Senin, 12 Juni 2017

Analisis Keekonomian Metanol Nuklir Dari Air Laut

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. *

1. Pendahuluan

Pertama-tama, jangan tertipu dengan judul.

Tidak, saya tidak bilang bahwa air laut bisa dikonversi menjadi metanol. Sama sekali tidak. Menjadikan air sebagai sumber energi itu mustahil, semustahil manusia melanggar Hukum Termodinamika II. Yang saya maksud adalah air laut mengandung bahan baku produksi metanol dalam jumlah yang signifikan, yakni CO2. Itu yang saya maksud, bahan bakunya terkandung dalam air laut.

Nah, beranjak ke topik utama.

Komoditas energi paling krusial saat ini adalah minyak bumi. BP Statistical Review of World Energy edisi 2016 menunjukkan bahwa konsumsi minyak bumi hingga akhir 2015 mencapai 4,331 trilyun ton minyak. Konsumsi utama minyak bumi adalah untuk keperluan transportasi dan industri. Keduanya krusial dan nyaris tak tergantikan.

Namun, sebagaimana energi fosil lainnya, ketersediaan minyak bumi terbatas dan bisa habis. Tidak bisa terus menerus bergantung pada sumber daya ini. Sementara, keperluan antara industri dan transportasi terhadap minyak bumi seringkali bentrok. Selain itu, tentu saja, masalah lain yang ditimbulkan minyak bumi adalah penumpukan gas rumah kaca di atmosfer yang menyebabkan pemanasan global. Hal ini khususnya ketika minyak bumi digunakan sebagai bahan bakar transportasi. Sepertiga emisi gas rumah kaca global disumbangkan dari sektor transportasi.

Dalam skenario dekarbonisasi total demi mencegah dampak katastropik bencana pemanasan global dan perubahan iklim, patut diakui bahwa kendala besar ada pada sektor transportasi. Minyak bumi sulit ditemukan substitusinya, karena relatif murah dan kandungan energinya cukup tinggi. Sebagian kalangan mengusulkan menggunakan mobil listrik menggunakan baterai. Realitanya, solusi ini baru berguna ketika listrik yang digunakan berasal dari sumber yang bersih, yakni energi nuklir atau “energi terbarukan”. Tidak ada gunanya pakai baterai kalau listriknya masih didapatkan dari pembakaran batubara dan gas alam.

Kendala lain dari baterai adalah tidak cocok untuk mobil berukuran besar, karena baterainya akan sangat berat dan makan tempat. Ini sifat inheren baterai yang sejak 100 tahun lalu masih belum juga terpecahkan. Di sisi lain, kendala lain adalah pada ketersediaan material baterai. Untuk mengganti seluruh kendaraan di planet ini dari mobil tipe internal fuel combustion (IFC) menjadi elektrik, cadangan lithium dan timbal yang ada jauh dari mencukupi. Mengekstrak lithium dari air laut secara teoretis bisa dilakukan, tapi sangat sulit dan mahal. Mencari substitusi lithium dan timbal mungkin bisa membantu, tapi belum bisa dipastikan kelayakannya.

Hal ini mau tidak mau harus dipertimbangkan. Kita punya beban moral pada generasi masa depan untuk tidak seenaknya menghabiskan sumber daya fosil begitu saja pada generasi sekarang. Waktu untuk menanggulangi potensi bencana iklim akibat pemanasan global pun makin sedikit. Tidak bisa ditunda-tunda lagi. Baterai tidak bisa sepenuhnya diandalkan. Substitusi bahan bakar minyak untuk kendaraan IFC harus segera dilakukan secara netral karbon.

Dari membaca beberapa diskusi di forum energi, buku dan presentasi, saya menemukan setidaknya tiga alternatif bahan bakar netral karbon yang bisa dimanfaatkan: amonia, metanol dan dimetil eter. Amonia netral karbon, karena sama sekali tidak mengandung unsur karbon. Amonia adalah bahan bakar berbasis nitrogen. Membaca penjabaran dalam buku Thorium Energy Cheaper Than Coal, amonia cukup menjanjikan. Walau begitu, bergantung sepenuhnya pada amonia juga saya kira tidak begitu disarankan.

