Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (Peneliti Teknologi Keselamatan Reaktor)
Selaku kota metropolitan dengan kepadatan penduduk tinggi, Jakarta sudah barang tentu memiliki tingkat polusi tinggi. Ini sama sekali bukan hal baru. Siapapun yang lama tinggal di Jakarta, bekerja di Jakarta, atau sering berkunjung ke Jakarta, pasti sudah mafhum akan hal ini.
Maka, jadi agak aneh ketika isu tentang polusi Jakarta diangkat secara masif dalam beberapa waktu terakhir. Seolah-olah polusi Jakarta adalah sesuatu yang fenomenal dan harus menjadi tajuk utama habis-habisan.
Sebenarnya, Jakarta tidak selalu jadi kota paling polutif. Pantauan di website seperti airvisual.com seringkali menunjukkan bahwa kota satelit seperti Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi lebih polutif daripada Jakarta. Artinya, polusi udara bukan masalah khas Jakarta, tetapi juga kota di sekitarnya.
Terlepas dari isu yang menyelimutinya, polusi di kota-kota besar memang harus diselesaikan. Karena ini kaitannya dengan memelihara kehidupan orang banyak. Tapi bagaimana caranya?
Ada ide untuk menggunakan mobil listrik. Sekilas, ide ini terdengar bagus. Tinggal masalahnya adalah, dari mana listriknya didapat? Ekspansi populasi mobil listrik berimbas pada kenaikan permintaan listrik, yang berarti butuh pembangkit listrik tambahan. Seandainya pembangkit baru yang dibangun menggunakan bahan bakar batubara, maka menggunakan mobil listrik hanya memindahkan polusi dari knalpot kendaraan bermotor ke cerobong asap PLTU. Not a solution.
Menggunakan panel surya? Ketersediaannya hanya siang hari, ketika ada sinar matahari. Dalam kondisi mendung, hujan, apalagi malam hari, secara praktis tidak ada sumber listrik. Padahal, mobil listrik beroperasi justru siang hari, bukan waktu tepat untuk mengisi daya.
Dengan langit Jakarta dan sekitarnya yang seringkali tertutup kabut debu, sulit untuk berharap pada efektivitas panel surya. Belum lagi harganya yang mahal dan ketersediaan lahan di Jakarta yang sangat sedikit untuk keperluan ini.
Lagipula, mobil listrik masih terkendala pada baterai. Untuk meningkatkan populasi mobil listrik, diperlukan penambangan litium dan kobalt lebih tinggi dari laju produksi saat ini. Sementara, penambangan kedua logam tersebut bukannya bebas dari dampak merusak pada lingkungan. Khususnya kobalt, yang secara praktis disuplai dari Republik Demokratik Kongo, yang mana praktik penambangannya banyak dirundung masalah lingkungan sampai eksploitasi anak.
Menurunkan populasi kendaraan bermotor merupakan opsi lebih rasional, tetapi harus ditunjang infrastruktur transportasi umum yang memadai. Pun demikian, polusi akibat emisi buang kendaraan masih harus disorot. Entah apakah infrastruktur transportasi umum yang dibutuhkan dapat diwujudkan secara memadai atau tidak dalam waktu cepat.
Peran Nuklir
Dalam forum Indonesia Lawyers Club (ILC), anggota DPR Komisi VII, Kurtubi, kembali menegaskan perlunya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dalam bauran listrik Indonesia. Hal ini beliau sampaikan terkait dengan blackout yang menimpa Jakarta dan Jawa Barat beberapa waktu lalu. Namun, PLTN tentu bisa dikaitkan dengan isu polusi Jakarta.
Merupakan sumber energi bersih yang berasal dari pembelahan atom alih-alih pembakaran kimia, PLTN tidak melepaskan polutan beracun ke atmosfer sebagaimana batubara. PLTN tidak juga tergantung pada belas kasih cuaca seperti panel surya. Seperti PLTU, PLTN bisa beroperasi 24 jam dalam seminggu, dengan pengecualian keandalannya lebih tinggi lagi.
Listrik dari PLTN rendah emisi karbon dan tidak melepaskan polutan. Cocok untuk menurunkan lepasan debu dan partikel mikro berbahaya ke udara. Jika kemudian mobil listrik digunakan, barulah pengurangan polusi bisa terlihat efeknya.
Kendaraan bermotor menggunakan bensin dan minyak Diesel (Solar) yang mengandung banyak kontaminan. Mengingat sulit untuk berharap kendaraan bermotor biasa akan digantikan sepenuhnya oleh kendaraan listrik, perlu digunakan alternatif bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
PLTN Generasi IV, seperti molten salt reactor (MSR) atau high temperature gas-cooled reactor (HTGR) memiliki kapabilitas kogenerasi nuklir. MSR dan HTGR mampu menyediakan kalor temperatur tinggi (700-900°C) untuk pembangkitan hidrogen secara efisien. Hidrogen dapat dikombinasikan dengan CO2 yang ditangkap dari udara maupun air laut untuk menghasilkan bahan bakar minyak sintetis. BBM sintetis ini bebas dari kontaminan penyebab polusi.
Teknologi MSR diajukan oleh ThorCon International, sementara HTGR didesain diantaranya oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). ThorCon bekerjasama dengan PT PAL untuk pembangunan komponen reaktornya, sementara BATAN bekerjasama dengan PT Rekadaya Elektrika dalam pengembangan Reaktor Daya Eksperimental (RDE) berbasis HTGR.
Apapun alternatif teknologi yang digunakan, energi nuklir dalam bentuk PLTN tidak bisa dilepaskan dari usaha mereduksi polusi udara. Mengabaikan PLTN dari wacana reduksi polusi hanya akan berimbas pada inefektivitas dan inefisiensi usaha. Lalu, sebagaimana Jerman, yang menghapus nuklir dalam proyek Energiewende, akan gagal memenuhi target.
0 komentar:
Posting Komentar