demi kepentingan mereka.

Lantas untuk kepentingan siapa? Tentu saja para "akademisi" yang membutuhkan publikasi ilmiah internasional terindeks Scopus untuk menambah portofolio mereka, atau untuk akreditasi jurusan, atau hal-hal non-esensial lain dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua berlandaskan metrik-metrik kuantitatif yang gak selalu representatif terhadap kualitas pengembangan ilmu pengetahuan di sebuah institusi pendidikan/riset. Jumlah publikasi, lah. Sitasi, lah. Kuartil Scimago, lah. Akhirnya, SLR yang minim modal jadi jalan pintas dan cepat untuk meningkatkan metrik-metrik ambivalen sedemikian itu.

Apakah ilmu pengetahuan berkembang dengan adanya SLR? Bisa iya, bisa tidak. Tergantung tujuannya. Karena pada dasarnya, SLR itu alat dukung untuk menarik kesimpulan terkait studi yang telah masif dilakukan, yang kemudian memiliki implikasi kebijakan, atau untuk mencari celah penelitian, yang dapat diambil untuk arah riset berikutnya.

Untuk beberapa bidang, SLR itu bahkan cuma masuk ke introduction dari makalah bertipe original research. Di beberapa jurnal terkemuka, review article, mencakup di dalamnya SLR dan meta-analysis, dibatasi. Tetap saja original research yang didorong untuk dipublikasikan.

Lagipula, apa ada Peneliti sungguhan yang karirnya dibangun dari SLR? Kecintaan terhadap dunia riset, atau kepakaran dalam dunia riset (semisal gak cinta tapi butuh kerjaannya untuk hidup) dibangun dari original research. Bukan dengan portofolio puluhan SLR. Itupun bukan penulis pertama, yang biasanya mengerjakan > 70% isi artikel. Kecuali memang mau jadi Analis Kebijakan atau sebangsanya, masih agak masuk akal meski gak sepenuhnya. Tapi jadi akademisi sungguhan? Big No.

Gak ada karir akademik yang dibangun dari analisis data sekunder.

SLR selalu merupakan riset "sampingan," sementara yang utama selalu original research. Kalau pertumbuhan publikasi SLR makin menjamur, tanda-tanda gelembung akan segera pecah. Budaya akademik menjelang ambruk. Karena para akademisi yang seharusnya membangun budaya ilmiah dan akademik yang sehat dengan mendorong original research dengan berfokus pada proses dan dampak, malah berbondong-bondong mengejar publikasi SLR demi metrik-metrik fana yang tidak ada kaitannya dengan pembangunan sektor ilmiah.

N.b.: Tentu saja, akan ada akademisi yang meradang dan protes akibat kritikan saya ini. Biasanya, mereka adalah akademisi problematik yang dengan sengaja memelihara kebusukan ini untuk kepentingan pribadi mereka.

Kamis, 22 Agustus 2024

Draco Dormiens Nunquam Titillandus

Well, well, well, sudah berapa lama enggak pembaruan blog lagi?

Yah, baiklah, memang ada banyak pekerjaan blablabla yang menyita cukup banyak waktu dan energi. Jadi enggak sempat buat pembaruan blog. Begitu, kan, dalihnya?

I'm not ashamed to admit it. I'm simply too lazy to maintain writing in blog consistently.

Omong-omong, dengan isu yang terjadi baru-baru ini, yang saking buruknya sampai memanggil kaum introvert macam Raditya Dika dan Duta SO7 untuk ikut bersuara, saya jadi teringat slogan dari Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry, alias Sekolah Sihir Hogwarts, dari serial Harry Potter.

Draco dormiens nunquam titillandus.

Kalau terjemah dari novel terbitan Gramedia, "Jangan mengganggu naga yang sedang tidur." Atau kalau diterjemahkan secara ahrfia, "Jangan menggelitiki naga yang sedang tidur."

Agaknya, hal yang agak-agak mirip sedang terjadi.

Para penyihir dari Kementerian Sihir tampak sukses menyihir naga-naga yang berkeliaran di sekitarnya untuk tidur. Entah mantera dari Departemen Misteri mana yang mereka gunakan, yang jelas naga-naga ini berhasil dibuat tertidur selama 10 tahun. Bahkan ketika digelitiki oleh para penyihir, dipukuli, diambil bulu-bulu hidung dan ekornya untuk dijual dan membangun gedung Kementerian Sihir yang baru, pindah dari London ke pulau Hebrides di utara Skotlandia, para naga itu masih saja tidur.

Hingga pada suatu saat, Menteri Sihir memutuskan untuk mengganggu para naga tidur itu lebih parah lagi. Mereka tidak diberi suplai makan agar tetap hidup, dicabuti lebih banyak lagi bulu-bulu ekor dan sayapnya, dipukuli tanpa henti untuk bersenang-senang, menghantamnya dengan mantra Stupefy bahkan Crucio, yang jelas-jelas terlarang.

Apa yang terjadi selanjutnya?

Naga yang semula tertidur itu lama-lama akan terbangun. Mungkin masih setengah sadar, tetapi cukup untuk menyadari bahwa dia diganggu. Naga tidak suka diganggu, jadi dia mengamuk, menyemburkan api kemana-mana, berusaha memanggang hidup-hidup pegawai Kementerian Sihir yang menghantamkan mantra-mantra berbahaya padanya.

Saat ini naga itu masih setengah sadar, dan sudah cukup berbahaya bagi Kementerian Sihir.

Kira-kira apa yang akan terjadi semisal naga itu sudah bangun sepenuhnya?

Butuh setidaknya setengah lusin penyihir kekuatan tinggi untuk melumpuhkan seekor naga, dalam kondisi tidak mengamuk habis-habisan. Butuh lebih dari itu untuk melumpuhkan naga yang mengamuk dalam kondisi bangun sepenuhnya. Apalagi kalau naganya banyak.

Apa Kementerian Sihir bisa menangani semuanya? Sepertinya sulit sekali. Kemungkinan mereka akan jadi makan siang naga-naga kelaparan dan kesakitan itu. Bukan tidak mungkin itu akan terjadi.

Jadi, motto Sekolah Sihir Hogwarts itu sangat praktikal. Jangan mengusik naga yang sedang tidur, kecuali siap menanggung akibatnya. Minimal dipanggang hidup-hidup oleh Ekor-berduri Hungaria.

Tapi kejadian tadi meninggalkan satu isu: Apa yang akan dilakukan naga-naga itu ketika mereka sukses menghancurkan Kementerian Sihir? Apakah kehidupan masyarakat sihir mendadak jadi lebih baik?

Tampaknya, selama Kementerian Sihir itu sendiri masih berdiri, walau berganti Menteri Sihir berulang kali, masalah yang sama akan terjadi selama mekanisme yang bekerja di dalamnya masih seperti itu.

Mengingat ini hanya dongeng pengantar tidur belaka, seharusnya, sih, tidak ada yang perlu dipikirkan. Kementerian Sihir itu cuma cerita fiksi saja, kan?

...kan?

Minggu, 23 Juni 2024

The Curse of High Performer: Requirement of a Doppler Broadening in a Research Centre

Hampir lupa punya blog untuk dikelola.

