Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. *)
Persepsi publik terkait nuklir lebih banyak yang ngaco ketimbang lurus. Masyarakat lebih mengetahui hal-hal ‘mengerikan’ terkait nuklir alih-alih potensi manfaatnya yang luar biasa. Apa yang ada di benak masyarakat dengan realita sains dan teknologi nuklir yang sebenarnya masih terdapat jurang yang sangat lebar. Dan ini bukan hal yang patut dipelihara.
Kekeliruan pemahaman ini banyak terjadi pada aspek radiasi. Publik banyak mengira bahwa radiasi itu sesuatu yang berbahaya dan mengerikan. Padahal tiap hari manusia dihujani oleh radiasi dari bumi dan langit… secara harfiah. Tanah mengandung uranium dan thorium dalam konsentrasi kecil, keduanya memancarkan radiasi gamma, termasuk dari isotop hasil luruhnya. Manusia juga menerima radiasi kosmik yang berasal dari luar angkasa. Radiasi adalah bagian alami dari kehidupan.
Tapi Kepala Bapeten malah makin menambah kacau perspektif soal radiasi nuklir.
Akhir September kemarin, Kepala Bapeten, Jazi Eko Istiyanto, mengatakan bahwa “kelompok teroris” yang diringkus di Bandung berniat menggunakan “senjata nuklir” dengan menyebut-nyebut thorium. Oleh jurnalis yang minim pemahaman terkait nuklir, pernyataan ini ditafsirkan sebagai senjata nuklir dalam arti sebenarnya, yakni bom nuklir. Padahal yang mungkin dibuat dengan thorium itu, seandainya “kelompok teroris” itu mengerti, hanya sejenis dirty bomb.
Pernyataan terkait “kelompok teroris” dan thorium itu menuai banyak respon di media sosial. Sebagian diantaranya mengejek dan meremehkan soal kemampuan “kelompok teroris” untuk membuat senjata nuklir. Namun, yang dipahami warganet itu justru senjata nuklir dalam artian bom nuklir. Artinya, jurang pemahaman itu nyata adanya.
Sekarang, Kepala Bapeten kembali memperkeruh persoalan. Berita yang dimuat di beberapa media daring, Kepala Bapeten mewanti-wanti pemerintah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman serangan teror yang menggunakan senjata berbahan baku nuklir. Apa unsur yang kemudian dibahas? Thorium lagi.
Tidak berhenti sampai di situ, Kepala Bapeten juga mengatakan bahwa keperluan radiation portal monitor (RPM) sangat mendesak. Demikian pula, infrastruktur keamanan nasional secara umum dinyatakan agar perlu dibangun, antara lain dengan peraturan perundang-undangan dan koordinasi dan kerjasama antar institusi pemerintah terkait. Sampai-sampai Presiden Jokowi dikatakan telah meminta agar ada pemasangan RPM di pintu-pintu masuk ke Indonesia.
Jadi, masalah sebenarnya dari pernyataan Kepala Bapeten ini apa? Setidaknya ada dua. Pertama, ketiadaan risk-based assessment. Kedua, politics of unreasonable fear.
Persoalan pertama, dorongan untuk memperkuat keamanan nuklir ini tidak dilandasi penilaian terhadap risiko dengan komplit. Sebuah kekhawatiran seharusnya dilandasi risk-based assessment yang mendukung. Apalagi menilai sesuatu sebagai ancaman. Risiko bukan elemen yang berdiri sendiri. Risiko adalah dampak*probabilitas. Suatu hal yang memiliki dampak besar tetapi probabilitas sangat kecil, maka risikonya juga kecil. Sebaliknya, suatu hal yang memiliki probabilitas tinggi tetapi dampaknya minimal, risikonya juga kecil.
Kecelakaan sepeda motor mungkin probabilitasnya besar terjadi, tetapi dampaknya minim. Sehingga, risikonya kecil. Kecelakaan pesawat terbang memiliki konsekuensi sangat besar, tapi peluangnya kecil sekali. Sehingga risikonya juga boleh dibilang kecil.
Seberapa besar risiko dari “kelompok teroris” menggunakan senjata nuklir, dalam hal ini dirty bomb?
Coba ditinjau dari segi dampak. Sejak awal, Kepala Bapeten menyinggung soal thorium. Apakah thorium memiliki dampak yang berbahaya ketika dijadikan dirty bomb? Jawabannya adalah tidak sama sekali. Thorium merupakan unsur radioaktif dengan waktu paruh 14 milyar tahun. Lebih panjang daripada usia bumi. Prinsipnya, semakin panjang waktu paruh sebuah unsur, semakin rendah radioaktivitasnya.
