Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (nuclear engineer)
Apa yang kita pikirkan soal limbah? Mungkin tidak jauh dari bekas-bekas olahan industri yang kotor, bau dan beracun. Lalu limbah ini dibuang begitu saja ke sungai, ke danau, ke laut, sehingga meracuni biota di dalamnya. Limbah-limbah yang sangat mencemari lingkungan, membahayakan kesehatan dan bikin repot kelompok-kelompok pecinta lingkungan.
Stereotip itu tidak salah-salah amat. Semua jenis industri pasti akan menghasilkan limbah. Yang jadi soal, seringkali limbah itu dibuang ke lingkungan begitu saja tanpa diolah dulu sehingga tidak membahayakan. Mungkin sebagian limbah bisa didaur ulang, tapi beberapa industri tampaknya tidak mau repot-repot melakukannya. Tidak heran bumi ini makin tercemar.
Tapi, coba bayangkan seandainya limbah suatu industri bisa menjadi bahan bakar yang cukup untuk menerangi bumi selama ratusan tahun. Adakah yang seperti itu? Untuk menjawabnya, coba kita tengok industri nuklir.
Limbah pasti dihasilkan juga di industri nuklir, khususnya dari PLTN. Tiap tahun, PLTN berdaya 1 GWe menghasilkan setidaknya 30 ton limbah nuklir berupa bahan bakar bekas. Kesannya, sih, banyak. Tapi nyatanya, volume limbah ini hanya seukuran 2 unit Kijang Innova. Dibandingkan limbah dari industri energi lain, misalnya PLTU batubara, jelas saja volume ini jauh lebih sedikit. Sebagai komparasi, PLTU batubara berdaya 1 GWe menghasilkan sekitar 400-700 ribu ton limbah padat tiap tahunnya.
Walau begitu, sebagian pihak beranggapan bahwa limbah nuklir ini sangat berbahaya dan tidak bisa diatasi, sehingga jadi alasan untuk menolak PLTN. Tidak sepenuhnya tepat. Limbah PLTN tidak lebih berbahaya dari limbah industri kimia dan cara pengelolaannya sudah ada dan terbukti sejak dulu. Yang beranggapan limbah nuklir tidak punya solusi terang saja ketinggalan zaman.
Lebih dari itu, sebenarnya redaksi “limbah” ini tidak benar-benar pas mendeskripsikannya. Sebab, lebih dari 90% volume limbah nuklir tahunan tersebut sebenarnya merupakan bahan bakar yang belum terpakai. Alih-alih diperlakukan sebagai limbah dalam arti sebenarnya, “limbah” PLTN ini sebenarnya aset berharga bagi suatu negeri untuk kebutuhan energi selama berabad-abad!
Bahan bakar bekas tersusun dari 95% uranium-238, 1% uranium-235, 1% plutonium plus elemen transuranik dan 3% produk fisi. Yang merupakan limbah dalam arti sebenarnya adalah produk fisi, yang volume tahunannya hanya berkisar 900 kg. Ini yang kemudian akan diproses dan dikubur permanen. Sisanya bisa digunakan kembali dengan pemanfaatan yang lebih baik.
Beberapa reaktor nuklir Generasi IV mampu memanfaatkan uranium dan plutonium dari bahan bakar bekas ini, misalnya Liquid Metal Fast Breeder Reactor (LMFBR) dan Molten Salt Reactor(MSR).
LMFBR memiliki kemampuan memanfaatkan uranium dari bahan bakar bekas dengan sangat baik. LMFBR adalah reaktor pembiak, yang artinya reaktor ini bisa menghasilkan lebih banyak bahan bakar nuklir daripada yang dikonsumsinya. LMFBR menggunakan spektrum netron cepat, yang lebih cocok untuk memanfaatkan plutonium semaksimal mungkin. Uranium-238 pada LMFBR dikonversi menjadi plutonium-239, yang kelak digunakan lagi sebagai bahan bakar. Dengan begitu, LMFBR mampu mengekstrak energi dari uranium 60 kali lipat lebih banyak daripada yang bisa diekstrak oleh PLTN konvensional.
