Minggu, 17 Agustus 2025

Banyak-Banyakan Publikasi, Untuk Apa?

Kalau ada satu "penyakit" yang sepertinya cukup mengganggu di dunia akademia saat ini, hal itu adalah banyak-banyakan publikasi.

Belum lama ini, saya membaca berita di website salah satu universitas domestik soal mahasiswa pascasarjana yang menyelesaikan kuliah S2-S3 dalam tiga tahun (!!!) dan menerbitkan 25 publikasi ilmiah dalam tiga tahun kuliahnya tersebut. Artinya, ada delapan publikasi ilmiah di jurnal internasional dalam setahun.

Lalu, seorang rekan kemudian membagikan berita soal dokter alumni S3 Belanda yang mendapatkan penghargaan dari MURI terkait rekor publikasi terbanyak selama studi doktoral, yakni 68 publikasi ilmiah! Saya memulai riset sejak 2018, yang artinya sudah 7 tahun terlibat di dunia litbang, dan publikasi di jurnal internasional masih tidak sampai 20.

Tidak ketinggalan pula, pemenang reality show kapitalis bertopeng pendidikan ajang kompetisi intelejensia mahasiswa Musim Pertama, yang saat ini masih mahasiswa S1 di universitas lokal, sudah publikasi belasan publikasi ilmiah, dua di antaranya sebagai penulis pertama. Mayoritas di jurnal internasional terindeks Scopus pula.

Walau demikian, setelah saya cek lagi di akun Scopus dan Google Scholar masing-masing individu tersebut, mayoritas adalah... systematic literature review (SLR) dan meta-analysis. Review article, bukan original research article. Ada, memang, original research article (kecuali pemenang reality show kompetisi pendidikan), tapi tidak sebanyak itu. Mayoritas, kalau bukan semuanya, dipublikasikan ketika sedang menempuh jenjang perkuliahan, sedikit sekali di luar perkuliahan.

Dari situ, saya jadi sering terpikirkan soal hakikat publikasi ilmiah. Sebenarnya apa, sih, yang dituju dari publikasi ilmiah ini? Publikasi ilmiah itu sebenarnya untuk apa? Kenapa sekarang normanya jadi seolah-olah lulus secepat-cepatnya dan publikasi sebanyak-banyaknya? In a sense, tren ini juga saya curigai mulai muncul di lembaga riset yang harusnya menelurkan publikasi berupa original research article, bukannya banyak-banyakan publikasi SLR dan meta-analysis.

Perlu diakui bahwa publikasi ilmiah negeri ini masih sedikit. Untuk ukuran negara sebesar Indonesia, data Scimago menunjukkan bahwa jumlah dokumen terpublikasi yang terindeks lembaga pengindeks komersial sejenis Scopus dan Web of Science baru berada di peringkat 37. Setingkat di bawah Singapura dengan jumlah penduduk yang...  agak memalukan untuk membandingkan keduanya. Bahkan lebih rendah daripada entitas ilegal fasis rasis maniak genosida yang berada di peringkat 26. Ini belum bicara sitasi per dokumen dan H-Index yang paling rendah di antara 50 negara dengan dokumen terpublikasi paling banyak!

Kinda embarrassing, really...

Publikasi ilmiah memang salah satu indikator yang menunjukkan kualitas dan kemajuan riset sebuah negara. Masalahnya? Jumlah itu adalah indikator kualitas riset, bukan target riset! Publikasi ilmiah, seharusnya, bukan ajang gengsi-gengsian. Bukan ajang kompetisi kejar-kejaran banyak-banyakan, bukan! Jumlah publikasi ilmiah itu tidak lebih dari indikator, seberapa maju kualitas riset sebuah negara, bukan target yang harus dikejar!

Sepertinya ini yang disalahartikan oleh para pemangku kebijakan. Sadar bahwa publikasi ilmiah terindeks Scopus dan Web of Science masih sedikit relatif terhadap negara lain, akhirnya kuantitas digenjot habis-habisan. Tapi apakah tuntutan kenaikan kuantitas publikasi ini diimbangi dengan penambahan kuantitas anggaran? Apakah diimbangi dengan perbaikan fasilitas riset dan kenaikan gaji akademisi serta peneliti? Ya tentu saja... tidak. Justru makin ke sini makin diperketat, birokrasi dipersulit, bahkan anggaran riset turun dari Rp 26 triliun menjadi Rp 6-7 triliun. Tapi kuantitas publikasi harus diperbanyak.

Ini, logika dari mana?

Dari sini saya kira fenomena banyak-banyakan publikasi berbentuk SLR, meta-analysis, ditambah bibliometrik, mulai mencuat. Dengan krisis anggaran riset, penghematan anggaran demi proyek populis yang visi dan eksekusinya buruk, serta negara mengurangi pendanaan terhadap universitas yang makin kesini disuruh makin mandiri, sementara beban luaran makin banyak, para akademisi akhirnya mencari exit liquidity berupa menggunakan data sekunder, yang menghasilkan tiga jenis publikasi tersebut. Data sekunder, karena datanya sudah ada, dikerjakan oleh negara-negara lain yang ekosistem risetnya agak "mendingan" (karena tidak semuanya sehat juga), lalu tinggal ditelaah semua datanya dan diberi penafsiran dan kesimpulan sendiri dari kumpulan data itu. Kadang cuma membaca data saja, tidak ada analisis sendiri. Herannya masih terbit. Di jurnal terindeks Scopus pula.

Kalau sekadar exit liquidity, mungkin masih agak bisa diterima. Karena kepepet. Sementara pemberi anggaran sudah bawel menuntut luaran seperti kelelawar buah ketika melihat pepaya matang. Masalahnya, para akademisi dan peneliti tampaknya jadi ketagihan untuk terus menerus publikasi SLR, meta-analysis, dan bibliometrik. Pelatihannya muncul di mana-mana, untuk menggunakan tools bibliometrik dan SLR. Mahasiswa pascasarjana, yang harusnya disibukkan dengan original research, malah diajak banyak pihak untuk ikut nulis makalah SLR, meta-analysis, dan bibliometrik.

Mau dilihat dari manapun, fenomena ini jelas problematik. Publikasi ilmiah yang harusnya sebatas jadi indikator hasil riset, malah jadi ajang gengsi-gengsian dengan banyak-banyakan publikasi. Mana publikasinya dari hasil telaah data sekunder pula. Lalu ketika berhasil publikasi belasan hingga puluhan publikasi dalam setahun atau sepanjang masa studi, dianggap sebuah prestasi yang luar biasa.

Like, seriously?

Di mayoritas bidang, SLR dan bibliometrik itu seringkali hanya terpakai untuk bagian Latar Belakang/Introduction di manuskrip ilmiah. Meta-analysis paling berguna untuk riset bidang kesehatan, tapi bukan untuk dipublikasi sebanyak-banyaknya, melainkan ada kepentingan teknis untuk memandu original research. Mau dilihat dari manapun, tiga model publikasi itu tidak bisa dianggap sebagai primary research. Bukan riset utama, melainkan supporting research/riset pendukung. A mean, not a target.

Banyak-banyakan publikasi SLR, meta-analysis, dan bibliometrik, lalu berbangga dengan jumlah makalah yang terpublikasi itu, merasa telah berkontribusi dalam mendongkrak jumlah publikasi ilmiah negara, pada hakikatnya adalah sebuah bentuk kelucuan. Membanjiri dunia publikasi ilmiah, yang saat ini sudah tersaturasi, dengan jenis-jenis publikasi semacam itu, tidak lebih dari menghasilkan lebih banyak derau/noise dalam dunia riset, yang mulai jenuh dengan banyaknya publikasi dengan nilai tambah rendah, replikabilitas bermasalah, mitra bestari/reviewer yang lelah, dan entitas jurnal komersial yang terus menjajah.

Saat ini, dipublikasikan di jurnal terindeks Scopus bukan lagi bukti bahwa kualitas publikasinya luar biasa bagus. Oversaturasi publikasi dan mental kapitalistik penerbit jurnal komersial akhirnya menjadikan standar publikasi seringkali melonggar, dan ini sudah menjadi concern di dunia ilmiah internasional.