Karena waktu paruh yang sangat panjang ini, thorium memiliki radioaktivitas yang sangat rendah. Saking rendahnya, jika seseorang membawa lima kilogram logam thorium di tas punggung dan membawanya selama 60 tahun ke depan tanpa pernah dilepas, tidak akan terjadi apa-apa pada si pembawa. Kecuali kebungkukan yang lebih cepat terjadi karena membawa beban berat di punggung tanpa henti.
Thorium sendiri logam dengan densitas tinggi, mencapai 11,7 g/cm3. Seandainya ada material eksplosif yang cukup kuat untuk meledakkan, katakanlah, satu kilogram thorium, maka orang-orang di sekitar ledakan harus lebih khawatir soal dampak ledakan eksplosifnya ketimbang dampak radiasi yang ditimbulkan.
Thorium terkandung dalam pasir monasit yang banyak diambil timahnya. Terak timah masih mengandung kontaminasi thorium. Seandainya terak timah ini diledakkan dengan tujuan dirty bomb, orang-orang pun mesti lebih khawatir dampak pecahan terak yang sangat keras dan mampu memberikan kerusakan fisik nyata.
Mantel lampu petromaks mengandung thorium dalam jumlah sangat kecil, hanya sekian miligram tiap mantel. Sekalipun ada orang yang nekat menelannya, dia harusnya lebih khawatir soal kontaminasi patogen di mantel petromaks itu ketimbang radiasinya.
Dari sini, apa yang bisa ditarik?
Konsekuensi dari penggunaan thorium sebagai dirty bomb sangat kecil. Tidak patut diperhatikan, tidak patut dijadikan sebagai alat menakut-nakuti. Thorium, uranium, unsur-unsur seperti ini tidak akan pernah membahayakan manusia selama tidak ditelan.
Bagaimana kalau yang digunakan ternyata unsur lain? Berarti kita bicara soal probabilitas. Pertanyaannya, sudahkah diukur probabilitas so-called “kelompok teroris” mendapatkan material lain untuk keperluan dirty bomb?
Here’s a simple clue. Don’t give them idea.
Tentu saja ada beberapa unsur radioaktif lain yang bisa digunakan untuk dirty bomb... secara teoretis. Namun, material nuklir seperti itu bukan benda yang mudah didapatkan. Peredarannya diatur dan diawasi dengan ketat... oleh Bapeten sendiri.
Unsur sintetis dengan radioaktivitas tinggi barangkali memiliki konsekuensi yang lebih besar daripada thorium... sedikit. Namun, mendapatkannya sulit. Kalaupun bisa didapatkan, misalnya dengan mencuri, handling-nya lebih sulit lagi. “Kelompok teroris” tidak memiliki pemahaman fisika atom memadai untuk mengetahui urgensitas penggunaan perisai radiasi pada isotop dengan radioaktivitas tinggi. Handling isotop radioaktivitas tinggi tanpa perisai radiasi memadai cukup untuk membuat para pencuri itu menemui malaikat maut sebelum sempat dirakit dalam dirty bomb.
Berdasarkan kejadian yang sudah-sudah, penulis kok yakin kalau so-called “kelompok teroris” itu tidak pintar-pintar amat. Apalagi untuk handling material nuklir.
Sehingga, secara probabilitas pun sebenarnya sangat rendah. Mungkin akan lebih rendah lagi jika Kepala Bapeten tidak menggembargemborkan so-called “ancaman nuklir” di media.
Dengan demikian, apakah pernyataan-pernyataan Kepala Bapeten tersebut dilandaskan pada risk-based assessment yang komplit? Apalagi sampai mengatakan pemasangan RPM itu urgen? Kelihatannya tidak.
Persoalan kedua, dengan pernyataan-pernyataan tersebut, sesungguhnya Kepala Bapeten sedang mengambil posisi yang sama dengan kalangan anti-nuklir. Permainan yang digunakan sama, yakni politics of unreasonable fear. Dalam konteks ini, unreasonable fear yang dilemparkan adalah terkait radiasi nuklir.
Manusia itu pada dasarnya lebih gampang ditakut-takuti daripada dimotivasi dengan benefit. Apalagi terhadap sesuatu yang tidak mereka ketahui. Fear of the unknown. Bukan tanpa alasan takhayul soal jin dan setan masih marak di negeri ini. Tidak lain karena manusia memang gampang dibuat takut oleh sesuatu yang tidak mereka ketahui.
