Untuk alasan tertentu, isu terkait pengungsi Rohingya muncul ke permukaan dalam beberapa minggu terakhir. Aslinya saya tidak terlalu ambil pusing, karena isu begini biasanya musiman dan tidak butuh waktu lama sampai isunya mereda.
Sampai kemudian saya terbukti salah. Isu ini bertahan berminggu-minggu. Hingga sekarang.
Kalau ada satu hal yang benar-benar mesti dipermasalahkan... well, dua hal. Dua hal yang mesti dipermasalahkan dalam hal ini, adalah (1) Buruknya literasi netijen terkait penelusuran fakta pengungsi Rohingya, dan (2) Betapa barbarnya sikap netijen terhadap muslim Rohingya.
Dari dua hal ini, nomor (2) yang paling mengejutkan. Saya tahu bahwa netijen Indonesia itu banyak yang barbar dan tidak sopan di internet. Tapi melihat mereka menunjukkan mental rasis, fasis, xenofobik, bahkan genosidal, saya benar-benar tidak habis pikir. Apalagi banyak dari mereka yang menunjukkan dukungan pada Palestina dan penentangan terhadap entitas ilegal zionis israel. Tapi mental mereka ketika berurusan dengan muslim Rohingya malah sama saja dengan orang-orang zionis. Bahkan beberapa impluenser muslim juga menunjukkan kebencian irasional serta rutin memfitnah muslim Rohingya, tanpa mau menerima koreksi padahal sumber mereka jelas-jelas salah.
(I mean, saya tahu kalau impluenser halal itu bermasalah sejak awal dan punya pondasi pemikiran yang rusak ketika membentuk sesuatu yang kita sebut saja 'podjok halal,' tetapi saya tidak menduga bahwa dia lebih buruk dari penilaian saya selama ini)
Itu baru di instagram. Di twitter dan tiktok juga sama-sama gila narasinya. Apalagi di tiktok, the playground of the Goddamned i****s. Kalau di twitter, setidaknya, narasinya masih bisa dikonter dengan cukup sengit. Tapi di tiktok dan instagram, yang berbasis audiovisual, sulit.
Salah satu narasi genosidal yang ditemukan di instagram. Pemilik akun ini sudah mengganti username-nya. |
Lebih gila lagi soal dugaan bahwa muslim Rohingya sengaja diselundupkan agar nanti kemudian menjadi seperti israel, yang merampok tanah asli Indonesia or something. Narasi ini, seriusan deh, benar-benar penghinaan terhadap akal sehat. Pengungsi yang tidak punya kewarganegaraan, tidak punya dokumen apa-apa, tidak punya kemampuan militer, tidak ada bekingan negara manapun, lalu somehow mereka dalam beberapa tahun bisa memaksa katakanlah masyarakat Aceh untuk Nakba?
Wallahi, kebodohan macam apa ini?
Tapi, kalau melihat skor PISA negara ini yang rendah, lama-lama saya bisa memahami juga kenapa narasi ini bisa muncul. Walau dengan jengkel luar biasa. Apalagi kalau ditarik mundur ke kira-kira 9 tahun yang lalu, ketika mulai terjadi polarisasi politik menjelang Pilpres akibat narasi yang... well, mungkin sudah pada ingat. Saya tidak bahas lebih jauh karena nanti saya dikira memihak atau apalah, sementara ASN harus menjaga netralitas. Walau kadang agak karet juga masalah itu.
Sudah selesai? Belum. Tampaknya di twitter sudah banyak yang secara tidak malu-malu mendengungkan narasi busuk ini sembari menunjukkan posisi dirinya dalam percaturan politik awal 2024 mendatang. Saya tidak perlu sebut siapa, karena saya tidak terlibat dalam politik praktis dan tidak menunjukkan keberpihakan secara terbuka (karena secara regulasi juga tidak membolehkan), Anda bisa cek sendiri. Jadi intinya digunakan oleh pihak satu untuk menyerang pihak lain dengan berbagai logical fallacy yang menyertainya.
Semoga saja awal tahun depan sudah kondusif. Saya tidak habis pikir, bagaimana orang-orang yang memfitnah pengungsi Rohingya ini bisa tidur tenang, sementara mereka akan dituntut di akhirat oleh komunitas besar yang mereka fitnah. Apa mereka tidak peduli tentang kehidupan setelah kematian? Saya tidak tahu.
Ada hal lain yang mengusik tentang narasi fitnah terhadap Rohingya ini: masalah ekonomi. Sebagian netijen merasa pengungsi Rohingya itu kehidupannya enak sekali, dikasih tempat tinggal gratis dan uang saku 1,25 jt per bulan, tanpa perlu melakukan apa-apa. Mulai adu nasib.
