Senin, 27 Agustus 2018

Mengubah Persepsi Keselamatan Masyarakat


Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (nuclear engineer, sudah kenyang makan pertanyaan soal keselamatan reaktor nuklir)

Masalah yang muncul dalam penerimaan atau penolakan sebuah produk saintek itu mayoritas bukan soal tingkat keselamatan produk itu sendiri, tapi soal cara berpikir masyarakat tentang keselamatan sebuah produk saintek. Kenapa? Masyarakat umum/awam biasanya meminta sebuah produk saintek itu 100% selamat, tidak ada risiko sama sekali.

Apa itu mungkin? Absolutely impossible. Semua hal di dunia ini memiliki risiko, dan kemungkinan besar satu atau lebih dari deretan risiko tersebut dapat terwujud. Orang bernapas saja berisiko kematian, misalnya ketika bernapas di dekat jalan raya. Begitu pula naik kendaraan bermotor, makan di McDonald, menelepon pakai ponsel, membakar api unggun, sampai membangun PLTN. Semua memiliki risiko.

Maka pertanyaannya bukan “apakah produk saintek ini bebas risiko?”, melainkan “seberapa besar risiko yang dapat disebabkan oleh produk saintek ini?”. Penilaian risiko WAJIB bersifat kuantitatif, bukan kualitatif. Pakai angka, bukan retorika. Cuma karena tidak terlihat oleh mata, bukan berarti tidak ada. Cuma karena ada di depan mata, bukan berarti di semua tempat sama. Berpikirnya harus integral-holistik. Secara keseluruhan dan terkait satu sama lain.

In a nutshell, risiko itu dampak x probabilitas. Seberapa besar kemungkinan sesuatu itu akan terjadi, dan seberapa besar dampaknya jika sesuatu itu benar-benar terjadi. Risiko bukan sesuatu yang berdiri sendiri.

Jika suatu produk saintek terbukti memiliki nilai risiko yang rendah, sementara manfaatnya bagi masyarakat sangat besar, maka apa alasan untuk menolak pemakaiannya? Benefit outweigh risk, itu kunci pemanfaatan produk saintek. Dan itulah yang membuat perkembangan teknologi dan pemanfaatannya bisa semaju sekarang dan membantu kehidupan manusia menjadi lebih baik.

Lucunya, masyarakat seringkali tidak adil dalam menilai risiko. Berkendara di jalan raya tanpa helm itu memiliki risiko tinggi terhadap keselamatan, tapi masih banyak yang tidak peduli. Padahal, angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia tiap hari mencapai lebih dari 100 orang. Tapi ketika disodori vaksin sebagai metode perlindungan terhadap wabah, langsung teriak-teriak soal vaksin bahaya dan KIPI dan sebagainya, padahal risikonya jauh lebih rendah daripada menggunakan kendaraan bermotor!

Bingung? Sama. Kadang-kadang orang menerapkan standar ganda tanpa dia sadari.

Pemanfaatan produk saintek harus diawasi? Betul, tapi siapa yang berhak mengawasi? Orang awam? Jelas bukan. Apa kapabilitas dan kredibilitas mereka untuk mengawasi pemanfaatan produk saintek? Tidak ada. Maka tidak perlu seluruh masyarakat untuk mengawasi pemanfaatannya. Cukup mereka-mereka yang memiliki kapabilitas saja yang menjadi pengawas. Jadi biar tidak jadi rusuh di tengah masyarakat.

Syaikh Taqiyuddin An Nabhani pernah menulis bahwa manusia itu bangkit atau runtuh bergantung pada persepsi/pemahamannya. Nah, kalau pemahaman masyaarkat terhadap penilaian risiko masih salah, sehingga salah dalam menyikapi sebuah produk saintek, ya wassalam. Berarti memang mentalitas masyarakatnya masih terbelakang. Dan ini yang harus diperbaiki.

Maka, kunci agar penerapan/pemanfaatan produk saintek di tengah masyarakat bisa berlangsung dengan baik adalah dengan memperbaiki pemikiran masyarakat. Memperbaiki cara mereka melakukan penilaian risiko keselamatan, sehingga resistensi bisa ditekan ke titik minimum dan jika sesuatu terjadi mereka tidak panikan.

Menyikapi terjadinya risiko dengan kepanikan tidak pernah berimbas baik. Penanganan kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi, misalnya. Kalau pemerintah dan masyarakat Jepang tidak panikan, tidak akan ada ceritanya resistensi terhadap nuklir dan 1600 korban meninggal akibat evakuasi yang tidak semestinya dilakukan. Termasuk juga terhadap isu adanya KIPI. Kalau ditanggapi dengan panikan, program vaksinasi tidak akan berjalan lancar, sehingga sangat menghambat pengentasan wabah.

0 komentar:

Posting Komentar