Akhirnya, akademisi semodel begini hanya berbangga-bangga dengan jumlah publikasi saja. Bukan kualitas publikasi, bukan peran publikasinya dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi karena jumlahnya banyak dan terindeks Scopus. Lalu ketika pola seperti ini dikritik, malah menganggap si pengkritik itu iri, dengki, hasad, tidak suka dengan prestasi orang lain, you name it.

Padahal masalahnya yang dikritik adalah fenomena banyak-banyakan publikasi yang cuma jadi derau dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di tengah dunia publikasi ilmiah yang terlalu banyak masalah. Tidak ada kaitannya dengan iri, hasad, dan sebangsanya. Hanya akademisi dan manusia berotak picik dan sempit yang berpikir seperti itu.

Publikasi semodel SLR, meta-analysis, dan bibliometrik ada pangsanya sendiri, tapi yang jelas bukan sebagai arah publikasi utama. Publikasi tersebut eksis sebagai pendukung dari tujuan utama: memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang mana, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut bergantung pada original research, yang menghasilkan publikasi berupa original research article.

Tidak ada ilmuwan/akademisi yang membangun karir dari publikasi SLR, meta-analysis, dan bibliometrik. Kalau ada, itu ilmuwan kualitas rendah yang tidak punya kontribusi apa-apa terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan mungkin tidak berguna dan tidak paham sama sekali ketika harus melakukan original research, karena bisanya cuma pakai data sekunder.

Tampaknya, Goodhart's Law dapat diberlakukan untuk fenomena ini.

"

When a measure becomes a target, it ceases to be a good measure
."

Jumlah publikasi itu fungsinya hanya sebagai ukuran, bukan target. Ketika jumlah dijadikan sebagai target, sebagai ajang gengsi, sebagai ajang hebat-hebatan, maka jumlah publikasi bukan lagi jadi alat ukur yang bagus.

Budaya bangga-banggaan dengan jumlah ini selayaknya dikurang-kurangi. Bahkan Rasulullah SAW pun pernah hampir mengalami kekalahan di Perang Hunain. Apa mentalitas kaum muslimin pada saat Perang Hunain? Berbangga dengan jumlah. Merasa tidak terkalahkan. Sampai Allah SWT menegur umat Islam dengan cara demikian, supaya tidak usah sombong dengan jumlah yang banyak.

Bagi akademisi/Peneliti sungguhan, kualitas >>> kuantitas. Tidak apa-apa hanya bisa publikasi 1-2 makalah tiap tahun. Bahkan mungkin baru bisa publikasi sekali dalam dua tahun. Utamakan kualitas, bukan kuantitas. Utamakan kebermanfaatan riset untuk dunia ilmiah, ilmu pengetahuan, atau aplikasi dunia nyata (tergantung jenis risetnya), tidak usah ngoyo dengan banyak-banyakan jumlah. Karena riset berkualitas bagus dan kuantitas banyak dalam waktu singkat itu sama utopisnya dengan berharap merkuri bisa berubah menjadi emas hanya dengan memaparinya dengan netron dari sumber AmBe, tidak ada dalam realita.

Bagi yang masih berbangga-bangga dengan jumlah publikasi, tapi hanya berbekal data sekunder dan hanya menjadi derau dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, semoga mau sadar dan mulai lebih fokus pada kualitas riset di original research.

Selasa, 12 Agustus 2025

Peran Yang Harus Dikurang-Kurangi


Dalam kehidupan manusia posmodern, khusunya bagi seorang muslim, saya kira ada beberapa peran yang selayaknya dikurang-kurangi dan ada peran yang sebaiknya diperkuat.

Di sini saya bahas peran yang sebaiknya dikurangi dulu.

1. Polisi Adab

Now, now, tidak usah terpelatuk dulu. Mengingatkan soal adab dalam berbicara dan bersikap bukan kriteria tunggal menjadi Polisi Adab. Mengingatkan soal adab adalah bagian dari amar ma'ruf, bahkan nahi munkar. Itu bagus sekali. Lantas, masalahnya? Kalau berat sebelah. Dalam artian, sibuk bicara soal pentingnya adab dalam berbicara, tetapi tidak peduli sama sekali tentang kenapa bisa ada persoalan dalam adab tersebut.

Contohnya, ketika ada seseorang (sebut saja Hajime) yang mengkritik keras (hingga kasar) sebuah fenomena kekeliruan fatal dan kemaksiatan oleh Yoichi, kemudian (sebut saja) Kengo sibuk mengomentari adab Hajime yang agak-agak kurang. Tapi apakah Kengo berbicara soal kemaksiatan yang dilakukan oleh Yoichi? Tidak sama sekali. Semua energinya difokuskan untuk mengoreksi adab Hajime sehingga tidak ada energi tersisa untuk mengoreksi kemaksiatan Yoichi.

Itu yang namanya Polisi Adab. Sibuk dengan asap, tidak peduli dengan api. Peran seperti ini memang mudah dilakukan, tapi tidak berguna sama sekali bagi kehidupan manusia. Seharusnya dikurang-kurangi bahkan ditinggalkan.

2. Pahlawan Kesiangan

Alkisah, Shinichi dan Heiji sedang bertengkar karena Shinichi melihat bahwa Heiji sedang melanggar komitmennya sebagai seorang detektif, sementara Heiji melihat Shinichi terlalu pengecut untuk mengambil risiko dalam memecahkan kasus. Tanpa ba-bi-bu, Kogoro muncul berusaha mendamaikan keduanya dan mengatakan semua ini cuma soal perbedaan sudut pandang, tidak usah dibesar-besarkan, lebih baik fokus pada memecahkan kasus kriminal di Kota Taito.

Padahal masalahnya Heiji memang telah melakukan pelanggaran kode etik dalam penyelidikan kasus kriminal, dan Shinichi sedang berusaha menegakkan kode etik tersebut walau dikata-katai pengecut oleh Heiji. Di sini, Kogoro berperan sebagai Pahlawan Kesiangan. Dia berusaha menjadi pahlawan dengan menyelesaikan konflik, sayangnya di waktu, tempat, dan konteks yang keliru. Kogoro bahkan tidak pernah berusaha mendalami kenapa Shinichi dan Heiji bertengkar (karena keterbatasan intelektualitasnya), tapi bertingkah seolah dia menjadi pahlawan ketika berdiri di antara kedua detektif muda itu.

Peran sebagai Pahlawan Kesiangan ini selayaknya dikurang-kurangi oleh seorang muslim, karena selain tidak berguna sama sekali dalam kehidupan, posisinya juga jelas menambah keruh persoalan. Ketika dia tidak paham persoalan, lebih baik Kogoro ini diam saja dan pura-pura bodoh daripada membuka mulut dan malah kelihatan bodohnya.

3. Tukang Cebok

Ketika Heiji terbukti telah melakukan kesalahan dan melanggar kode etik penyelidikan kasus kriminal, dunia perdetektifan pun geger. Pihak-pihak dari Kepolisian Metropolitan Osaka dan semua yang berada di kubu Heiji pun menjadi gundah gulana. Pada momen itu, Kazuha muncul untuk membela tindakan-tindakan Heiji. Katanya, Heiji tahu kalau itu salah, tapi tetap dilakukan demi bisa memecahkan kasus, bahwa Heiji tidak mungkin tidak punya alasan untuk melanggar kode etik, dsb. Semua prasangka baik dilontarkan oleh Kazuha, berharap Shinichi, Ran, dan Kepolisian Metropolitan Tokyo masih mau berprasangka baik dan membenarkan tindakannya.

Apa yang dilakukan Kazuha adalah menjadi Tukang Cebok bagi kesalahan yang dilakukan oleh Heiji. Sudah jelas-jelas Heiji "bermaksiat" dengan melanggar kode etik, masih saja dibela. Semua harus dikembalikan pada niat, bahwasanya niat adalah yang paling utama. Prasangka baik harus diutamakan meski fakta yang terjadi adalah sebaliknya. Kenapa? Karena Kazuha dekat dengan Heiji, dan berada di kubu Heiji. Tidak lebih.