Saking banyaknya urusan bulan-bulan kemarin, banyak sekali kerjaan, kurangnya waktu, dan banyaknya tekanan dari pihak-pihak inkompeten yang disuruh ngurusi riset, ternyata berpengaruh juga terhadap cepatnya seseorang mengalami burnout. Sampai gak ingat untuk rutin ngisi blog mingguan. Sudah diusir dari laboratorium, diusir dari tempat kerja, diusir juga dari rumah dinas. What a bunch of incompetent bas--

Anyway,

Karena sedang hilang orientasi, saya jadi suka mindless scrolling di berbagai website. Nah, suatu ketika, saya lihat postingan di linkedin soal apa yang harus dilakukan di tempat kerja. Salah satunya terkait "work the bare minimum" atau sejenis itu. Kenapa? Karena kalau terlalu produktif, "apresiasi" yang diberikan adalah diberi lebih banyak pekerjaan, bukan dibebani lebih sedikit pekerjaan. Itu yang saya simpulkan sebagai "the curse of high performer." Kutukan pegawai berkinerja tinggi.

Ketika kerjaan selesai lebih cepat, diberi tambahan kerjaan. Ketika target terlampaui, dikasih target lebih tinggi. Ketika bisa membantu dalam satu hal, disuruh bantuin dalam hal lain. Dan sebagainya. Ah, jadi ingat teman kantor yang dipanggil oleh berbagai kelompok riset berbeda untuk mengerjakan hal-hal teknis-administratif terkait penerbitan karya tulis ilmiah (KTI) karena yang sudah senior pada inkompeten dan terlalu malas untuk belajar submit KTI sendiri. Termasuk ngurusi kerjaan remeh-temeh macam jemput tamu LN dari hotel ke tempat seminar. Sampai-sampai kerjaan risetnya tahun itu jadi gak tersentuh.

Apa-apaan.

Mengingat masalah high performer ini, jadi ingat target luaran satker. Karena saya yang handle urusan rekap luaran ilmiah satker, saya merhatikan pola yang terbentuk dari segi jumlah dan nilai luaran tersebut. Yang di bawah ini untuk tahun 2023.

Kelihatan kalau perbedaan antara peringkat 1 dan peringkat 15 saja sudah 98 poin. Sangat jauh. Padahal yang peringkat 15 juga bukan tipikal Peneliti gak produktif, tapi selisihnya sudah banyak sekali. Artinya, selisih kuantitas luarannya juga jauh berbeda.

Sementara, yang di bawah ini sampai bulan Juni 2024.

Tahun ini lebih gila lagi. Sampai bulan Mei saja, selisih antara peringkat 1 dan peringkat 15 sudah 129 poin. Akhir tahun mungkin tidak akan sebesar ini selisihnya, tapi tetap saja...

Itu juga belum memperhitungkan selisih dengan peringkat terbawah dan yang sampai bulan ini gak ada luaran sama sekali. Setidaknya masih ada  27 orang yang luarannya tahun ini masih kosong. Yah, memang baru tengah tahun, sih... Masih cukup waktu, semisal memang NIAT menghasilkan luaran ilmiah sebagai pertanggung jawaban terhadap fungsionalnya dan pembayar gajinya. Tapi semisal mau tetap jadi deadwood beban APBN, ya mbuhlah, mumet.

Setidaknya, pola di atas menunjukkan adanya jurang performa yang sangat besar antara satu SDM Iptek dengan SDM Iptek lain. Mungkin sebagian akan bilang, "Ya kan riset gak cukup setahun!" bla bla bla. Ya, kalau bicara di aspek pertanian atau peternakan, masih masuk akal. Tapi satker ini mayoritas main di komputasi, cuma tiga Kelris saja yang main di alat eksperimen. Kalau masih susah juga menghasilkan luaran, hopeless sekali Anda ini...

Anyway,

Jurang performa ini menunjukkan ada yang memang high performing, ada yang low performing. Ada yang overwhelming, ada yang underwhelming. Sialnya, yang high performing (biasanya karena publikasi KTI banyak) seringkali dibebani sebagai exit liquidity, alias jadi sekoci penyelamat untuk membebaskan para deadwood dari beban KKM yang dianggap terlalu berat. Jadi antara kepakaran dan publikasi KTI yang dihasilkan gak nyambung.

Pada akhirnya, ketimpangan produktivitas ini mengisyaratkan bahwa kinerja satker ditopang oleh minoritas pegawai. Sebagian kecil pegawai memanggul beban lebih besar dan kontribusi lebih banyak dalam memenuhi target luaran satker.

Contoh, per saat ini, ada 30 jurnal internasional yang penulis pertamanya orang sini. Kalau 15 peringkat teratas gak berkontribusi, maka sisanya tinggal 12 jurnal internasional. Hilang 3/5. Kalau 5 teratas gak mau kontribusi, sisanya tinggal 20. Hilang 1/3. Jadi, 5 dari 122 orang memanggul 1/3 luaran KTI di jurnal internasional.

Timpang.

Saya jadi ingat efek pelebaran Doppler dalam fisika reaktor nuklir. 


Dalam reaksi fisi berantai di reaktor nuklir, tampang lintang tangkapan netron bahan fisil di zona resonansi akan mengalami efek pelebaran Doppler ketika bahan bakar mengalami pemanasan. Biasanya, tampang lintang tangkapan dan fisi memiliki puncak-puncak yang sangat lancip (lihat garis hitam), ada yang tinggi sekali dan ada yang rendah. Sementara, ketika terjadi pelebaran Doppler (garis merah putus-putus), luas area di bawah garis melebar, di mana puncak tampang lintang menurun dan lembah tampang lintang naik. Ketimpangan antara puncak tampang lintang dengan lembah tampang lintang berkurang. Pada kondisi ini, bahan bakar akan mengeluarkan umpan balik reaktivitas negatif; laju reaksi fisi dan tangkapan berkurang, sehingga reaktivitas bahan bakar seiring dengan kenaikan temperatur reaktor. Hal ini yang menjamin keselamatan reaktor nuklir, membuat temperatur bahan bakar menjadi self-regulated.

Efek pelebaran Doppler ini, setelah saya pikir-pikir, tampaknya penting dalam keberlanjutan kinerja suatu Pusat Riset. Menjamin kestabilan, Jadi gak ada kelompok minoritas yang harus jadi pemikul kinerja mayoritas dari Pusat Riset. Karena kalau misalkan kelompok minoritas tersebut mendadak hilang (karena tugas belajar atau pensiun, misalkan), yang lain akan kelabakan untuk menutupi lubang yang ditinggalkan mereka. Apalagi kalau target Pusat Riset semakin banyak, akibat Kutukan Kinerja Tinggi. Mau bagaimana memenuhinya?

Dari sini, saya berpikir bahwa mentalitas bahwa "yang produktif harus dibebani kerja lebih banyak" itu mesti dibasmi. Dihilangkan sama sekali, jangan sampai ada sisanya. Kalau sudah produktif di satu hal, jangan dikasih beban kerja lagi. Berdayakan lah yang gak produktif, yang gak jelas kerjanya apa selain ngabisin APBN secara sia-sia. Beri tuntutan kinerja lebih tinggi pada yang selama ini gak produktif dan kurangi beban kinerja bagi yang selama ini produktif. Supaya apa? Supaya ketimpangan berkurang, dan kinerja Pusat Riset bisa dijaga kestabilannya. Sehingga, ketika misalkan kelompok minoritas tulang punggung kemudian ada yang pergi tugas belajar atau dimutasi atau pensiun, yang lain masih cukup berkinerja untuk bisa membantu menutupi kekosongan tersebut.

