Minggu, 22 Desember 2024

Rekapitulasi Publikasi Ilmiah 2024... Sort of.

Tahun 2024 memang belum resmi berakhir, tapi karena tidak ada lagi luaran yang diekspektasikan, jadi sepertinya direkap saja.

Jadi, alhamdulillah, tahun 2024 menjadi tahun paling produktif dalam publikasi hasil riset. Setidaknya, sepanjang karir sebagai Peneliti yang masih sangat pendek, belum ada 10 tahun. Itu juga terpotong tugas belajar S2.

Walau tahun ini banyak ketidakpastian, kefrustrasian, emosi tiap kali pertemuan mingguan Kelompok Riset, kebijakan instansi yang esuk dele sore tempe sakadaek manehanana, serta keterbatasan infrastruktur untuk melakukan penelitian (khususnya ketiadaan lisensi code untuk analisis fisika reaktor), setidak-tidaknya masih ada beberapa luaran yang bisa dihasilkan dan diterbitkan di berbagai jurnal ilmiah.

Tahun ini, bersama rekan-rekan kolaborator, baik saya sebagai lead author atau sebagai kontributor, menerbitkan 14 hasil penelitian di jurnal dan prosiding, dengan detail sebagai berikut.

  • 11 publikasi di Jurnal Internasional
  • 2 publikasi di Jurnal Nasional
  • 1 publikasi di Prosiding Internasional
  • 7 publikasi sebagai lead author
  • 7 publikasi sebagai kontributor

Untuk artikel dengan peran sebagai lead author, daftarnya adalah sebagai berikut.

      R Andika Putra Dwijayanto, Fitria Miftasani, Andang Widi Harto. Assessing the benefit of thorium fuel in a once through molten salt reactor. Progress in Nuclear Energy, vol. 176, 105369. https://doi.org/10.1016/j.pnucene.2024.105369 (Q1 Scopus)

      R Andika Putra Dwijayanto, Azizul Khakim, Zuhair, Andang Widi Harto. The Influence of Graphite Moderator Density on the Neutronic Performance and Fuel Economy of a Molten Salt Reactor. Annals of Nuclear Energy, vol. 197, 110245. https://doi.org/10.1016/j.anucene.2023.110245 (Q2 Scopus)

      R Andika Putra Dwijayanto, Andang Widi Harto. Comparative Assessment of Molten Salt Reactor Neutronic Performance with Various U-233 Purity. Engineering Journal, vol. 28, issue 5, pp. 15-24 https://doi.org/10.4186/ej.2024.28.5.15 (Q3 Scopus)

      R Andika Putra Dwijayanto, Andang Widi Harto. Neutronic Design Modification of Passive Compact Molten Salt Reactor. Atom Indonesia, vol. 50, no.1, pp. 9-17. https://doi.org/10.55981/aij.2024.1308 (Q4 Scopus)

      R Andika Putra Dwijayanto, Harun Ardiansyah, Andang Widi Harto. Verification and Geometry Optimization of a One Fluid Molten Salt Reactor with Fixed Fuel Volume. Journal of Nuclear Engineering and Radiation Science, vol. 10, no. 3, 031301. https://doi.org/10.1115/1.4064465 (Q3 Scopus)

      R Andika Putra Dwijayanto, Farisy Yogatama Sulistyo, Zuhair, Andang Widi Harto. “TRU Incineration using Passive Compact Molten Salt Reactor.” AIP Conference Proceedings 2967, 130002. https://doi.org/10.1063/5.0192922 (Prosiding Terindeks Global Lainnya)

      R Andika Putra Dwijayanto, Farisy Yogatama Sulistyo, Andang Widi Harto. The Impact of Silicon Carbide Coating on the Reactor Physics of Single Fluid Double Zone-Thorium Molten Salt Reactor. Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia, vol. 25, no. 1, pp. 1-10 https://doi.org/10.17146/jstni.2024.25.1.1 (SINTA-2)

Sementara sebagai kontributor, daftarnya adalah sebagai berikut.

      Andang Widi Harto, Alexander Agung, Sihana, M Yayan Adi Putra, Rayhan Alghiffari Azizi, Diva Jati Kanaya, Alfonsus Rahmadi Putranto Gusti, R Andika Putra DwijayantoNeutronic Characteristic Analysis of the GAMA Microreactor. Heliyon, vol. 10, no. 9, https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2024.e30707 (Q1 Scopus)

      Andang Widi Harto, Alexander Agung, M Yayan Adi Putra, Rayhan Alghiffari Azizi, R Andika Putra DwijayantoNeutronic characteristics of the GAMA aqueous homogeneous reactor (GAMA-AHR). Nuclear Engineering and Design, vol. 424, 113311, https://doi.org/10.1016/j.nucengdes.2024.113311 (Q2 Scopus)

      Azizul Khakim, Endiah Puji Hastuti, Anis Rohanda, R Andika Putra Dwijayanto, Hery Adrial, Farisy Yogatama Sulistyo. Safety analysis of inadvertent control rods withdrawal of RSG-GAS research reactor for various initial powers. Nuclear Engineering and Design, vol. 426, 113405 https://doi.org/10.1016/j.nucengdes.2024.113405 (Q2 Scopus)

      Fitria Miftasani, R Andika Putra Dwijayanto, Ghulam Abrar, Nina Widiawati, Nuri Trianti, Topan Setiadipura, Dwi Irwanto, Cici Wulandari, Zaki Suud. Investigating geometry adjustments for enhanced performance in a PeLUIt-10 MWt pebble bed HTGR with OTTO refueling scheme. Nuclear Engineering and Design, vol. 422, 113163, https://doi.org/10.1016/j.nucengdes.2024.113163 (Q2 Scopus)

      Muhammad Hafiz Hasibuan, R Andika Putra Dwijayanto, Mutia Meireni, Andang Widi Harto, Fido Ferdian Novianto, Pertiwi Widiastuti. Core neutronic design of small modular molten salt reactor for submarine propulsion. Journal of Applied Research and Technology, vol. 22, pp. 403-409. https://doi.org/10.22201/icat.24486736e.2024.22.3.2336 (Q3 Scopus)

      Rahmania Serli Assifa, R Andika Putra Dwijayanto, Fajar Arianto. Neutronic Analysis of the NuScale Fuel Assembly using Accident Tolerant Fuel with SiC Coated Alumina Cladding. Tri Dasa Mega, vol. 26, no. 3, pp. 125-132. https://doi.org/10.55981/tdm.2024.7101 (SINTA-2)

      Zuhair, Wahid Luthfi, R Andika Putra Dwijayanto, Muhammad Darwis Isnaini, Suwoto. Neutronic Investigation on Thorium MOX Fuel in VVER-1000 Reactor Assembly. Latvian Journal of Physics and Technical Sciences, year 2024, no. 3, pp. 90-104, https://doi.org/10.2478/lpts-2024-0023 (Q3 Scopus)

Menarik bahwa tahun ini publikasi di jurnal internasional ada dari Q1 sampai Q4 Scopus. Bukan berarti itu sesuatu yang luar biasa penting, tapi ya... cukup menarik. Sangat bervariasi.

Tapi, kok, bisa sampai sebanyak itu? Bukannya tidak normal?

Well... for the record, riset yang berujung pada publikasi di atas dimulai sejak tahun 2020. Sedikit tertunda karena tugas belajar. Dan pandemi. Ketika tugas belajar. Dan kondisi-kondisi yang mengharuskan kelulusan tertunda dan mengulang tesis dari awal. Tapi, ya... memang pekerjaannya dimulai sejak lama, dan baru sempat disubmit ketika kembali aktif di kantor tahun 2023. Dengan kata lain, jumlah publikasi sebagai lead author sangat normal. Apalagi, tahun 2023 saya tidak publikasi apa-apa di jurnal internasional sebagai lead author.

