Fenomena alam pada dasarnya terjadi secara alami (naturogenik) berdasarkan kondisi alam semesta mengikuti hukum alam/sunnatullah yang berlaku. Mekanisme terjadinya fenomena alam tidak dipengaruhi perbuatan manusia. Namun, kondisi alam semesta yang menjadi dasar kebolehjadian fenomena alam tersebut bisa dipengaruhi oleh manusia (antropogenik). Misalkan temperatur permukaan bumi yang naik sebagai akibat dari pembakaran energi fosil, maka kenaikan temperatur itu mengubah pola dan lokasi pembentukan siklon, karena terbentuknya siklon dipengaruhi oleh gradien temperatur udara.
Fenomena alam bisa menjadi bencana alam
jika fenomena tersebut menyebabkan kerusakan terukur pada lingkungan hidup.
Kerusakan yang terjadi bisa bersifat naturogenik, antropogenik, atau kombinasi
dari keduanya. Pada kondisi naturogenik, bencana alam terjadi ketika lingkungan
secara alamiah tidak mampu menampung atau memitigasi dampak dari fenomena alam
tersebut. Sebagai contoh, jika kapasitas penampungan air oleh tanah secara
alami hanya 100 mm per hari, tetapi curah hujan turun dengan laju 200 mm per hari.
Dalam kondisi itu, lebihan air akan mengalami tumpahan/runoff ke permukaan
tanah dan menyebabkan aliran air deras ke tanah yang lebih rendah dan dapat
berakibat pada banjir atau longsor.
Contoh lain adalah letusan gunung berapi.
Kapan gunung berapi meletus bergantung pada aktivitas geologis gunung tersebut
yang tidak bisa diprediksi persis kapan akan terjadi dan tidak terpengaruh
faktor luar. Maka, ketika gunung berapi meletus dan menyebarkan debu vulkanik
serta lahar panas ke berbagai penjuru yang kemudian merusak area hutan, hal
tersebut merupakan bencana alam naturogenik.
Bencana alam antropogenik terjadi ketika
perbuatan tangan manusia menjadi pemicu dari bencana tersebut. Sebagai contoh,
jika hutan hujan mampu menampung tumpahan air hingga 200 mm per hari, tetapi
curah hujan maksimum secara historis hanya 190 mm per hari, maka tidak akan
terjadi banjir atau longsor karenanya, karena lahan masih mampu menampung
tumpahan air tersebut. Namun, ketika hutan hujan tersebut ditebang untuk
dijadikan perkebunan sawit, hutan tanaman industri monokultur, atau kawasan
pertambangan, dengan luas area yang membuat daya tampung air di kawasan
tersebut berkurang dari 200 mm per hari menjadi 100 mm per hari, maka ketika
terjadi hujan deras dengan laju 150 mm per hari saja, fenomena tersebut akan
menyebabkan tumpahan air besar ke permukaan tanah, yang jika debitnya terlampau
besar, akan menyebabkan banjir hingga tanah longsor tanpa perlu curah hujan
melebihi nilai maksimum. Pada titik ini, bencana alam menjadi antropogenik.
Mengingat, jika penebangan melebihi degradasi daya tampung air minimum tersebut
tidak dilampaui, niscaya banjir dan longsor tersebut tidak akan terjadi.
Bencana alam juga bisa merupakan kombinasi
dari aspek naturogenik dan antropogenik. Contoh, terbentuknya siklon yang
membawa uap air dalam volume sedemikian besar sehingga menyebabkan curah hujan
melonjak menjadi 210 mm per hari. Secara alamiah, curah ini sudah melebihi daya
tampung alamiah tanah yang ditopang hutan sebesar 200 mm per hari. Dalam
kondisi ini, akan terjadi tumpahan air di permukaan tanah yang lajunya
bergantung pada luas area terdampak. Kerusakan akan terjadi, tetapi mungkin
masih bisa ditekan karena selisih kapasitasnya "hanya" 10 mm per
hari.
Hanya saja, jika daya tampung tersebut
berkurang dari 200 mm per hari menjadi 150 bahkan 100 mm per hari akibat
pembukaan lahan yang signifikan, maka yang terjadi adalah pemburukan kerusakan
akibat bencana, karena selisih dengan daya tampung air meningkat dari 10 mm per
hari menjadi 60-110 mm per hari. Debit tumpahan air naik secara linier terhadap
selisih daya tampung, sehingga dampak kerusakan bisa naik berkali lipat.
Hal ini dapat diperparah oleh anomali dalam
pembentukan siklon tropis; siklon yang tidak pernah terbentuk di area
khatulistiwa dan di badan air sempit mendadak terbentuk di dekat ekuator di
atas selat. Dalam iklim bumi normal pra-revolusi industri, hal ini secara hukum
alam mustahil terjadi karena kondisi pembentukannya tidak terpenuhi. Namun,
setelah bumi memanas akibat penumpukan gas rumah kaca di atmosfer, sebagai
akibat dari pembakaran bahan bakar fosil (batubara dan migas, dalam jumlah
kecil biomassa), temperatur permukaan bumi naik dan mengacaukan siklus iklim.