Tapi bagaimana kalau yang selama ini gak produktif kemudian gak mau ketika dituntut luaran lebih?

Beri ancaman sanksi saja. Kasih kinerja jelek, gitu. Supaya tunkin turun 30-50%.

(Semisal dalam sebuah skenario mustahil saya jadi Kepala Pusat, selain kasih kinerja jelek, saya juga akan lempar Surat Peringatan 1. Tapi untuk alasan itu pula, rasanya mustahil saya jadi Kepala Pusat)

Ringkasnya?

Pertama, para high performer ini harusnya dikurang-kurangi bebannya. Jangan dikasih tanggung jawab terlalu banyak mentang-mentang produktif/berguna, apalagi jadi exit liquidity.

Kedua, kurangi ketimpangan performa antar pegawai agar kinerja Pusat Riset lebih stabil dan selamat dari kondisi "kecelakaan."

Apakah hal ini bisa terwujud? Gak tahu, Kepala Pusat saja bukan. Gak pegang kebijakan. Tapi secara teoretis, saya akan memegang prinsip ini kuat-kuat. Bahwa Pusat Riset perlu menerapkan efek Doppler untuk menjaga kestabilan performa dalam jangka panjang.

Sudah, itu saja pembaruan kali ini. Berikutnya kembali ke omnishambolic reality ketika tuntutan kinerja luar biadab tapi dukungan super minim.

Senin, 15 April 2024

Nalar Bodor Ateis Dobol

Dalam berbagai analisis saintifik, misal di ilmu fisika, kebenaran suatu analisis bergantung pada asumsi model yang digunakan. Contoh ketika mau analisis mekanika fluida. Ketika fluida kerja yang berlaku adalah lelehan garam pada temperatur 700 °C, maka tidak bisa mekanika fluida ini dianalisis menggunakan model fluida Newtonian. Mau tidak mau harus menggunakan model fluida non-Newtonian. Menggunakan model fluida Newtonian untuk menganalisis mekanika fluida lelehan garam hanya akan membawa hasil analisis yang salah total. Koefisien viskositas yang harusnya dinamis (dynamic viscosity) malah jadi constant viscosity. Hasilnya, analisis turbulensi aliran fluida dan transfer panas akan berantakan.


Contoh lain misalkan analisis kinetika reaktor nuklir pada molten salt reactor. Jika kalkulasi periode reaktor dihitung dengan mengasumsikan tidak ada fraksi netron kasip yang hilang dari teras reaktor akibat sirkulasi bahan bakar garam di kalang primer, maka nilai periode reaktor akan overestimasi, terlalu tinggi dibandingkan sistem riil. Dalam praktiknya akan berbahaya pada kendali reaktivitas reaktor, karena waktu respon terhadap transien akibat sisipan reaktivitas jadi keliru akibat salah hitung periode reaktor.


Dari kedua contoh ini, cukup jelas bahwa menganalisis sebuah sistem, menggunakan persamaan matematis, WAJIB dilandaskan pada asumsi yang tepat, kalau tidak mau hasilnya berantakan.


Maka, kalau ada ateis dobol yang secara semprul mengasumsikan bahwa "Agama yg men-claim bahwa semua pengetahuan di dunia sudah ada pada agamanya mengimplikasikan bahwa tidak ada pengetahuan baru di luar agamanya" dan membuat kurva matematis yang menunjukkan bahwa keberagamaan menghasilkan kemunduran sains, maka jelas tanpa keraguan sedikit pun bahwa itu adalah asumsi ngawur yang dibentuk dari kedunguan kronis, tidak berlandaskan realita, hanya asumsi delusionalnya sendiri. Maka, kurva yang dibentuk dari persamaan yang mengasumsikan hal tersebut hasilnya akan ngawur babar blas.


Ini belum membahas model persamaan matematisnya yang bisa didebat sampai kiamat.


Jadi penyembah sains bukan jaminan otaknya cerdas, lebih sering kejadian justru sebaliknya, tambah bego beyond recognition. Biasanya, penyembah sains model begini juga tidak ada kontribusi ke sains itu sendiri, alias gede mulut doang. Sementara yang beragama dan taat justru kontribusinya lebih banyak dan lebih berdampak, baik dalam ilmu alam maupun ilmu rekayasa teknik.


Ateis luar sibuk dalam pengembangan saintek tanpa sibuk merecoki masalah agama, sementara ateis di mari sibuk merecoki agama tapi tidak ada kontribusi apa-apa dalam kemajuan saintek. Yang ngawur kebijakan negara, yang disalahin agama. Mau heran tapi…

Selasa, 09 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 30: Mari Tingkatkan Literasi Nuklir!

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Marie Sklodowska-Curie, saintis penemu radioaktivitas, pernah berkata, “Tidak ada dalam hidup ini yang perlu ditakuti, hanya perlu dipahami. Sekarang waktunya untuk memahami lebih, sehingga kita lebih sedikit takut.”

Pernyataan ini, ketika diejawantahkan ke dunia sains dan teknologi, memiliki relevansi sangat tinggi. Mengingat, ketakutan dan penolakan terhadap produk sains dan teknologi sangat sering terjadi, kalau bukan seluruhnya, adalah karena ketidakpahaman terhadap produk saintek tersebut.

Misalnya genetically-modified organism (GMO) dan vaksin. Penolakan sebagian kalangan terhadap kedua produk tersebut lebih sering karena ketidakpahaman mereka, produk seperti apa ini? Untuk apa digunakan? Persepsi risiko manusia cenderung lebih tinggi pada sesuatu yang mereka tidak ketahui, fear of the unknown. Sama seperti kenapa orang sering takut lewat gang gelap pada malam hari, mereka takut pada sesuatu yang tidak mereka ketahui—atau mereka ketahui, tapi tidak tahu apakah di sana ada sesuatu itu atau tidak.

Ketika ketidakpahaman ini berlarut-larut tanpa tindaklanjut tepat, hasilnya adalah desas-desus yang merebak dan mudah dipelintir. Seperti isu vaksin menyebabkan autisme dan GMO membahayakan kesehatan. Walau realitanya, tidak ada bukti ilmiah yang mendukung kedua isu tersebut. Sekalinya ada “bukti” dalam bentuk artikel ilmiah, ternyata artikelnya cacad dan akhirnya ditarik dari peredaran.

Ketidakpahaman hanya bisa diobati dengan cara meningkatkan literasi. Maksud literasi di sini bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga memahami apa yang dimaksud dalam sebuah tulisan. Sehingga, penilaian terhadap sebuah produk saintek tidak lagi berlandaskan sentimen emosional, melainkan karena pemahaman yang cukup memadai terhadap produk saintek tersebut.

Dari 29 seri sebelumnya, kita sudah membahas cukup banyak (walau tidak mencakup keseluruhan) aspek terkait nuklir. Mungkin ada yang baru tahu, ada yang mendapat hal baru, ada yang merasa “oh, ternyata yang saya pahami selama ini salah!” Hal yang bisa dimaklumi, karena literasi nuklir di negeri ini masih relatif… bukan, sangat rendah.