Alternatif metanol lebih menarik untuk saya. Sifatnya mirip dengan bensin dan risiko kebakarannya lebih rendah. Metanol itu toksik, betul, tapi itu bukan sesuatu yang tidak bisa ditanggulangi. Yang menjadi masalah kemudian adalah, bagaimana mendapatkan bahan baku metanol yang netral karbon? Metanol adalah senyawa hidrokarbon (CH3OH), jadi butuh CO atau CO2 untuk produksinya. Saya tidak terlalu yakin dengan ke-netral karbon-an biomassa, lagipula penanamannya sangat boros lahan. Sementara, menyedot CO2 dari udara, untuk saat ini, masih dipertanyakan keekonomisannya. Untuk substitusi BBM, nilai keekonomisannya harus terjaga.

Waktu meramban internet, saya mampir ke blog Brave New Climate dan menemukan tulisan Prof. John Morgan mengenai Zero Emission Synfuel from Seawater. Artikel ini menganalisis produksi bahan bakar sintetis (synthetic fuel/synfuel) dengan bahan baku CO2 yang didapatkan bukan dari atmosfer, tapi mengekstraknya dari air laut!

Dalam tulisan itu, disebutkan bahwa konsentrasi CO2 di air laut 140 kali lipat lebih tinggi daripada di atmosfer. Ekstraksinya menggunakan cara yang mirip dengan desalinasi air. Air laut dipecah menjadi aliran basa dan asam menggunakan proses elektrokimia, lalu CO2 diuapkan dari aliran yang asam. Kedua aliran itu kemudian dicampur lagi dan dikembalikan ke laut. Proses ini diklaim lebih murah dan mudah dilakukan ketimbang mengekstrak CO2 dari udara. Mengingat sebagian CO2 yang dibuang ke atmosfer kemudian akan diserap juga oleh lautan, saya kira CO2 dari laut cukup layak dikatakan netral karbon.

Membaca artikel ini, saya jadi terpikirkan, seberapa layak produksi metanol menggunakan bahan baku CO2 yang diekstrak dari air laut ini?

Di artikel yang sama, Prof. Morgan melakukan analisis ekonomi terhadap synfuel yang basisnya adalah makalah yang diterbitkan oleh Angkatan Laut Amerika Serikat. Beliau berbaik hati menyediakan spreadsheet perhitungannya untuk diunduh. Jadi alhamdulillah, tidak usah repot-repot hitung dari awal. Tinggal modifikasi sedikit. J

Untuk studi kasus, coba ambil di Indonesia. Data terakhir konsumsi BBM yang ada di laman Kementerian ESDM adalah tahun 2014. Berikut konsumsi BBM dalam bentuk bensin dan solar (minyak Diesel).

Tabel 1. Konsumsi BBM Indonesia tahun 2014 (sumber: ESDM)

For the sake of argument, diasumsikan bahwa seluruh konsumsi bahan bakar ini akan disubstitusi oleh metanol.

Yang patut dicatat dari metanol adalah densitas energinya lebih rendah ketimbang bensin dan solar. Kira-kira hanya setengahnya. Walau begitu, dibandingkan mesin bensin, mesin metanol memiliki efisiensi termal-kinetik lebih tinggi (50% untuk metanol berbanding 25-30% untuk bensin). Karena itu, volume yang dibutuhkan akan lebih besar dibanding total konsumsi BBM saat ini.

Untuk mempermudah, saya konversi energinya ke dalam satuan terawatt-hour (TWh).

Tabel 2. Konsumsi Energi BBM

Densitas energi metanol adalah 15,6 GJ/kiloliter. Dari sini, menggunakan kalkulasi terbalik, mengasumsikan efisiensi mesin metanol 50%, didapatkan bahwa kebutuhan total metanol untuk substitusi bensin dan solar adalah 115.658.884 kiloliter. Di sini, saya menambahkan margin produksi sebesar 10%, karena saya tidak tahu seberapa produksi riil BBM oleh Pertamina. Sehingga, yang mesti diproduksi adalah sebesar 127.224.772 kiloliter.

Nah, perhitungan kelayakan berangkat dari sini. Yang saya kalkulasi adalah (1) seberapa baik keekonomian metanol dari air laut dibandingkan bensin dan solar, serta (2) berapa investasi yang dibutuhkan untuk membangun infrastrukturnya.