Bagi seorang muslim, menjadi Tukang Cebok bukan hanya tidak berguna dan menambah keruh persoalan, tetapi juga menjijikkan. Tidak beda jauh dengan pengacara yang membela pelaku tindak kriminal. Jadi sebaiknya perilaku seperti ini dihindari. Kalau memang menyadari berada di pihak yang salah, meski agak terlambat, tidak ada yang salah dengan mengakui kesalahan posisi tersebut dan mengoreksinya. Bukan malah nyebokin kesalahan orang, yang mungkin tidak tahu dan tidak peduli juga dengan dirinya.

Apakah masih ada yang lain? Mungkin ada, tapi saat ini tiga poin di atas saja dulu. Anda tidak harus setuju sepenuhnya, tapi sebaiknya direnungkan baik-baik.

Karena dunia posmodern problematik ini sudah terlalu bermasalah untuk menampung peran-peran tidak berguna tersebut, jadi tidak usah ditambah-tambah.

Senin, 11 Agustus 2025

Ketika Ruwaibidhah Diberi Panggung


Dari Abu Hurairah r.a.Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya akan datang kepada manusia tahun-tahun penipuan, di dalamnya orang yang berdusta dipercaya sedang orang yang jujur didustakan, orang yang berkhianat diberi amanah, sedang orang yang amanah dikhianati, dan di dalamnya juga terdapat al-ruwaibidhah.” Ditanya, “Apa itu al-ruwaibidhah wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Yaitu orang bodoh yang berbicara (memberi fatwa) dalam urusan manusia.” (HR Ahmad)

Ini bukan hadits asing. Hadits ini sering sekali dibahas khususnya dalam berbagai ceramah terkait urusan publik. Biasanya ditujukan pada entitas-entitas kepemimpinan, mulai dari yang kecil seperti lembaga riset maupun entitas yang lebih besar seperti negara. Karena hadits ini bersifat mujmal, jadi bisa diaplikasikan untuk berbagai konteks. Tidak hanya pemimpin negara saja, bahkan tanpa terikat dengan suatu entitas tertentu sekalipun.

Abad 21 baru berjalan seperempat abad, dan makin kesini para ruwaibidhah tampak semakin banyak. Siapapun bisa berbicara soal apapun tanpa koreksi dan kontrol memadai. Tom Nicholls menyebutnya sebagai The Death of Expertise. Kepakaran kini sudah mati, berganti dengan popularitas. FYP dan interaksi/engagement menjadi mata uang baru untuk menentukan benar atau salah, bisa dipercaya atau tidak. Bukan lagi kebenaran objektif, tapi persepsi subjektif. Asal dia tenar, dia bisa dipercaya sebagai orang yang kredibel. Contohnya banyak, mulai dari pedagang hoax berkedok agama, "guru" obesitas yang bicara segala hal seolah-olah dia pakar dalam semua bidang, mentalis/pesulap/penghibur tipuan mata yang alih haluan menjadi tuan rumah siniar, dokter influencer tapi STR mati, sampai dukun anonim berkedok medis.

Tipikal-tipikal orang sejenis itu layak disebut sebagai ruwaibidhah. Mengapa? Karena berbicara tanpa ilmu terkait urusan manusia luas. Berbicara soal kesehatan membawa-bawa kedok agama, tanpa memahami bagaimana fahmul waqi' dalam sebuah persoalan, tanpa memahami dalil apalagi istidlal hukum syara', tanpa memahami ilmu medis seperti apa. Semua "argumentasi" yang disampaikan berbasis pada appeal-to-emotion fallacy, cuma memantik emosi/perasaan audiens dengan tajuk-tajuk kontroversial dan premis-premis palsu, serta penggunaan dalil syara' tidak pada tempatnya. Tapi karena menggunakan emotional appeal inilah, mereka mudah menyesatkan warganet yang memang pada dasarnya jarang yang mampu berpikir kritis.

Truth is boring. Fear sells. (Hargraves, 2012)

Tidak ketinggalan pula seseorang yang punya gelar PhD di bidang teknologi pangan, tapi berbicara sangat jauh melampaui kepakarannya tersebut sampai ke topik climate change, pandemi Covid-19, dan genetically modified organism (GMO). Sudah begitu, kemampuan penalaran dalam membaca publikasi ilmiah (scientific paper, atau kita sebut saja paper) dan menganalisis datanya relatif rendah. Tapi pede sekali mengatakan ini dan itu yang KATANYA merujuk pada paper tertentu, tapi apa yang disampaikan dengan isi paper sama sekali berbeda. Alias salah menafsirkan isi paper. Mulai dari paper soal Covid sampai soal glifosat, keliru semua.



Nah, kira-kira, kalau para ruwaibidhah sejenis ini diberi panggung oleh mereka yang punya basis audiens cukup besar, apa yang akan terjadi?

Betul. PEMBODOHAN MASSAL. Bukannya mencerdaskan kehidupan bangsa, bukannya mencerdaskan pemikiran umat, malah melakukan pembodohan terhadap umat. Maka akan menjadi masalah besar, ketika sebuah komunitas Islam yang katanya mengajak "mengaji" kemudian memberi panggung kepada para ruwaibidhah sejenis ini, maka sama saja pengikut dan audiens komunitas ini disajikan panggung pembodohan! 

Ketika "guru" obesitas yang sering membahas topik secara keliru dan akurasinya rendah kemudian diberi panggung oleh forum siniar dengan basis audiens cukup besar, maka kesan yang muncul adalah "guru" obesitas ini adalah seorang yang kompeten dan bisa dipercaya oleh audiens komunitas tersebut. Khususnya bahwa para audiens tidak terbiasa dan tidak pernah dilatih berpikir kritis oleh komunitas Islami tersebut, sementara para tuan rumah siniar juga tidak pernah menganggap pernyataan-pernyataan kontroversial dan keliru "guru" obesitas sebagai hal yang patut dikoreksi, sehingga yang terjadi adalah para audiens menelan mentah-mentah sikap dan pernyataan "guru" obesitas alih-alih bersikap kritis.

Ketika PhD lompat pagar yang hobi bicara konspiratif berbekal pemahaman keliru terhadap paper yang dibacanya diberi panggung oleh forum yang sama, maka komunitas tersebut sedang mengekspos audiens mereka dengan penyesatan pemikiran yang berbahaya. Karena kepercayaan berlebih terhadap tuan rumah siniar, audiens jadi meyakini bahwa orang yang diundang ke dalam siniar tersebut adalah orang yang kompeten di bidangnya, sehingga apa yang disampaikan PhD lompat pagar itu dianggap sebagai sebuah kebenaran. Mulai dari konspirasi bahwa pandemi Covid-19 adalah rekayasa manusia, sampai kedelai GMO akan menyebabkan kanker. Hal ini diperparah bahwa tuan rumah siniar tidak ada seorang pun yang memilikii gelar doktoral dan tidak ada yang kompeten sama sekali dalam bidang sains.

Ketika orang-orang sosialis diberi panggung oleh forum yang sama, tanpa ada usaha untuk membongkar pemikiran kufur sosialisme, audiens yang tidak pernah dilatih berpikir kritis jadi mudah sekali tergoyangkan pemahamannya dan jadi tertarik untuk mempelajari karya-karya orang sosialis tersebut. Bukan untuk dibantah, tetapi dijadikan sebagai referensi!

Kenapa sampai komunitas Islami tersebut memberi panggung terhadap para ruwaibidhah? Apa mereka tidak pernah sadar tentang reaksi publik yang cenderung negatif terhadap beberapa pihak, dan kekeliruan pemikiran di pihak lain?

Sepertinya alasannya tidak jauh dari memancing interaksi. Karena sekali lagi, FYP dan engagement adalah cara untuk menjadi terkenal di era posmodern. Engagement adalah berhala yang mesti disembah demi memiliki nama. Akhirnya semua dampak susulan dari interaksi tersebut tidak diperhitungkan sama sekali, meskipun itu adalah dampak negatif. Para ruwaibidhah, yang seharusnya di-delegitimasi posisiya, malah diberi kesan positif dan dikembalikan kepercayaannya oleh audiens, semata-mata karena diundang oleh komunitas Islami yang dianggap memiliki kesan positif.