Patut diakui bahwa informasi lurus mengenai seluk beluk teknologi nuklir masih belum cukup tersampaikan pada publik, khususnya baik terkait energi maupun radiasi nuklir. Umumnya, seperti sudah disinggung di awal-awal sekali, asosiasi pertama publik ketika mendengar nuklir adalah senjata pemusnah massal. Memori pembumihangusan kota Hiroshima dan Nagasaki dengan senjata nuklir seolah menjadi image utama teknologi nuklir. Seolah-olah nuklir itu ya bom penghancur kota.

Radiasi nuklir pun menjadi momok. Fear of the unknown memegang peran besar dalam ketakutan ini, mengingat radiasi nuklir tidak bisa dirasakan oleh panca indera. Kita tidak bisa menyentuh, melihat, membaui, mengecap, apalagi mendengar radiasi nuklir. Kita cuma bisa tahu ada radiasi nuklir atau tidak dari jejak yang ditinggalkannya, dan itu butuh detektor yang tidak semua orang punya.

Ketakutan akan silent killer, sesuatu yang tidak terlihat tetapi bisa membunuh manusia, akhirnya membuat orang takut pada radiasi nuklir. Apapun yang terkait radiasi otomatis dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya, tanpa dipikir lebih jauh.

Asosiasi ini berlanjut pada PLTN. Masih banyak yang menganggap PLTN dapat meledak, merujuk pada kecelakaan PLTN Chernobyl. Padahal, PLTN tidak bisa meledak seperti senjata nuklir, dan tingkat keselamatan PLTN sangat bergantung pada desain teknologi yang digunakan. Sementara, desain RBMK di Chernobyl tidak mungkin diizinkan untuk digunakan di negara-negara yang lebih waras daripada Soviet.

Isu miring dan hoax tentang radiasi dan PLTN pun merebak kemana-mana, semerbak bau mulut orang yang baru makan nasi goreng pete dobel. Dikiranya ketika PLTN mengalami kecelakaan, PLTN dapat “menyebarkan radiasi” kemana-mana dan membuat sebuah wilayah tidak bisa dihuni selama puluhan ribu tahun (omong kosong, tentu saja). Limbah nuklir pun ditunjuk sebagai “beban antar generasi” bahkan “masalah tanpa solusi,” hanya karena limbah tersebut memancarkan radiasi. Padahal, reaktor nuklir alam di Oklo telah menunjukkan dengan baik bagaimana mengelola limbah nuklir dengan baik dan benar.

Ketakutan akibat literasi minim akan seluk beluk nuklir mengakibatkan persepsi risiko masyarakat bergeser ke level ekstrem: PLTN dianggap entitas berbahaya. Pembicaraan tentang nuklir dianggap tabu. Diskusi-diskusi ilmiah tentang energi seakan-akan menganggap nuklir tidak pernah ada. Nuklir ditolak tanpa diberi kesempatan bersuara.

Celakanya, isu-isu miring ini dimanfaatkan oleh sebagian LSM untuk menggalang massa demi menolak PLTN. Menggunakan sentimen emosional dan propaganda sesat, beberapa LSM membentuk opini keliru di tengah masyarakat untuk menolak PLTN. Kalangan agamawan tidak ketinggalan terpengaruh, sampai muncul fatwa sesat tentang keharaman PLTN Muria.

Lebih ironis bahwa LSM-LSM anti-nuklir sendiri tidak kalah jelek literasinya tentang energi nuklir. Mereka, dengan sok iyey, menggunakan buzzword Chernobyl dan radiasi berulang kali, yang justru jadi indikasi kuat bahwa mereka tidak memahami sama sekali detail teknis PLTN. Apalagi karakteristik fisika reaktor dan sistem keselamatannya, mungkin ditanya bagaimana menghitung periode reaktor dengan bahan bakar uranium-235 ketika diberi sisipan reaktivitas $0,5 akan pusing ribuan keliling. Mereka hanya mampu melontarkan propaganda, tapi bungkam ketika ditagih naskah akademis.

PLTN merupakan kebutuhan urgen untuk menjamin keamanan energi nasional dan menurunkan emisi CO2. Namun, sulit untuk mewujudkan PLTN dalam kondisi masyarakat yang masih illiterate tentang nuklir. Meningkatkan literasi nuklir adalah harga mati agar masyarakat tidak mudah diprovokasi propaganda sesat anti-nuklir sehingga menggagalkan penerapan energi nuklir di Indonesia.

Di era keberlimpahan informasi, memang ada kesulitan tersendiri untuk meningkatkan level literasi masyarakat tentang nuklir. Ketika mencari informasi dengan mesin pencari, hasil penelusuran yang muncul lebih banyak yang tidak akurat dan cenderung menyesatkan. Sementara, platform informasi yang memberikan informasi secara lurus relatif sedikit dan cenderung tenggelam.

Hal ini diperparah dengan kualitas literasi Indonesia yang terbilang kurang baik. Dari anking PISA 2023 saja terlihat bahwa siswa Indonesia mengalami penurunan kapasitas dalam semua aspek termasuk membaca. Fenomena ini sepertinya tidak hanya menjalar di siswa sekolah saja, melainkan masyarakat secara umum. Apalagi sejak tiktok semakin populer, jadi pada malas baca karena attention span memendek sangat drastis akibat kebanyakan disuguhi video pendek dengan transisi audiovisual terlalu cepat.

Masyarakat umum tidak terbiasa membaca hal-hal berat. Bahkan sering sekali pranala web disebarkan begitu saja tanpa dibaca dulu isinya, berbekal membaca judul yang seringkali umpan klik (clickbait). Dibaca saja tidak, apalagi ditelaah.

Dalam kondisi seperti ini, salah satu strategi untuk meningkatkan literasi nuklir adalah membuat tulisan ilmiah populer. Tulisan yang dengan pondasi keilmuan kokoh tetapi dalam bahasa yang masih mudah dipahami masyarakat umum. Merakyat, tetapi tetap ilmiah.

Sayangnya, publikasi ilmiah populer pun masih minim. Demikian pula, sedikit sekali buku-buku berkualitas tentang nuklir. Sekalinya ada, tidak terdistribusi dengan baik.

Sementara itu, diseminasi iptek nuklir yang telah dilakukan selama ini lebih banyak menggunakan bahasa defensif-apologetik. Seakan-akan mengakui bahwa propaganda tersebut benar, hanya ditambah “tetapi…” Bahasa seperti ini justru disukai oleh kalangan anti-nuklir dan menjauhkan masyarakat dari literasi nuklir yang sebenarnya.

Perbaikan literasi nuklir idealnya dapat menggeser paradigma masyarakat dari sentiment-based decision menjadi fact-based decision. Literatur nuklir yang merakyat, mudah ditemukan, serta tidak defensif-apologetik menjadi kunci utama keberhasilan literasi nuklir. Dengan masyarakat memahami informasi yang benar, ketakutan mereka diharapkan juga berkurang kalau perlu hilang.

