Senin, 06 November 2017

Ceramah Anestetik

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto

Normalnya, manusia memang senang dengan suasana sejuk. Apalagi di negara-negara tropis dan gurun. Udara yang adem itu rasanya sangat nyaman, setidaknya dibandingkan terik panas matahari di tengah hari bulan Juni. Udara panas itu bikin tubuh terasa sama sekali tidak nyaman dan bawaannya bikin emosi.

Perilaku ini tampaknya menular juga ke persoalan ceramah keagamaan. Kalau urusan ceramah, banyak orang yang lebih senang ceramah yang menyejukkan, menenteramkan. Tidak terlalu banyak yang senang dengan ceramah-ceramah yang, menurut istilah penikmat ‘ceramah menyejukkan’, bersifat ‘provokatif’, ‘tidak menyejukkan’ dan sebangsanya. Belakangan ini, ketidaksenangan itu diejawantahkan dalam bentuk yang lebih buruk daripada pernyataan biasa: persekusi.

Saya tidak tahu apakah pernyataan soal penolakan Ust. Bachtiar Nasir di Garut itu benar adanya atau tidak. Yang menjadi persoalan, ini bukan pertama kalinya ormas nganu melakukan persekusi terhadap asatidz dari kelompok lain. Walau bungkusnya macam-macam, tapi konten alasannya relatif sama, yaitu dianggap ‘tidak menyejukkan’.

Kenapa kok dianggap ‘tidak menyejukkan’? Karena para asatidz yang dicekal dan dipersekusi itu mengungkapkan fakta-fakta masalah umat Islam saat ini. Karena mereka menginginkan umat sadar akan masalah yang ada dan bangkit mengatasinya. Ini yang dianggap ‘tidak menyejukkan’. Para kyai dan asatidz ormas nganu, termasuk barisan pemudanya yang rada-rada bengkok itu, maunya ceramah itu yang ‘menyejukkan’ saja. Yang adem-adem, tidak usah bikin panas, katanya.

Ya, ceramah yang menyejukkan itu barangkali memang tidak membuat telinga panas. Tema-tema seperti shalat, puasa, akhlak, serta macam-macam ibadah nafilah lainnya memang bikin adem telinga sampai seringkali orang tidur pas pengajiannya. Persoalannya? Ceramah-ceramah seperti itu sifatnya anestetik.

Apa maksudnya?

Ceramah-ceramah yang selalu berkutat pada akhlak dan ibadah mahdhah seperti yang sering diadakan oleh kalangan yang berafiliasi ke ormas nganu itu sifatnya anestetik. Dengan kata lain, melenakan. Barangkali bisa memberi efek tenang dan adem, tapi tidak menyelesaikan masalah umat secara global.

Begini. Umat Islam sekarang dalam kondisi sakit. Umat ini berada dalam titik nadir peradaban. Wahn merajalela di sana-sini, sebagaimana diperingatkan oleh Rasulullah ﷺ. Kaum muslimin jadi rebutan orang-orang kafir dari segala penjuru. Sumber daya alam dijarah. Sumber daya manusia dihancurkan potensinya. Akidah Islam diobok-obok oleh liberalis dan misionaris. Syariat Islam dikriminalisasi oleh negara imperialis. Dan semua ini fakta.

Umat Islam sedang sakit dan perlu diobati. Tapi banyak yang tidak sadar kalau mereka sedang sakit. Jadi, umat Islam perlu disadarkan bahwa mereka sakit dan supaya mereka meminum obat untuk menyembuhkan sakit itu. Sayangnya, sebagian orang tidak mau meminum obat itu, dan memilih untuk menerima injeksi anestetik.

Yang namanya anestetik itu sama sekali tidak ditujukan untuk menyembuhkan orang dari penyakit. Anestetik hanya untuk mencegah rasa sakit dirasakan oleh sistem saraf. Penyakitnya masih ada dan menyerang tubuh, hanya saja otak tidak bisa memroses rasa sakit itu karena transmisi sinyal melalui saraf dihambat. Untuk sementara waktu, barangkali anestetik akan mencegah penggunanya dari rasa sakit. Namun, karena tidak bisa merasakan sakit itu, penyakitnya malah bisa tambah parah, komplikasi dan pada akhirnya membahayakan nyawa orang tersebut.

Ceramah-ceramah yang ‘menyejukkan’ sifatnya sama dengan anestesi. Barangkali membuat umat lupa dari masalah yang mendera mereka. Tapi kalau perlakuannya dibatasi hanya dengan ceramah anestesi saja, umat tidak akan sadar dari masalah besar yang siap menghancurkan kaum muslimin. Kelak, yang kena dampak bukan cuma satu-dua kelompok saja, melainkan seluruh kaum muslimin.

Untuk mengobati umat Islam, yang dibutuhkan bukanlah anestesi, tetapi obat. Barangkali obat ini rasanya tidak enak dan memiliki adverse effect berupa meningkatnya rasa sakit, tapi itu hanya efek sementara saja. Dalam jangka (tidak terlalu) panjang, penyakit yang diderita umat dapat sembuh.

Bagaimana bentuk obat itu? Ceramah-ceramah yang menurut ormas nganu ‘tidak menyejukkan’. Ceramah-ceramah yang memberitahu umat akan masalah-masalah yang diderita kaum muslimin. Ceramah-ceramah yang menggugah kesadaran umat untuk bangkit dengan dan hanya dengan Islam. Ceramah-ceramah yang membuat panas, geram, marah.

