Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. *
Le me baca berita soal "kelompok teroris mau bikin bom nuklir" di salah satu laman berita. Judulnya bombastis, kan? Tapi nyatanya isinya gak nyambung-nyambung amat dengan konten beritanya. Tipikal laman web berita kelas teri.
Narasumbernya Kepala Bapeten. Yang dibahas soal "kelompok teroris" yang dibekuk bulan Agustus. Sekarang bulan September. Kok baru dibahas sekarang?
Lalu apa yang dikatakan Kepala Bapeten?
"Anda tahu? bom di Bandung kemarin, kan menggunakan kaus lampu petromak, itu thorium, gampangnya nuklir,"
Pas baca itu, saya bengong beberapa lama. Speechless. Kemudian, saya mulai berpikir kalau orang-orang Bapeten cuma bikin masyarakat tambah takut pada nuklir alih-alih memberi pencerdasan berdasarkan argumen ilmiah yang bisa dipahami orang awam.
Kaos lampu petromaks. Thorium. Bom nuklir. Di mana korelasi ketiganya, sampai saya muter-muter otak, gak ketemu juga.
Betul, thorium bisa dibuat jadi senjata nuklir. Kalau thorium ditembak netron, unsur ini bakalan bertransmutasi jadi uranium-233. Unsur terakhir ini bisa dijadikan senjata nuklir yang baik... secara teoretis. Karena satu-satunya kesempatan uranium-233 diujiledakkan ketika era Manhattan Project, hasilnya tidak memuaskan. Yield ledakan dibawah harapan. Kemungkinan karena satu dan lain hal yang terlalu susah dijelaskan dalam bahasa manusia di postingan gak penting ini.
Cuma persoalannya... kaos lampu petromaks. Mmm... hmmm... butuh berapa milyar lembar kaos lampu biar bisa menghasilkan uranium-233 yang cukup untuk bikin satu senjata nuklir, yaitu 15 kg? Pertanyaan yang lebih penting adalah, dari mana mereka dapat sumber netron buat ditembakkan ke thorium-nya? Sumber netron paling baik ya reaktor nuklir riset. Di Indonesia cuma ada tiga, semua di Kompleks BATAN. Itupun butuh fluks netron sebesar 1E+14 setidaknya... ermmm... kira-kira... setahun?
Ya, ya, ya, gak mungkin juga so-called "teroris" itu bakalan mikir sejauh itu. Ngayal. Yang bisa bikin senjata nuklir dalam arti sebenarnya cuma negara, bukan kelompok. Apalagi kelompok "teroris" kelas kecebong, yang ngerti apa itu reaksi fisi berantai saja boro-boro. Ngapain juga dibahas sedetil ini? Kurang kerjaan banget.
Kalau yang dimaksud itu dirty bomb, alias bom biasa yang ditambahi material radioaktif yang bisa tersebar ketika diledakkan, well... kaos lampu petromaks.... thorium...
Waktu paruh thorium itu 14 milyar tahun. Aktivitas spesifiknya 0,00011 Ci/kg. Energi gamma-nya 1,3 keV. Di kaos lampu petromaks itu berapa miligram, ya, kandungan thorium-nya...
Eh, kalau saya mengantongi 1 kg thorium di saku celana sampai usia 70 tahun, saya gak akan kenapa-kenapa. Biasa saja. Paling-paling pegal dan jelas itu kelakuan kurang kerjaan.
Kemungkinan besar yang dimaksud oleh Kepala Bapeten itu memang soal dirty bomb, karena itu satu-satunya penjelasan logis. Tapi entah kenapa di beritanya malah nyambung ke uranium-233. Thorium memang radioaktif, tapi level radioaktivitasnya sangat rendah dan tidak penting untuk dipedulikan. Sangat rendah, sampai-sampai orang yang merokok saja terkena paparan radiasi jauh lebih tinggi, gegara polonium-210 yang terkandung di daun tembakaunya.
Radiasi thorium baru berarti kalau massanya mencapai... ummm... 1.000 ton? Barangkali 10 ribu ton. Dengan massa sebesar itu, orang seharusnya lebih khawatir mati tertimpa thorium ketimbang mati karena radiasinya.
Tapi lagi-lagi, apa esensi Kepala Bapeten ngomongi soal itu? Yang akhirnya malah ditafsirkan oleh jurnalis nir kualitas dengan "ancaman nuklir itu nyata"? Seperti saya bilang di awal, ini malah justru bikin masyarakat awam jadi makin takut pada nuklir dan radiasi level rendah alih-alih berpikir rasional. Dikait-kaitkan dengan uranium-233 buat senjata nuklir pula. Duh...
Tugas para nuclear engineer dan advokat nuklir malah jadi tambah berat. Masyarakat harus disadarkan dari delusi soal bahaya nuklir dan radiasi level rendah, tapi kok malah regulator nuklirnya yang bikin orang tambah takut? Komunikasi publiknya berantakan.
Thorium tidak bisa dan tidak akan pernah bisa disimpangkan menjadi dirty bomb, apalagi senjata nuklir. Untuk jadi dirty bomb, radioaktivitasnya terlalu rendah. Kaos lampu petromaks, mau ditelan sekalipun, orang harus lebih khawatir soal terpapar bakteri dan virus yang mungkin menempel di kaos itu ketimbang soal radiasinya. Kalau mau bikin dirty bomb, yang elit dikit lah... pakai Co-60, misalnya. Itu juga kalau gak mati duluan habis nyolong si Co-60, sih.