Serial 30 Serba Serbi Nuklir ini diharapkan mampu sedikit berkontribusi dalam meningkatkan literasi nuklir masyarakat. Mencoba mengubah bahasa melangit soal teknologi nuklir (susah juga, beberapa memang cukup sulit dimanusiawikan bahasanya) tanpa bersikap defensif-apologetnik. Mulai dari filosofi nuklir itu sendiri, terkait radiasi nuklir, energi nuklir, hingga limbah radioaktif. Jadi masyarakat bisa pelan-pelan diubah salah pahamnya menjadi lebih paham yang benar seperti apa.

Memang tidak mungkin serial ini mengubah 100% pemahaman masyarakat, tetapi setidaknya ada sedikit harapan bahwa kalangan literat bisa lebih bertambah dari sebelumnya. Sehingga, masyarakat bisa beralih dari pemikiran bahwa “nuklir itu berbahaya” menjadi “nuklir itu banyak manfaatnya.”

Semoga serial ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Senin, 08 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 29: Keselamatan Reaktor Nuklir, Tumit Achilles Energi Nuklir?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Dalam mitologi Yunani, Achilles dikenal sebagai pahlawan Perang Troya dan demigod (manusia setengah dewa, bukan lagunya Iwan Fals) Yunani terkuat. Kekuatan utamanya terletak pada kekebalan tubuh, yang didapatkannya ketika Achilles kecil setelah direndam oleh sang ibu, Thetis, di Sungai Styx (satu dari empat sungai di ‘akhirat’ dalam mitologi Yunani). Setelah pengalaman mengerikan direndam di sungai busuk itu, Achilles tidak mempan ditusuk, ditombak, atau serangan fisik apapun. Seluruh tubuhnya benar-benar seperti tembok baja yang jangankan ditembus, tergores saja tidak. Kecuali tumitnya.

Dikisahkan dalam Iliad bahwa Achilles menemui ajal menjelang akhir Perang Troya, ketika Paris menembakkan panah yang menancap di tumitnya. Tumit ini adalah satu-satunya bagian tubuh Achilles yang dulunya tidak terendam air busuk Styx, penambat antara dirinya dengan dunia fana. Satu-satunya titik lemah Achilles akhirnya menjadi titik fatal. Satu saja tusukan panah di tumitnya membawa Achilles pada kematian.

Istilah Tumit Achilles kemudian diadaptasi dari mitologi ini untuk mendeskripsikan kelemahan fatal dari suatu hal. Titik fatal yang dapat membawa sesuatu dalam masalah besar terlepas dari segala kekuatan di bagian lain.

Lantas, apa hubungannya dengan energi nuklir?

Ditengah ancaman perubahan iklim yang makin nyata, ditambah dengan tingkat polusi yang kian membahayakan, seruan untuk beranjak dari energi fosil semakin santer terdengar. Namun, terlepas dari fakta teknis dan historisnya, banyak negara yang enggan untuk beralih ke energi nuklir. Kenapa? Karena energi nuklir dianggap memiliki tumit Achilles: Keselamatan reaktor nuklir.

Sebagaimana kita ketahui, pasca kecelakaan PLTN Chernobyl Unit 4, ekspansi energi nuklir dunia terhambat. Amerika Serikat yang memiliki jumlah PLTN terbanyak di dunia tidak lagi membangun PLTN baru selama 30 tahun, sebelum PLTN Watts Bar 2 disambungkan ke jaringan listrik pada tahun 2016. Italia melakukan referendum untuk berhenti menggunakan energi nuklir dan menyatakan bahwa PLTN ilegal di negara tersebut. Sebelum kecelakaan PLTN Chernobyl, sejumlah 409 PLTN telah dibangun dan beroperasi. Namun, pasca kecelakaan, hanya 194 PLTN yang tersambung ke jaringan listrik selama tiga dekade yang sama.

Kondisi tidak lebih baik ketika PLTN Fukushima Daiichi mengalami kecelakaan pada tahun 2011, tidak lama setelah Jepang dihantam oleh gempa dan tsunami Tohoku. Progres pembangunan PLTN di seluruh dunia distop sementara selagi dilakukan evaluasi besar-besaran terhadap sistem keselamatannya. Jerman, yang sudah dilanda wabah gerakan anti-nuklir kronis, terpaksa menyerah pada tekanan Partai Hijau dan mendeklarasikan bahwa mereka akan phase-out energi nuklir paling lambat pada tahun 2022, walau pada akhirnya baru pada akhir 2023 PLTN terakhir di Jerman ditutup. Swiss awalnya agak tertekan dengan pengaruh Jerman, sebelum referendum kemudian memutuskan untuk tetap menggunakan energi nuklir. Belgia pun ditekan Jerman dan ‘terpaksa’ menutup PLTN pada tahun 2025, kalau tidak ada perubahan rencana. Demikian pula Spanyol, walau terdapat penentangan dari public.

Jika kedua kecelakaan tersebut dipelajari, maka sebenarnya efek ketakutan pasca kecelakaan PLTN ini bisa dikatakan mengherankan. Seolah-olah semua rekam jejak keselamatan PLTN yang luar biasa menjadi tidak ada artinya. Keselamatan reaktor nuklir seakan menjadi tumit Achilles bagi energi nuklir; terjadi kecelakaan sekali, dan akibatnya fatal untuk seluruh industri nuklir.

Bagaimana mungkin, kecelakaan PLTN Chernobyl yang hanya mungkin terjadi dalam kondisi ekstrem, jauh diluar kondisi operasional normal, dijadikan benchmark dari level keselamatan reaktor nuklir? Bagaimana mungkin, kecelakaan yang hanya mungkin menimpa reaktor tipe RBMK, yang tidak pernah ada diluar bekas negara Uni Soviet, dianggap dapat terjadi di reaktor tipe lain? Bahkan seandainya supervisor dan operator Chernobyl Unit 4 mengindahkan peringatan yang dikeluarkan oleh sistem reaktor, dengan sistem keselamatan sedemikian buruknya, kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi.

Kecelakaan PLTN Chernobyl pun “hanya” menyebabkan kematian sekitar 30 orang. Ada beragam estimasi tentang “kematian tertunda” akibat efek stokastik radiasi nuklir, entah itu 4.000 orang atau 16.000 orang, tapi tidak pernah tampak buktinya hingga sekarang dan oleh UNSCEAR dianggap angin lalu. Tapi katakanlah memang ada 16.000 kematian tambahan, itu masih jauh lebih rendah daripada 8,7 juga kematian prematur tiap tahun akibat pembakaran energi fosil di seluruh dunia.

Angka 16.000 itu sangat disputable dan dibagi 30 tahun lebih. Sementara 8,7 juta kematian prematur itu tiap tahun. Coba renungkan.

Tidak seperti PLTN Chernobyl, kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi sama sekali tidak menyebabkan korban jiwa. Walau sama-sama merupakan kecelakaan dengan INES Level 7, kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi “hanya” melepaskan material radioaktif volatil ke lingkungan, itupun dalam level yang tidak cukup tinggi untuk membahayakan penduduk setempat. Ironisnya, kecelakaan yang tidak merenggut satupun nyawa manusia ini jauh lebih dibombastisasi daripada tsunami Tohoku yang menyebabkan korban jiwa hingga 19.000 orang.