Kalau sebagai kontributor? Ya namanya juga kontributor, bukan pemeran paling utama dalam risetnya. Sekadar cukup signifikan untuk namanya masuk ke dalam artikel, tapi bukan yang mengendalikan arah penelitian, tujuan penelitian, penggunaan perangkat lunak, dan sebagainya. Kecuali dua publikasi dengan mahasiswa MBKM dan Kerja Praktik, memang saya yang arahkan. Tapi karena mereka yang utama mengerjakan, nama mereka wajib berada di urutan pertama. Banyak akademisi yang tidak paham etika ini dan berakhir menzalimi mahasiswanya. Memalukan.

Kembali ke laptop.

Apakah publikasi riset tahun ini memuaskan? Cukup, tetapi ada beberapa aspek yang masih kurang dan bisa diperbaiki lagi. Khususnya dari aspek penggunaan code. Instansi sebesar BRIN, sangat memalukan tidak memiliki lisensi code nuklir terstandar macam MCNP, SCALE, dan Serpent, sehingga tidak bisa menggunakan code tersebut di lab kantor. Tidak jelas pula kapan diurusnya. Akhirnya, harus kolaborasi dengan universitas yang memiliki lisensi code, itupun tentu ada keterbatasan. Yah, memang saya jadi belajar code akses terbuka yang mendukung tema riset, tetapi namanya akses terbuka pasti ada aspek-aspek yang agak... kurang.

Anyway,

Tahun 2025 tidak akan seproduktif ini, karena sibuk dengan studi S3. Tidak masalah, karena yang lebih penting dari kuantitas adalah kualitas luarannya, serta wadah publikasinya adalah wadah yang tepat. Jurnal yang memang kredibel, bukan jurnal predator macam yang jadi wadah publikasi doktor kilat 18 bulan.

Artikelnya ada yang akses terbuka (open access) dan berlangganan (subscription). Tidak punya akses langganan ke jurnalnya? Tidak masalah. Anda bisa akses lewat pranala ini.

Kalau ada yang tertarik dengan riset terkait dengan fisika reaktor nuklir khususnya di MSR, reaktor mikro, thorium, dan daur bahan bakar nuklir dari aspek netronik, saya terbuka untuk kolaborasi riset. Bisa kirim surel ke dwijayanto.a.6d2f@m.isct.ac.jp untuk diskusi lebih lanjut.


Jumat, 20 Desember 2024

Tahan Kritik ala Peneliti

Kalau ada satu karakter yang harus dimiliki oleh seorang Peneliti, itu adalah tahan kritik.

Peneliti, selain tugas utamanya melakukan penelitian dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, punya kewajiban untuk mendiseminasikan hasil penelitiannya pada komunitas ilmiah dan publik. Diseminasi ini, utamanya, berbentuk karya tulis ilmiah yang dipublikasikan di jurnal ilmiah.

Melakukan penelitian itu susah, makan waktu banyak, anggaran juga bisa habis dalam jumlah besar. Dataset yang didapatkan belum tentu bagus, harus di-refine dulu sampai dapat yang cukup meyakinkan. Validitas harus diuji. Data harus diolah dalam bentuk grafik dan tabel, kemudian diinterpretasi, apa hasil yang didapatkan dari penelitian ini.

Setelah melalui semua itu, para Peneliti harus menulis hasil penemuannya dalam sebuah manuskrip ilmiah. Apakah bisa ditayangkan begitu saja? Bisa, tapi apa nilainya? Apakah ada yang menganggap temuan itu sebagai sesuatu yang penting, atau lebih penting lagi, valid? Tidak. Maka Peneliti harus mengajukan manuskrip ilmiahnya ke sebuah jurnal ilmiah. Editor jurnal tersebut akan mengirim manuskrip tersebut ke dua atau lebih reviewer, juga Peneliti dan seringkali pakar di bidangnya, yang kemudian akan mengevaluasi merit dari manuskrip si Peneliti.

Apakah kemudian manuskrip itu langsung akan dapat pujian dan diterima oleh para reviewer? Belum tentu.

Seringkali, para reviewer memberikan banyak catatan, kritikan, masukan, mulai dari yang biasa saja sampai yang pedas bukan main. Rekomendasinya jarang sekali yang diterima begitu saja. Biasanya wajib direvisi berdasarkan catatan yang diberikan, dan bisa jadi belasan hingga puluhan poin. Lebih buruk lagi, manuskripnya bisa saja ditolak di kesempatan pertama.

Bayangkan. Sudah lama-lama riset, ngumpulkan data, diskusi dengan rekan, banyak waktu dan anggaran yang terbuang, lalu ditulis dalam manuskrip yang menyusunnya juga tidak mudah, lalu kemudian menerima banyak kritik bahkan manuskripnya ditolak oleh kolega Peneliti yang tidak tahu siapa identitasnya dan tidak langsung terjun melakukan riset tersebut. Apa tidak sakit hati?

Pada proses inilah karakter seorang Peneliti diuji. Apakah dia bakalan ngambekan, marah-marah tidak jelas, kecewa, sakit hati, marah para reviewer yang dianggap banyak ngomong padahal tidak pernah melakukan riset yang mereka lakukan, atau mendengarkan komentar reviewer dan memperbaiki manuskrip sesuai masukan?

Sistem peer-review (tinjauan sejawat) dalam publikasi ilmiah merupakan konsekuensi dari memastikan agar hasil riset yang dipublikasikan di jurnal itu adalah hasil riset yang berkualitas. Bukan abal-abal. Bukan riset berkualitas rendah yang tidak ada nilainya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Juga bukan riset yang memiliki interpretasi data apalagi dataset yang keliru, sehingga berpotensi menyesatkan dunia ilmiah. Tidak selalu berjalan sempurna; kadang-kadang reviewer bisa keliru juga dalam memberikan komentar. Di situlah sistem rebuttal, yang diizinkan dalam dunia reviu manuskrip ilmiah, bisa diaplikasikan.

Tapi kalau komentar reviewer benar, tidak peduli sepedas apapun komentarnya, hingga mungkin mengatakan sejenis, "The authors don't seem to understand what they are writing," para Peneliti penyusun manuskrip tidak punya alasan untuk tidak mengikuti saran dari reviewer untuk memperbaiki manuskripnya.

Karena biar bagaimanapun, seseorang butuh orang lain untuk mengevaluasi karyanya. Kalau dilihat pakai kacamata sendiri, sudah jelas Peneliti merasa manuskripnya sudah bagus, data yang ditulis sudah oke. Cacatnya baru kelihatan ketika ada reviewer yang mengoreksi.

Itu proses yang lumrah dan alamiah dalam dunia litbang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Mengutip kalimat the ultimate legend, "Kita tidak bisa mengontrol perkataan orang, tapi kita bisa mengontrol respon kita terhadap perkataan orang." maka demikian pula yang terjadi di dunia ilmiah. Seorang Peneliti tidak bisa mengontrol reviewer memberi komentar semacam apa, tapi Peneliti bisa mengontrol responnya terhadap komentar reviewer. Apakah bakalan nurut, meski sambil kesal, atau bakalan ngambek dan menarik/withdraw manuskrip dari jurnal untuk disubmit ke jurnal lain, di mana dia bisa jadi mengalami fenomena yang sama?

Kalau pilihan kedua yang diambil, niscaya dia tidak akan berkembang sebagai Peneliti. Dia akan berkutat dalam ilusi kebesarannya sendiri, seolah-olah dia selalu benar dan reviewer itu salah dan tidak seharusnya memberi respon yang tidak disukainya. Dalam kondisi ini, dia akan terlempar keluar dari posisinya sebagai Peneliti, karena tidak ada karya yang bisa diterbitkannya.