Penyesatan pemikiran massal tersebut juga menyulitkan kalangan intelektual sungguhan dan orang-orang yang lurus pemikirannya untuk menyadarkan masyarakat dari kekeliruan pemikiran para ruwaibidhah ini. Para saintis sudah mati-matian berusaha menjelaskan fenomena riil terkait pandemi Covid-19, eh malah disesatkan lagi oleh komunitas Islami yang mengundang ruwaibidhah. Jadi menambah pekerjaan lagi. Sama, ketika para guru dan akademisi sungguhan sedang mengkritik kesalahan berpikir "guru" obesitas, komunitas ini malah membuat ruwaibidhah satu ini tambah menggelembung namanya (juga kepalanya).

Dengan kata lain, siniar komunitas Islami ini membantu menyebarkan kebodohan, kesesatan, dan fitnah, serta mempersulit hidup para intelektual sungguhan dalam mencerdaskan pemikiran umat Islam!

"Mengaji" apa yang sesungguhnya mereka ingin tunjukkan dengan praktik pemberhalaan engagement ini?

Apa mereka tidak bisa mengundang orang-orang yang kompeten dan lurus saja alih-alih sekumpulan ruwaibidhah? Apa karena saking buruknya isi komunitas mereka, sehingga mereka hanya mengenal dan menganggap penting ruwaibidhah asal punya nama dan bisa mengundang audiens-interaksi?

Praktik yang dilakukan komunitas Islami seperti ini tidak ada manfaatnya sama sekali. Alih-alih menjadi pahala jariyah, apa yang mereka lakukan ini bisa menjadi dosa jariyah.

“Siapa yang mengajak kepada kesesatan, dia mendapatkan dosa, seperti dosa orang yang mengikutinya, tidak dikurangi sedikitpun.” (HR Muslim)

Sayang sekali bahwa pengurus komunitas Islami ini terkenal bebal, besar kepala, dan anti-kritik. Mereka menggunakan kacamata kuda dalam melakukan aktivitasnya dan tidak mengenal kekeliruan dalam apa yang mereka lakukan. Yang mereka tahu hanyalah bahwa semua pengkritiknya adalah hasad, dengki, benci, iri. Tidak beda jauh dengan “musuh” yang didengungkan sebagian anggotanya. Ironis bahwa mereka menjadi persis sebagaimana apa yang mereka musuhi. Seperti zionis yang begitu membenci Nazi, tapi akhirnya mereka bertingkah seperti Nazi Jerman.


Kalau sudah begini, tinggal tunggu kejatuhannya cepat atau lambat. Pada titik itu, apakah audiens mereka masih akan sedemikian loyal pada mereka? Ketika loyalitas tertinggi seorang muslim yang harusnya disandarkan pada Allah dan Rasul-Nya, kini dialihkan pada pengkultusan individu dan kelompok?

Kamis, 24 April 2025

Dalih Dobol Ateis Bodor

Di alam sekuler, semisal di seluruh dunia pada saat ini, orang beragama maupun tidak sama-sama tidak dibatasi untuk berkontribusi dalam sains dan teknologi. Secara epistemik, tidak ada yang peduli sama sekali. Yang penting adalah,









  1. Anda punya topik riset,
  2. Anda punya anggaran dan fasilitas riset,
  3. Anda melakukan riset,
  4. Anda menerbitkan hasil risetnya untuk diseminasi.

Jadi ketika ada yang berhalusinasi bahwa "ateis di Indonesia tidak bisa berkontribusi dalam sains dan teknologi karena ateisme tidak diberikan ruang untuk berkembang," maka itu hanya karangan dobol belaka.

Entitas negara sekuler tidak mempertimbangkan aspek metafisik yang diyakini seseorang dalam pengembangan sains dan teknologi secara epistemologis. Pertimbangan lebih besar justru terletak pada aspek politik terkait visi sains dan teknologi negara, yang mana nilai-nilai yang dianut terkait visi politis itu bersifat sekuler pula—tidak terkait dengan nilai agama apapun. Plus, tentu saja, politik nasional maupun internasional dengan berbagai aktor pemegang kepentingan yang 100% tidak berpegang pada nilai-nilai agama.

Kalau secara ontologis dan aksiologis kemudian terpengaruh agama/ideologi tertentu, itu wajar. Keduanya memang tidak bebas nilai, sebagaimana para ateis juga memandang aspek ontologik dan aksologik dari sains dan teknologi itu berdasarkan ideologi ateisme yang mereka anut. Seorang teis bebas mengkritik pemahaman ateis dalam kedua aspek ini sebagaimana seorang ateis sesuka hati mengkritik teis. Tapi dari aspek epistemologis, yang notabene merupakan hal dasar yang seharusnya dilakukan sebelum beranjak pada dua aspek lainnya? Tidak ada yang melarang.

Sejak awal kemerdekaan, arah litbangjirap sains dan teknologi di Indonesia itu secara eksklusif dibangun atas pondasi nilai sekuler. Tidak dikaitkan dengan agama, tidak peduli terkait aspek ketuhanan sama sekali. Tidak pernah ada motivasi, inspirasi, apalagi pondasi membangun sains dan teknologi berdasarkan agama. Etika penelitian tidak pernah dilandaskan pada agama tertentu, melainkan JUSTRU berdasarkan nilai-nilai humanis, yang notabene lahir dari rahim sekulerisme yang tidak peduli agama.

Jadi, ketika ada ateis dobol yang mengeluh bahwa mereka tidak diberi ruang "kebebasan untuk berkembang" makanya tidak berkontribusi dalam perkembangan sains dan teknologi di Indonesia, maka ketahuilah bahwa mereka cuma ngarang bebas saja. Khayalan dobol untuk menutupi skill issue mereka, yang secara kapasitas pribadi sama sekali tidak kompeten untuk menjadi seorang saintis maupun insinyur. Bukan karena dibatasi untuk berkembang, tapi memang darisananya tidak bisa apa-apa.

Ateis model begini cuma bisa mangap lebar saja, meski isinya lebih kosong daripada void space berjarak 300 parsec. Jadi ateis pun cuma karena malas ibadah saja, emotionally-driven ignorance, bukan karena "pencerahan" or something incredible idk.

Pondasi litbangjirap sains dan teknologi darisananya sekuler, negara dijalankan berdasarkan ideologi sekulerisme, yang disalahkan agama lagi. Idiot eksponensial.

What a complete waste of oxygen.


Minggu, 22 Desember 2024

Rekapitulasi Publikasi Ilmiah 2024... Sort of.

Tahun 2024 memang belum resmi berakhir, tapi karena tidak ada lagi luaran yang diekspektasikan, jadi sepertinya direkap saja.

Jadi, alhamdulillah, tahun 2024 menjadi tahun paling produktif dalam publikasi hasil riset. Setidaknya, sepanjang karir sebagai Peneliti yang masih sangat pendek, belum ada 10 tahun. Itu juga terpotong tugas belajar S2.

Walau tahun ini banyak ketidakpastian, kefrustrasian, emosi tiap kali pertemuan mingguan Kelompok Riset, kebijakan instansi yang esuk dele sore tempe sakadaek manehanana, serta keterbatasan infrastruktur untuk melakukan penelitian (khususnya ketiadaan lisensi code untuk analisis fisika reaktor), setidak-tidaknya masih ada beberapa luaran yang bisa dihasilkan dan diterbitkan di berbagai jurnal ilmiah.

Tahun ini, bersama rekan-rekan kolaborator, baik saya sebagai lead author atau sebagai kontributor, menerbitkan 14 hasil penelitian di jurnal dan prosiding, dengan detail sebagai berikut.

  • 11 publikasi di Jurnal Internasional
  • 2 publikasi di Jurnal Nasional
  • 1 publikasi di Prosiding Internasional
  • 7 publikasi sebagai lead author
  • 7 publikasi sebagai kontributor

Untuk artikel dengan peran sebagai lead author, daftarnya adalah sebagai berikut.

