Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (peneliti teknologi keselamatan reaktor)
Persoalan perubahan iklim dan ketahanan energi mau tidak mau membuat saya ikut ke dalam kereta “revolusi energi”. Meningkatnya kadar gas rumah kaca (GRK) di atmosfer dapat mengancam planet ini dalam beberapa dekade ke depan. Sementara, resource depletion dapat mengancam ketahanan energi ke depannya, khususnya mengingat semakin tingginya kebutuhan energi seiring dengan perkembangan penduduk dan teknologi.
Artinya, energi fosil harus segera ditinggalkan.
Lantas, energi fosil harus diganti dengan apa?
Disinilah kereta “revolusi energi” terpisah dalam beberapa jalur. Ada yang mengambil jalur “energi terbarukan”. Ada yang mengambil jalur energi nuklir. Ada yang mengambil jalur “energy mix”. Semua dengan argumen masing-masing.
Saya masuk di kereta kedua.
Dulu, dulu sekali, saya masih menganggap bahwa energi nuklir dan “energi terbarukan” bisa berjalan komplementer. Saling melengkapi satu sama lain. Bahwa kita butuh kombinasi semuanya untuk melawan perubahan iklim dan menjamin ketahanan energi.
Sekarang tidak lagi. Saya cuma mendukung nuklir. Atau, seperti yang disebutkan salah seorang teman facebook, “nuklir sentris”.
Kok ekstrem sekali?
Tidak juga. Nuklirsentrisme bukan bentuk ekstremitas. Nuklirsentrisme adalah konsekuensi logis dari matematika, hukum fisika dan rekayasa teknik.
And before people misinterpret, don’t get me wrong, I’m not anti-renewables. I simply don’t think it could works.
Kenapa bisa bilang begitu?
Karena nuklir memang satu-satunya moda energi yang bisa diharapkan.
Secara matematis, potensi “energi terbarukan” itu tidak benar-benar melimpah. As much as I like hydropower and geothermal, keduanya sangat tergantung limitasi alam. Indonesia memiliki potensi 75 GWe energi hidro dan 28 GWe energi panas bumi. Tapi kebutuhan energi di tahun 2050 sampai 430 GWe. Keduanya tidak bisa diekspansi lebih jauh lagi. Bahkan seluruh potensi itupun belum tentu bisa dipakai semuanya.
Energi bayu diproyeksikan kecil sekali, kurang dari 10 GWe. Sementara panel surya katanya mampu membangkitkan 4,8 kWh/m2-hari, rerata. Jangan kira ini impresif. Kebutuhan lahan dan material mentahnya besar sekali dengan densitas energi cuma segitu.
Nuklir tidak memiliki masalah seperti itu. Secara praktis, nuklir bisa dibangun di mana saja tanpa terkendala limitasi alam. Gempa pun tidak jadi soal, karena struktur bisa diperkuat, atau pakai saja teknologi reaktor yang sangat resisten gempa. The options are there. Secara praktis, nuklir bisa diekspansi hingga kapasitas daya sebesar apapun.
Pada titik dimana matematika mencegah energi hidro dan panas bumi memenuhi kebutuhan energi, nuklir bisa mengisi sisanya tanpa limitasi alam.
Secara fisika, energi bayu dan surya bersifat intermiten. Putus-putus. Tidak kontinu. Ini sudah sifat alamiah yang tidak bisa diotak-atik. Energi surya hanya bisa bekerja kalau ada sinar matahari. Padahal matahari tidak bersinar 24 jam. Paling optimal maksimal sekitar 5-6 jam, tidak bisa lebih dari itu. Malam hari mana ada sinar matahari? Padahal malam juga masih pakai listrik.
Dan hujan. Jangan lupa hujan.
Angin tidak berembus tiap saat. Kadang-kadang kencang, lalu tetiba berhenti. Stabilitas dayanya kurang baik bahkan dibanding energi surya sekalipun. Di hari yang tenang, tanpa embusan angin, mau dapat listrik dari mana? Inggris pernah mengalami 9 hari tanpa embusan angin sama sekali, sehingga PLTB mereka tidak bekerja. Masih mending kalau di musim panas. Gimana kalau di musim dingin, yang mana mereka butuh suplai listrik jauh lebih besar untuk mencegah mereka mati hipotermia?
Padahal angin jarang berembus di musim dingin.
Kalau kata teman kantor saya, “Mampuso.”
Mengandalkan pilihan energi pada energi bayu dan surya jelas bukan pilihan bijak. Kecuali kalau merasa tidak masalah dengan listrik terputus-putus, yang mana merupakan hal mustahil di era haus listrik seperti sekarang.
Energi panas bumi tidak begitu terkendala hukum Fisika, kecuali bahwa penyedotan panasnya tidak bisa diporsir melebihi potensinya. Nanti malah lebih cepat kehabisan uap panas. Apart from that, panas bumi bisa berfungsi oke-oke saja. Energi hidro tergantung ketersediaan air di reservoar atau aliran sungai, jadi ketika kemarau panjang, barangkali agak kurang bisa diharapkan. Tapi masih jauh lebih mending, lah, ketimbang energi bayu dan surya.
Anyway, nuklir itu pembangkit termal. Prinsip kerjanya mirip dengan pembangkit tenaga batubara dan gas alam. Jadi tidak terkendala siang-malam, hujan-cerah, berangin-tenang, bahkan badai pun bukan masalah. PLTN-PLTN di Amerika Serikat masih bekerja dengan baik walau diterjang topan Katrina tahun 2017 lalu.