Bayangkan memfokuskan pemberitaan pada ‘kebocoran radioaktif’ yang tidak membunuh siapapun dan hampir melupakan 19.000 jiwa yang terenggut akibat tsunami dan gempa. Ini bermoral, kah?

Memang terjadi kontaminasi radioaktif di sekitar Prefektur Fukushima, tetapi tidak dalam level membahayakan manusia. Material radioaktif yang terlepas ke lautan Pasifik pun tidak lebih banyak daripada material lepasan uji ledak senjata nuklir di era Perang DIngin. Ikan dan biota laut lainnya di laut sekitar Fukushima tetap hidup dalam damai, dan tetap aman dimakan. Bahkan sekalipun seluruh air tritium di penampungan limbah cair Fukushima Daiichi dibuang sekaligus ke laut dalam satu tahun, biota laut tetap tidak akan terkontaminasi material radioaktif apapun.

Ditengah akses informasi yang jauh lebih luas dibandingkan 25 tahun sebelumnya, kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi memicu gelombang ketakutan yang tidak kalah besar dibandingkan kecelakaan PLTN Chernobyl. Tiap diskusi dan pembicaraan mengenai nuklir, sedikit-sedikit dilontarkan kata “Fukushima!” Bahkan pembicaraan tentang energi nuklir seolah menjadi tabu di berbagai forum ilmiah. Sedikit sekali pertemuan ilmiah tentang energi yang membahas nuklir.

Kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi terjadi karena kelalaian TEPCO selaku operator dalam mendesain tata letak PLTN. Dinding laut yang seharusnya setinggi 10 meter, dipangkas menjadi 5 meter. Mesin Diesel untuk pendinginan pasca-padam ditaruh di basement yang mudah terendam air. Kelalaian ini terbukti fatal, karena ketika tsunami Tohoku sukses melewati dinding laut, mesin Diesel pun terendam, dan sisanya sudah tahu sendiri.

Menilik dua faktor utama ini, sebenarnya layakkah negara-negara yang tidak memiliki risiko tsunami sebesar Jepang untuk mati-matian memperbaiki sistem keselamatan untuk mencegah skenario yang tidak akan terjadi pada mereka? Logiskah kecelakaan minus korban jiwa dan minim dampak radiasi ini menjadi alasan untuk meninggalkan energi nuklir?

Respon berlebihan industri nuklir dalam menyikapi kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi ini bisa jadi justru merupakan bumerang bagi industri itu sendiri; karena seolah mereka mengonfirmasi bahwa keselamatan reaktor nuklir memang tumit Achilles dari energi nuklir, sehingga wajib dilindungi dengan cara apapun.

Di sinilah kita seringkali bersikap tidak adil. Kecelakaan pembangkit yang level terparahnya tidak mungkin menyebabkan bencana massal yang membunuh sepertiga Eropa selayaknya Black Death sudah dianggap cukup menjadi legitimasi bahwa energi ini berbahaya, risk-over-benefit. Padahal, kalau mau dikomparasi, energi nuklir tetaplah yang paling selamat dibandingkan moda energi lain.

Dari data kematian akibat sumber energi, dan didapatkan bahwa nuklir hanya menyebabkan 0,04 kematian per TWh energi dibangkitkan. Itu angkanya juga masih pakai data WHO yang ditambah 4.000 kematian tambahan (sangat dipertanyakan). Bandingkan dengan batubara yang menyebabkan 244 kematian per TWh. Bahkan energi bayu dan surya masing-masing menyebabkan 0,15 dan 0,1 kematian per TWh, masih lebih tinggi dari nuklir! Sementara, Kharecha dan Hansen (2013), mengkalkulasi bahwa secara historis, energi nuklir sukses mencegah 1,84 juta kematian akibat polusi energi fosil selama 50 tahunan sejarah operasionalnya.

Jika dampak radiasi yang ditakutkan publik, maka faktanya hingga saat ini dampak radiasi dari kecelakaan PLTN Chernobyl tidak tampak, dan tingkat ketidakpastian statistiknya terlalu tinggi. Yang ada, hewan dan tumbuhan liar berproliferasi dengan damai di zona eksklusi Chernobyl, tanpa gangguan genetik dan bahkan serigala di sana jadi lebih resisten kanker. Sementara, para pakar radiasi dan kesehatan dunia yang kredibel tidak ada perbedaan pendapat bahwa kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi tidak akan menyebabkan dampak kesehatan pada masyarakat sekitar, apalagi dunia.

Energi nuklir menyelamatkan lebih banyak jiwa daripada merenggutnya.

Mengerikan sekali jika sebuah kecelakaan dengan dampak riil tidak begitu besar menghilangkan kepercayaan pada seluruh industri. Jika orang-orang tetap mau naik pesawat walau sudah berulang kali terjadi kecelakaan fatal dengan ratusan korban jiwa, kenapa orang tidak mau menggunakan PLTN hanya karena pernah terjadi kecelakaan yang menyebabkan korban jiwa jauh lebih sedikit?

Sesungguhnya keselamatan reaktor nuklir bukanlah tumit Achilles bagi energi nuklir. Jikalau ada, tumit Achilles itu adalah misinformasi terhadap keselamatan reaktor nuklir itu sendiri.

 

Minggu, 07 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 28: Radiasi Mamuju Membahayakan? Tidak.

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Sebagaimana kita sudah pahami bersama, radiasi nuklir seringkali menjadi momok bagi masyarakat umum. Sebagaimana fenomena di dunia sains lainnya seperti vaksin dan GMO, ketakutan terhadap radiasi pada dasarnya disebabkan pemahaman yang kurang dan edukasi yang belum sampai (ditambah propaganda kalangan kontra). Sebagai pengecualian, ketakutan terhadap radiasi nuklir diperparah dengan regulasi keselamatan nuklir yang mengasumsikan “tidak ada dosis radiasi yang selamat.” Seolah-olah kena radiasi gamma sedikit saja langsung, “Oh tidak, saya akan kena kanker 40 tahun lagi!” Padahal sehari-hari makan gorengan (yang notabene lebih karsinogenik daripada radiasi nuklir) tidak kira-kira.

Sementara, data-data riil menunjukkan bahwa klaim seperti itu keliru. Termasuk data di Mamuju, Sulawesi Barat.

Kenapa Mamuju? Ada apa?

Selain Bangka Belitung, yang punya pabrik timah dan produk sampingannya adalah pasir monasit yang mengandung uranium dan thorium, Mamuju merupakan daerah yang memiliki radiasi latar tinggi. Kenapa? Ya karena tanahnya mengandung uranium dan thorium juga. Artinya, penduduk Mamuju menerima dosis radiasi tahunan lebih tinggi dibandingkan sebagian besar daerah lain di Indonesia. Kalau misalkan klaim “tidak ada dosis radiasi yang selamat” itu benar, maka harusnya penduduk Mamuju lebih banyak mengalami mutasi genetik akibat radiasi, kan?

Sebagai perspektif, penduduk dunia rata-rata menerima dosis radiasi 2,4 mSv/tahun dari berbagai jenis sumber paparan. Sementara, di Mamuju, dosis radiasi yang diterima mencapai rata-rata 6,15 mSv/tahun, bahkan tertinggi hingga 18,62 mSv/tahun. Sebagai komparasi, penduduk sekitar Belarusia, Ukraina, dan Rusia yang terdampak jatuhan radioaktif dari kecelakaan Chernobyl menerima dosis tambahan kurang dari 2,5 mSv dalam waktu 19 tahun pasca kecelakaan. Jadi, manusia Mamuju hidup dengan dosis radiasi lebih tinggi daripada manusia Chernobyl.