Rusia memiliki dua unit LMFBR, BN-600 dan BN-800. Nantinya, mereka juga akan membangun BN-1200 dengan daya lebih tinggi.
Varian dari LMFBR adalah Travelling Wave Reactor (TWR). Desainnya sedikit berbeda, yaitu menggunakan prinsip seperti gelombang. Pada TWR, reaksi fisi akan dimulai di tengah reaktor, lalu melebar ke sekeliliingnya sembari meninggalkan produk fisi di tempat yang dilalui ‘gelombang’ reaksi fisi sebelumnya.
Kalau bingung, anggap seperti rokok. Pembakaran dimulai di ujung dan terus membakar sampai ke pangkal, meninggalkan abu di jejak pembakarannya. TWR seperti itu, hanya saja reaktornya berbentuk segienam dan arah ‘pembakaran’ dari dalam ke luar.
Gambar 1. Konsep kerja TWR (Hargraves, 2012)
TWR tidak perlu menggunakan reprosesing bahan bakar, jadi semua uranium-238 diubah menjadi plutonium dalam reaktor dan dikonsumsi saat itu juga. Proses ini berlanjut sampai usia pakai reaktor berakhir, sekitar 40 tahun. TWR dikembangkan oleh TerraPower yang didanai Bill Gates, kemungkinan tahun 2020 akan membangun prototipnya di Cina.
Gambar 2. Contoh simulasi komputer TWR. Pembakaran dimulai di tengah (warna merah) dan berlanjut ke luar (kuning sampai biru tua) (Ellis dkk, 2010)
Selain LMFBR, MSR pun bisa menggunakan bahan bakar bekas dengan baik. Ada beberapa alternatif dengan MSR ini. Yang pertama adalah Rencana Tiga Fase. Ini diajukan oleh Kirk Sorensen, CEO Flibe Energy, berdasarkan ide yang dikemukakan di Oak Ridge National Laboratory beberapa puluh tahun lalu. Rencana ini hanya memanfaatkan plutonium saja, tidak menggunakan uranium bekas. Fase Pertama, penggunaan PLTN konvensional, yang kelak menghasilkan plutonium dari limbahnya. Fase Kedua, plutonium dari Fase Pertama digunakan sebagai bahan bakar pada MSR yang menggunakan siklus thorium. Dalam MSR, potensi plutonium pun bisa dimanfaatkan sampai hampir 100%.
Sementara plutonium ‘dibakar’, uranium-233 akan terbentuk dari thorium. Uranium-233 ini diakumulasikan untuk kemudian dimanfaatkan dalam Fase Ketiga, untuk menjadi bahan bakar utama MSR selanjutnya. Siklus thorium sendiri mampu menghasilkan cukup energi untuk menerangi seisi planet selama ribuan tahun ke depan!
Dengan kata lain, alternatif ini menjadikan plutonium sebagai alat transisi efektif untuk beralih ke siklus thorium dengan lebih hemat dan tidak menghabiskan cadangan uranium alam. Salah satu rencana implementasinya telah ada pada desain Passive Compact-Molten Salt Reactor(PCMSR) yang dirancang oleh Dr. Andang Widi Harto. PCMSR ini menggunakan plutonium sebagai bahan bakar startup selama 3 tahun pertama, sebelum kemudian beralih sepenuhnya pada siklus thorium.
Gambar 3. Rencana Tiga Fase, plutonium dimanfaatkan pada Fase Kedua sebagai transisi ke siklus thorium (Sorensen, 2016)
Alternatif kedua adalah dengan menggunakan varian MSR, yaitu Molten Salt Fast Reactor(MSFR). Ada beberapa konsep yang dikembangkan, baik itu MSFR versi Prancis, Molten Salt Actinide Recycler and Transmuter (MOSART) versi Rusia maupun Stable Salt Reactor (SSR) versi Inggris Raya. Ketiganya dapat digunakan untuk ‘membakar’ plutonium dan unsur transuranik di atasnya, baik americium, curium, berkelium dan californium. Kemampuan penggunaannya bahkan digadang-gadang lebih baik dari LMFBR, berkat penggunaan bahan bakar dalam bentuk cair. MSFR bekerja dengan siklus thorium (jadi hanya memanfaatkan plutonium-nya saja), sementara MOSART dan SSR secara khusus bisa memanfaatkan uranium dari bahan bakar bekas PLTN.