Komentar reviewer memang seringkali pahit, tapi dengan begitu, kualitas manuskrip ilmiah yang diterbitkan di jurnal bisa dijaga. Sehingga, artikel yang terbit itu sungguh-sungguh memang mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan artikel jelek bahkan menyesatkan akibat dataset maupun interpretasi yang keliru.

Demikian karakter tahan kritik yang harus dimiliki oleh Peneliti.

Sabtu, 07 Desember 2024

Taksonomi Peran Kontributor ala CRediT


Bagaimana menentukan kelayakan seseorang agar namanya bisa masuk ke dalam daftar penulis publikasi ilmiah?

Perkara kontribusi ini memang cukup pelik, karena dalam satu kasus, orang merasa sudah cukup berkontribusi dalam sebuah penelitian, sehingga namanya layak dicantumkan dalam publikasi. Di sisi lain, ada yang sebenarnya tidak layak untuk dicantumkan namanya dalam publikasi, tapi tetap masuk namanya di dalam publikasi. Jadi ada ketidakadilan di sini, dan perkara ini bukan sekali dua kali terjadi.

Karena itu, butuh kriteria untuk menentukan apakah seseorang layak dimasukkan atau tidak namanya di dalam sebuah publikasi ilmiah. Kriteria seperti apa?

Salah satu yang bisa digunakan dan paling komprehensif adalah CRediT (Contributor Roles Taxonomy) author statement. Jadi ada taksonomi peran kontributor spesifik pada sebuah manuskrip ilmiah. Ada 14 peran kontributor dalam CRediT author statement, masing-masing sebagai berikut.

  1. Conceptualisation (Konseptualisasi): Seseorang membangun ide dasar dari riset yang dikerjakan secara komprehensif, memformulasikan tujuan dan target luaran dari risetnya.
  2. Data curation (Kurasi Data): Seseorang membuat metadata riset, membersihkan dan menyeleksi data, serta menyimpan data penelitian untuk keperluan awal dan penggunaan kemudian.
  3. Formal analysis (Analisis Formil): Seseorang menerapkan teknik-teknik analisis baik menggunakan ilmu statistik, matematika, komputasi, dan sebangsanya untuk menganalisis data hasil riset.
  4. Funding acquisition (Akuisisi Pendanaan): Seseorang mencari dan mendapatkan dana untuk mendukung penelitian yang berujung pada publikasi manuskrip ilmiah.
  5. Investigation (Investigasi): Seseorang melakukan proses penelitian dan investigasi objek penelitian, baik secara eksperimental maupun komputasional, atau pengumpulan data lapangan, dan yang semisal.
  6. Methodology (Metodologi): Seseorang mengembangkan atau mendesain metodologi dan atau model untuk penelitian yang dikerjakan.
  7. Project Administration (Administrasi Proyek): Seseorang mengatur dan mengkoordinasikan perencanaan serta eksekusi aktivitas penelitian.
  8. Resources (Sumber Daya): Seseorang memberikan bahan untuk penelitian, baik itu bentuknya reagen, material, pasien, sampel, hewan, instrumentasi, perangkat komputasi, buku-buku atau makalah referensi (untuk studi literatur), dan sebangsanya.
  9. Software (Perangkat Lunak): Seseorang melakukan pemrograman, pengembangan perangkat lunak, mendesain program komputer, implementasi kode komputer dan algoritma pendukung, pengujian komponen kode yang sudah ada.
  10. Supervision (Supervisi): Seseorang mengambil tanggung jawab pengawasan dan kepemimpinan untuk perencanaan dan eksekusi aktivitas riset, termasuk di dalamnya melakukan pembinaan/mentoring ke tim inti riset.
  11. Validation (Validasi): Seseorang melakukan verifikasi, baik sebagai bagian dari aktivitas risetnya atau terpisah, dari kemungkinan replikasi dan kedapatproduksi ulang (reproducibility) hasil riset yang sudah didapatkan.
  12. Visualisation (Visualisasi): Seseorang menyiapkan presentasi untuk hasil riset yang akan dipublikasikan, khususnya dari segi visualisasi data atau presentasi data.
  13. Writing – Original Draft (Penulisan – Draf Asli): Seseorang menulis draf awal dari manuskrip ilmiah hasil penelitian, termasuk dari segi penerjemahan substantif.
  14. Writing – Review and Editing (Penulisan – Telaah dan Penyuntingan): Seseorang melakukan penelaahan kritis, evaluasi dan perbaikan substansial, komentar, dan revisi terhadap draf awal manuskrip, baik sebelum proses reviu atau setelah proses reviu.

Secara etis, jika seseorang memenuhi satu saja kriteria dari CRediT author statement ini, maka dia layak dicantumkan namanya dalam jajaran penulis di sebuah publikasi ilmiah. Kecuali orangnya yang menolak dicantumkan, maka itu urusan lain. Tidak menyantumkan nama seseorang yang memenuhi kriteria di atas, kecuali atas permintaan orang yang bersangkutan, adalah PELANGGARAN ETIKA PENELITIAN dan harus ada sanksi ke pihak-pihak yang paling bertanggung jawab dalam publikasi tersebut (dalam hal ini, corresponding author).

Berlaku pula kebalikannya. Jika seseorang tidak memenuhi kriteria kepenulisan di atas, tetapi tetap dicantumkan namanya, maka itu juga bentuk PELANGGARAN ETIKA PENELITIAN. Corresponding author harus dimintai pertanggung jawaban atas pelanggaran ini.

Apakah ada peluang penyalahgunaan dari CRediT author statement ini? Tentu saja ada. Contoh kasus begini: Seseorang patungan membayar Article Processing Charge (APC) untuk publikasi ilmiah di sebuah jurnal akses terbuka, lalu minta (seringkali sambal memaksa) agar namanya dicantumkan di dalam daftar penulis. Apakah itu memenuhi kriteria taksonomi?

Tentu saja… tidak.

Funding Acquisition dalam CRediT author statement itu terkait PENDANAAN RISET yang berujung pada publikasi sebuah makalah, bukan pendanaan publikasi itu sendiri. Apalagi kalau orang yang bersangkutan sama sekali tidak terlibat dalam proses risetnya dari awal sampai akhir, bahkan baca manuskripnya saja tidak pernah.

Menyantumkan nama orang itu sebagai jajaran penulis adalah PELANGGARAN ETIKA ILMIAH.

Sebaliknya, jika ada seseorang yang berkontribusi dalam pembuatan source code, input code, algoritma program, yang kemudian digunakan untuk melakukan riset dan hasilnya dipublikasi, lalu kemudian nama orang itu tidak dicantumkan dalam publikasi ilmiah, maka itu juga bentuk PELANGGARAN ETIKA ILMIAH. Karena kontribusinya dalam pemrograman (Software) sudah cukup substansial untuk memengaruhi hasil penelitian, sehingga layak dianggap memiliki peran dalam penelitian tersebut.

Jadi, untuk Anda yang mau melakukan penelitian, atau terlibat dalam tim penelitian, atau sudah berkecimpung di dunia penelitian, perhatikan baik-baik peran orang-orang yang terlibat dalam penelitian Anda. Jangan sampai Anda menyantumkan nama-nama yang tidak berkontribusi apa-apa dalam penelitian, atau sebaliknya, mengeluarkan nama-nama yang berkontribusi signifikan dalam penelitian, di dalam publikasi ilmiah Anda. Pelanggaran etika semacam itu akan mengompromikan kredibilitas Anda sebagai peneliti, kalau tidak sekarang ya dalam beberapa waktu yang akan datang.