Apa implikasinya? Kalau mau bicara risiko, maka penduduk Mamuju lebih berisiko terkena dampak negatif radiasi dibandingkan penduduk negara sekitar Chernobyl. Namun, apa benar begitu?

Berbagai penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari BATAN menunjukkan bahwa radiasi latar di Mamuju tidak secara signifikan memengaruhi kualitas hidup masyarakat. Misalkan pada penelitian Alatas (2012). Penelitian tersebut menganalisis respon sitogenik pada penduduk Mamuju, khususnya aberasi kromosom yang merupakan indikasi kerusakan DNA oleh paparan radiasi pengion.

Sampel darah dari 30 orang penduduk Desa Botteng, Mamuju, dianalisis untuk dicek kerusakan pada kromosomnya. Hasilnya, tidak ditemukan adanya aberasi kromosom pada penduduk yang dicek darahnya. Padahal, dosis radiasi setempat mencapai 6,51 mSv/tahun. Jauh lebih tinggi daripada rerata dosis radiasi alam yang diterima penduduk dunia dan lebih tinggi pula dari nilai batas dosis (NBD) eksternal yang ditetapkan oleh Bapeten bagi masyarakat umum.

Penelitian berikutnya pada tahun 2016 di desa yang sama menggunakan indeks binukleus untuk menganalisis abnormalitas pada limfosit darah penduduk. Hasilnya, nilai indeks binukleus penduduk Desa Botteng relatif sama dengan nilai pada daerah kontrol (23,58 ± 9,60 untuk Desa Botteng dan 23,47 ± 6,24 untuk kontrol). Namun, para peneliti mengakui bahwa sampel yang diambil terlalu sedikit, hanya 13 sampel untuk Desa Botteng maupun kontrol, sehingga perlu dievaluasi lagi.

Tahun berikutnya, dipublikasikan penelitian tentang penggunaan γ-H2AX sebagai biomarker untuk double strand break (DSB) pada DNA. DSB merupakan indikator kerusakan DNA lain akibat paparan radiasi pengion. Pengujian pada sampel darah 45 sukarelawan yang tinggal di berbagai desa di Mamuju (37 subjek uji, 8 kontrol) menunjukkan bahwa foci γ-H2AX pada subjek sedikit lebih tinggi daripada kontrol, yang mengindikasikan frekuensi DSB DNA lebih tinggi. Namun, secara statistik, perbedaan itu tidak signifikan. Sehingga, bisa dikatakan relatif tidak ada perbedaan berarti antara subjek penelitian dan kontrol.

Penelitian lain dilakukan menggunakan parameter analisis indeks mitosis dan indeks pembelahan nuklir (maksudnya inti atom dalam sel, bukan reaksi fisi nuklir). Indeks ini terkait dengan proliferasi limfosit pada darah. Penelitian ini dilakukan di Desa Takandeang dan melibatkan 60 sampel (35 uji, 25 kontrol). Hasilnya, indeks mitosis rata-rata penduduk Desa Takandeang, baik manual maupun otomatis, serta indeks pembelahan nuklir, menunjukkan perbedaan statistik yang tidak signifikan. Dengan demikian, paparan radiasi lebih tinggi tidak memberikan dampak yang cukup berarti pada penduduk Desa Takandeang.

Penelitian terbaru yang terbit pada tahun 2020 menggunakan parameter analisis yang sama tetapi mengambil sampel dari tempat berbeda, yakni Desa Salletto dan Ahu, Mamuju. Sebanyak 43 sampel darah dari penduduk kedua desa tersebut dibandingkan dengan kelompok kontrol sebanyak 31 sampel. Hasilnya mirip dengan penelitian Ramadhani (2017), bahwa walaupun terdapat perbedaan indeks, tetapi tidak cukup signifikan secara statistik. Paparan radiasi latar lebih tinggi tidak terbukti menyebabkan masalah pada genetika penduduk Mamuju.

Terkejut? Tidak usah.

Manusia memang memiliki mekanisme perbaikan biologis. Selama threshold perbaikan biologis tersebut tidak terlampaui, tubuh manusia masih bisa memulihkan diri. Maka, tidak logis jika dikatakan “tidak ada dosis radiasi yang selamat,” sekalipun itu untuk kepentingan proteksi radiasi. Mengklaim bahwa “tidak ada dosis radiasi yang selamat” sama sekali tidak membantu meningkatkan perlindungan terhadap potensi bahaya radiasi dalam dosis tinggi. Justru, klaim itu menyebabkan persepsi dan ketakutan keliru di tengah masyarakat. Publik jadi menganggap bahwa radiasi itu pasti selalu berbahaya, padahal tidak.

Mamuju, Ramsar, Kerala, Guarapari, dan berbagai daerah lain di planet bumi menjadi bukti sahih bahwa radiasi latar dosis tinggi tidak membahayakan masyarakat. Yang membahayakan adalah mitos-mitos bahwa radiasi nuklir itu membahayakan dalam dosis apapun. Mitos itulah yang sangat menghambat pemanfaatan energi nuklir, karena orang sudah takut duluan dan akhirnya menuntut standar keselamatan yang tidak kira-kira. Padahal masih banyak hal yang mungkin memperpendek umur manusia ketimbang radiasi nuklir, seperti menghirup udara Jabodetabek tanpa masker. Tidak sekalian saja regulasi kebersihan udara diatur super ketat?

Sabtu, 06 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 27: Radiasi Nuklir vs Rokok, Lebih Bahaya Mana?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Tidak lama sebelum pandemi Covid-19 menghantam dunia, membuat berbagai negara lockdown dan menghentikan banyak sekali aktivitas kehidupan manusia, di Perumahan Batan Indah, Serpong, Tangerang Selatan, ditemukan material radioaktif “nyasar” di sebuah petak tanah di depan Blok J. Entah sejak kapan material radioaktif itu ada di sana dan bagaimana persisnya bisa nyasar, yang jelas muncul histeria nasional soal bahaya radiasi dari material radioaktif itu. LSM Neo-Malthusian berkedok lingkungan pun sampai menyerang sistem pengelolaan limbah radioaktif Indonesia, walau argumennya ngawur semua dan lebih gampang dibantah daripada membantah delusi kaum bumi datar.

Walau banyak yang khawatir terkait kontaminasi dan bahayanya kemana-mana—keduanya tidak terbukti—kelihatannya warga agak-agak belum bisa membandingkan antara risiko satu dengan risiko lain. Memang, sih, radiasi bisa berbahaya kalau tidak ditangani dengan baik. Tapi ada juga satu hal yang dikonsumsi banyak orang dan mereka tidak peduli soal bahayanya: rokok.

Radiasi nuklir yang nyasar di Batan Indah itu bentuknya radiasi gamma, bersumber dari caesium-137. Orang takutnya karena daya tembus dan daya jangkaunya tinggi, meski kemampuannya menendang elektron dari orbitnya paling rendah. Walau begitu, kalau terpapar terlalu banyak, risiko kanker sampai kematian bisa mengincar.