Salahkah model ceramah seperti itu?

Dalam perjalanan dakwahnya, Rasulullah ﷺ tidak memfokuskan diri pada hal-hal yang ‘menyejukkan’ saja. Beliau melihat bahwa tatanan masyarakat Makkah dan jazirah Arab secara umum penuh dengan masalah. Beliau tidak menyampaikan hal-hal yang berbau anestesi, tetapi menawarkan obat. Seandainya Rasulullah ﷺ hanya memberikan anestesi saja, untuk apa Bani Abu Jahal repot-repot menentang dan memusuhi dakwah beliau? Toh itu tidak mengganggu tatanan kehidupan Makkah yang sedang berlangsung.

Nyatanya, Rasulullah ﷺ tahu bahwa masyarakat Makkah sedang rusak. Beliau mencela praktik-praktik penyembahan berhala penduduk Makkah. Beliau mencela kecurangan di pasar-pasar. Beliau menyerang praktik riba di kalangan masyarakat. Semua itu tidak ada yang ‘menyejukkan’. Menurut istilah ormas nganu, yang dilakukan Rasulullah ﷺ adalah ‘provokasi’. Dan semua itu beliau lakukan bukan karena hawa nafsu beliau, melainkan atas petunjuk dari Tuhan yang mengutusnya, Allah SWT.

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an/As Sunnah) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
(QS An Najm: 3-4)


Betul, Rasulullah ﷺ mengajarkan kesabaran. Beliau mengajarkan ibadah-ibadah mahdhah dan memiliki akhlak mulia. Tapi dakwah beliau tidak hanya pada hal-hal anestesik demikian belaka. Rasulullah ﷺ dan para shahabat mendakwahkan Islam sebagai sebuah tatanan kehidupan utuh, yang notabene mendobrak tradisi-tradisi yang berlaku di kalangan Arab jahiliyyah kala itu. Dakwah Islam sebagai tatanan kehidupan utuh berperan sebagai obat yang menyembuhkan manusia dari penyakit-penyakit kemanusiaan yang mereka derita.

Demi proses penyembuhan itu, Rasulullah ﷺ menerima berbagai perlakuan menyakitkan. Diboikot oleh kabilah-kabilah di Makkah. Diusir dari Thaif. Ditolak berbagai kabilah di jazirah Arab. Demikian pula para shahabat Rasul, mereka mendapat perlakuan mengerikan dari orang-orang Arab kafir.

Tapi itu tidak berlangsung selamanya. Pada akhirnya, suku Aus dan Khazraj di Yatsrib bersedia menjadi penolong bagi Rasulullah ﷺ. Saat itulah obat yang dibawa Rasul menunjukkan khasiatnya. Masyarakat Arab dan sekitarnya disembuhkan dari penyakit kemanusiaan. Obat ini kemudian dibawakan oleh para Khalifah beliau hingga akhirnya mencapai separuh dunia kala itu.

Seandainya dakwah Rasulullah ﷺ hanya berkutat pada dakwah anestetik saja, sudah barang tentu Islam tidak akan sampai ke Nusantara.

Kembali ke linimasa abad 21. Jadi, apa ada yang salah dengan ceramah yang ‘tidak menyejukkan’?

Jawabannya, tergantung. Bagi yang pemikirannya lurus, tentu tidak ada masalah. Kalau orang sadar dia sakit dan perlu minum obat supaya sembuh, sekalipun obatnya pahit dan memberi efek samping temporer yang tidak menyenangkan, pasti dia telan juga. Yang penting sembuh. Namun, bagi yang pemikirannya sudah terkooptasi dengan hal-hal duniawi (baca: terkena penyakit wahn), ceramah ‘tidak menyejukkan’ ini tentu saja mengganggu mereka. Sudah nyaman-nyaman dengan anestesi yang diinjeksikan terus menerus, kok tiba-tiba ada yang ‘mengganggu’ dengan menawarkan obat yang pahit dan punya efek samping tidak mengenakkan.

Diganggu dari zona nyaman memang tidak mengenakkan. Sama seperti kaum kafir Makkah yang merasa zona nyamannya terganggu oleh dakwah Rasulullah ﷺ.

Yang lebih jadi persoalan adalah ketika para penikmat anestesi kemudian mencekal hingga mempersekusi para da’I dan ulama yang menawarkan obat. Ide tidak dilawan dengan ide. Pemikiran tidak dilawan dengan pemikiran. Yang ada, otak dilawan dengan otot.

Tindakan irasional seperti itu merupakan tanda-tanda kecanduan anestesi. Kecanduan yang menyebabkan tindakan yang diambil pun tidak masuk akal. Karena ini bukan lagi soal perbedaan pendapat, tapi perbedaan pendapatan.

Ceramah anestesi dalam bentuknya sendiri bukan sebuah masalah. Akan menjadi masalah ketika kemudian ceramah yang dibolehkan dibatasi hanya pada ceramah anestesi saja. Sementara, ceramah-ceramah obat justru ditolak mati-matian. Kalau seperti itu ceritanya, insya Allah, sampai kiamat pun umat Islam akan selalu menjadi umat yang bodoh dan terbelakang.

Penghilang rasa sakit mungkin akan memberi rasa nyaman. Tapi kesembuhan selalu berasal dari obat yang pahit. Itupun seandainya mau rendah hati mengakui kalau sedang sakit.

0 komentar:

Posting Komentar