      R Andika Putra Dwijayanto, Fitria Miftasani, Andang Widi Harto. Assessing the benefit of thorium fuel in a once through molten salt reactor. Progress in Nuclear Energy, vol. 176, 105369. https://doi.org/10.1016/j.pnucene.2024.105369 (Q1 Scopus)

      R Andika Putra Dwijayanto, Azizul Khakim, Zuhair, Andang Widi Harto. The Influence of Graphite Moderator Density on the Neutronic Performance and Fuel Economy of a Molten Salt Reactor. Annals of Nuclear Energy, vol. 197, 110245. https://doi.org/10.1016/j.anucene.2023.110245 (Q2 Scopus)

      R Andika Putra Dwijayanto, Andang Widi Harto. Comparative Assessment of Molten Salt Reactor Neutronic Performance with Various U-233 Purity. Engineering Journal, vol. 28, issue 5, pp. 15-24 https://doi.org/10.4186/ej.2024.28.5.15 (Q3 Scopus)

      R Andika Putra Dwijayanto, Andang Widi Harto. Neutronic Design Modification of Passive Compact Molten Salt Reactor. Atom Indonesia, vol. 50, no.1, pp. 9-17. https://doi.org/10.55981/aij.2024.1308 (Q4 Scopus)

      R Andika Putra Dwijayanto, Harun Ardiansyah, Andang Widi Harto. Verification and Geometry Optimization of a One Fluid Molten Salt Reactor with Fixed Fuel Volume. Journal of Nuclear Engineering and Radiation Science, vol. 10, no. 3, 031301. https://doi.org/10.1115/1.4064465 (Q3 Scopus)

      R Andika Putra Dwijayanto, Farisy Yogatama Sulistyo, Zuhair, Andang Widi Harto. “TRU Incineration using Passive Compact Molten Salt Reactor.” AIP Conference Proceedings 2967, 130002. https://doi.org/10.1063/5.0192922 (Prosiding Terindeks Global Lainnya)

      R Andika Putra Dwijayanto, Farisy Yogatama Sulistyo, Andang Widi Harto. The Impact of Silicon Carbide Coating on the Reactor Physics of Single Fluid Double Zone-Thorium Molten Salt Reactor. Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia, vol. 25, no. 1, pp. 1-10 https://doi.org/10.17146/jstni.2024.25.1.1 (SINTA-2)

Sementara sebagai kontributor, daftarnya adalah sebagai berikut.

      Andang Widi Harto, Alexander Agung, Sihana, M Yayan Adi Putra, Rayhan Alghiffari Azizi, Diva Jati Kanaya, Alfonsus Rahmadi Putranto Gusti, R Andika Putra DwijayantoNeutronic Characteristic Analysis of the GAMA Microreactor. Heliyon, vol. 10, no. 9, https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2024.e30707 (Q1 Scopus)

      Andang Widi Harto, Alexander Agung, M Yayan Adi Putra, Rayhan Alghiffari Azizi, R Andika Putra DwijayantoNeutronic characteristics of the GAMA aqueous homogeneous reactor (GAMA-AHR). Nuclear Engineering and Design, vol. 424, 113311, https://doi.org/10.1016/j.nucengdes.2024.113311 (Q2 Scopus)

      Azizul Khakim, Endiah Puji Hastuti, Anis Rohanda, R Andika Putra Dwijayanto, Hery Adrial, Farisy Yogatama Sulistyo. Safety analysis of inadvertent control rods withdrawal of RSG-GAS research reactor for various initial powers. Nuclear Engineering and Design, vol. 426, 113405 https://doi.org/10.1016/j.nucengdes.2024.113405 (Q2 Scopus)

      Fitria Miftasani, R Andika Putra Dwijayanto, Ghulam Abrar, Nina Widiawati, Nuri Trianti, Topan Setiadipura, Dwi Irwanto, Cici Wulandari, Zaki Suud. Investigating geometry adjustments for enhanced performance in a PeLUIt-10 MWt pebble bed HTGR with OTTO refueling scheme. Nuclear Engineering and Design, vol. 422, 113163, https://doi.org/10.1016/j.nucengdes.2024.113163 (Q2 Scopus)

      Muhammad Hafiz Hasibuan, R Andika Putra Dwijayanto, Mutia Meireni, Andang Widi Harto, Fido Ferdian Novianto, Pertiwi Widiastuti. Core neutronic design of small modular molten salt reactor for submarine propulsion. Journal of Applied Research and Technology, vol. 22, pp. 403-409. https://doi.org/10.22201/icat.24486736e.2024.22.3.2336 (Q3 Scopus)

      Rahmania Serli Assifa, R Andika Putra Dwijayanto, Fajar Arianto. Neutronic Analysis of the NuScale Fuel Assembly using Accident Tolerant Fuel with SiC Coated Alumina Cladding. Tri Dasa Mega, vol. 26, no. 3, pp. 125-132. https://doi.org/10.55981/tdm.2024.7101 (SINTA-2)

      Zuhair, Wahid Luthfi, R Andika Putra Dwijayanto, Muhammad Darwis Isnaini, Suwoto. Neutronic Investigation on Thorium MOX Fuel in VVER-1000 Reactor Assembly. Latvian Journal of Physics and Technical Sciences, year 2024, no. 3, pp. 90-104, https://doi.org/10.2478/lpts-2024-0023 (Q3 Scopus)

Menarik bahwa tahun ini publikasi di jurnal internasional ada dari Q1 sampai Q4 Scopus. Bukan berarti itu sesuatu yang luar biasa penting, tapi ya... cukup menarik. Sangat bervariasi.

Tapi, kok, bisa sampai sebanyak itu? Bukannya tidak normal?

Well... for the record, riset yang berujung pada publikasi di atas dimulai sejak tahun 2020. Sedikit tertunda karena tugas belajar. Dan pandemi. Ketika tugas belajar. Dan kondisi-kondisi yang mengharuskan kelulusan tertunda dan mengulang tesis dari awal. Tapi, ya... memang pekerjaannya dimulai sejak lama, dan baru sempat disubmit ketika kembali aktif di kantor tahun 2023. Dengan kata lain, jumlah publikasi sebagai lead author sangat normal. Apalagi, tahun 2023 saya tidak publikasi apa-apa di jurnal internasional sebagai lead author.

Kalau sebagai kontributor? Ya namanya juga kontributor, bukan pemeran paling utama dalam risetnya. Sekadar cukup signifikan untuk namanya masuk ke dalam artikel, tapi bukan yang mengendalikan arah penelitian, tujuan penelitian, penggunaan perangkat lunak, dan sebagainya. Kecuali dua publikasi dengan mahasiswa MBKM dan Kerja Praktik, memang saya yang arahkan. Tapi karena mereka yang utama mengerjakan, nama mereka wajib berada di urutan pertama. Banyak akademisi yang tidak paham etika ini dan berakhir menzalimi mahasiswanya. Memalukan.

Kembali ke laptop.

Apakah publikasi riset tahun ini memuaskan? Cukup, tetapi ada beberapa aspek yang masih kurang dan bisa diperbaiki lagi. Khususnya dari aspek penggunaan code. Instansi sebesar BRIN, sangat memalukan tidak memiliki lisensi code nuklir terstandar macam MCNP, SCALE, dan Serpent, sehingga tidak bisa menggunakan code tersebut di lab kantor. Tidak jelas pula kapan diurusnya. Akhirnya, harus kolaborasi dengan universitas yang memiliki lisensi code, itupun tentu ada keterbatasan. Yah, memang saya jadi belajar code akses terbuka yang mendukung tema riset, tetapi namanya akses terbuka pasti ada aspek-aspek yang agak... kurang.

Anyway,

Tahun 2025 tidak akan seproduktif ini, karena sibuk dengan studi S3. Tidak masalah, karena yang lebih penting dari kuantitas adalah kualitas luarannya, serta wadah publikasinya adalah wadah yang tepat. Jurnal yang memang kredibel, bukan jurnal predator macam yang jadi wadah publikasi doktor kilat 18 bulan.

Artikelnya ada yang akses terbuka (open access) dan berlangganan (subscription). Tidak punya akses langganan ke jurnalnya? Tidak masalah. Anda bisa akses lewat pranala ini.

Kalau ada yang tertarik dengan riset terkait dengan fisika reaktor nuklir khususnya di MSR, reaktor mikro, thorium, dan daur bahan bakar nuklir dari aspek netronik, saya terbuka untuk kolaborasi riset. Bisa kirim surel ke dwijayanto.a.6d2f@m.isct.ac.jp untuk diskusi lebih lanjut.