Iya, iya, saya tahu banyak anak bangsa yang ekonominya susah. Tapi kalau mau marah-marah ke pengungsi Rohingya, ya salah alamat. Toh yang bayari kehidupan mereka itu UNHCR, sama sekali tidak ada alokasi anggaran untuk pengungsi di APBN Indonesia. Lantas masalahnya apa?
Apa iya mereka mau jadi manusia yang terlunta-lunta di laut selama berbulan-bulan tanpa makanan dan air minum, tidak punya kewarganegaraan a.k.a. stateless, diburu oleh junta militer di negara asalnya, diteror dan dibunuhi tanpa ampun oleh saudara zionis israel di Asia Tenggara, tidak bisa bekerja karena tidak punya dokumen kewarganegaraan resmi, tidak bisa sekolah, tidak bisa apa-apa, cuma demi tinggal di Rusun dengan fasilitas seadanya dan uang saku hanya 1,25 jt per bulan yang itu juga pas-pasan sekali? Apa mau mereka-mereka ini bernasib begitu?
Seringkali Kadang kok pendek sekali nalarnya. Semua orang punya masalah hidup masing-masing, termasuk masalah ekonomi. Tapi ya bukan berarti harus iri pada yang hidupnya sebenarnya lebih susah cuma karena mereka tidak bekerja tapi dapat duit.
Kalau mau Indonesia meraih Generasi Emas 2045, minimal literasi ini harus ditingkatkan dengan sangat signifikan, lah. Banyaknya netijen yang terjeblos dalam narasi hoax dan fitnah ini menunjukkan bahwa literasi mereka masih rendah, dan tidak ada bangsa yang maju dengan literasi rendah.
Karena banyak keluhan masalah ekonomi, saya jadi terpikir: apa yang bikin ekonomi di Indonesia ini sepertinya lambat sekali membaiknya?
Karena saya bukan ahli ekonomi, khususnya ekonomi kapitalis neoliberal, saya tidak mau berkomentar soal teori-teori ekonomi panjang lebar tinggi whatever. Tapi kalau ada satu hal yang masih kurang di sini dibandingkan negara maju, itu adalah energi.
Ya, Indonesia itu konsumsi energinya rendah sekali. Untuk konsumsi listrik, masih kira-kira 1200-an kWh per kapita, kalau tidak salah ingat. Jauh dengan Eropa Barat yang sekitar 5000-7000 kWh per kapita, dan Amerika Serikat sekitar 12000 kWh per kapita. Ada korelasi antara konsumsi energi dengan perbaikan ekonomi.
Ya bukan berarti dengan warga mengonsumsi listrik lebih banyak kemudian ekonominya naik, bukan itu! Tapi dengan konsumsi listrik lebih banyak secara nasional, itu indikasi kalau industrinya tumbuh, dan industri yang tumbuh akan menggerakkan ekonomi dengan lebih baik sehingga kesejahteraan meningkat. Kira-kira begitu ringkasnya, sejauh yang saya pahami.
Nangroe Aceh Darussalam, selama ini, dikatakan sebagai provinsi termiskin. Itu omong kosong saja, sih, masih banyak yang lebih miskin. Tapi memang salah satu yang termiskin. Dan dengan kondisi seperti itu, mereka masih bersedia menampung pengungsi Rohingya. Artinya, tidak perlu jadi kaya untuk peduli. Tapi sekarang, nilai-nilai kepedulian terhadap sesama itu sepertinya sudah terganti nilai-nilai materialistik, semua dinilai dari materi. Seolah-olah materi itu bermanfaat saja bagi mereka setelah masuk liang lahat.
Oke, kembali ke topik. Aceh memang relatif miskin, tetapi kenapa bisa miskin? Kalau mau gampangnya ya tinggal salahkan Pemprov Aceh terkait inkompetensi mereka membangkitkan perekonomian Aceh. Tapi menyalahkan pun tidak bisa menyelesaikan masalah. Kembali ke topik tadi, apakah Aceh kurang konsumsi energinya?
Saya ambil tabel di bawah dari Statistik Ketenagalistrikan tahun 2021. Tidak ada dokumen lebih baru lagi, saya tidak paham kenapa Kementerian ESDM tidak mengeluarkannya.
Betul, konsumsi listrik untuk industri di Aceh (baris pertama) sangat kecil, bahkan paling kecil di Pulau Sumatera! Untuk keperluan usaha pun hanya lebih besar daripada Bangka Belitung yang jumlah penduduknya jauh lebih sedikit.
Artinya apa? Industri di Aceh tidak berfungsi. Industrialisasinya jelek. Wajar kalau pergerakan ekonominya buruk dan berimbas pada kemiskinan warga Aceh.