2. Kelayakan ekonomis metanol nuklir dari air laut

Di judul, saya tuliskan “metanol nuklir”. Apa hubungannya dengan nuklir? Sangat erat. Proses ekstraksi CO2 dan produksi hidrogen sebagai bahan baku keduanya membutuhkan energi. Satu-satunya energi bersih yang bisa diandalkan dalam proses ini adalah nuklir. Mengingat, energi nuklir bisa beroperasi dengan sangat reliabel, selamat, murah, dan tentu saja, bersih. Energi bayu maupun energi surya tidak cukup murah dan reliabel untuk produksi metanol ini, kecuali keduanya disubsidi. Saya tidak senang dengan subsidi energi, jadi saya menginginkan metanol yang ekonomis tanpa perlu membebani anggaran negara dengan subsidi. Yang bisa memenuhinya cuma nuklir, khususnya nuklir Generasi IV.

Nuklir juga menjadi basis perhitungan di spreadsheet Prof. Morgan, karena mengikuti makalah yang dianalisisnya. Jadi tidak ada perubahan soal ini. Namun, untuk melakukan analisis lengkap, ada beberapa hal yang mesti dimodifikasi.

Karena synfuel yang dikalkulasi keekonomiannya oleh Prof. Morgan adalah bahan bakar jet, jadi berbagai perhitungan molekularnya dimodifikasi dari senyawa alkana (C11H22) menjadi CH3OH. Komposisi molekular yang lebih simpel meniscayakan kebutuhan CO2 dan hidrogen jadi tidak sebanyak bahan bakar jet. Efeknya, daya listrik yang dibutuhkan berkurang dan biaya jadi lebih rendah.

Berikutnya adalah daya yang dibutuhkan. Dengan asumsi operasional reaktor nuklir konservatif, dibutuhkan daya listrik sebesar 101 gigawatt-elektrik (GWe). Itu hampir dua kali lebih besar daripada kapasitas daya listrik terpasang di Indonesia saat ini. Dengan daya 91 GWe, mampu dihasilkan 128.533.511 kiloliter metanol per tahun. Sedikit lebih banyak dari yang disebutkan sebelumnya, tapi tidak masalah untuk pembulatan daya, supaya lebih mudah dihitung.

Kemudian dari segi reaktor nuklirnya. Di sini saya menggunakan proyeksi biaya molten salt reactor (MSR), yakni USD 2.000/kW. Usia pakai diasumsikan 60 tahun. Kebutuhan operasional, perawatan dan bahan bakar dianggap konservatif, yakni USD 10/MWh. Saya anti ekonomi ribawi, jadi biaya balik modal tahunan saya rombak total jadi nol bunga. Dari situ, didapatkan bahwa biaya listriknya sebesar USD 1,47 sen/kWh. Kalau dirupiahkan, mengasumsikan kurs USD 1 = Rp 14.000, maka harganya sekitar Rp 206/kWh. Ini kurang dari setengahnya tarif listrik untuk golongan 450 VA yang sebesar Rp 450/kWh.

Gambar 1. Biaya listrik dari energi nuklir

Sekadar komparasi, jika menggunakan energi bayu, dengan faktor kapasitas (asumsi optimis) 30% dan usia pakai (asumsi optimis juga) 25 tahun, maka biaya listriknya jadi sebagai berikut.

Gambar 2. Biaya listrik dari energi bayu

Tidak ekonomis, bukan? Karena itu, lupakan saja pakai so-called “energi terbarukan”.

Untuk bagian ekstraksi CO2, selain data molekular, saya hanya memodifikasi biaya balik modal tahunan yang (lagi-lagi) dibuat nol bunga. Untuk biaya teknologinya saya biarkan, karena sumber utamanya (yakni makalah Angkatan Laut AS) menyebutkan demikian, yakni USD 16 juta per 82 ribu galon/hari.

Perincian perhitungan yang telah dimodifikasi ditunjukkan pada gambar berikut.

Gambar 3. Biaya ekstraksi CO2 per liter bahan bakar

Bagian yang agak tricky adalah produksi hidrogen. Saya mengasumsikan reaktor Generasi IV yang mampu kogenerasi, yakni mampu menghasilkan listrik dan juga hidrogen. Karena itu, saya ubah intensitas volumetrik hidrogen mengikuti model yang saya gunakan, yakni 250 ton hidrogen/MWe-tahun. Yang kemudian agak dipertanyakan adalah berapa biaya instalasi produksi hidrogen kogenerasi ini, karena jelas saja tidak termasuk pada biaya PLTN-nya. Saya belum menemukan literatur yang membahas soal proyeksi biayanya. Karena itu, saya mengasumsikan bahwa biayanya adalah USD 1.000/kW, setengah dari biaya PLTN.