Jumat, 20 Desember 2024

Tahan Kritik ala Peneliti

Kalau ada satu karakter yang harus dimiliki oleh seorang Peneliti, itu adalah tahan kritik.

Peneliti, selain tugas utamanya melakukan penelitian dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, punya kewajiban untuk mendiseminasikan hasil penelitiannya pada komunitas ilmiah dan publik. Diseminasi ini, utamanya, berbentuk karya tulis ilmiah yang dipublikasikan di jurnal ilmiah.

Melakukan penelitian itu susah, makan waktu banyak, anggaran juga bisa habis dalam jumlah besar. Dataset yang didapatkan belum tentu bagus, harus di-refine dulu sampai dapat yang cukup meyakinkan. Validitas harus diuji. Data harus diolah dalam bentuk grafik dan tabel, kemudian diinterpretasi, apa hasil yang didapatkan dari penelitian ini.

Setelah melalui semua itu, para Peneliti harus menulis hasil penemuannya dalam sebuah manuskrip ilmiah. Apakah bisa ditayangkan begitu saja? Bisa, tapi apa nilainya? Apakah ada yang menganggap temuan itu sebagai sesuatu yang penting, atau lebih penting lagi, valid? Tidak. Maka Peneliti harus mengajukan manuskrip ilmiahnya ke sebuah jurnal ilmiah. Editor jurnal tersebut akan mengirim manuskrip tersebut ke dua atau lebih reviewer, juga Peneliti dan seringkali pakar di bidangnya, yang kemudian akan mengevaluasi merit dari manuskrip si Peneliti.

Apakah kemudian manuskrip itu langsung akan dapat pujian dan diterima oleh para reviewer? Belum tentu.

Seringkali, para reviewer memberikan banyak catatan, kritikan, masukan, mulai dari yang biasa saja sampai yang pedas bukan main. Rekomendasinya jarang sekali yang diterima begitu saja. Biasanya wajib direvisi berdasarkan catatan yang diberikan, dan bisa jadi belasan hingga puluhan poin. Lebih buruk lagi, manuskripnya bisa saja ditolak di kesempatan pertama.

Bayangkan. Sudah lama-lama riset, ngumpulkan data, diskusi dengan rekan, banyak waktu dan anggaran yang terbuang, lalu ditulis dalam manuskrip yang menyusunnya juga tidak mudah, lalu kemudian menerima banyak kritik bahkan manuskripnya ditolak oleh kolega Peneliti yang tidak tahu siapa identitasnya dan tidak langsung terjun melakukan riset tersebut. Apa tidak sakit hati?

Pada proses inilah karakter seorang Peneliti diuji. Apakah dia bakalan ngambekan, marah-marah tidak jelas, kecewa, sakit hati, marah para reviewer yang dianggap banyak ngomong padahal tidak pernah melakukan riset yang mereka lakukan, atau mendengarkan komentar reviewer dan memperbaiki manuskrip sesuai masukan?

Sistem peer-review (tinjauan sejawat) dalam publikasi ilmiah merupakan konsekuensi dari memastikan agar hasil riset yang dipublikasikan di jurnal itu adalah hasil riset yang berkualitas. Bukan abal-abal. Bukan riset berkualitas rendah yang tidak ada nilainya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Juga bukan riset yang memiliki interpretasi data apalagi dataset yang keliru, sehingga berpotensi menyesatkan dunia ilmiah. Tidak selalu berjalan sempurna; kadang-kadang reviewer bisa keliru juga dalam memberikan komentar. Di situlah sistem rebuttal, yang diizinkan dalam dunia reviu manuskrip ilmiah, bisa diaplikasikan.

Tapi kalau komentar reviewer benar, tidak peduli sepedas apapun komentarnya, hingga mungkin mengatakan sejenis, "The authors don't seem to understand what they are writing," para Peneliti penyusun manuskrip tidak punya alasan untuk tidak mengikuti saran dari reviewer untuk memperbaiki manuskripnya.

Karena biar bagaimanapun, seseorang butuh orang lain untuk mengevaluasi karyanya. Kalau dilihat pakai kacamata sendiri, sudah jelas Peneliti merasa manuskripnya sudah bagus, data yang ditulis sudah oke. Cacatnya baru kelihatan ketika ada reviewer yang mengoreksi.

Itu proses yang lumrah dan alamiah dalam dunia litbang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Mengutip kalimat the ultimate legend, "Kita tidak bisa mengontrol perkataan orang, tapi kita bisa mengontrol respon kita terhadap perkataan orang." maka demikian pula yang terjadi di dunia ilmiah. Seorang Peneliti tidak bisa mengontrol reviewer memberi komentar semacam apa, tapi Peneliti bisa mengontrol responnya terhadap komentar reviewer. Apakah bakalan nurut, meski sambil kesal, atau bakalan ngambek dan menarik/withdraw manuskrip dari jurnal untuk disubmit ke jurnal lain, di mana dia bisa jadi mengalami fenomena yang sama?

Kalau pilihan kedua yang diambil, niscaya dia tidak akan berkembang sebagai Peneliti. Dia akan berkutat dalam ilusi kebesarannya sendiri, seolah-olah dia selalu benar dan reviewer itu salah dan tidak seharusnya memberi respon yang tidak disukainya. Dalam kondisi ini, dia akan terlempar keluar dari posisinya sebagai Peneliti, karena tidak ada karya yang bisa diterbitkannya.

Komentar reviewer memang seringkali pahit, tapi dengan begitu, kualitas manuskrip ilmiah yang diterbitkan di jurnal bisa dijaga. Sehingga, artikel yang terbit itu sungguh-sungguh memang mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan artikel jelek bahkan menyesatkan akibat dataset maupun interpretasi yang keliru.

Demikian karakter tahan kritik yang harus dimiliki oleh Peneliti.

Sabtu, 07 Desember 2024

Taksonomi Peran Kontributor ala CRediT


Bagaimana menentukan kelayakan seseorang agar namanya bisa masuk ke dalam daftar penulis publikasi ilmiah?

Perkara kontribusi ini memang cukup pelik, karena dalam satu kasus, orang merasa sudah cukup berkontribusi dalam sebuah penelitian, sehingga namanya layak dicantumkan dalam publikasi. Di sisi lain, ada yang sebenarnya tidak layak untuk dicantumkan namanya dalam publikasi, tapi tetap masuk namanya di dalam publikasi. Jadi ada ketidakadilan di sini, dan perkara ini bukan sekali dua kali terjadi.

Karena itu, butuh kriteria untuk menentukan apakah seseorang layak dimasukkan atau tidak namanya di dalam sebuah publikasi ilmiah. Kriteria seperti apa?

Salah satu yang bisa digunakan dan paling komprehensif adalah CRediT (Contributor Roles Taxonomy) author statement. Jadi ada taksonomi peran kontributor spesifik pada sebuah manuskrip ilmiah. Ada 14 peran kontributor dalam CRediT author statement, masing-masing sebagai berikut.

