Selasa, 26 Desember 2023

The Irony of Becoming the One You Hate...

Dulu, bangsa Yahudi itu terusir dimana-mana. Bahkan oleh rezim Nazi Jerman, Yahudi itu diburu dan dilenyapkan. Muncullah Kamp Auschwitz. Kamar gas. Holocaust. Pemusnahan ras Yahudi (dan tentu saja penganut agamanya). Sampai Albert Einstein pindah ke Amerika Serikat dan Lise Meitner pindah ke Swedia, mengamankan nyawa mereka dari ancaman eksekusi mati oleh rezim The Third Reich.

Tidak heran jika orang-orang Yahudi benci sekali dengan Nazi Jerman.

Eh, ketika agenda politik luar negeri Inggris Raya di Timur Tengah bertemu dengan teologi Zionisme ala Theodor Herzl, dan orang-orang Yahudi diberi keleluasaan merampok tanah yang sejatinya adalah milik umat Islam di wilayah yang kini bernama Palestina, para Yahudi itu bertingkah sama persis, bahkan lebih buruk, daripada Nazi Jerman yang mereka benci.

Jika Nazi Jerman melakukan genosida terhadap ras dan agama Yahudi, maka para Yahudi Zionis yang mendirikan entitas ilegal bernama Israel itu melakukan genosida dan pembersihan etnis terhadap masyarakat Palestina yang mayoritas muslim. Tidak cukup sampai sana, berbagai jenis hoax, propaganda busuk, dan fitnah turut pula dilontarkan oleh Israel dan sekutunya melalui berbagai media untuk mendiskreditkan masyarakat Palestina dan menunjuk para pejuang kemerdekaannya sebagai teroris.

Oh the irony...

Tentu saja kelakuan Israel ini dibenci oleh banyak orang, khususnya muslim. Makanya resistensi terhadap Israel ini secara individu dan komunal cukup kuat, Sampai strategi boycott, divestment, and sanction (BDS), khususnya boikot, dilaksanakan dengan keras dan mengancam pangsa pasar perusahaan yang dianggap berafiliasi atau mendukung Israel. Tidak lupa disertai dengan simbol-simbol dukungan macam semangka dan bendera nasionalisme Arab versi Palestina. Komplit.

Sampai kemudian, pihak-pihak tertentu (saya tidak yakin mereka bergerak gratisan) memutuskan untuk mengangkat isu pengungsi Rohingya yang ditampung di Aceh. Isu yang sebenarnya selama ini tidak ada masalah-masalah berarti yang tidak bisa ditangani, tetapi kemudian digembar-gemborkan oleh para impluenser di media sosial berbasis audiovisual semacam instagram dan tiktok, dengan narasi-narasi penuh hoax, fitnah, dan propaganda busuk.

Tidak butuh waktu lama sampai para pengguna aplikasi itu menunjukkan wajah aslinya: rasis, fasis, xenofobik, bahkan genosidal. Padahal banyak di antara mereka yang dengan bangga menunjukkan simbol-simbol dukungan terhadap Palestina dan menunjukkan kebencian yang amat sangat pada Israel, tapi dengan begitu mudahnya mereka memakan propaganda palsu, hoax, dan fitnah terhadap pengungsi Rohingya, yang dilontarkan di media sosial dengan kasta intelektualitas terendah.

Bayangkan saja. Pengungsi dari negara yang merupakan sohib erat Zionis Israel di Asia Tenggara bernama Myanmar, yang diburu oleh junta militer Myanmar, dicabut kewarganegaraannya, dibasmi etnisnya, ketika melarikan diri dan mengharap penghidupan lebih baik, malah dituduh mau menjadikan Aceh seperti Israel bagi mereka. Seolah-olah pengungsi Rohingya datang ke Aceh karena teologi sejenis Zionisme dan dibekingi negara superpower seperti Inggris.

Menuduh pengungsi Rohingya itu buruk adab, tidak tahu sopan santun, tidak tahu terima kasih, hidup santai cuma berkembang biak, tidak bisa syahadat dan shalat, tukang bikin onar, imigran gelap bukan pengungsi, Bahkan sampai menyerukan pengusiran, hingga yang lebih gila lagi, menyarankan untuk melakukan penjualan organ.

Anda tahu itu narasi mirip dengan apa?

Ya, mirip dengan narasi fitnah entitas ilegal Zionis Israel terhadap Palestina.

Dengan kata lain, warga Indonesia yang katanya ramah itu ternyata ada cukup banyak yang sikapnya mirip dengan Zionis Israel. Yang katanya mereka benci akibat perlakuan terhadap Palestina.

Sampai banyak sekali aksi provokasi dan kebencian bahkan pengusiran terhadap pengungsi Rohingya, cuma gara-gara narasi sesat, hoax, dan fitnah terhadap mereka. Dan para provokator ini sama sekali tidak pernah berusaha melakukan verifikasi terhadap apa yang mereka baca di media. Nalar kritisnya sama sekali tidak ada, cuma membebek narasi provokatif dan ujaran kebencian yang dilontarkan akun-akun impluenser literasi rendah.

Saya jadi bertanya-tanya apa Indonesia bisa meraih Indonesia Emas 2045 kalau literasi masyarakatnya masih seperti ini, khususnya anak-anak muda yang terlalu banyak mantengin tiktok. Bahaya kalau yang terjadi adalah Indonesia Cemas 2045.

Basically, warga lokal yang tampak begitu membenci Israel atas apa yang mereka lakukan terhadap Palestina, justru menunjukkan mentalitas yang sama dengan Israel ketika menghadapi pengungsi Rohingya... yang melarikan diri dari junta militer Myanmar yang merupakan sohib Israel.

Oh, the irony of becoming the one you hate...

If it's not a complete embarrassment then I don't know what.

Mental-mental begini memang menunjukkan ada masalah besar di bangsa ini. Masalah yang kalau tidak diperbaiki, maka dalam beberapa tahun ke depan yang namanya "bonus demografi" akan berubah menjadi "beban demografi."

Sekian racauan kali ini.

Till the next update.

Andika

0 komentar:

Posting Komentar