Selasa, 02 Desember 2025

Bencana Alam di Sumatra, Alami atau Efek Perbuatan Manusia?

Fenomena alam pada dasarnya terjadi secara alami (naturogenik) berdasarkan kondisi alam semesta mengikuti hukum alam/sunnatullah yang berlaku. Mekanisme terjadinya fenomena alam tidak dipengaruhi perbuatan manusia. Namun, kondisi alam semesta yang menjadi dasar kebolehjadian fenomena alam tersebut bisa dipengaruhi oleh manusia (antropogenik). Misalkan temperatur permukaan bumi yang naik sebagai akibat dari pembakaran energi fosil, maka kenaikan temperatur itu mengubah pola dan lokasi pembentukan siklon, karena terbentuknya siklon dipengaruhi oleh gradien temperatur udara.

Fenomena alam bisa menjadi bencana alam jika fenomena tersebut menyebabkan kerusakan terukur pada lingkungan hidup. Kerusakan yang terjadi bisa bersifat naturogenik, antropogenik, atau kombinasi dari keduanya. Pada kondisi naturogenik, bencana alam terjadi ketika lingkungan secara alamiah tidak mampu menampung atau memitigasi dampak dari fenomena alam tersebut. Sebagai contoh, jika kapasitas penampungan air oleh tanah secara alami hanya 100 mm per hari, tetapi curah hujan turun dengan laju 200 mm per hari. Dalam kondisi itu, lebihan air akan mengalami tumpahan/runoff ke permukaan tanah dan menyebabkan aliran air deras ke tanah yang lebih rendah dan dapat berakibat pada banjir atau longsor.

Contoh lain adalah letusan gunung berapi. Kapan gunung berapi meletus bergantung pada aktivitas geologis gunung tersebut yang tidak bisa diprediksi persis kapan akan terjadi dan tidak terpengaruh faktor luar. Maka, ketika gunung berapi meletus dan menyebarkan debu vulkanik serta lahar panas ke berbagai penjuru yang kemudian merusak area hutan, hal tersebut merupakan bencana alam naturogenik.

Bencana alam antropogenik terjadi ketika perbuatan tangan manusia menjadi pemicu dari bencana tersebut. Sebagai contoh, jika hutan hujan mampu menampung tumpahan air hingga 200 mm per hari, tetapi curah hujan maksimum secara historis hanya 190 mm per hari, maka tidak akan terjadi banjir atau longsor karenanya, karena lahan masih mampu menampung tumpahan air tersebut. Namun, ketika hutan hujan tersebut ditebang untuk dijadikan perkebunan sawit, hutan tanaman industri monokultur, atau kawasan pertambangan, dengan luas area yang membuat daya tampung air di kawasan tersebut berkurang dari 200 mm per hari menjadi 100 mm per hari, maka ketika terjadi hujan deras dengan laju 150 mm per hari saja, fenomena tersebut akan menyebabkan tumpahan air besar ke permukaan tanah, yang jika debitnya terlampau besar, akan menyebabkan banjir hingga tanah longsor tanpa perlu curah hujan melebihi nilai maksimum. Pada titik ini, bencana alam menjadi antropogenik. Mengingat, jika penebangan melebihi degradasi daya tampung air minimum tersebut tidak dilampaui, niscaya banjir dan longsor tersebut tidak akan terjadi.

Bencana alam juga bisa merupakan kombinasi dari aspek naturogenik dan antropogenik. Contoh, terbentuknya siklon yang membawa uap air dalam volume sedemikian besar sehingga menyebabkan curah hujan melonjak menjadi 210 mm per hari. Secara alamiah, curah ini sudah melebihi daya tampung alamiah tanah yang ditopang hutan sebesar 200 mm per hari. Dalam kondisi ini, akan terjadi tumpahan air di permukaan tanah yang lajunya bergantung pada luas area terdampak. Kerusakan akan terjadi, tetapi mungkin masih bisa ditekan karena selisih kapasitasnya "hanya" 10 mm per hari.

Hanya saja, jika daya tampung tersebut berkurang dari 200 mm per hari menjadi 150 bahkan 100 mm per hari akibat pembukaan lahan yang signifikan, maka yang terjadi adalah pemburukan kerusakan akibat bencana, karena selisih dengan daya tampung air meningkat dari 10 mm per hari menjadi 60-110 mm per hari. Debit tumpahan air naik secara linier terhadap selisih daya tampung, sehingga dampak kerusakan bisa naik berkali lipat.

Hal ini dapat diperparah oleh anomali dalam pembentukan siklon tropis; siklon yang tidak pernah terbentuk di area khatulistiwa dan di badan air sempit mendadak terbentuk di dekat ekuator di atas selat. Dalam iklim bumi normal pra-revolusi industri, hal ini secara hukum alam mustahil terjadi karena kondisi pembentukannya tidak terpenuhi. Namun, setelah bumi memanas akibat penumpukan gas rumah kaca di atmosfer, sebagai akibat dari pembakaran bahan bakar fosil (batubara dan migas, dalam jumlah kecil biomassa), temperatur permukaan bumi naik dan mengacaukan siklus iklim. Sehingga, apa yang tidak mungkin terjadi secara alami 300 tahun lalu, menjadi mungkin terjadi saat ini.