  1. Conceptualisation (Konseptualisasi): Seseorang membangun ide dasar dari riset yang dikerjakan secara komprehensif, memformulasikan tujuan dan target luaran dari risetnya.
  2. Data curation (Kurasi Data): Seseorang membuat metadata riset, membersihkan dan menyeleksi data, serta menyimpan data penelitian untuk keperluan awal dan penggunaan kemudian.
  3. Formal analysis (Analisis Formil): Seseorang menerapkan teknik-teknik analisis baik menggunakan ilmu statistik, matematika, komputasi, dan sebangsanya untuk menganalisis data hasil riset.
  4. Funding acquisition (Akuisisi Pendanaan): Seseorang mencari dan mendapatkan dana untuk mendukung penelitian yang berujung pada publikasi manuskrip ilmiah.
  5. Investigation (Investigasi): Seseorang melakukan proses penelitian dan investigasi objek penelitian, baik secara eksperimental maupun komputasional, atau pengumpulan data lapangan, dan yang semisal.
  6. Methodology (Metodologi): Seseorang mengembangkan atau mendesain metodologi dan atau model untuk penelitian yang dikerjakan.
  7. Project Administration (Administrasi Proyek): Seseorang mengatur dan mengkoordinasikan perencanaan serta eksekusi aktivitas penelitian.
  8. Resources (Sumber Daya): Seseorang memberikan bahan untuk penelitian, baik itu bentuknya reagen, material, pasien, sampel, hewan, instrumentasi, perangkat komputasi, buku-buku atau makalah referensi (untuk studi literatur), dan sebangsanya.
  9. Software (Perangkat Lunak): Seseorang melakukan pemrograman, pengembangan perangkat lunak, mendesain program komputer, implementasi kode komputer dan algoritma pendukung, pengujian komponen kode yang sudah ada.
  10. Supervision (Supervisi): Seseorang mengambil tanggung jawab pengawasan dan kepemimpinan untuk perencanaan dan eksekusi aktivitas riset, termasuk di dalamnya melakukan pembinaan/mentoring ke tim inti riset.
  11. Validation (Validasi): Seseorang melakukan verifikasi, baik sebagai bagian dari aktivitas risetnya atau terpisah, dari kemungkinan replikasi dan kedapatproduksi ulang (reproducibility) hasil riset yang sudah didapatkan.
  12. Visualisation (Visualisasi): Seseorang menyiapkan presentasi untuk hasil riset yang akan dipublikasikan, khususnya dari segi visualisasi data atau presentasi data.
  13. Writing – Original Draft (Penulisan – Draf Asli): Seseorang menulis draf awal dari manuskrip ilmiah hasil penelitian, termasuk dari segi penerjemahan substantif.
  14. Writing – Review and Editing (Penulisan – Telaah dan Penyuntingan): Seseorang melakukan penelaahan kritis, evaluasi dan perbaikan substansial, komentar, dan revisi terhadap draf awal manuskrip, baik sebelum proses reviu atau setelah proses reviu.

Secara etis, jika seseorang memenuhi satu saja kriteria dari CRediT author statement ini, maka dia layak dicantumkan namanya dalam jajaran penulis di sebuah publikasi ilmiah. Kecuali orangnya yang menolak dicantumkan, maka itu urusan lain. Tidak menyantumkan nama seseorang yang memenuhi kriteria di atas, kecuali atas permintaan orang yang bersangkutan, adalah PELANGGARAN ETIKA PENELITIAN dan harus ada sanksi ke pihak-pihak yang paling bertanggung jawab dalam publikasi tersebut (dalam hal ini, corresponding author).

Berlaku pula kebalikannya. Jika seseorang tidak memenuhi kriteria kepenulisan di atas, tetapi tetap dicantumkan namanya, maka itu juga bentuk PELANGGARAN ETIKA PENELITIAN. Corresponding author harus dimintai pertanggung jawaban atas pelanggaran ini.

Apakah ada peluang penyalahgunaan dari CRediT author statement ini? Tentu saja ada. Contoh kasus begini: Seseorang patungan membayar Article Processing Charge (APC) untuk publikasi ilmiah di sebuah jurnal akses terbuka, lalu minta (seringkali sambal memaksa) agar namanya dicantumkan di dalam daftar penulis. Apakah itu memenuhi kriteria taksonomi?

Tentu saja… tidak.

Funding Acquisition dalam CRediT author statement itu terkait PENDANAAN RISET yang berujung pada publikasi sebuah makalah, bukan pendanaan publikasi itu sendiri. Apalagi kalau orang yang bersangkutan sama sekali tidak terlibat dalam proses risetnya dari awal sampai akhir, bahkan baca manuskripnya saja tidak pernah.

Menyantumkan nama orang itu sebagai jajaran penulis adalah PELANGGARAN ETIKA ILMIAH.

Sebaliknya, jika ada seseorang yang berkontribusi dalam pembuatan source code, input code, algoritma program, yang kemudian digunakan untuk melakukan riset dan hasilnya dipublikasi, lalu kemudian nama orang itu tidak dicantumkan dalam publikasi ilmiah, maka itu juga bentuk PELANGGARAN ETIKA ILMIAH. Karena kontribusinya dalam pemrograman (Software) sudah cukup substansial untuk memengaruhi hasil penelitian, sehingga layak dianggap memiliki peran dalam penelitian tersebut.

Jadi, untuk Anda yang mau melakukan penelitian, atau terlibat dalam tim penelitian, atau sudah berkecimpung di dunia penelitian, perhatikan baik-baik peran orang-orang yang terlibat dalam penelitian Anda. Jangan sampai Anda menyantumkan nama-nama yang tidak berkontribusi apa-apa dalam penelitian, atau sebaliknya, mengeluarkan nama-nama yang berkontribusi signifikan dalam penelitian, di dalam publikasi ilmiah Anda. Pelanggaran etika semacam itu akan mengompromikan kredibilitas Anda sebagai peneliti, kalau tidak sekarang ya dalam beberapa waktu yang akan datang.

Minggu, 20 Oktober 2024

Just Starting a New Chapter... Kind of

 (This post is unusually written in English, just because)

Well it's been a while since the last time I remember that I've got a blog. Although it's by no means because I'm too lazy to write... er... I admit I was lazy, but hey, preparing to move to a new country and settling down isn't an simple task! Because unlike some business trip, I'll stay here for quite a long time. At the very least, until I graduated.

So, yeah, I'm pursuing my doctoral degree in Japan. For exact, at Institute of Science Tokyo, previously known as Tokyo Institute of Technology. I didn't know that Tokyo Tech was going to be merged with TMDU back then, when I was considering this university as my preferred destination. But notwithstanding, that matters less to me (except for the less cool logo).

How is it so far?

I've only been here for around three weeks, so there's nothing I can conclude just yet. Although, there are obviously some differences (and culture shocks, if it can be considered as a shock). But first and foremost is the communication issue. Sure, I've learnt some Japanese during my high school. But that was 14 years ago. I also watched some anime. But it's been several years since the last time I actually watch one full episode of it. So, saying that my Nihongo (Japanese language) is quite rusty is a bit of an understatement.

I literally cannot read anything.

Not even I cannot read anything, I cannot even form a simple sentence in Nihongo either. Sure, I know a few bits and words in Nihongo, but forming it into a complete sentence? That's a different wave of hell. I can recall some awkward situations where I need to ask something but neither of me nor the Nihonjin (Japanese people) I'm speaking with was unable to understand each other completely. Especially when the Nihonjin speaks to me in Nihongo, more often than not, I'm utterly perplexed.

Luckily, it's Tokyo. So, some texts are still written in English (although sometimes the choice of words baffles me), as well as instructions in some machines. Fortunately again, google translate can help translating through camera image, so at least I know what stuff to buy, where to go, et cetera. And I don't always have to talk to the cashier when buying stuff, unless being questioned. Just saying arigatou gozaimasu (-mashita? What's the difference?) afterwards and we're all good. In our own awkwardness, no less.

Nonetheless, I'm not burdening myself to understand Nihongo up to a N3 level in a hurry. Rome wasn't built in a day. A little improvement over time should do the job... ish.

What about the lab?

I won't lie, I didn't expect to join Nakase Laboratory when considering Tokyo Tech. However, after knowing that the lab is researching (or intend to research) about Molten Salt Reactor (the chloride one, no less) and nuclear fuel cycle, I didn't think too much before asking to join. Alhamdulillah, Nakase-sensei was keen for me to join and now I became the part of the lab to perform those aforementioned research. The fact that there's another Indonesian in the lab helped me a lot to settle in Tokyo and understanding what to do here. Kind of.

I haven't yet to explore Science Tokyo (as it's called by now) too much, but probably in the next few weeks I'd allocate time for sightseeing to understand the campus map better. After all, I've got 36 months here, at the very least. The journey is still long, no need to rush. Unless you're a certain minister in a particular country that enrolled in a certain university, then the case might be quite a bit different. With less integr--

Anyway, the members of Nakase Laboratory conducted a welcome ceremony to welcome me and my colleague from BRIN (and BATAN) to their lab. Nothing formal, just a dinner in an Indonesian cafe in Shinjuku. I'd say that the food is quite authentic (the sauce in Sate Ayam was too sweet and runny, though). There are some notable differences, obviously, but I digress.