Listrik dari nuklir selalu tersedia kapan saja, di mana saja.
Secara engineering, mengintegrasikan energi bayu dan surya dalam jumlah besar ke dalam jaringan listrik bukan perkara mudah. Ini kalau bicara soal energi bayu dan surya, kalau panas bumi dan hidro tidak ada masalah. Kenapa energi bayu dan surya kesulitannya beda? Karena sekali lagi sifatnya yang intermiten.
Hukum asal suplai listrik adalah jumlah listrik yang diproduksi harus sama dengan yang dikonsumsi. Kalau pakai pembangkit termal, mudah saja mengatur naik turunnya daya. Tapi kalau pembangkit intermiten? Mana bisa. Mengendalikan kapan mereka bisa membangkitkan listrik saja tidak bisa, kok.
Ketika energi bayu dan surya menyebabkan produksi listrik berlebih, dan biasanya kurvanya tajam, maka pembangkit lain harus menurunkan dayanya secara drastis kalau tidak mau jaringan listrik jebol. Masalahnya? Ya itu, kurvanya tajam. Pembangkit termal harus menurunkan daya dengan sangat cepat. Padahal itu bisa mengakibatkan stress pada komponen pembangkit, yang berpotensi mengganggu keselamatan operasi dan usia pakai komponen.
Belum lagi perlunya menambah kabel-kabel untuk menyambungkan pembangkit dengan jaringan listrik utama. Energi bayu dan surya biasanya terletak jauh dari wilayah permintaan listrik, khususnya bayu. Infrastruktur jaringan listrik yang dibutuhkan sangat besar, sulit dan mahal. Belum lagi melindungi jaringan listrik dari power spiking akibat naiknya produksi listrik secara mendadak akibat pengaruh cuaca. Makin pusing lagi saja.
Cobalah tanya operator jaringan listrik di luar sana. Mereka lebih senang kalau energi bayu dan surya dikurangi baurannya dari jaringan listrik, bukan ditambah. Kenapa? Karena keduanya cuma bikin operasi jaringan lebih susah!
Nuklir itu pembangkit termal. Operasinya kontinu. Fungsi utamanya untuk beban dasar, walau dengan sedikit modifikasi bisa juga jadi pemikul beban susulan. Tidak ada yang namanya power spiking. Beberapa jenis reaktor maju malah berpotensi mampu digunakan untuk beban puncak juga, bukan cuma beban dasar.
Mengendalikan pasokan listrik dari energi nuklir jauh lebih mudah dari energi bayu dan surya.
PLTN biasa diletakkan di dekat badan air besar, karena namanya juga pembangkit termal. Bisa di dekat laut maupun danau besar. Mengingat sebagian besar penduduk bumi tinggal tidak terlalu jauh dari pantai atau badan air besar, PLTN bisa diletakkan tidak jauh dari lokasi permintaan listrik. teknologi reaktor maju memiliki efisiensi termal lebih tinggi dari teknologi reaktor kontemporer serta mampu menggunakan turbin gas alih-alih turbin uap, sehingga kebutuhan air pun bisa dikurangi lebih jauh lagi. PLTN bisa ditempatkan lebih dekat lagi dengan lokasi permintaan listrik.
Imbasnya jelas. Integrasi nuklir ke jaringan listrik tidak akan menemui masalah berarti.
Dari penjabaran di atas, jelas kan kenapa nuklirsentrisme adalah pilihan yang rasional?
Retorika-retorika politis dan feel-good movement tidak akan membantu menyelamatkan bumi ini dari bencana iklim. Slogan “energi terbarukan” tidak akan pernah bisa menjadi alternatif yang layak. Matematika, Fisika dan rekayasa teknik menjadi ganjalan yang kemungkinannya bisa diselelsaikan itu next to impossible. Sementara, slogan “energy mix” tidak lebih dari ujaran politis bagi mereka yang tidak cukup berani mengambil risiko terhadap jabatan dan popularitasanya untuk mendukung nuklir (hal yang diakui mendiang Prof. David MacKay sebelum kematiannya). Mengingat, energi nuklir tidak butuh “energi terbarukan”.
Satu-satunya alasan kenapa “energi terbarukan” dalam bentuk energi hidro dan panas bumi masih digunakan adalah karena di daerah tersebut tersedia potensinya. Sementara, alasan-alasan yang dilontarkan untuk mendukung ekspansi energi bayu dan surya besar-besaran tidak lebih dari delusi pemuja “energi terbarukan” saja (misalnya Prof. Mark Jacobson).
Nuklirsentrisme boleh jadi kelihatan sebagai ide yang ekstrem bagi sebagian besar orang. Radikal. Intoleran. Anti kebhinnekaan. Begitu mungkin bahasa politis busuknya sekarang. Tapi begitu pula para pejuang kemerdekaan negeri ini. Tanpa adanya ide-ide radikal dan ekstrem dari para pejuang dan pahlawan kemerdekaan, yang sekarang distigmatisasi sangat negatif, kemungkinan besar negeri ini tidak akan pernah merdeka. Sama saja, tanpa pemikiran radikal soal nuklirsentrisme, besar kemungkinan bumi ini tidak akan selamat dari bencana iklim dan krisis ketahanan energi
0 komentar:
Posting Komentar