Radiasi gamma memang dapat menyebabkan dampak negatif pada tubuh manusia. Namun, dampak tersebut baru tampak pada dosis radiasi tinggi. Sebagaimana dianalisis oleh Allison (2009), terdapat threshold dari dosis radiasi serentak, yakni sebesar 100 mSv. Artinya, jika dalam satu waktu singkat, dalam orde menit atau jam, seseorang terpapar radiasi nuklir dengan dosis 100 mSv, maka akan terjadi kenaikan potensi kanker yang mungkin (bold, italic, underline) baru tampak beberapa puluh tahun ke depan. Itupun kalau kankernya benar-benar muncul. Atau orangnya masih hidup.

Dosis radiasi serentak minimal yang dapat menyebabkan kematian adalah sekitar 4.000 mSv. Terpapar radiasi dalam jumlah sebesar ini, kematian dapat terjadi dalam beberapa minggu, jika tidak ditangani sebagaimana mestinya. Kalau 10.000 mSv? Jangan lupa talqin dulu.

Bagaimana dengan dosis radiasi yang diterima dalam rentang waktu tertentu? Allison (2009) mengungkapkan angka 100 mSv/bulan menjadi batas konservatif dari paparan radiasi jangka panjang. Angka ini jauh lebih tinggi dari ketentuan regulasi nuklir, misalkan 20 mSv/tahun untuk pekerja radiasi dan 1 mSv/tahun untuk masyarakat umum. Angka dalam regulasi ini sama sekali tidak berarti bahwa ketika manusia menerima dosis radiasi lebih tinggi dari batasan, lalu pasti terkena dampak kesehatan. Sama sekali tidak bermakna seperti itu. Batasan itu dibuat hanya sebagai pembatas untuk tidak perlu bermain-main dengan sumber radiasi kalau tidak perlu.

Berdasarkan informasi dari BATAN per 18 Februari 2020, tingkat paparan radiasi dari material radioaktif nyasar itu hanya tinggal 7 µSv/jam. Angka ini kurang dari sepersepuluh ribu dosis yang dapat menyebabkan kenaikan potensi kanker. Kalau dikonversi ke tahun, angkanya jadi 61 mSv/tahun. Angka ini lebih tinggi daripada batasan regulasi nuklir, tetapi masih jauh lebih rendah daripada limit yang disebutkan tadi.

Kalau sekarang, sih, sudah selesai dekontaminasi. Jadi mau tidur di atas petak tanah itu selama setahun penuh juga tidak akan kena dampak radiasinya. Paling dipertanyakan kewarasannya oleh orang-orang yang lewat.

Beberapa pihak mungkin mengatakan bahwa “tidak ada dosis radiasi yang selamat.” Artinya, serendah apapun radiasi nuklir, akan ada potensi menyebabkan kanker. Namun, argumentasi ini tidak beralasan, tidak memiliki justifikasi secara ilmiah. Pasalnya, argumentasi ini dilandaskan pada model linear no-threshold (LNT), yang tidak pernah terbukti dan dipenuhi kecacatan historis, teoretis, maupun faktual.

Lagipula, penduduk di Kerala, India, hidup dengan radiasi latar hingga mencapai 70 mSv/tahun dan tidak ada kenaikan insidensi kanker. Malah, kasus insidensi kanker di Kerala hanya sepertiga dari kasus Australia. Kalau klaim “tidak ada dosis radiasi yang selamat” itu benar, harusnya penduduk Kerala sudah banyak menderita kanker. Namun faktanya tidak demikian. Demikian juga di Mamuju.

Singkatnya, sangat sulit bagi manusia untuk terkena dampak kesehatan dari radiasi nuklir. Mengingat, dampak radiasi nuklir dosis rendah bisa dikatakan tidak ada, sementara untuk mendapatkan paparan radiasi dosis tinggi sangat sulit untuk ditemukan kondisinya. Risiko seseorang terkena masalah kesehatan akibat radiasi nuklir itu sangat rendah, termasuk dalam kasus Perumahan Batan Indah.

Daripada radiasi nuklir, seseorang lebih mungkin terkena kanker karena merokok. Sementara jumlah kematian karena efek radiasi dosis tinggi hanya sekitar 30 orang, itupun dari kecelakaan PLTN Chernobyl, merokok menyebabkan setidaknya 5 juta kematian tiap tahun dan dapat naik hingga 8 juta orang tiap tahunnya pada 2030. Rata-rata, perokok meninggal 10 tahun lebih awal daripada bukan perokok.

Dampak kesehatan utama dari rokok adalah kanker paru, dan berbagai penelitian telah membuktikan bahwa merokok menyebabkan kanker paru. Apakah semua perokok dapat terkena kanker paru-paru? Tidak juga, tetapi kenaikan risikonya tinggi. Penelitian di Eropa menunjukkan bahwa perokok memiliki risiko terkena kanker paru berkisar 6,6-15,7%. Sementara, di Kanada, risikonya bisa mencapai 17,2%.

Kecil?

Coba bandingkan dengan bukan perokok yang risiko kanker parunya hanya 0,2-0,6%. Itu berapa puluh kali lipat kenaikan risikonya?

Bahkan, risiko kanker dapat naik ketika faktor radon dimasukkan dalam pertimbangan. Radon merupakan gas radioaktif yang merupakan hasil peluruhan dari uranium. Radon berada di alam dan dapat terakumulasi di rumah-rumah, terhirup oleh manusia. Walau tidak menyebabkan risiko kanker signifikan pada bukan perokok, kandungan radon sebesar 100 ppm meningkatkan risiko kanker pada perokok hingga 2%. Artinya, perokok lebih sensitif terhadap paparan radiasi dari radon, dan imbasnya lebih mungkin terkena kanker paru.

Untuk lebih menabur garam pada luka, rokok juga mengandung substansi radioaktif, dalam bentuk polonium-210. Sebagaimana radon, polonium-210 juga merupakan hasil peluruhan dari uranium. Merokok dua pak sehari selama setahun memberi dosis setara dengan 300 kali paparan sinar-X di dada. Sehingga, merokok sama saja dengan memasukkan bahan radioaktif dengan sukarela ke paru-paru.

Dari sini, dapat dilihat bahwa bahaya yang disebabkan oleh merokok jauh lebih nyata dan mematikan daripada radiasi nuklir. Sementara penggunaan material radioaktif diatur dengan ketat oleh regulasi, rokok beredar bebas tanpa aturan khusus, bahkan anak kecil pun bisa mengonsumsinya.

Rokok merupakan ancaman kesehatan yang jauh lebih besar terhadap kesehatan manusia daripada radiasi nuklir, tapi diregulasi jauh lebih longgar. Why? Apakah karena peraturan yang ada tidak berbasis pembuktian ilmiah untuk hal-hal seperti ini?

Ringkasnya jangan sampai keliru dalam menilai risiko. Seseorang lebih mungkin mati karena merokok daripada karena radiasi nuklir. Tidak perlu takut terhadap radiasi kalau asap rokok masih ditelan bulat-bulat tanpa ragu, karena radiasi jauh lebih tidak mematikan ketimbang karsinogen di dalam asap rokok.