Kalau buat senjata nuklir dalam bentuk bom nuklir? Yah, selamat bermimpi indah. Mau sampai kiamat sekalipun, so-called "kelompok teroris" gak akan punya intelegensia dan sumber daya cukup untuk bisa bikin satu unit pun.
Karena itu, berita kemarin lumayan misleading dan incomprehensible. Alur berpikirnya membingungkan dan melebay-lebaykan risiko. Sampai para pakar nuklir UGM saja cuma tertawa pas baca berita itu.
Masyarakat gak usah lebay dan ketakutan menanggapi soal ini. Thorium itu gunanya buat dipakai di molten salt reactor, bahan bakar reaktor nuklir yang bisa menghasilkan listrik murah, bersih, selamat, reliabel dan sustainabel. Bukan buat senjata nuklir dalam artian dirty bomb. Gak ada gunanya. Malah menunjukkan bahwa so-called "kelompok teroris" itu orang-orangnya bego semua (yang mana, bukankah memang kasus "terorisme" di negeri ini selalu dilakukan orang-orang yang terlalu bego untuk jadi "teroris"?). Apalagi buat bom nuklir. Yey, ngimpi.
* Penulis adalah alumni prodi Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada, kebetulan minat risetnya di thorium, dan (kadang-kadang) memberi edukasi untuk meluruskan persepsi publik soal nuklir (yang lebih banyak keliru daripada benarnya), tapi malah dikacaukan lagi oleh regulator nuklir.
kaos lampu petromaks? like, seriously? |
Kemungkinan besar yang dimaksud oleh Kepala Bapeten itu memang soal dirty bomb, karena itu satu-satunya penjelasan logis. Tapi entah kenapa di beritanya malah nyambung ke uranium-233. Thorium memang radioaktif, tapi level radioaktivitasnya sangat rendah dan tidak penting untuk dipedulikan. Sangat rendah, sampai-sampai orang yang merokok saja terkena paparan radiasi jauh lebih tinggi, gegara polonium-210 yang terkandung di daun tembakaunya.
Radiasi thorium baru berarti kalau massanya mencapai... ummm... 1.000 ton? Barangkali 10 ribu ton. Dengan massa sebesar itu, orang seharusnya lebih khawatir mati tertimpa thorium ketimbang mati karena radiasinya.
Tapi lagi-lagi, apa esensi Kepala Bapeten ngomongi soal itu? Yang akhirnya malah ditafsirkan oleh jurnalis nir kualitas dengan "ancaman nuklir itu nyata"? Seperti saya bilang di awal, ini malah justru bikin masyarakat awam jadi makin takut pada nuklir dan radiasi level rendah alih-alih berpikir rasional. Dikait-kaitkan dengan uranium-233 buat senjata nuklir pula. Duh...
Tugas para nuclear engineer dan advokat nuklir malah jadi tambah berat. Masyarakat harus disadarkan dari delusi soal bahaya nuklir dan radiasi level rendah, tapi kok malah regulator nuklirnya yang bikin orang tambah takut? Komunikasi publiknya berantakan.
Thorium tidak bisa dan tidak akan pernah bisa disimpangkan menjadi dirty bomb, apalagi senjata nuklir. Untuk jadi dirty bomb, radioaktivitasnya terlalu rendah. Kaos lampu petromaks, mau ditelan sekalipun, orang harus lebih khawatir soal terpapar bakteri dan virus yang mungkin menempel di kaos itu ketimbang soal radiasinya. Kalau mau bikin dirty bomb, yang elit dikit lah... pakai Co-60, misalnya. Itu juga kalau gak mati duluan habis nyolong si Co-60, sih.
Kalau buat senjata nuklir dalam bentuk bom nuklir? Yah, selamat bermimpi indah. Mau sampai kiamat sekalipun, so-called "kelompok teroris" gak akan punya intelegensia dan sumber daya cukup untuk bisa bikin satu unit pun.
Karena itu, berita kemarin lumayan misleading dan incomprehensible. Alur berpikirnya membingungkan dan melebay-lebaykan risiko. Sampai para pakar nuklir UGM saja cuma tertawa pas baca berita itu.
Masyarakat gak usah lebay dan ketakutan menanggapi soal ini. Thorium itu gunanya buat dipakai di molten salt reactor, bahan bakar reaktor nuklir yang bisa menghasilkan listrik murah, bersih, selamat, reliabel dan sustainabel. Bukan buat senjata nuklir dalam artian dirty bomb. Gak ada gunanya. Malah menunjukkan bahwa so-called "kelompok teroris" itu orang-orangnya bego semua (yang mana, bukankah memang kasus "terorisme" di negeri ini selalu dilakukan orang-orang yang terlalu bego untuk jadi "teroris"?). Apalagi buat bom nuklir. Yey, ngimpi.
* Penulis adalah alumni prodi Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada, kebetulan minat risetnya di thorium, dan (kadang-kadang) memberi edukasi untuk meluruskan persepsi publik soal nuklir (yang lebih banyak keliru daripada benarnya), tapi malah dikacaukan lagi oleh regulator nuklir.
0 komentar:
Posting Komentar