Biaya balik modal tahunannya tentu saja dibuat nol bunga. Perinciannya jadi sebagai berikut.

Gambar 4. Biaya pembangkitan hidrogen per liter bahan bakar

Terakhir adalah unit sintetis metanol. Saya agak kesulitan juga mencari literatur terkair biaya unit sintetis ini. Tapi alhamdulillah dapat juga, walau dari sumber sekunder, yaitu dokumen ANTECY. Di Appendix-nya disebutkan bahwa salah satu unit sintetis metanol memiliki biaya USD 480 juta per 5000 ton metanol/hari. Saya ambil ini sebagai rujukan. Biaya balik modal kembali dibuat nol bunga. Perinciannya sebagai berikut.

Gambar 5. Biaya sintetis metanol per liter bahan bakar

Dari keempat bagian ini, didapatkan biaya total produksi metanol nuklir dari air laut sebagai berikut.

Gambar 6. Biaya produksi metanol nuklir dari air laut per liter dan per gallon

(catatan: 1 gallon = 3,78 liter)

Jadi, menggunakan asumsi-asumsi di atas, didapatkan bahwa untuk memproduksi satu liter metanol nuklir dari air laut, dibutuhkan biaya sebesar Rp 2.359, atau kita bulatkan saja jadi Rp 2.400, biar gampang.

Bagaimana kalau pakai energi bayu dan surya? Berikut biaya produksinya.

Gambar 7. Biaya produksi metanol bayu dari air laut per liter dan per gallon

Gambar 8. Biaya produksi metanol surya dari air laut per liter dan per gallon

(catatan: energi bayu diasumsikan berbiaya USD 2.000/kW dan faktor kapasitas 30%, sementara energi surya berbiaya USD 1.000/kW dan faktor kapasitas 20%. Keduanya menggunakan asumsi usia pakai 25 tahun. Itu sudah angka optimis)

Menggunakan energi bayu dan surya, biaya produksi metanol lebih dari Rp 10.000/liter. Kira-kira 4x lipat lebih tinggi daripada pakai nuklir. Terlalu mahal. Jadi saya ulangi: lupakan saja menggunakan so-called energi terbarukan untuk produksi bahan bakar sintetis. Tidak cukup ekonomis. Padahal angka di Gambar 7 dan Gambar 8 hanya mengubah di bagian produksi listriknya saja, belum di bagian produksi hidrogennya, yang pasti mesti menyesuaikan karena tidak lagi menggunakan nuklir. Jatuhnya lebih mahal lagi.

Lantas, bagaimana komparasinya dengan BBM? Kan, tadi dikatakan bahwa densitas energinya lebih rendah.

Untuk komparasi, mari bandingkan dengan premium. Katakanlah di SPBU metanol dijual seharga Rp 3.500, mempertimbangkan penyimpanan dan distribusi. Perbandingannya adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Perbandingan biaya penyetaraan metanol dengan premium

Dari sini, tampak bahwa menggunakan metanol masih lebih murah daripada menggunakan premium. Dengan demikian, metanol nuklir dari air laut sangat berpotensi untuk lebih murah daripada BBM, sehingga kelak layak digunakan untuk substitusi bensin. Lebih dari itu, harga ini tanpa subsidi. Jadi tidak memberatkan anggaran negara.

3. Kebutuhan investasi

Pertanyaan berikutnya, berapa investasi yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur sebesar ini? Angka-angkanya sebenarnya sudah ada di gambar-gambar di atas, tapi saya jelaskan lagi di sini.

Yang pertama dari PLTN-nya. Butuh daya sebesar 101 GWe. Dengan overnight cost USD 2000/kW, maka butuh biaya sebesar USD 202 milyar, setara dengan Rp 2.828 trilyun. Mempertimbangkan bahwa biaya pembangunan PLTN akan turun seiring lebih banyaknya PLTN yang dibangun, angka ini bisa lebih rendah lagi. Tapi anggap angka ini sebagai basis perhitungan.