Sehingga, apa yang tidak mungkin terjadi secara alami 300 tahun lalu, menjadi
mungkin terjadi saat ini.
Dalam kondisi ini, fenomena alam yang
menyebabkan bencana dapat terbentuk karena perubahan iklim yang bersifat
antropogenik. Hal ini semakin menguatkan campur tangan manusia dalam bencana
kombinasi naturogenik-antropogenik tersebut.
Dalam kondisi bencana terjadi secara
naturogenik, manusia tidak bisa dituntut akuntabilitasnya karena kejadian ini
merupakan kejadian yang berada di luar kendalinya (musayyar). Beda
halnya dengan bencana antropogenik, atau bencana kombinasi
naturogenik-antropogenik, maka manusia ada andil dalam menyebabkan bencana itu
terjadi. Bencana antropogenik sudah cukup jelas, karena bencana tersebut tidak
akan terjadi jika manusia tidak melakukan disrupsi terhadap daya tampung alami
lingkungan terhadap fenomena alam. Manusia berperan penuh dalam bencana
antropogenik (mukhayyar), dan semua yang terlibat di dalamnya harus
bertanggungjawab, mulai dari perencana, pemberi izin, hingga pelaksana, baik di
dunia maupun di akhirat. Demikian pula bencana kombinasi
naturogenik-antropogenik, peningkatan level keparahan bencana akibat intervensi
manusia terhadap daya tampung alami lingkungan adalah tanggungjawab para
perencana, pemberi izin, hingga pelaksana perusakan lingkungan tersebut.
Bencana alam yang terjadi di Sumatra jelas
bukan bencana naturogenik. Bencana ini merupakan bencana kombinasi
naturogenik-antropogenik. Anomali pembentukan siklon yang kemungkinan besar
disebabkan oleh perubahan iklim antropogenik, menyebabkan fenomena naturogenik
dengan dampak lebih tinggi daripada daya tampung alami lingkungan. Hal ini
kemudian diperparah dengan penurunan daya tampung alamiah sebagai akibat dari
penggundulan hutan untuk pertambangan, penjualan kayu, serta hutan tanaman
industri. Akibat dari resiliensi lingkungan yang turun ini adalah daya rusak
bencana menjadi lebih buruk dan tidak dapat ditanggulangi oleh sumber daya yang
tersedia di daerah terdampak. Ditambah lagi, infrastruktur hunian,
transportasi, dan jaringan telekomunikasi tidak didesain untuk memiliki
resiliensi terhadap bencana.
Memang, dalam kondisi fenomena alam tidak
terduga seperti ini, kerusakan infrastruktur sudah jelas akan terjadi. Namun,
ketiadaan resiliensi membuat kerusakan jadi tambah parah. Ditambah lagi, tidak
ada sistem peringatan bencana yang layak memadai, akibat badan yang
bertanggungjawab dalam deteksi bencana tidak diberdayai dengan sumber daya
finansial dan manusia yang mencukupi untuk membangun sistem deteksi dan
peringatan bencana memadai. Hal ini ditambah seringnya terjadi pencurian
terhadap komponen deteksi bencana oleh sebagian warga bermoral bangkrut, yang
menyebabkan fungsi deteksi dan kemudian peringatan bencana menjadi terhambat
hingga tidak berjalan.
Dengan demikian, tidak ada keraguan bahwa
bencana yang menimpa Sumatra bagian utara bukanlah murni bencana naturogenik.
Bencana ini adalah bencana kombinasi naturogenik-antropogenik, yang mana
manusia berkontribusi besar dalam peningkatan keparahan bencana. Pembabatan
hutan secara luas telah mengurangi kapasitas retensi air dalam tanah, sehingga
memicu terjadinya banjir besar yang menyebabkan ratusan korban jiwa, kehancuran
harta benda, hingga rusaknya infrastruktur penunjang kehidupan masyarakat.
Dari sini, pihak yang paling
bertanggungjawab adalah para pengusaha yang membabat hutan, para pemberi izin
pembabatan hutan, dan para pelaksana pembabatan hutan di lapangan. Selain itu,
sistem dan ideologi yang mengizinkan pembabatan hutan melebihi kapasitas
lestarinya pun wajib disingkirkan untuk mencegah bencana yang sama kembali
terulang. Demikian pula sistem dan ideologi yang berkontribusi utama dalam
menyebabkan perubahan iklim antropogenik dalam bentuk pembakaran energi fosil
tidak terkendali, selayaknya dibuang supaya kondisi bumi tidak bertambah buruk
di tengah krisis iklim global yang makin lama makin sulit untuk menemukan jalan
keluar.
Semoga Allah memberikan kesabaran dan
pertolongan-Nya pada mereka yang terdampak bencana naturogenik-antropogenik di
Sumatra, dan semoga Allah menjatuhkan hukuman-Nya pada para perusak alam
semesta yang telah Dia amanatkan kepengurusannya pada umat manusia.

0 komentar:
Posting Komentar