Minggu, 20 Oktober 2024

Just Starting a New Chapter... Kind of

 (This post is unusually written in English, just because)

Well it's been a while since the last time I remember that I've got a blog. Although it's by no means because I'm too lazy to write... er... I admit I was lazy, but hey, preparing to move to a new country and settling down isn't an simple task! Because unlike some business trip, I'll stay here for quite a long time. At the very least, until I graduated.

So, yeah, I'm pursuing my doctoral degree in Japan. For exact, at Institute of Science Tokyo, previously known as Tokyo Institute of Technology. I didn't know that Tokyo Tech was going to be merged with TMDU back then, when I was considering this university as my preferred destination. But notwithstanding, that matters less to me (except for the less cool logo).

How is it so far?

I've only been here for around three weeks, so there's nothing I can conclude just yet. Although, there are obviously some differences (and culture shocks, if it can be considered as a shock). But first and foremost is the communication issue. Sure, I've learnt some Japanese during my high school. But that was 14 years ago. I also watched some anime. But it's been several years since the last time I actually watch one full episode of it. So, saying that my Nihongo (Japanese language) is quite rusty is a bit of an understatement.

I literally cannot read anything.

Not even I cannot read anything, I cannot even form a simple sentence in Nihongo either. Sure, I know a few bits and words in Nihongo, but forming it into a complete sentence? That's a different wave of hell. I can recall some awkward situations where I need to ask something but neither of me nor the Nihonjin (Japanese people) I'm speaking with was unable to understand each other completely. Especially when the Nihonjin speaks to me in Nihongo, more often than not, I'm utterly perplexed.

Luckily, it's Tokyo. So, some texts are still written in English (although sometimes the choice of words baffles me), as well as instructions in some machines. Fortunately again, google translate can help translating through camera image, so at least I know what stuff to buy, where to go, et cetera. And I don't always have to talk to the cashier when buying stuff, unless being questioned. Just saying arigatou gozaimasu (-mashita? What's the difference?) afterwards and we're all good. In our own awkwardness, no less.

Nonetheless, I'm not burdening myself to understand Nihongo up to a N3 level in a hurry. Rome wasn't built in a day. A little improvement over time should do the job... ish.

What about the lab?

I won't lie, I didn't expect to join Nakase Laboratory when considering Tokyo Tech. However, after knowing that the lab is researching (or intend to research) about Molten Salt Reactor (the chloride one, no less) and nuclear fuel cycle, I didn't think too much before asking to join. Alhamdulillah, Nakase-sensei was keen for me to join and now I became the part of the lab to perform those aforementioned research. The fact that there's another Indonesian in the lab helped me a lot to settle in Tokyo and understanding what to do here. Kind of.

I haven't yet to explore Science Tokyo (as it's called by now) too much, but probably in the next few weeks I'd allocate time for sightseeing to understand the campus map better. After all, I've got 36 months here, at the very least. The journey is still long, no need to rush. Unless you're a certain minister in a particular country that enrolled in a certain university, then the case might be quite a bit different. With less integr--

Anyway, the members of Nakase Laboratory conducted a welcome ceremony to welcome me and my colleague from BRIN (and BATAN) to their lab. Nothing formal, just a dinner in an Indonesian cafe in Shinjuku. I'd say that the food is quite authentic (the sauce in Sate Ayam was too sweet and runny, though). There are some notable differences, obviously, but I digress.

(I'm pretty sure we took some photos there, but sensei hasn't uploaded it anywhere yet)

Long story short, it's a new chapter for me, at a new university in a new country where I cannot read anything without google translate and cannot speak full sentence yet. It will be a challenge, like pretty much everything in my life, but I'll embrace it will full arms open (and wishing it doesn't strike at me like an oversized grizzly bear). I wish I could do well for my study and contribute to the laboratory.

And I hope I can invite my family before the winter starts and the air is freezing.

Kamis, 19 September 2024

Seberapa Mahal Biaya Pendidikan Tinggi di Indonesia?


Orang bilang kuliah di luar negeri itu mahal. Ya memang mahal, cuma kalau dibandingkan di dalam negeri, lebih mahal mana?

Coba kita bandingkan.





Gambar di bawah adalah tuition fee (SPP) di Tokyo Institute of Technology. Per tahun JPY 635.400. Gaji minimum warga Tokyo itu JPY 1.113 per jam, atau sekitar JPY 2,3 juta per tahun. Maka, kalau dikonversi per bulan, tuition fee di Tokyo Tech mencapai 27.45% dari pendapatan bulanannya.


Cukup besar, kan, ya? Hampir sepertiga penghasilan habis buat tuition fee?

Itu gaji minimum. Padahal gaji rerata pekerja di Tokyo bisa mencapai JPY 400-500 ribu per bulan. Katakanlah JPY 500 ribu, maka beban tuition fee turun jadi 10,59% dari gaji bulanan.

Sebagai perbandingan, cek UKT Universitas Indonesia di bawah. UKT 6 di Universitas Indonesia mencapai Rp. 7,5 juta per semester. UMR Jakarta sebesar Rp. 5.067.381, sehingga per bulan beban UKT ke gaji sebesar 24,67%.


Bebannya sedikit lebih rendah daripada dibayar pakai gaji minimum di Tokyo. Tapi tetap saja lumayan tinggi.

Bagaimana kalau gaji warga Jakarta itu ternyata Rp. 10 juta per bulan? Kalau begitu, mustahil dapat UKT 6, bisa dapatnya 11. Jadinya Rp. 20 juta per semester. Itu bebannya ke gaji bulanan mencapai 33,33%! Kalaupun gajinya Rp. 15 juta per bulan, bebannya tetap tinggi, mencapai 22,22%.

Padahal ranking Tokyo Tech itu nomor #84 dunia berdasarkan QS World University Ranking, sementara UI nomor #206.

Jadi, apakah pendidikan tinggi di Indonesia itu mahal? Tergantung, dibandingkan negara mana dulu? Kalau dibandingkan Jepang, rasanya jawabannya sudah jelas... lebih mahal. Kalau dibandingkan Inggris Raya?

Sebaiknya jangan terlalu gegabah.

Tuition fee setahun untuk satu orang di kampus-kampus Inggris Raya bisa membiayai 10 orang kuliah di Jepang selama setahun.

Sabtu, 14 September 2024

Komentar (Kritik, Whatever) Tentang Systematic Literature Review

Jadi, saya secara random penasaran dengan salah satu peserta Clash of Champions yang sudah punya belasan publikasi internasional terindeks Scopus padahal masih mahasiswa S1. Waktu lihat akun google scholar-nya, per 30 Juli 2024, sitasinya sudah 157 (saya cuma 64), dan tahun 2024 publikasi 13 artikel (saya cuma 10, dan ini tahun paling produktif saya). Di akun Scopus, terdata ada 15 dokumen dan disitasi 86 kali.

(kalau tidak percaya, cek akun Scopus saya di sini dan akun Scopus mahasiswa tsb di sini. Per 14 September 2024, pasti sudah berubah dari yang disebutkan di atas)

Walau begitu, cuma ada dua publikasinya yang ditulis sebagai first author, sisanya sebagai co-author. Ketika dicek, kedua artikel tersebut bentuknya... Systematic Literature Review (SLR).


Baiklah, ternyata bukan cuma dua itu. Literally semua artikel ilmiahnya berbentuk SLR.

Oke. Memang saya gak percaya mahasiswa S1 bisa menghasilkan original research sebelum magang/KP atau skripsi. SLR sendiri gak terlampau mudah. Masalahnya, SLR itu cocoknya:
  1. Sebagai exit liquidity kalau kepepet, misalkan karena tuntutan KKM (orang BRIN familiar dengan ini), atau permintaan dari pemberi dana hibah penelitian, atau
  2. Telaah sungguhan untuk mencari tahu permasalahan pada suatu bidang yang kemudian menjadi landasan untuk riset berikutnya.
Bukan buat dikerjakan terus-terusan demi publikasi terindeks Scopus.