Bagi sebagian besar orang, radiasi adalah sesuatu yang menakutkan. Pasalnya, radiasi nuklir (diduga) dapat menyebabkan kerusakan tanpa bisa mereka rasakan gejalanya. Ketakutan ini diperparah di era Perang Dingin, sehingga menambah paranoia publik. Padahal, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, radiasi itu bagian dari kehidupan.
Tetapi, entah disengaja atau tidak, Kepala Bapeten malah menjadikan radiasi nuklir sebagai alat untuk menakut-nakuti. Secara tidak rasional pula. Alih-alih mencerdaskan, Kepala Bapeten malah menebarkan ketakutan yang tidak perlu.
Politics of unreasonable fear selalu memiliki tujuan. Bagi kalangan anti nuklir, tujuannya adalah agar masyarakat menolak penggunaan teknologi nuklir untuk kesejahteraan umat. Lalu apa tujuan Kepala Bapeten dengan pernyataan ini?
Di awal, saya sudah menyebutkan soal RPM. Apai tu RPM? Singkatnya adalah fasilitas deteksi radiasi berupa portal yang mampu mendeteksi kontaminasi unsur radioaktif melalui pembacaan radiasi yang terpancar dari tubuh manusia atau benda-benda yang melewati portal tersebut. Sebagaimana perangkat nuklir pada umumnya, RPM bukan barang murah. Tiap unit bisa menelan biaya hingga ratusan ribu US Dollar.
Dengan harga RPM yang luar biasa mahal itu, bisa dibayangkan berapa banyak anggaran yang dibutuhkan untuk memasangnya di tiap-tiap pintu masuk menuju Indonesia. Kalau dikhawatirkan adanya penyelundupan material radioaktif ke dalam negeri untuk dijadikan dirty bomb, maka pada dasarnya urgensitas seperti itu tidak ada. Kalau tidak ada urgensitas, lantas untuk apa pengadaan RPM itu?
Dalam UU No. 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Pada Pasal 15, Badan Pengawas memiliki tugas untuk menjaga ketenteraman masyarakat. Dengan pernyataan-pernyataannya di media, Kepala Bapeten justru menebarkan keresahan tidak perlu di tengah masyarakat alih-alih memberi ketenteraman. Jelas saja pernyataan-pernyataan tersebut bertentangan dengan tugas Badan Pengawas sendiri. Lebih buruk lagi kalau pernyataan yang menimbulkan keresahan itu justru dijadikan alat untuk mengada-adakan kepentingan yang hanya dongeng belaka. Padahal mereka tidak dibayar untuk itu.
Politics of unreasonable fear adalah politik ala era Perang Dingin. Sudah kadaluarsa. Yang seharusnya dilakukan Badan Pengawas adalah memberi edukasi tentang nuklir secara akurat. Berdasarkan sains, bukan poltiik. Karena radiasi nuklir bukan untuk ditakuti, apalagi dijadikan alat menakut-nakuti, tetapi untuk dipahami. Pemahaman lah yang mampu mengoptimalkan peran nuklir untuk kesejahteraan, bukan ketakutan irasional. Edukasi ilmiah jauh lebih mudah dan murah dilakukan serta lebih efektif daripada membuat proyek pemasangan RPM di ratusan titik.
Para nuclear engineer, khususnya dari kalangan muda, banyak berusaha untuk menyadarkan masyarakat dengan edukasi ilmiah. Mereka menjelaskan hakikat sebenarnya dari radiasi. Bahwa radiasi dalam level rendah sama sekali tidak perlu ditakuti. Bahwa ketakutan terhadap radiasi nuklir adalah irasional, tidak memiliki landasan ilmiah sama sekali. Jangan malah pihak yang bertugas menjadi regulator malah merusak usaha tersebut dengan membuat pernyataan meresahkan yang sangat berbau politik dan tidak memiliki landasan ilmiah.
Sudah cukup regulasi nuklir yang tidak dibangun dari sains. Tidak perlu menabur lebih banyak garam di atas luka dengan dongeng-dongeng soal ancaman radiasi.
*) Nuclear engineer dengan minat riset thorium, (kadang-kadang) mengedukasi masyarakat soal nuklir, tapi malah dikacaukan lagi oleh regulator nuklir nasional
0 komentar:
Posting Komentar