Gambar 4. MSFR (kiri) dan MOSART (kanan) (Serp dkk, 2014)
Alternatif ketiga sama-sama mengandalkan MSR, tapi yang secara khusus memang didesain untuk mengonsumsi limbah PLTN konvensional. Diantaranya adalah Waste Annihilating-Molten Salt Reactor (WA-MSR) desain Transatomic Power Reactor dan Seaborg Waste Burner(SWaB) desain Seaborg Technologies. Keduanya mampu mengekstrak potensi energi yang masih bisa diambil dari limbah PLTN, baik uranium maupun plutonium+transuranik. Transatomic Power mengklaim bahwa WA-MSR menghasilkan limbah negatif, dengan kata lain lebih banyak limbah yang dikonsumsi daripada yang dihasilkan. MSR Transatomic bisa menurunkan volume limbah antara 53-83%.
Ketiga alternatif ini menawarkan pemanfaatan yang luar biasa efisien dari limbah PLTN konvensional, yang pada dasarnya memang merupakan bahan bakar. Ekstraksi hampir 100% dari energi yang terkandung pada uranium dan plutonium dalam limbah PLTN yang ada saat ini saja mampu menerangi planet ini selama ratusan tahun ke depan!
Jadi, limbah PLTN masih menyimpan segudang potensi manfaat yang menunggu untuk diekstrak menggunakan teknologi reaktor Generasi IV. Limbah PLTN bukan sampah tidak berguna yang harus digembargemborkan potensi bahayanya yang tidak seberapa, sembari mengabaikan sama sekali ribuan Gigawatt listrik murah dan bersih yang bisa dihasilkannya dengan tangan-tangan dan teknologi yang tepat. Alih-alih sebagai tanggungan berat yang menjadi alasan untuk menolak PLTN, seharusnya kita melihat limbah PLTN ini sebagai aset berharga untuk kesejahteraan masyarakat dan keberlangsungan energi untuk jangka waktu sangat panjang.
Referensi:
- Andang Widi Harto. 2009. Fuel Burp Up Calculation of Passive Compact Molten Salt Reactor (PCMSR) With on Line Fuel Reprocessing for Very Long Time Operation. Bandung: Proceedings of The 3rd Asian Physics Symposium (APS 2009), 22-23 Juli 2009.
- Bernard L. Cohen. 1990. The Nuclear Energy Option. Pittsburgh: Plenum Press.
- Energy Process Developments Ltd. 2015. MSR Review, Feasibility of Developing a Pilot Scale Molten Salt Reactor in the UK. London: EPD.
- Jérôme Serp dkk. 2014. “The molten salt reactor (MSR) in generation IV: Overview and perspectives”. Progress in Nuclear Energy, xxx:1-12.
- Kirk Sorensen. 2016. Thorium and MSR Fuel Strategies. “Molten Salt Reactor Workshop 2016: Moving MSRs Forward”. Oak Ridge National Laboratory, Tennessee.
- Max Carbon. 2006. Nuclear Power, Villain or Victim? Our Most Misunderstood Source of Electricity, 2nd Edition. Madison: Pebble Beach Publisher.
- Robert Hargraves. 2012. Thorium Energy Cheaper Than Coal. Hanover: CreateSpace Independent Publishing Platform.
- Transatomic Power Reactor. 2016. Technical White Paper v2.0. Massachusetts: Transatomic.
- Tyler Ellis dkk. 2010. Traveling Wave Reactor: A Truly Sustainable and Full-Scale Resource for Global Energy Needs. Proceedings of ICAPP ’10, San Diego, CA, USA, June 13-17, 2010. Paper 10189.
0 komentar:
Posting Komentar