Kenapa?

Karena artinya risetnya demi publikasi, bukan demi pengembangan iptek itu sendiri. Apalagi dikerjakan mahasiswa S1 yang belum tentu akan menggunakan hasil SLR itu untuk kelanjutan risetnya.

Tentu saja bisa publikasi di jurnal internasional untuk level mahasiswa S1 itu suatu hal yang luar biasa. Menulis makalah ilmiah itu susah, bahkan yang sudah pengalaman meneliti puluhan tahun saja seringkali cara nulis artikelnya jelek sekali (percayalah, saya copyeditor di jurnal SINTA 2 dan Scopus Q4, sudah paham saya kelakuan mereka).

Yang jadi concern saya adalah model publikasinya yang banyak berbentuk SLR. Kondisi seperti ini adalah indikator kuat ada problema kronis di dunia akademik negeri ini, yang ditanamkan ke para mahasiswa, bukan demi kepentingan mereka.

Lantas untuk kepentingan siapa? Tentu saja para "akademisi" yang membutuhkan publikasi ilmiah internasional terindeks Scopus untuk menambah portofolio mereka, atau untuk akreditasi jurusan, atau hal-hal non-esensial lain dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua berlandaskan metrik-metrik kuantitatif yang gak selalu representatif terhadap kualitas pengembangan ilmu pengetahuan di sebuah institusi pendidikan/riset. Jumlah publikasi, lah. Sitasi, lah. Kuartil Scimago, lah. Akhirnya, SLR yang minim modal jadi jalan pintas dan cepat untuk meningkatkan metrik-metrik ambivalen sedemikian itu.

Apakah ilmu pengetahuan berkembang dengan adanya SLR? Bisa iya, bisa tidak. Tergantung tujuannya. Karena pada dasarnya, SLR itu alat dukung untuk menarik kesimpulan terkait studi yang telah masif dilakukan, yang kemudian memiliki implikasi kebijakan, atau untuk mencari celah penelitian, yang dapat diambil untuk arah riset berikutnya.

Untuk beberapa bidang, SLR itu bahkan cuma masuk ke introduction dari makalah bertipe original research. Di beberapa jurnal terkemuka, review article, mencakup di dalamnya SLR dan meta-analysis, dibatasi. Tetap saja original research yang didorong untuk dipublikasikan.

Lagipula, apa ada Peneliti sungguhan yang karirnya dibangun dari SLR? Kecintaan terhadap dunia riset, atau kepakaran dalam dunia riset (semisal gak cinta tapi butuh kerjaannya untuk hidup) dibangun dari original research. Bukan dengan portofolio puluhan SLR. Itupun bukan penulis pertama, yang biasanya mengerjakan > 70% isi artikel. Kecuali memang mau jadi Analis Kebijakan atau sebangsanya, masih agak masuk akal meski gak sepenuhnya. Tapi jadi akademisi sungguhan? Big No.

Gak ada karir akademik yang dibangun dari analisis data sekunder.

SLR selalu merupakan riset "sampingan," sementara yang utama selalu original research. Kalau pertumbuhan publikasi SLR makin menjamur, tanda-tanda gelembung akan segera pecah. Budaya akademik menjelang ambruk. Karena para akademisi yang seharusnya membangun budaya ilmiah dan akademik yang sehat dengan mendorong original research dengan berfokus pada proses dan dampak, malah berbondong-bondong mengejar publikasi SLR demi metrik-metrik fana yang tidak ada kaitannya dengan pembangunan sektor ilmiah.

N.b.: Tentu saja, akan ada akademisi yang meradang dan protes akibat kritikan saya ini. Biasanya, mereka adalah akademisi problematik yang dengan sengaja memelihara kebusukan ini untuk kepentingan pribadi mereka.

Kamis, 22 Agustus 2024

Draco Dormiens Nunquam Titillandus

Well, well, well, sudah berapa lama enggak pembaruan blog lagi?

Yah, baiklah, memang ada banyak pekerjaan blablabla yang menyita cukup banyak waktu dan energi. Jadi enggak sempat buat pembaruan blog. Begitu, kan, dalihnya?

I'm not ashamed to admit it. I'm simply too lazy to maintain writing in blog consistently.

Omong-omong, dengan isu yang terjadi baru-baru ini, yang saking buruknya sampai memanggil kaum introvert macam Raditya Dika dan Duta SO7 untuk ikut bersuara, saya jadi teringat slogan dari Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry, alias Sekolah Sihir Hogwarts, dari serial Harry Potter.

Draco dormiens nunquam titillandus.

Kalau terjemah dari novel terbitan Gramedia, "Jangan mengganggu naga yang sedang tidur." Atau kalau diterjemahkan secara ahrfia, "Jangan menggelitiki naga yang sedang tidur."

Agaknya, hal yang agak-agak mirip sedang terjadi.

Para penyihir dari Kementerian Sihir tampak sukses menyihir naga-naga yang berkeliaran di sekitarnya untuk tidur. Entah mantera dari Departemen Misteri mana yang mereka gunakan, yang jelas naga-naga ini berhasil dibuat tertidur selama 10 tahun. Bahkan ketika digelitiki oleh para penyihir, dipukuli, diambil bulu-bulu hidung dan ekornya untuk dijual dan membangun gedung Kementerian Sihir yang baru, pindah dari London ke pulau Hebrides di utara Skotlandia, para naga itu masih saja tidur.

Hingga pada suatu saat, Menteri Sihir memutuskan untuk mengganggu para naga tidur itu lebih parah lagi. Mereka tidak diberi suplai makan agar tetap hidup, dicabuti lebih banyak lagi bulu-bulu ekor dan sayapnya, dipukuli tanpa henti untuk bersenang-senang, menghantamnya dengan mantra Stupefy bahkan Crucio, yang jelas-jelas terlarang.

Apa yang terjadi selanjutnya?

Naga yang semula tertidur itu lama-lama akan terbangun. Mungkin masih setengah sadar, tetapi cukup untuk menyadari bahwa dia diganggu. Naga tidak suka diganggu, jadi dia mengamuk, menyemburkan api kemana-mana, berusaha memanggang hidup-hidup pegawai Kementerian Sihir yang menghantamkan mantra-mantra berbahaya padanya.

Saat ini naga itu masih setengah sadar, dan sudah cukup berbahaya bagi Kementerian Sihir.

Kira-kira apa yang akan terjadi semisal naga itu sudah bangun sepenuhnya?

Butuh setidaknya setengah lusin penyihir kekuatan tinggi untuk melumpuhkan seekor naga, dalam kondisi tidak mengamuk habis-habisan. Butuh lebih dari itu untuk melumpuhkan naga yang mengamuk dalam kondisi bangun sepenuhnya. Apalagi kalau naganya banyak.

Apa Kementerian Sihir bisa menangani semuanya? Sepertinya sulit sekali. Kemungkinan mereka akan jadi makan siang naga-naga kelaparan dan kesakitan itu. Bukan tidak mungkin itu akan terjadi.

Jadi, motto Sekolah Sihir Hogwarts itu sangat praktikal. Jangan mengusik naga yang sedang tidur, kecuali siap menanggung akibatnya. Minimal dipanggang hidup-hidup oleh Ekor-berduri Hungaria.

Tapi kejadian tadi meninggalkan satu isu: Apa yang akan dilakukan naga-naga itu ketika mereka sukses menghancurkan Kementerian Sihir? Apakah kehidupan masyarakat sihir mendadak jadi lebih baik?

