Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto
Yang namanya buka puasa bersama seolah-olah sudah menjadi tradisi bagi sebagian besar orang di negeri ini tiap bulan Ramadhan. Biasanya, sih, undangan acara buka bersama sudah mulai ramai pada minggu kedua. Mulai dari buka bersama teman kuliah, alumni SMA, alumni SMP, alumni SD, bahkan barangkali alumni TK. Tidak ketinggalan pula berbagai macam komunitas yang diikuti. Tidak terbayang kalau seseorang ikut 30 komunitas dan semua mengajak buka bersama, bentrok semua jadwalnya.
Yang namanya buka puasa bersama seolah-olah sudah menjadi tradisi bagi sebagian besar orang di negeri ini tiap bulan Ramadhan. Biasanya, sih, undangan acara buka bersama sudah mulai ramai pada minggu kedua. Mulai dari buka bersama teman kuliah, alumni SMA, alumni SMP, alumni SD, bahkan barangkali alumni TK. Tidak ketinggalan pula berbagai macam komunitas yang diikuti. Tidak terbayang kalau seseorang ikut 30 komunitas dan semua mengajak buka bersama, bentrok semua jadwalnya.
(catatan: ini tidak banyak berlaku pada mahasiswa berkantong cekak, yang biasanya lebih sering berburu buka puasa di masjid ketimbang mengikuti undangan buka bersama komunitas. Kecuali ditraktir)
Hanya saja, persoalannya, ada masalah fatal yang seringkali tidak diperhatikan oleh komunitas yang mengadakan buka puasa bersama: Shalat wajib.
Coba saja bayangkan. Setelah adzan Maghrib, orang-orang berbuka, makan, minum, ngobrol-ngobrol, cekakak-cekikik macam kuntilanak kesorean, selfie-selfiean, narsis-narsisan, terus saja begitu sampai waktu Maghrib lewat. Tahu-tahu sudah adzan Isya, dan tidak ada sama sekali yang kaget karenanya. Seolah-olah melewatkan shalat Maghrib itu bukan hal yang penting.
Jangan dulu bicara soal tarawih, yang memang pada dasarnya tidak wajib. Shalat Isya, yang dimana-mana wajib dilakukan sebelum beranjak ke tarawih, bablas juga. Dua shalat wajib, Maghrib dan Isya, terlewat begitu saja, gara-gara asyik dengan yang mereka sebut ‘buka bersama’. Barangkali nantinya shalat Subuh juga terlewat, gara-gara buka puasa makan banyak ditambah sahur kekenyangan. Hasilnya, bablas tidur sampai jam 10 pagi. Na’udzubillah.
Ini soal kebiasaan, sebenarnya. Orang yang sehari-harinya memang tidak pernah shalat atau malas-malasan untuk shalat, tentunya tidak akan merasa aneh dengan terlewatnya dua shalat wajib ketika acara ‘buka bersama’ itu. Lha menyentuh sajadah saja barangkali cuma sekali setahun, pas shalat Idul Fitri. Gampang ditebak bahwa, komunitas yang ketika buka bersama melewatkan shalat wajib dengan sangat enteng, para pesertanya rerata sehari-harinya tidak pernah shalat. Minimal menganggap remeh shalat.
Puasa tapi tidak shalat. Macam pakai baju tapi tidak pakai celana. Duh…
Kalau kondisinya begitu, buka bersamanya justru malah menjadi ajang maksiat bersama. Soalnya semuanya sama-sama meninggalkan kewajiban—yang melaksanakannya pun sebenarnya tidak susah-susah amat—demi sesuatu yang secara sama sekali tidak lebih penting daripada shalat.
Padahal ini bulan Ramadhan, bulan yang harusnya jadi ladang untuk meningkatkan amal shalih karena ganjarannya yang berkali-kali lipat lebih besar daripada diskon lebaran di R*m*y*n* (sensor). Minimal jadi turning point, dari yang awalnya malas ibadah sama sekali jadi setidaknya melaksanakan kewajiban-kewajiban yang fardhu ‘ain. Lha, ini malah kebiasaan maksiat sehari-hari, meninggalkan shalat, masih dipiara juga. Lantas, apa esensi puasa yang dilakukannya? Tidak ada. Puasa tidak menjadikannya lebih bertakwa. Puasanya cuma dapat lapar dan haus saja.
Sudah mafhum bahwa meninggalkan shalat adalah dosa besar yang ancamannya tidak tanggung-tanggung: neraka. Bahkan, dalam beberapa kondisi, para ulama menyatakan bahwa meninggalkan shalat bisa berujung pada kekafiran seseorang! Menunaikan kewajiban puasa sama sekali tidak menghapuskan kewajiban shalat. Masing-masing adalah fardhu ‘ain yang mesti dikerjakan tanpa kecuali.
Puasa Ramadhan itu wajib. Shalat lima waktu juga wajib. Kerjakan semuanya, jangan pilah-pilih. Mengerjakan puasa tapi meninggalkan shalat wajib, termasuk waktu ‘buka bersama’, menunjukkan bahwa puasanya itu sekadar formalitas. Tidak ada perubahan, tidak dapat esensi apa-apa dari puasanya itu. Puasanya tidak berguna untuk menjadikan mereka pribadi yang lebih bertakwa, yang mendekatkan diri pada surga dan menjauhkan diri dari neraka abadi. Sebagaimana dikatakan Nabi, cuma dapat lapar dan haus saja. Tidak lebih. Sah mungkin sah, tapi pahalanya? Well…
Untuk yang masih sering begitu, sebaiknya segera diubah. Kebiasaan jelek jangan dipiara, apalagi kalau kebiasaan jelek itu malah mengantarkan ke azabNya yang paling pedih. Jangan pilih-pilih kewajiban kalau mau selamat. Don’t say I didn’t warn you.
Apa artinya buka puasa bersama itu tidak boleh? Ya tentu saja boleh. Asalkan tidak ada satupun kewajiban yang terlalaikan. Shalat wajib dijalankan, ikhtilath pun dihindari. Bahkan, kalau bisa tarawihnya juga jangan sampai terlewat! Sayang, lho. Tarawih itu cuma ada setahun sekali, Ramadhan saja.
Mari untuk mengatur acara buka bersama dengan baik, sehingga seluruh kewajiban tetap terlaksana, ibadah sunnah pun terjaga. Insya Allah buka bersama yang seperti ini akan jadi berkah bersama, bukan maksiat bersama.
(direproduksi dari tulisan senada yang pernah dimuat di laman Gaulfresh)
0 komentar:
Posting Komentar