Kamis, 23 Agustus 2018

Indonesia Rawan Gempa, Apa Layak Bangun PLTN?

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (peneliti teknologi keselamatan reaktor)

Dengan kondisi Indonesia yang rawan gempa, khususnya mengingat gempa Lombok yang terjadi baru-baru ini, apakah PLTN tetap layak dibangun di Indonesia?

Jawabannya: Ya tentu saja layak. Di NTB pun bisa saja, kalau mau. Bahkan kalau terjadi gempa, PLTN adalah tempat pengungsian paling baik. Sebagaimana PLTN Onagawa menjadi tempat pengungsian bagi penduduk Jepang yang terkena gempa dan tsunami Tohoku.

Apa tidak khawatir soal terjadinya kecelakaan? Jepang diguncang gempa 9,1M pada tahun 2011 dan tidak ada satupun PLTN yang mengalami kecelakaan karena gempa itu. Bahkan PLTN-PLTN yang ada mampu menahan guncangan gempa yang melebihi desain basisnya. PLTN Fukushima Daiichi mengalami kecelakaan bukan disebabkan oleh gempa, melainkan tsunami yang menggagalkan sistem pendinginan pasca-shutdown.

Kalau tidak mau direpotkan dengan keselamatan PLTN kontemporer (tipe PWR/BWR) yang by default memiliki nilai peak ground acceleration (PGA) sekitar 0,2-0,3 g, padahal Bapeten mensyaratkan minimal 0,6 g, ya tinggal pakai saja teknologi PLTN yang berbeda. Pakai teknologi reaktor maju, bisa high temperature gas-cooled reactor (HTGR) atau molten salt reactor (MSR). Keduanya bersifat meltdown-proof, tidak bisa meleleh apalagi meledak (PWR/BWR juga tidak bisa meledak, tapi ada potensi oksidasi batang bakar yang menghasilkan hidrogen).


MSR secara khusus lebih menarik, karena beroperasi dengan tekanan atmosfer, tidak membutuhkan bejana bertekanan tinggi dan bersifat walkaway safe. Sementara, bahan bakar HTGR didesain agar produk fisi/material radioaktif tidak bisa terlepas ke lingkungan, karena terkungkung dalam bola-bola grafit yang memiliki titik leleh tinggi. Baik MSR maupun HTGR tidak menggunakan air dalam kalang pendingin primer, jadi tidak ada peluang terjadinya kegagalan struktur akibat gempa (seandainya ada kerusakan) yang bisa menyebabkan ledakan hidrogen.

Saya belum punya data berapa nilai PGA dari HTGR, tapi nilai PGA MSR by default bisa mencapai 0,8 g, tanpa perlu rekayasa desain khusus. Berdasarkan karakteristik reaktornya, kemungkinan PGA HTGR lebih tinggi dari PWR/BWR.

PLTN tipe PWR/BWR pun sebenarnya bisa saja diatur agar memiliki nilai PGA lebih dari 0,2 g. PLTN Kashiwazaki-Kariwa di Jepang, contohnya, didesain memiliki nilai PGA 1,02 g. Tapi jelas rekayasa desain yang dibutuhkan lebih besar, dan pembangunannya jadi lebih mahal. Jadi untuk daerah yang lebih rawan gempa, sebaiknya pakai yang memiliki nilai PGA tinggi by default saja.

Pada dasarnya, insinyur nuklir mendesain agar PLTN bisa shutdown secara otomatis ketika terjadi gempa besar (katakanlah 7-9M). Jadi, keselamatan PLTN tetap terjaga.

Alih-alih gempa, yang lebih harus diperhatikan adalah suplai pendingin. Karena kehilangan pendingin bisa menjadi masalah yang sedikit merepotkan. HTGR dan MSR relatif lebih baik dari PWR/BWR soal pendinginan reaktor secara pasif.

0 komentar:

Posting Komentar