(I'm pretty sure we took some photos there, but sensei hasn't uploaded it anywhere yet)

Long story short, it's a new chapter for me, at a new university in a new country where I cannot read anything without google translate and cannot speak full sentence yet. It will be a challenge, like pretty much everything in my life, but I'll embrace it will full arms open (and wishing it doesn't strike at me like an oversized grizzly bear). I wish I could do well for my study and contribute to the laboratory.

And I hope I can invite my family before the winter starts and the air is freezing.

Kamis, 19 September 2024

Seberapa Mahal Biaya Pendidikan Tinggi di Indonesia?


Orang bilang kuliah di luar negeri itu mahal. Ya memang mahal, cuma kalau dibandingkan di dalam negeri, lebih mahal mana?

Coba kita bandingkan.





Gambar di bawah adalah tuition fee (SPP) di Tokyo Institute of Technology. Per tahun JPY 635.400. Gaji minimum warga Tokyo itu JPY 1.113 per jam, atau sekitar JPY 2,3 juta per tahun. Maka, kalau dikonversi per bulan, tuition fee di Tokyo Tech mencapai 27.45% dari pendapatan bulanannya.


Cukup besar, kan, ya? Hampir sepertiga penghasilan habis buat tuition fee?

Itu gaji minimum. Padahal gaji rerata pekerja di Tokyo bisa mencapai JPY 400-500 ribu per bulan. Katakanlah JPY 500 ribu, maka beban tuition fee turun jadi 10,59% dari gaji bulanan.

Sebagai perbandingan, cek UKT Universitas Indonesia di bawah. UKT 6 di Universitas Indonesia mencapai Rp. 7,5 juta per semester. UMR Jakarta sebesar Rp. 5.067.381, sehingga per bulan beban UKT ke gaji sebesar 24,67%.


Bebannya sedikit lebih rendah daripada dibayar pakai gaji minimum di Tokyo. Tapi tetap saja lumayan tinggi.

Bagaimana kalau gaji warga Jakarta itu ternyata Rp. 10 juta per bulan? Kalau begitu, mustahil dapat UKT 6, bisa dapatnya 11. Jadinya Rp. 20 juta per semester. Itu bebannya ke gaji bulanan mencapai 33,33%! Kalaupun gajinya Rp. 15 juta per bulan, bebannya tetap tinggi, mencapai 22,22%.

Padahal ranking Tokyo Tech itu nomor #84 dunia berdasarkan QS World University Ranking, sementara UI nomor #206.

Jadi, apakah pendidikan tinggi di Indonesia itu mahal? Tergantung, dibandingkan negara mana dulu? Kalau dibandingkan Jepang, rasanya jawabannya sudah jelas... lebih mahal. Kalau dibandingkan Inggris Raya?

Sebaiknya jangan terlalu gegabah.

Tuition fee setahun untuk satu orang di kampus-kampus Inggris Raya bisa membiayai 10 orang kuliah di Jepang selama setahun.

Sabtu, 14 September 2024

Komentar (Kritik, Whatever) Tentang Systematic Literature Review

Jadi, saya secara random penasaran dengan salah satu peserta Clash of Champions yang sudah punya belasan publikasi internasional terindeks Scopus padahal masih mahasiswa S1. Waktu lihat akun google scholar-nya, per 30 Juli 2024, sitasinya sudah 157 (saya cuma 64), dan tahun 2024 publikasi 13 artikel (saya cuma 10, dan ini tahun paling produktif saya). Di akun Scopus, terdata ada 15 dokumen dan disitasi 86 kali.

(kalau tidak percaya, cek akun Scopus saya di sini dan akun Scopus mahasiswa tsb di sini. Per 14 September 2024, pasti sudah berubah dari yang disebutkan di atas)

Walau begitu, cuma ada dua publikasinya yang ditulis sebagai first author, sisanya sebagai co-author. Ketika dicek, kedua artikel tersebut bentuknya... Systematic Literature Review (SLR).


Baiklah, ternyata bukan cuma dua itu. Literally semua artikel ilmiahnya berbentuk SLR.

Oke. Memang saya gak percaya mahasiswa S1 bisa menghasilkan original research sebelum magang/KP atau skripsi. SLR sendiri gak terlampau mudah. Masalahnya, SLR itu cocoknya:
  1. Sebagai exit liquidity kalau kepepet, misalkan karena tuntutan KKM (orang BRIN familiar dengan ini), atau permintaan dari pemberi dana hibah penelitian, atau
  2. Telaah sungguhan untuk mencari tahu permasalahan pada suatu bidang yang kemudian menjadi landasan untuk riset berikutnya.
Bukan buat dikerjakan terus-terusan demi publikasi terindeks Scopus.

Kenapa?

Karena artinya risetnya demi publikasi, bukan demi pengembangan iptek itu sendiri. Apalagi dikerjakan mahasiswa S1 yang belum tentu akan menggunakan hasil SLR itu untuk kelanjutan risetnya.

Tentu saja bisa publikasi di jurnal internasional untuk level mahasiswa S1 itu suatu hal yang luar biasa. Menulis makalah ilmiah itu susah, bahkan yang sudah pengalaman meneliti puluhan tahun saja seringkali cara nulis artikelnya jelek sekali (percayalah, saya copyeditor di jurnal SINTA 2 dan Scopus Q4, sudah paham saya kelakuan mereka).

Yang jadi concern saya adalah model publikasinya yang banyak berbentuk SLR. Kondisi seperti ini adalah indikator kuat ada problema kronis di dunia akademik negeri ini, yang ditanamkan ke para mahasiswa, bukan demi kepentingan mereka.

Lantas untuk kepentingan siapa? Tentu saja para "akademisi" yang membutuhkan publikasi ilmiah internasional terindeks Scopus untuk menambah portofolio mereka, atau untuk akreditasi jurusan, atau hal-hal non-esensial lain dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua berlandaskan metrik-metrik kuantitatif yang gak selalu representatif terhadap kualitas pengembangan ilmu pengetahuan di sebuah institusi pendidikan/riset. Jumlah publikasi, lah. Sitasi, lah. Kuartil Scimago, lah. Akhirnya, SLR yang minim modal jadi jalan pintas dan cepat untuk meningkatkan metrik-metrik ambivalen sedemikian itu.

Apakah ilmu pengetahuan berkembang dengan adanya SLR? Bisa iya, bisa tidak. Tergantung tujuannya. Karena pada dasarnya, SLR itu alat dukung untuk menarik kesimpulan terkait studi yang telah masif dilakukan, yang kemudian memiliki implikasi kebijakan, atau untuk mencari celah penelitian, yang dapat diambil untuk arah riset berikutnya.

Untuk beberapa bidang, SLR itu bahkan cuma masuk ke introduction dari makalah bertipe original research. Di beberapa jurnal terkemuka, review article, mencakup di dalamnya SLR dan meta-analysis, dibatasi. Tetap saja original research yang didorong untuk dipublikasikan.

Lagipula, apa ada Peneliti sungguhan yang karirnya dibangun dari SLR? Kecintaan terhadap dunia riset, atau kepakaran dalam dunia riset (semisal gak cinta tapi butuh kerjaannya untuk hidup) dibangun dari original research. Bukan dengan portofolio puluhan SLR. Itupun bukan penulis pertama, yang biasanya mengerjakan > 70% isi artikel. Kecuali memang mau jadi Analis Kebijakan atau sebangsanya, masih agak masuk akal meski gak sepenuhnya. Tapi jadi akademisi sungguhan? Big No.

Gak ada karir akademik yang dibangun dari analisis data sekunder.

SLR selalu merupakan riset "sampingan," sementara yang utama selalu original research. Kalau pertumbuhan publikasi SLR makin menjamur, tanda-tanda gelembung akan segera pecah. Budaya akademik menjelang ambruk. Karena para akademisi yang seharusnya membangun budaya ilmiah dan akademik yang sehat dengan mendorong original research dengan berfokus pada proses dan dampak, malah berbondong-bondong mengejar publikasi SLR demi metrik-metrik fana yang tidak ada kaitannya dengan pembangunan sektor ilmiah.

N.b.: Tentu saja, akan ada akademisi yang meradang dan protes akibat kritikan saya ini. Biasanya, mereka adalah akademisi problematik yang dengan sengaja memelihara kebusukan ini untuk kepentingan pribadi mereka.