Dalam kondisi ini, fenomena alam yang menyebabkan bencana dapat terbentuk karena perubahan iklim yang bersifat antropogenik. Hal ini semakin menguatkan campur tangan manusia dalam bencana kombinasi naturogenik-antropogenik tersebut.

Dalam kondisi bencana terjadi secara naturogenik, manusia tidak bisa dituntut akuntabilitasnya karena kejadian ini merupakan kejadian yang berada di luar kendalinya (musayyar). Beda halnya dengan bencana antropogenik, atau bencana kombinasi naturogenik-antropogenik, maka manusia ada andil dalam menyebabkan bencana itu terjadi. Bencana antropogenik sudah cukup jelas, karena bencana tersebut tidak akan terjadi jika manusia tidak melakukan disrupsi terhadap daya tampung alami lingkungan terhadap fenomena alam. Manusia berperan penuh dalam bencana antropogenik (mukhayyar), dan semua yang terlibat di dalamnya harus bertanggungjawab, mulai dari perencana, pemberi izin, hingga pelaksana, baik di dunia maupun di akhirat. Demikian pula bencana kombinasi naturogenik-antropogenik, peningkatan level keparahan bencana akibat intervensi manusia terhadap daya tampung alami lingkungan adalah tanggungjawab para perencana, pemberi izin, hingga pelaksana perusakan lingkungan tersebut.

Bencana alam yang terjadi di Sumatra jelas bukan bencana naturogenik. Bencana ini merupakan bencana kombinasi naturogenik-antropogenik. Anomali pembentukan siklon yang kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan iklim antropogenik, menyebabkan fenomena naturogenik dengan dampak lebih tinggi daripada daya tampung alami lingkungan. Hal ini kemudian diperparah dengan penurunan daya tampung alamiah sebagai akibat dari penggundulan hutan untuk pertambangan, penjualan kayu, serta hutan tanaman industri. Akibat dari resiliensi lingkungan yang turun ini adalah daya rusak bencana menjadi lebih buruk dan tidak dapat ditanggulangi oleh sumber daya yang tersedia di daerah terdampak. Ditambah lagi, infrastruktur hunian, transportasi, dan jaringan telekomunikasi tidak didesain untuk memiliki resiliensi terhadap bencana.

Memang, dalam kondisi fenomena alam tidak terduga seperti ini, kerusakan infrastruktur sudah jelas akan terjadi. Namun, ketiadaan resiliensi membuat kerusakan jadi tambah parah. Ditambah lagi, tidak ada sistem peringatan bencana yang layak memadai, akibat badan yang bertanggungjawab dalam deteksi bencana tidak diberdayai dengan sumber daya finansial dan manusia yang mencukupi untuk membangun sistem deteksi dan peringatan bencana memadai. Hal ini ditambah seringnya terjadi pencurian terhadap komponen deteksi bencana oleh sebagian warga bermoral bangkrut, yang menyebabkan fungsi deteksi dan kemudian peringatan bencana menjadi terhambat hingga tidak berjalan.

Dengan demikian, tidak ada keraguan bahwa bencana yang menimpa Sumatra bagian utara bukanlah murni bencana naturogenik. Bencana ini adalah bencana kombinasi naturogenik-antropogenik, yang mana manusia berkontribusi besar dalam peningkatan keparahan bencana. Pembabatan hutan secara luas telah mengurangi kapasitas retensi air dalam tanah, sehingga memicu terjadinya banjir besar yang menyebabkan ratusan korban jiwa, kehancuran harta benda, hingga rusaknya infrastruktur penunjang kehidupan masyarakat.

Dari sini, pihak yang paling bertanggungjawab adalah para pengusaha yang membabat hutan, para pemberi izin pembabatan hutan, dan para pelaksana pembabatan hutan di lapangan. Selain itu, sistem dan ideologi yang mengizinkan pembabatan hutan melebihi kapasitas lestarinya pun wajib disingkirkan untuk mencegah bencana yang sama kembali terulang. Demikian pula sistem dan ideologi yang berkontribusi utama dalam menyebabkan perubahan iklim antropogenik dalam bentuk pembakaran energi fosil tidak terkendali, selayaknya dibuang supaya kondisi bumi tidak bertambah buruk di tengah krisis iklim global yang makin lama makin sulit untuk menemukan jalan keluar.

Semoga Allah memberikan kesabaran dan pertolongan-Nya pada mereka yang terdampak bencana naturogenik-antropogenik di Sumatra, dan semoga Allah menjatuhkan hukuman-Nya pada para perusak alam semesta yang telah Dia amanatkan kepengurusannya pada umat manusia.

0 komentar:

Posting Komentar