Tampaknya, selama Kementerian Sihir itu sendiri masih berdiri, walau berganti Menteri Sihir berulang kali, masalah yang sama akan terjadi selama mekanisme yang bekerja di dalamnya masih seperti itu.

Mengingat ini hanya dongeng pengantar tidur belaka, seharusnya, sih, tidak ada yang perlu dipikirkan. Kementerian Sihir itu cuma cerita fiksi saja, kan?

...kan?

Minggu, 23 Juni 2024

The Curse of High Performer: Requirement of a Doppler Broadening in a Research Centre

Hampir lupa punya blog untuk dikelola.

Saking banyaknya urusan bulan-bulan kemarin, banyak sekali kerjaan, kurangnya waktu, dan banyaknya tekanan dari pihak-pihak inkompeten yang disuruh ngurusi riset, ternyata berpengaruh juga terhadap cepatnya seseorang mengalami burnout. Sampai gak ingat untuk rutin ngisi blog mingguan. Sudah diusir dari laboratorium, diusir dari tempat kerja, diusir juga dari rumah dinas. What a bunch of incompetent bas--

Anyway,

Karena sedang hilang orientasi, saya jadi suka mindless scrolling di berbagai website. Nah, suatu ketika, saya lihat postingan di linkedin soal apa yang harus dilakukan di tempat kerja. Salah satunya terkait "work the bare minimum" atau sejenis itu. Kenapa? Karena kalau terlalu produktif, "apresiasi" yang diberikan adalah diberi lebih banyak pekerjaan, bukan dibebani lebih sedikit pekerjaan. Itu yang saya simpulkan sebagai "the curse of high performer." Kutukan pegawai berkinerja tinggi.

Ketika kerjaan selesai lebih cepat, diberi tambahan kerjaan. Ketika target terlampaui, dikasih target lebih tinggi. Ketika bisa membantu dalam satu hal, disuruh bantuin dalam hal lain. Dan sebagainya. Ah, jadi ingat teman kantor yang dipanggil oleh berbagai kelompok riset berbeda untuk mengerjakan hal-hal teknis-administratif terkait penerbitan karya tulis ilmiah (KTI) karena yang sudah senior pada inkompeten dan terlalu malas untuk belajar submit KTI sendiri. Termasuk ngurusi kerjaan remeh-temeh macam jemput tamu LN dari hotel ke tempat seminar. Sampai-sampai kerjaan risetnya tahun itu jadi gak tersentuh.

Apa-apaan.

Mengingat masalah high performer ini, jadi ingat target luaran satker. Karena saya yang handle urusan rekap luaran ilmiah satker, saya merhatikan pola yang terbentuk dari segi jumlah dan nilai luaran tersebut. Yang di bawah ini untuk tahun 2023.

Kelihatan kalau perbedaan antara peringkat 1 dan peringkat 15 saja sudah 98 poin. Sangat jauh. Padahal yang peringkat 15 juga bukan tipikal Peneliti gak produktif, tapi selisihnya sudah banyak sekali. Artinya, selisih kuantitas luarannya juga jauh berbeda.

Sementara, yang di bawah ini sampai bulan Juni 2024.

Tahun ini lebih gila lagi. Sampai bulan Mei saja, selisih antara peringkat 1 dan peringkat 15 sudah 129 poin. Akhir tahun mungkin tidak akan sebesar ini selisihnya, tapi tetap saja...

Itu juga belum memperhitungkan selisih dengan peringkat terbawah dan yang sampai bulan ini gak ada luaran sama sekali. Setidaknya masih ada  27 orang yang luarannya tahun ini masih kosong. Yah, memang baru tengah tahun, sih... Masih cukup waktu, semisal memang NIAT menghasilkan luaran ilmiah sebagai pertanggung jawaban terhadap fungsionalnya dan pembayar gajinya. Tapi semisal mau tetap jadi deadwood beban APBN, ya mbuhlah, mumet.

Setidaknya, pola di atas menunjukkan adanya jurang performa yang sangat besar antara satu SDM Iptek dengan SDM Iptek lain. Mungkin sebagian akan bilang, "Ya kan riset gak cukup setahun!" bla bla bla. Ya, kalau bicara di aspek pertanian atau peternakan, masih masuk akal. Tapi satker ini mayoritas main di komputasi, cuma tiga Kelris saja yang main di alat eksperimen. Kalau masih susah juga menghasilkan luaran, hopeless sekali Anda ini...

Anyway,

Jurang performa ini menunjukkan ada yang memang high performing, ada yang low performing. Ada yang overwhelming, ada yang underwhelming. Sialnya, yang high performing (biasanya karena publikasi KTI banyak) seringkali dibebani sebagai exit liquidity, alias jadi sekoci penyelamat untuk membebaskan para deadwood dari beban KKM yang dianggap terlalu berat. Jadi antara kepakaran dan publikasi KTI yang dihasilkan gak nyambung.

Pada akhirnya, ketimpangan produktivitas ini mengisyaratkan bahwa kinerja satker ditopang oleh minoritas pegawai. Sebagian kecil pegawai memanggul beban lebih besar dan kontribusi lebih banyak dalam memenuhi target luaran satker.

Contoh, per saat ini, ada 30 jurnal internasional yang penulis pertamanya orang sini. Kalau 15 peringkat teratas gak berkontribusi, maka sisanya tinggal 12 jurnal internasional. Hilang 3/5. Kalau 5 teratas gak mau kontribusi, sisanya tinggal 20. Hilang 1/3. Jadi, 5 dari 122 orang memanggul 1/3 luaran KTI di jurnal internasional.

Timpang.

Saya jadi ingat efek pelebaran Doppler dalam fisika reaktor nuklir. 


Dalam reaksi fisi berantai di reaktor nuklir, tampang lintang tangkapan netron bahan fisil di zona resonansi akan mengalami efek pelebaran Doppler ketika bahan bakar mengalami pemanasan. Biasanya, tampang lintang tangkapan dan fisi memiliki puncak-puncak yang sangat lancip (lihat garis hitam), ada yang tinggi sekali dan ada yang rendah. Sementara, ketika terjadi pelebaran Doppler (garis merah putus-putus), luas area di bawah garis melebar, di mana puncak tampang lintang menurun dan lembah tampang lintang naik. Ketimpangan antara puncak tampang lintang dengan lembah tampang lintang berkurang. Pada kondisi ini, bahan bakar akan mengeluarkan umpan balik reaktivitas negatif; laju reaksi fisi dan tangkapan berkurang, sehingga reaktivitas bahan bakar seiring dengan kenaikan temperatur reaktor. Hal ini yang menjamin keselamatan reaktor nuklir, membuat temperatur bahan bakar menjadi self-regulated.

Efek pelebaran Doppler ini, setelah saya pikir-pikir, tampaknya penting dalam keberlanjutan kinerja suatu Pusat Riset. Menjamin kestabilan, Jadi gak ada kelompok minoritas yang harus jadi pemikul kinerja mayoritas dari Pusat Riset. Karena kalau misalkan kelompok minoritas tersebut mendadak hilang (karena tugas belajar atau pensiun, misalkan), yang lain akan kelabakan untuk menutupi lubang yang ditinggalkan mereka. Apalagi kalau target Pusat Riset semakin banyak, akibat Kutukan Kinerja Tinggi. Mau bagaimana memenuhinya?

Dari sini, saya berpikir bahwa mentalitas bahwa "yang produktif harus dibebani kerja lebih banyak" itu mesti dibasmi. Dihilangkan sama sekali, jangan sampai ada sisanya. Kalau sudah produktif di satu hal, jangan dikasih beban kerja lagi. Berdayakan lah yang gak produktif, yang gak jelas kerjanya apa selain ngabisin APBN secara sia-sia. Beri tuntutan kinerja lebih tinggi pada yang selama ini gak produktif dan kurangi beban kinerja bagi yang selama ini produktif. Supaya apa? Supaya ketimpangan berkurang, dan kinerja Pusat Riset bisa dijaga kestabilannya. Sehingga, ketika misalkan kelompok minoritas tulang punggung kemudian ada yang pergi tugas belajar atau dimutasi atau pensiun, yang lain masih cukup berkinerja untuk bisa membantu menutupi kekosongan tersebut.