Untuk unit ekstraksi CO2 dari air laut, berdasarkan informasi bawaan yaitu USD 16 juta per 82 ribu galon CO2/hari, didapatkan biaya modal sebesar USD 10,6 milyar atau Rp 148,5 trilyun. Sementara, untuk unit pembangkit hidrogen, dari asumsi 250 ton hidrogen/MW-tahun dan overnight cost USD 1000/kW, maka didapatkan biaya modal sebesar USD 66 milyar atau Rp 923 trilyun. Unit sintetis metanol, dari data USD 480 juta per 5000 ton metanol/hari, didapatkan biaya modal sebesar USD 42,64 milyar atau Rp 597 trilyun. Tampak bahwa komponen biaya terbesar ada pada PLTN, disusul unit pembangkit hidrogen.

Total investasi yang dibutuhkan adalah sebagai berikut.

Tabel 4. Biaya investasi total

Jadi, untuk produksi metanol sebagaimana yang disebutkan di awal, butuh investasi setidaknya Rp 4.500 trilyun. Bukan angka kecil, itu lebih dari 2x lipat APBN tahunan Indonesia. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana skema sintetis metanol ini bisa dilakukan negeri ini dalam sistemnya yang sekarang. Yang mana, menarik dana untuk APBN-nya saja sudah ngos-ngosan, sampai harus melakukan pengampunan pajak dan menjual aset negara segala.

Bahkan sekalipun skenario ini dipotong hingga seperempatnya, masih butuh lebih dari Rp 1.000 trilyun. Tetap tidak bisa dibayangkan. Apalagi kalau mengingat bahwa, untuk mengeluarkan dana sekian puluh trilyun demi membangun 1 unit PLTN saja, pemerintah tidak mau.

4. Penutup

Tentu saja perhitungan di atas sangat memungkinkan untuk meleset. Paling krusial adalah di bagian produksi hidrogen, yang ironisnya memiliki komponen pembiayaan terbesar. Semoga saja unit produksi hidrogen kelak memang bisa semurah itu. Kalaupun ternyata angkanya meleset 100%, perubahan biayanya tidak begitu jauh. Jadi masih tetap ekonomis walau tanpa subsidi.

Lebih dari itu, saya juga tidak berekspektasi bahwa seluruh BBM akan diganti dengan metanol nuklir dari air laut. Seperti saya sebutkan sebelumnya, hanya sebagian dari CO2 yang dilepaskan ke udara yang akan diserap oleh laut. Mungkin 25-30%, tidak semuanya. Jadi, ekstraksi CO2 dari air laut juga cuma bisa di kisaran segitu saja dari kebutuhan CO2 total. Sisanya, mau tidak mau, harus didapatkan dari sumber lain, misalnya atmosfer.

Menilik dari kebutuhan infrastruktur yang besar dan biaya modal yang tinggi, saya tidak berharap barang 10-6% sekalipun bahwa negeri ini mau melakukannya. Negeri ini tidak punya visi energi ramah lingkungan, diperparah dengan visi politik yang sama sekali tidak jelas dan mau enaknya saja. Para penguasanya cuma peduli kepentingan diri mereka sendiri dan para pemodalnya, tapi abai dengan kebutuhan rakyat dan kepentingan iklim. Jangankan negeri ini, negara-negara maju saja belum tentu mau melakukannya.

Untuk bisa merealisasikan skenario dekarbonisasi yang satu ini, mau tidak mau harus ada perubahan paradigma politik dan energi secara keseluruhan. Tidak ada cara lain. Masalah harus dicerabut dari akarnya, baru alternatif seperti ini bisa diterapkan.

* Penulis adalah alumni program studi Teknik Nuklir, Universitas Gadjah Mada. Sekarang menjadi asisten penelitian TAHRMoPS.

Referensi:

  1. Alexander van der Made dkk. Design Study Report: ANTECY solar fuels development. 2015.
  2. British Petroleum. BP Statistical Review of World Energy, June 2016 edition. BP, London, 2016.
  3. John Morgan. Zero emission synfuel from seawater. Diakses dari https://bravenewclimate.com/2013/01/16/zero-emission-synfuel-from-seawater/
  4. Kementerian ESDM. Statistik Migas – Konsumsi/Penjualan BBM. Diakses dari http://statistik.migas.esdm.go.id/index.php?r=konsumsiBbm/index
  5. Robert Hargraves. Thorium Energy Cheaper Than Coal. CreateSpace Independent Publishing Platform: Hanover, 2012.
  6. Wikipedia. Energy Density. Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Energy_density
  7. World Nuclear Association, Nuclear Process HeatDiakses dari http://www.world-nuclear.org/information-library/non-power-nuclear-applications/industry/nuclear-process-heat-for-industry.aspx

0 komentar:

Posting Komentar