Salah satu kunci untuk meningkatkan ekonomi Aceh, supaya tidak selalu dianggap miskin terus, adalah dengan menghidupkan industrinya. Pemprov Aceh seharusnya membuat rencana serius untuk mengembangkan industri di Aceh, tentu saja dengan tetap mengacu standar halal-haram sebagaimana yang diterapkan Aceh selama ini. Nah, jika mengasumsikan Pemprov Aceh sudah membuat rancangan industrialisasi yang baik dan benar, termasuk peta jalannya, tapi bagaimana bisa menghidupkan industri kalau suplai listriknya saja tidak memadai?
Saat ini hanya ada PLTD dan PLTMG di Provinsi Aceh, yang keduanya mahal dan tidak terlalu andal. Saya tidak tahu kenapa belum ada PLTU dan PLTGU di sana, apakah masalah rantai pasok bahan bakar atau apa. Atau malah masalah geografis, karena barangkali Aceh agak rawan bencana? Semisal iya, maka saya pikir PLT terapung akan jadi alternatif menarik untuk sumber listrik Aceh. Khususnya PLT Nuklir (PLTN) terapung.
Pada dasarnya, PLTN terapung itu PLTN yang ditaruh di dalam kapal, dinyalakan, dan listrik yang dibangkitkannya disambungkan ke jaringan listrik di darat.
Contoh PLTN terapung milik Rusia. Reaktor nuklir dan turbin listriknya terpasang di kapal, lalu disambung ke jaringan listrik di daratan. |
Ya, ya, saya tahu ada isu separatis bla bla bla di Aceh. Tapi, ayolah, PLTN bukan target menarik. TNI AL bersenjata lengkap akan mengawasi PLTN terapung 24/7 dan akan menindak tegas setiap jenis intruder, tidak peduli apakah itu gerakan separatis, LSM Neo-Malthusian berkedok lingkungan, atau lainnya.
Lagipula, apa yang mau diharapkan dari, katakanlah, membajak PLTN? Apakah PLTN akan meledak? HAHAHAHAHA what a bullcrap. PLTN cuma akan shutdown tanpa mengalami pelelehan teras, tanpa lepasan radioaktivitas ke lingkungan, karena reaktornya terhubung dengan ultimate heat sink: air laut. Dan pembajak itu kemungkinan besar akan dieksekusi mati di tempat. All things sorted.
Seriously, kalau memang butuh PLTN, masalah begini bisa diakalin dengan sistem keamanan yang baik. Bukannya malah adanya separatisme bla bla bla dijadikan alasan untuk tidak bangun PLTN. Itu wujud dari nalar yang sangat buruk dan anti-kemajuan.
Kembali lagi ke PLTN terapung. Di mana menempatkan PLTN terapung kalau misal dibangun? Paling memungkinkan ya antara daerah Barat Laut, kawasan antara Pulau Sumatera dan Pulau We, atau di Selat Malaka. Walau PLTN terapung cenderung resisten terhadap tsunami, sebaiknya pantai barat Sumatera dihindari saja. Mengenai lokasi persisnya di mana, nanti bisa dikaji lagi kalau misal benar-benar serius. Termasuk berapa besar daya yang dibutuhkan.
(Selat Malaka itu jalur krusial untuk jalur dagang internasional dan seringkali ada masalah geopolitik di sini antara beberapa negara berpengaruh di dunia, tapi abaikan dulu faktor itu untuk saat ini)
Jadi, semisal Aceh bisa mendapat sumber listrik yang cukup (syukur-syukur untuk kogenerasi industri juga) dari pembangkit listrik yang andal, seharusnya industrialisasi bisa dilaksanakan dengan lebih lancar sembari tetap berpegang teguh dengan prinsip Aceh sebagai Negeri Serambi Mekkah. Kehidupan ekonomi bisa lebih hidup, kesejahteraan pun meningkat, dan tidak ada lagi yang menggunakan isu kemiskinan Provinsi Aceh sebagai dalih untuk meniadakan kepedulian terhadap pengungsi yang kebetulan singgah di Aceh. Padahal yang menggunakan dalih itu tidak tinggal di Aceh juga, sekalipun berbusa-busa bicara "I STAND WITH ACEH" seolah-olah Aceh itu terzalimi saja (which, obviously, they're not, so she stands for absolutely nothing).
Demikian dulu pembaruan minggu ini. Apakah minggu depan isu penuh fitnah dan hoax ini sudah mereda atau malah tambah parah? Kita lihat saja.
Sekian postingan random minggu ini.
Till the next update.
Andika
Bonus: Postingan-postingan bergiji tentang Rohingya
0 komentar:
Posting Komentar