Tapi bagaimana kalau yang selama ini gak produktif kemudian gak mau ketika dituntut luaran lebih?

Beri ancaman sanksi saja. Kasih kinerja jelek, gitu. Supaya tunkin turun 30-50%.

(Semisal dalam sebuah skenario mustahil saya jadi Kepala Pusat, selain kasih kinerja jelek, saya juga akan lempar Surat Peringatan 1. Tapi untuk alasan itu pula, rasanya mustahil saya jadi Kepala Pusat)

Ringkasnya?

Pertama, para high performer ini harusnya dikurang-kurangi bebannya. Jangan dikasih tanggung jawab terlalu banyak mentang-mentang produktif/berguna, apalagi jadi exit liquidity.

Kedua, kurangi ketimpangan performa antar pegawai agar kinerja Pusat Riset lebih stabil dan selamat dari kondisi "kecelakaan."

Apakah hal ini bisa terwujud? Gak tahu, Kepala Pusat saja bukan. Gak pegang kebijakan. Tapi secara teoretis, saya akan memegang prinsip ini kuat-kuat. Bahwa Pusat Riset perlu menerapkan efek Doppler untuk menjaga kestabilan performa dalam jangka panjang.

Sudah, itu saja pembaruan kali ini. Berikutnya kembali ke omnishambolic reality ketika tuntutan kinerja luar biadab tapi dukungan super minim.

Senin, 15 April 2024

Nalar Bodor Ateis Dobol

Dalam berbagai analisis saintifik, misal di ilmu fisika, kebenaran suatu analisis bergantung pada asumsi model yang digunakan. Contoh ketika mau analisis mekanika fluida. Ketika fluida kerja yang berlaku adalah lelehan garam pada temperatur 700 °C, maka tidak bisa mekanika fluida ini dianalisis menggunakan model fluida Newtonian. Mau tidak mau harus menggunakan model fluida non-Newtonian. Menggunakan model fluida Newtonian untuk menganalisis mekanika fluida lelehan garam hanya akan membawa hasil analisis yang salah total. Koefisien viskositas yang harusnya dinamis (dynamic viscosity) malah jadi constant viscosity. Hasilnya, analisis turbulensi aliran fluida dan transfer panas akan berantakan.


Contoh lain misalkan analisis kinetika reaktor nuklir pada molten salt reactor. Jika kalkulasi periode reaktor dihitung dengan mengasumsikan tidak ada fraksi netron kasip yang hilang dari teras reaktor akibat sirkulasi bahan bakar garam di kalang primer, maka nilai periode reaktor akan overestimasi, terlalu tinggi dibandingkan sistem riil. Dalam praktiknya akan berbahaya pada kendali reaktivitas reaktor, karena waktu respon terhadap transien akibat sisipan reaktivitas jadi keliru akibat salah hitung periode reaktor.


Dari kedua contoh ini, cukup jelas bahwa menganalisis sebuah sistem, menggunakan persamaan matematis, WAJIB dilandaskan pada asumsi yang tepat, kalau tidak mau hasilnya berantakan.


Maka, kalau ada ateis dobol yang secara semprul mengasumsikan bahwa "Agama yg men-claim bahwa semua pengetahuan di dunia sudah ada pada agamanya mengimplikasikan bahwa tidak ada pengetahuan baru di luar agamanya" dan membuat kurva matematis yang menunjukkan bahwa keberagamaan menghasilkan kemunduran sains, maka jelas tanpa keraguan sedikit pun bahwa itu adalah asumsi ngawur yang dibentuk dari kedunguan kronis, tidak berlandaskan realita, hanya asumsi delusionalnya sendiri. Maka, kurva yang dibentuk dari persamaan yang mengasumsikan hal tersebut hasilnya akan ngawur babar blas.


Ini belum membahas model persamaan matematisnya yang bisa didebat sampai kiamat.


Jadi penyembah sains bukan jaminan otaknya cerdas, lebih sering kejadian justru sebaliknya, tambah bego beyond recognition. Biasanya, penyembah sains model begini juga tidak ada kontribusi ke sains itu sendiri, alias gede mulut doang. Sementara yang beragama dan taat justru kontribusinya lebih banyak dan lebih berdampak, baik dalam ilmu alam maupun ilmu rekayasa teknik.


Ateis luar sibuk dalam pengembangan saintek tanpa sibuk merecoki masalah agama, sementara ateis di mari sibuk merecoki agama tapi tidak ada kontribusi apa-apa dalam kemajuan saintek. Yang ngawur kebijakan negara, yang disalahin agama. Mau heran tapi…

Selasa, 09 April 2024

30 Serba Serbi Nuklir, Bagian 30: Mari Tingkatkan Literasi Nuklir!

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, M.Eng. 

Marie Sklodowska-Curie, saintis penemu radioaktivitas, pernah berkata, “Tidak ada dalam hidup ini yang perlu ditakuti, hanya perlu dipahami. Sekarang waktunya untuk memahami lebih, sehingga kita lebih sedikit takut.”

Pernyataan ini, ketika diejawantahkan ke dunia sains dan teknologi, memiliki relevansi sangat tinggi. Mengingat, ketakutan dan penolakan terhadap produk sains dan teknologi sangat sering terjadi, kalau bukan seluruhnya, adalah karena ketidakpahaman terhadap produk saintek tersebut.

Misalnya genetically-modified organism (GMO) dan vaksin. Penolakan sebagian kalangan terhadap kedua produk tersebut lebih sering karena ketidakpahaman mereka, produk seperti apa ini? Untuk apa digunakan? Persepsi risiko manusia cenderung lebih tinggi pada sesuatu yang mereka tidak ketahui, fear of the unknown. Sama seperti kenapa orang sering takut lewat gang gelap pada malam hari, mereka takut pada sesuatu yang tidak mereka ketahui—atau mereka ketahui, tapi tidak tahu apakah di sana ada sesuatu itu atau tidak.

Ketika ketidakpahaman ini berlarut-larut tanpa tindaklanjut tepat, hasilnya adalah desas-desus yang merebak dan mudah dipelintir. Seperti isu vaksin menyebabkan autisme dan GMO membahayakan kesehatan. Walau realitanya, tidak ada bukti ilmiah yang mendukung kedua isu tersebut. Sekalinya ada “bukti” dalam bentuk artikel ilmiah, ternyata artikelnya cacad dan akhirnya ditarik dari peredaran.

Ketidakpahaman hanya bisa diobati dengan cara meningkatkan literasi. Maksud literasi di sini bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga memahami apa yang dimaksud dalam sebuah tulisan. Sehingga, penilaian terhadap sebuah produk saintek tidak lagi berlandaskan sentimen emosional, melainkan karena pemahaman yang cukup memadai terhadap produk saintek tersebut.

Dari 29 seri sebelumnya, kita sudah membahas cukup banyak (walau tidak mencakup keseluruhan) aspek terkait nuklir. Mungkin ada yang baru tahu, ada yang mendapat hal baru, ada yang merasa “oh, ternyata yang saya pahami selama ini salah!” Hal yang bisa dimaklumi, karena literasi nuklir di negeri ini masih relatif… bukan, sangat rendah.

