Sejujurnya, saya tidak mengerti kenapa orang-orang sering antusias dengan yang namanya ulang tahun. Sampai-sampai ada yang menunggu detik-detik tengah malam cuma untuk memperingati bahwa hari itu usianya bertambah (?). Ini belum soal perayaan-perayaan ulang tahun reguler. Entah perayaannya sederhana atau mungkin mewah semewah-mewahnya, kalau perlu disiarkan di TV sekalian. Seolah-olah ulang tahun itu benar-benar penting atau apalah.
Saya tidak tertarik membicarakan soal hukum merayakan ulang tahun. Bakal jadi kontroversi tanpa henti, akibat dalil dzhanni dan tahqiq manath yang mungkin beda satu sama lain. Saya lebih tertarik soal filosofi usia.
Sejak ditiupkan ruhnya ke dalam rahim, manusia sudah ditetapkan usianya oleh Allah. Tidak ada yang tahu kapan manusia akan mati, tapi yang jelas jatah usianya sudah ada. Kalau jatahnya habis, maka selesai. Tidak ada injury time macam sepakbola. Tidak bisa ditawar-tawar. Malaikat maut tidak bisa disogok, tidak seperti hakim di negara demokrasi. Kalau waktunya mati, ya mati. Tidak ada yang bisa menghindar, mau sembunyi di Bank Karabraxos sekalipun.
“Tidak ada suatu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak pula dapat memundurkannya.” (QS al-Hijr: 5)
“Di mana saja kalian berada,kematian akan menjumpai kalian kendati kalian berada dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS an-Nisaa’: 78)
Artinya, secara filosofis, usia manusia itu tidak pernah bertambah. Justru berkurang. Sama seperti bahan bakar kendaraan, semakin berkurang jumlahnya seiring perjalanan. Yang bertambah itu cuma jarak yang sudah ditempuh. Bahan bakar lama kelamaan akan habis, seberapapun hemat dan efisien kita menggunakannya.
Imam Hasan Al Bashri memberi perumpamaan bahwa manusia itu hanyalah kumpulan hari. Seiring hilangnya satu hari, maka hilang pula bagian dari manusia itu. Ini makin menegaskan, bahwa manusia itu secara mendasar tidak pernah mengalami pertambahan usia. Justru sebaliknya. Umur manusia hanya petunjuk seberapa jauh dia sudah melewati hidup di planet bumi (di planet lain bisa jadi ‘usia’-nya berbeda, bergantung waktu rotasi dan revolusi planet serta dilasi waktu yang didapatkan ketika melakukan perjalanan ke planet tersebut. Teori relativitas, ceritanya panjang).
Makanya, saya mikir kalau ulang tahun itu sebenarnya tidak perlu dirayakan. Buat apa? Merayakan hilangnya setahun jatah usia? Merayakan makin dekatnya manusia pada kematian? Dengan riang gembira? Duh…
Orang-orang Inggris kadang menggunakan istilah ‘Many Happy Returns’ untuk ucapan ulang tahun. Harapannya, agar kebahagiaan akan terulang terus tiap tahunnya. Itu harapan yang bagus, pada dasarnya. Siapa, sih, yang tidak mau kebahagiaan terus terjadi secara berulang dalam dirinya? Tapi yang membedakan itu standarnya. Beda antara standar kebahagiaan orang-orang Anglo-Saxon sekuler dengan orang Islam. Islam tidak sekadar soal apa yang nampak sebagai ‘kebahagiaan’ dunia, tapi sebenarnya ‘seberapa jauh Allah sudah ridha dengan kita’.
Ya, yang menurut saya layak dilakukan pada hari ulang tahun (dengan mengabaikan kontroversi hukum dan mau atau nggaknya seseorang melakukannya) adalah refleksi. Seberapa jauh kita sudah berusaha meraih kebahagiaan? Sudah berapa jauh kita mencapai ridha Allah? Sudah berapa peran yang kita laksanakan dan kita abaikan? Apa jatah setahun usia yang terpakai kemarin sudah digunakan dengan baik? Sudah optimal?
Kalau refleksi begitu, rasanya akan lebih banyak yang sedih ketimbang bahagia. Jatah usia berkurang, tapi amalan tidak ada perkembangan. Amanah banyak yang lalai. Karya bermanfaat belum banyak dihasilkan. Satu tahun lagi terbuang tanpa banyak kemajuan.
Setahun di planet bumi itu tidak sebentar. Banyak waktu yang bisa digunakan untuk menambah amalan baik demi bekal di kemudian hari. Ingatlah kalau kehidupan di planet Bumi ini cuma sekadar mampir, dengan jatah waktu mampir masing-masing, buat mengumpulkan bekal demi perjalanan abadi. Berkurangnya jatah usia artinya berkurangnya juga waktu untuk mengumpulkan bekal ini. Sisa waktu yang tersedia, yang tidak seorangpun tahu masing-masing berapa sisanya, harusnya dimanfaatkan dengan baik. Agar ridha Allah, yang merupakan sebaik-baik bekal, bisa diraih. Dan kebahagiaan yang terus berulang, Many Happy Returns, akan bisa didapatkan, entah di sisa usia jikalau masih ada, atau ketika sudah memasuki tahap perjalanan abadi.
(pada dasarnya tidak sedang menunjuk siapa-siapa, sedang menceramahi diri sendiri)
0 komentar:
Posting Komentar