Patut diakui bahwa informasi lurus mengenai seluk beluk teknologi nuklir masih belum cukup tersampaikan pada publik, khususnya baik terkait energi maupun radiasi nuklir. Umumnya, seperti sudah disinggung di awal-awal sekali, asosiasi pertama publik ketika mendengar nuklir adalah senjata pemusnah massal. Memori pembumihangusan kota Hiroshima dan Nagasaki dengan senjata nuklir seolah menjadi image utama teknologi nuklir. Seolah-olah nuklir itu ya bom penghancur kota.

Radiasi nuklir pun menjadi momok. Fear of the unknown memegang peran besar dalam ketakutan ini, mengingat radiasi nuklir tidak bisa dirasakan oleh panca indera. Kita tidak bisa menyentuh, melihat, membaui, mengecap, apalagi mendengar radiasi nuklir. Kita cuma bisa tahu ada radiasi nuklir atau tidak dari jejak yang ditinggalkannya, dan itu butuh detektor yang tidak semua orang punya.

Ketakutan akan silent killer, sesuatu yang tidak terlihat tetapi bisa membunuh manusia, akhirnya membuat orang takut pada radiasi nuklir. Apapun yang terkait radiasi otomatis dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya, tanpa dipikir lebih jauh.

Asosiasi ini berlanjut pada PLTN. Masih banyak yang menganggap PLTN dapat meledak, merujuk pada kecelakaan PLTN Chernobyl. Padahal, PLTN tidak bisa meledak seperti senjata nuklir, dan tingkat keselamatan PLTN sangat bergantung pada desain teknologi yang digunakan. Sementara, desain RBMK di Chernobyl tidak mungkin diizinkan untuk digunakan di negara-negara yang lebih waras daripada Soviet.

Isu miring dan hoax tentang radiasi dan PLTN pun merebak kemana-mana, semerbak bau mulut orang yang baru makan nasi goreng pete dobel. Dikiranya ketika PLTN mengalami kecelakaan, PLTN dapat “menyebarkan radiasi” kemana-mana dan membuat sebuah wilayah tidak bisa dihuni selama puluhan ribu tahun (omong kosong, tentu saja). Limbah nuklir pun ditunjuk sebagai “beban antar generasi” bahkan “masalah tanpa solusi,” hanya karena limbah tersebut memancarkan radiasi. Padahal, reaktor nuklir alam di Oklo telah menunjukkan dengan baik bagaimana mengelola limbah nuklir dengan baik dan benar.

Ketakutan akibat literasi minim akan seluk beluk nuklir mengakibatkan persepsi risiko masyarakat bergeser ke level ekstrem: PLTN dianggap entitas berbahaya. Pembicaraan tentang nuklir dianggap tabu. Diskusi-diskusi ilmiah tentang energi seakan-akan menganggap nuklir tidak pernah ada. Nuklir ditolak tanpa diberi kesempatan bersuara.

Celakanya, isu-isu miring ini dimanfaatkan oleh sebagian LSM untuk menggalang massa demi menolak PLTN. Menggunakan sentimen emosional dan propaganda sesat, beberapa LSM membentuk opini keliru di tengah masyarakat untuk menolak PLTN. Kalangan agamawan tidak ketinggalan terpengaruh, sampai muncul fatwa sesat tentang keharaman PLTN Muria.

Lebih ironis bahwa LSM-LSM anti-nuklir sendiri tidak kalah jelek literasinya tentang energi nuklir. Mereka, dengan sok iyey, menggunakan buzzword Chernobyl dan radiasi berulang kali, yang justru jadi indikasi kuat bahwa mereka tidak memahami sama sekali detail teknis PLTN. Apalagi karakteristik fisika reaktor dan sistem keselamatannya, mungkin ditanya bagaimana menghitung periode reaktor dengan bahan bakar uranium-235 ketika diberi sisipan reaktivitas $0,5 akan pusing ribuan keliling. Mereka hanya mampu melontarkan propaganda, tapi bungkam ketika ditagih naskah akademis.

PLTN merupakan kebutuhan urgen untuk menjamin keamanan energi nasional dan menurunkan emisi CO2. Namun, sulit untuk mewujudkan PLTN dalam kondisi masyarakat yang masih illiterate tentang nuklir. Meningkatkan literasi nuklir adalah harga mati agar masyarakat tidak mudah diprovokasi propaganda sesat anti-nuklir sehingga menggagalkan penerapan energi nuklir di Indonesia.

Di era keberlimpahan informasi, memang ada kesulitan tersendiri untuk meningkatkan level literasi masyarakat tentang nuklir. Ketika mencari informasi dengan mesin pencari, hasil penelusuran yang muncul lebih banyak yang tidak akurat dan cenderung menyesatkan. Sementara, platform informasi yang memberikan informasi secara lurus relatif sedikit dan cenderung tenggelam.

Hal ini diperparah dengan kualitas literasi Indonesia yang terbilang kurang baik. Dari anking PISA 2023 saja terlihat bahwa siswa Indonesia mengalami penurunan kapasitas dalam semua aspek termasuk membaca. Fenomena ini sepertinya tidak hanya menjalar di siswa sekolah saja, melainkan masyarakat secara umum. Apalagi sejak tiktok semakin populer, jadi pada malas baca karena attention span memendek sangat drastis akibat kebanyakan disuguhi video pendek dengan transisi audiovisual terlalu cepat.

Masyarakat umum tidak terbiasa membaca hal-hal berat. Bahkan sering sekali pranala web disebarkan begitu saja tanpa dibaca dulu isinya, berbekal membaca judul yang seringkali umpan klik (clickbait). Dibaca saja tidak, apalagi ditelaah.

Dalam kondisi seperti ini, salah satu strategi untuk meningkatkan literasi nuklir adalah membuat tulisan ilmiah populer. Tulisan yang dengan pondasi keilmuan kokoh tetapi dalam bahasa yang masih mudah dipahami masyarakat umum. Merakyat, tetapi tetap ilmiah.

Sayangnya, publikasi ilmiah populer pun masih minim. Demikian pula, sedikit sekali buku-buku berkualitas tentang nuklir. Sekalinya ada, tidak terdistribusi dengan baik.

Sementara itu, diseminasi iptek nuklir yang telah dilakukan selama ini lebih banyak menggunakan bahasa defensif-apologetik. Seakan-akan mengakui bahwa propaganda tersebut benar, hanya ditambah “tetapi…” Bahasa seperti ini justru disukai oleh kalangan anti-nuklir dan menjauhkan masyarakat dari literasi nuklir yang sebenarnya.

Perbaikan literasi nuklir idealnya dapat menggeser paradigma masyarakat dari sentiment-based decision menjadi fact-based decision. Literatur nuklir yang merakyat, mudah ditemukan, serta tidak defensif-apologetik menjadi kunci utama keberhasilan literasi nuklir. Dengan masyarakat memahami informasi yang benar, ketakutan mereka diharapkan juga berkurang kalau perlu hilang.

Serial 30 Serba Serbi Nuklir ini diharapkan mampu sedikit berkontribusi dalam meningkatkan literasi nuklir masyarakat. Mencoba mengubah bahasa melangit soal teknologi nuklir (susah juga, beberapa memang cukup sulit dimanusiawikan bahasanya) tanpa bersikap defensif-apologetnik. Mulai dari filosofi nuklir itu sendiri, terkait radiasi nuklir, energi nuklir, hingga limbah radioaktif. Jadi masyarakat bisa pelan-pelan diubah salah pahamnya menjadi lebih paham yang benar seperti apa.

Memang tidak mungkin serial ini mengubah 100% pemahaman masyarakat, tetapi setidaknya ada sedikit harapan bahwa kalangan literat bisa lebih bertambah dari sebelumnya. Sehingga, masyarakat bisa beralih dari pemikiran bahwa “nuklir itu berbahaya” menjadi “nuklir itu banyak manfaatnya.”

Semoga serial ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.